24 Agustus, 2025

Warisan dan Wasiat dalam Islam

Warisan dan wasiat adalah dua konsep penting dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan pengaturan harta setelah seseorang wafat. Keduanya diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai bagian dari keadilan sosial dan perlindungan terhadap hak-hak ahli waris. Islam mengajarkan bahwa pembagian warisan bukan semata soal harta, tetapi juga mencerminkan nilai amanah, kasih sayang, dan tanggung jawab antar anggota keluarga.

Pengertian Warisan dan Wasiat

  • Warisan (ميراث / al-mīrāts): Adalah pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berdasarkan ketentuan syariat Islam.
  • Wasiat (وصية / waṣiyyah): Adalah pesan atau pernyataan terakhir seseorang sebelum wafat untuk memberikan sebagian kecil hartanya kepada pihak tertentu (bukan ahli waris wajib), dengan syarat tidak lebih dari sepertiga (1/3) harta warisan.

Dalil Al-Qur’an tentang Warisan dan Wasiat

  1. Warisan:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَـٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءًۭ فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةًۭ فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌۭ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌۭ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ يُوصِىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًۭا ۚ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًۭا

"Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak-anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah harta. Untuk kedua orang tua (ibu dan ayah), masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang warisan ini) orang tua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

(QS. An-Nisa: 11)

  1. Wasiat:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًۭا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila kematian menghampiri seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta yang banyak, (supaya) berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat secara ma'ruf; sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 180)

Ketentuan Hukum Warisan dalam Islam

  1. Ahli Waris yang Berhak:

ـ           Anak-anak (laki-laki dan perempuan)

ـ           Suami/istri

ـ           Ayah/ibu

ـ           Saudara kandung (dalam kondisi tertentu)

  1. Bagian Warisan Ditentukan Syariat:

ـ           Laki-laki: dua kali bagian perempuan (QS. An-Nisa: 11)

ـ           Suami: ½ (jika tidak punya anak), ¼ (jika punya anak)

ـ           Istri: ¼ (jika tidak punya anak), ⅛ (jika punya anak)

  1. Syarat Warisan:

ـ           Pewaris telah wafat

ـ           Ahli waris masih hidup saat pewaris wafat

ـ           Tidak ada penghalang waris (misalnya pembunuhan, beda agama)

Wasiat dalam Islam: Bukan untuk Ahli Waris

Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
(HR. Abu Dawud, no. 2870; Tirmidzi, no. 2120 – dinilai sahih oleh Al-Albani)

Batasan wasiat:

ـ           Maksimal 1/3 dari total harta

ـ           Hanya untuk orang selain ahli waris (misalnya: tetangga miskin, pembantu, lembaga sosial)

Perbedaan antara Warisan dan Wasiat

Aspek

Warisan

Wasiat

Sumber

Ketentuan syariat (wajib)

Kehendak pribadi (sunnah)

Penerima

Ahli waris sah

Bukan ahli waris wajib

Besaran

Sudah ditentukan dalam Al-Qur’an

Maksimal 1/3 harta

Waktu berlaku

Setelah wafat

Setelah wafat dan disetujui

Urgensi Menyelesaikan Warisan dan Wasiat

Islam sangat menekankan agar warisan tidak ditunda-tunda pembagiannya dan wasiat dijalankan sesuai amanah, karena keterlambatan bisa menimbulkan fitnah, pertengkaran keluarga, dan perampasan hak.

Rasulullah SAW bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِندَهُ
(HR. Bukhari, no. 2738; Muslim, no. 1627)

Contoh Praktis Wasiat dan Warisan

Misalnya seseorang meninggal dengan harta Rp300 juta dan memiliki:

ـ           1 orang istri

ـ           1 anak laki-laki

ـ           1 anak perempuan

ـ           Wasiat kepada yayasan sosial sebesar Rp50 juta

ـ           Utang sebesar Rp20 juta

Langkah-langkah:

  1. Bayar utang: Rp20 juta
  2. Laksanakan wasiat (maksimal 1/3): Rp50 juta
  3. Sisa: Rp230 juta → dibagi sesuai ketentuan waris


Warisan dan wasiat dalam Islam bukan sekadar hukum pembagian harta, tetapi juga bagian dari ibadah, tanggung jawab, dan menjaga keadilan dalam keluarga. Islam memberi tuntunan lengkap agar harta tidak menjadi sebab perselisihan, melainkan menjadi sumber keberkahan dan harmoni. Seorang muslim dianjurkan menulis wasiat sebelum wafat, dan keluarga wajib menyelesaikan warisan dengan benar dan adil.

Referensi

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
  3. Abu Dawud & At-Tirmidzi
  4. Wahbah Az-Zuhaili. (2007). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
  5. Kementerian Agama RI. (2020). Mausu'ah Waris Islam.
  6. Amir Syarifuddin. (2005). Hukum Waris Islam. Jakarta: Kencana
  7. Kompilasi Hukum Islam (KHI) – Indonesia

 


23 Agustus, 2025

 

Menjaga Niat dalam Berdakwah: Kunci Keikhlasan Menuju Ridha Allah

Dr. Abdul Munir, M.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam /KUA Sape)

 

Dakwah adalah kewajiban mulia dalam Islam, yakni menyeru kepada kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar, serta mengajak manusia kepada jalan Allah. Namun semulia-mulianya aktivitas, ia bisa kehilangan nilainya jika tidak dilandasi niat yang benar dan ikhlas karena Allah . Oleh karena itu, menjaga niat adalah aspek paling fundamental dalam berdakwah, agar amal tidak menjadi sia-sia di hadapan Allah.

 

Dalam dunia modern saat ini, berbagai sarana dakwah terbuka luas, termasuk media sosial dan platform digital. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan besar bagi para dai dan pendakwah: apakah dakwah itu dilakukan untuk mengharap ridha Allah, atau sekadar popularitas, pengikut, atau materi duniawi?

 

1. Makna dan Pentingnya Niat dalam Islam

 

Niat (niyyah) adalah landasan utama dari setiap amal. Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ayat Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya keikhlasan:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
"Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya."
(QS. Al-Bayyinah: 5)

 

Dari sini, kita memahami bahwa dakwah pun harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk sanjungan, pengikut, atau tujuan duniawi lainnya.

 

2. Bahaya Tidak Menjaga Niat dalam Berdakwah

 

Dalam sebuah hadis yang sangat menggugah, Rasulullah bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ... رَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Orang pertama yang akan diadili di Hari Kiamat adalah seseorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Ia akan didatangkan dan dikenalkan nikmat Allah, lalu ditanya: ‘Apa yang kau lakukan?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kau dusta. Tapi kau menuntut ilmu agar dikatakan: dia alim, dan kau membaca Al-Qur’an agar dikatakan: dia qari’. Dan itu telah dikatakan.’ Lalu diperintahkan agar ia diseret ke neraka.”
(HR. Muslim, no. 1905)

 

Hadis ini sangat jelas menunjukkan betapa berbahayanya berdakwah tanpa keikhlasan. Amal bisa terlihat besar di mata manusia, namun tidak bernilai di sisi Allah jika niatnya menyimpang.

 

3. Tanda dan Ciri Niat yang Lurus dalam Dakwah

ـ           Tidak berharap pujian atau pengikut

ـ           Tidak merasa tinggi atau lebih baik dari orang lain

ـ           Fokus pada hasil akhir (keridhaan Allah), bukan popularitas

ـ           Tidak berubah semangat berdakwah meski tidak disukai atau tidak viral

ـ           Berani menyampaikan kebenaran meskipun pahit

 

4. Cara Menjaga Niat Tetap Ikhlas

 

a. Muhasabah Diri
Senantiasa mengevaluasi niat di awal, tengah, dan akhir amal.

 

b. Menyembunyikan amal jika memungkinkan
Seperti tidak memamerkan jumlah jamaah, likes, atau view.

 

c. Memperbanyak doa memohon keikhlasan
Rasulullah
mengajarkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan atas apa yang tidak aku ketahui."
(HR. Ahmad dan Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

 

d. Menyadari bahwa hanya Allah yang menilai amal
Jangan mudah puas dengan penilaian manusia, karena nilai hakiki hanyalah dari Allah.

 

Menjaga niat adalah inti dari keberhasilan dakwah di sisi Allah. Seorang dai sejati tidak hanya menguasai ilmu dan menyampaikannya, tetapi juga menjaga hati agar tetap lurus dan tulus. Sebab, amal dakwah yang besar bisa menjadi kosong jika tidak disertai niat ikhlas. Oleh karena itu, setiap Muslim, terutama yang berada di jalan dakwah, harus senantiasa memurnikan niatnya agar seluruh amal mendapat ridha Allah .

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an al-Karim

2.      Shahih Bukhari

3.      Shahih Muslim

4.      Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin

5.      Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin

6.      Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin

7.      Abu Hamid Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah

8.      Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Dakwah

 


22 Agustus, 2025

 

Menjaga Identitas Muslim dalam Kehidupan Modern

Menjaga Identitas Muslim dalam Kehidupan Modern

Dr. Abdul Munir, M.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kabupaten Bima / KUA Sape)

 

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, umat Islam dihadapkan pada tantangan besar dalam mempertahankan jati diri keislaman. Identitas sebagai seorang Muslim bukan hanya ditunjukkan melalui nama atau tempat tinggal, tetapi lebih dalam melalui keimanan, akhlak, gaya hidup, hingga pilihan dalam bertindak dan berinteraksi.

Menjaga identitas Muslim berarti tetap teguh dalam menjalankan ajaran Islam di segala kondisi. Hal ini sangat penting, sebab identitas tersebut adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan menjadi benteng pertahanan diri dari pengaruh negatif budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam telah memberikan pedoman agar umatnya tidak larut dalam gaya hidup yang menyimpang dan tetap bangga menjadi Muslim.

 

1. Pengertian Identitas Muslim

Identitas Muslim mencakup seluruh aspek kehidupan yang mencerminkan keislaman seseorang. Termasuk dalam identitas ini adalah:

ـ           Akidah yang lurus : keyakinan yang benar dan murni terhadap Allah sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta pemahaman para sahabat. Akidah ini menjadi dasar utama dalam kehidupan seorang Muslim, karena ia menyangkut iman, tauhid, dan hubungan antara hamba dan Tuhannya.

ـ           Ibadah yang benar : ibadah yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah .

ـ           Akhlak yang mulia : perilaku, sikap, dan kebiasaan baik yang bersumber dari ajaran Islam dan mencerminkan keimanan serta ketakwaan seseorang kepada Allah . Akhlak mulia menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas seorang Muslim yang sejati. Bahkan, Nabi Muhammad diutus salah satunya untuk menyempurnakan akhlak.

ـ           Penampilan dan pakaian yang sesuai syariat : cara berpakaian dan berpenampilan yang mengikuti ketentuan dan nilai-nilai Islam sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan, kesucian, dan membedakan identitas Muslim dari cara hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam.

ـ           Sikap sosial yang mencerminkan nilai Islam : perilaku seorang Muslim dalam kehidupan bermasyarakat yang mencerminkan akhlak mulia, keadilan, kasih sayang, dan kepedulian sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Islam bukan hanya agama ibadah ritual, tapi juga agama yang mengatur bagaimana seorang Muslim bersikap terhadap sesama manusia.


Seorang Muslim memiliki identitas yang khas, yang membedakannya dari umat lainnya, baik dalam keyakinan, perilaku, maupun simbol-simbol lahiriah.

 

2. Perintah Menjaga Identitas dalam Al-Qur’an

Allah memerintahkan agar kaum Muslimin berpegang teguh kepada Islam secara kaffah (totalitas), termasuk dalam mempertahankan identitasnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."
(QS. Al-Baqarah: 208)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang Muslim harus menjalankan Islam secara menyeluruh, termasuk dalam menjaga identitasnya agar tidak tercampur dengan budaya yang menyesatkan.

 

3. Hadis Tentang Larangan Meniru Kaum Lain

Rasulullah sangat menekankan agar umat Islam tidak menyerupai orang-orang kafir dalam aspek ibadah, budaya, atau simbol-simbol khusus mereka.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka."
(HR. Abu Dawud, no. 4031)

Hadis ini adalah peringatan keras agar umat Islam tidak kehilangan jati dirinya dengan mengikuti cara hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam.

 

4. Bentuk-Bentuk Menjaga Identitas Muslim

Beberapa bentuk nyata dalam menjaga identitas Muslim antara lain:

ـ           Menjaga akidah: Tidak mengikuti paham-paham sesat atau pluralisme agama yang merusak keimanan.

ـ           Menjaga ibadah: Konsisten dalam menjalankan ibadah seperti shalat lima waktu, puasa, dan menutup aurat.

ـ           Menjaga akhlak dan tutur kata: Tidak ikut dalam budaya hedonisme, berkata kasar, atau kebiasaan yang tidak Islami.

ـ           Berpakaian sesuai syariat: Muslim laki-laki dan perempuan diwajibkan berpakaian menutup aurat, sopan, dan tidak menyerupai non-Muslim.

ـ           Menghindari budaya liberal yang merusak nilai Islam: Misalnya pacaran bebas, alkohol, pornografi, atau ikut perayaan agama lain.

 

5. Tantangan Menjaga Identitas Muslim di Era Modern

Beberapa tantangan yang dihadapi remaja dan umat Islam saat ini antara lain:

ـ           Tekanan sosial untuk "ikut tren"

ـ           Normalisasi budaya barat di media sosial

ـ           Minimnya pemahaman agama

ـ           Kurangnya peran orang tua dan sekolah dalam membentuk karakter Islam


Namun, tantangan ini bisa diatasi dengan penguatan iman, lingkungan yang baik, serta keteladanan dari orang-orang saleh.

 

Menjaga identitas sebagai Muslim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan upaya menjaga kemurnian ajaran Islam. Identitas tersebut tidak hanya tampak dalam penampilan, tetapi juga dalam keyakinan, perilaku, dan gaya hidup. Islam sangat menekankan agar umatnya tidak menyerupai kaum lain yang menyimpang, dan terus memelihara prinsip-prinsip hidup Islami. Di era globalisasi ini, semangat menjaga jati diri sebagai Muslim adalah sebuah keharusan agar umat Islam tidak tergerus oleh budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai syariat.

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an al-Karim

2.      Shahih Muslim

3.      Sunan Abu Dawud

4.      Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin

5.      Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ al-Shirat al-Mustaqim

6.      Shalih al-Munajjid. Fatawa tentang Tasyabbuh dan Gaya Hidup Muslim – IslamQA

7.      Yusuf al-Qaradawi, Nilai dan Etika Islam dalam Kehidupan

 


Popular

Popular Posts

Blog Archive