Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Islam. Tampilkan semua postingan

24 Agustus, 2025

Warisan dan Wasiat dalam Islam

Warisan dan wasiat adalah dua konsep penting dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan pengaturan harta setelah seseorang wafat. Keduanya diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai bagian dari keadilan sosial dan perlindungan terhadap hak-hak ahli waris. Islam mengajarkan bahwa pembagian warisan bukan semata soal harta, tetapi juga mencerminkan nilai amanah, kasih sayang, dan tanggung jawab antar anggota keluarga.

Pengertian Warisan dan Wasiat

  • Warisan (ميراث / al-mīrāts): Adalah pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berdasarkan ketentuan syariat Islam.
  • Wasiat (وصية / waṣiyyah): Adalah pesan atau pernyataan terakhir seseorang sebelum wafat untuk memberikan sebagian kecil hartanya kepada pihak tertentu (bukan ahli waris wajib), dengan syarat tidak lebih dari sepertiga (1/3) harta warisan.

Dalil Al-Qur’an tentang Warisan dan Wasiat

  1. Warisan:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَـٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءًۭ فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةًۭ فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌۭ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌۭ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ يُوصِىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًۭا ۚ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًۭا

"Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak-anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah harta. Untuk kedua orang tua (ibu dan ayah), masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang warisan ini) orang tua dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

(QS. An-Nisa: 11)

  1. Wasiat:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًۭا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila kematian menghampiri seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta yang banyak, (supaya) berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat secara ma'ruf; sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 180)

Ketentuan Hukum Warisan dalam Islam

  1. Ahli Waris yang Berhak:

ـ           Anak-anak (laki-laki dan perempuan)

ـ           Suami/istri

ـ           Ayah/ibu

ـ           Saudara kandung (dalam kondisi tertentu)

  1. Bagian Warisan Ditentukan Syariat:

ـ           Laki-laki: dua kali bagian perempuan (QS. An-Nisa: 11)

ـ           Suami: ½ (jika tidak punya anak), ¼ (jika punya anak)

ـ           Istri: ¼ (jika tidak punya anak), ⅛ (jika punya anak)

  1. Syarat Warisan:

ـ           Pewaris telah wafat

ـ           Ahli waris masih hidup saat pewaris wafat

ـ           Tidak ada penghalang waris (misalnya pembunuhan, beda agama)

Wasiat dalam Islam: Bukan untuk Ahli Waris

Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
(HR. Abu Dawud, no. 2870; Tirmidzi, no. 2120 – dinilai sahih oleh Al-Albani)

Batasan wasiat:

ـ           Maksimal 1/3 dari total harta

ـ           Hanya untuk orang selain ahli waris (misalnya: tetangga miskin, pembantu, lembaga sosial)

Perbedaan antara Warisan dan Wasiat

Aspek

Warisan

Wasiat

Sumber

Ketentuan syariat (wajib)

Kehendak pribadi (sunnah)

Penerima

Ahli waris sah

Bukan ahli waris wajib

Besaran

Sudah ditentukan dalam Al-Qur’an

Maksimal 1/3 harta

Waktu berlaku

Setelah wafat

Setelah wafat dan disetujui

Urgensi Menyelesaikan Warisan dan Wasiat

Islam sangat menekankan agar warisan tidak ditunda-tunda pembagiannya dan wasiat dijalankan sesuai amanah, karena keterlambatan bisa menimbulkan fitnah, pertengkaran keluarga, dan perampasan hak.

Rasulullah SAW bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِندَهُ
(HR. Bukhari, no. 2738; Muslim, no. 1627)

Contoh Praktis Wasiat dan Warisan

Misalnya seseorang meninggal dengan harta Rp300 juta dan memiliki:

ـ           1 orang istri

ـ           1 anak laki-laki

ـ           1 anak perempuan

ـ           Wasiat kepada yayasan sosial sebesar Rp50 juta

ـ           Utang sebesar Rp20 juta

Langkah-langkah:

  1. Bayar utang: Rp20 juta
  2. Laksanakan wasiat (maksimal 1/3): Rp50 juta
  3. Sisa: Rp230 juta → dibagi sesuai ketentuan waris


Warisan dan wasiat dalam Islam bukan sekadar hukum pembagian harta, tetapi juga bagian dari ibadah, tanggung jawab, dan menjaga keadilan dalam keluarga. Islam memberi tuntunan lengkap agar harta tidak menjadi sebab perselisihan, melainkan menjadi sumber keberkahan dan harmoni. Seorang muslim dianjurkan menulis wasiat sebelum wafat, dan keluarga wajib menyelesaikan warisan dengan benar dan adil.

Referensi

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
  3. Abu Dawud & At-Tirmidzi
  4. Wahbah Az-Zuhaili. (2007). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
  5. Kementerian Agama RI. (2020). Mausu'ah Waris Islam.
  6. Amir Syarifuddin. (2005). Hukum Waris Islam. Jakarta: Kencana
  7. Kompilasi Hukum Islam (KHI) – Indonesia

 


14 Agustus, 2025

Muslim Pengusaha yang amanah

Dalam Islam, bisnis bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang sangat dianjurkan jika dilakukan dengan cara yang halal dan amanah. Seorang pengusaha muslim tidak hanya dituntut untuk meraih keuntungan duniawi, tetapi juga bertanggung jawab secara moral dan spiritual kepada Allah SWT dan masyarakat. Artikel ini membahas nilai amanah dalam dunia usaha menurut Islam, dengan mengacu pada sumber-sumber utama seperti Al-Qur’an, Hadis, serta pendapat para ulama dan pemikir kontemporer. Diharapkan artikel ini dapat memberikan panduan etis dan praktis bagi para pengusaha muslim agar dapat menjalankan usaha secara profesional dan bertanggung jawab.

Pendahuluan

Ekonomi Islam memiliki landasan nilai yang kuat dalam membangun tatanan bisnis yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Salah satu nilai utama dalam praktik ekonomi Islam adalah amanah, yakni tanggung jawab dan kejujuran dalam menjalankan bisnis. Seorang muslim yang menjadi pengusaha sejatinya tidak hanya mengejar profit, tetapi juga mengedepankan moralitas dan akhlak Islam dalam setiap transaksi.

Pengertian Amanah dalam Islam

Kata amanah berasal dari bahasa Arab "أمانة" yang berarti kepercayaan, tanggung jawab, dan integritas. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا ۖ

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..."
(QS. An-Nisa: 58)

Amanah dalam konteks bisnis berarti:

ـ           Menjaga kepercayaan konsumen dan mitra bisnis

ـ           Tidak menipu dalam produk atau jasa

ـ           Menghindari riba, gharar (ketidakjelasan), dan penipuan

ـ           Menunaikan hak-hak karyawan dan mitra sesuai perjanjian

Amanah dalam Praktik Bisnis Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam dunia perdagangan. Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal oleh masyarakat Mekkah dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya).

عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ أَبِي الْحَمْدِ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ كُنْتَ تَكْسِبُ؟ فَقَالَ: كُنْتُ أَتَّجِرُ وَمَا كَذَبْتُ قَطُّ وَلَا خُنْتُ وَلَا غَدَرْتُ

"Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: Bagaimana engkau mencari nafkah? Beliau menjawab: Aku berdagang, dan aku tidak pernah berdusta, tidak pernah berkhianat, dan tidak pernah menipu dalam perdagangan."
— (Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Auliya’, no. 2681)

Kejujuran dan amanah inilah yang menjadikan Rasulullah SAW berhasil dalam bisnis, dan mendapat kepercayaan dari para mitra, termasuk Khadijah binti Khuwailid yang kemudian menjadi istrinya.

Nilai Amanah sebagai Etika Bisnis Islam

Berikut beberapa prinsip amanah dalam praktik bisnis menurut Islam:

  1. Jujur dalam penawaran dan timbangan

"Celakalah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."
(QS. Al-Muthaffifin: 1–3)

  1. Tidak menyembunyikan cacat produk
    Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami.”
(HR. Muslim no. 101)

  1. Tepat waktu dalam pembayaran dan pengiriman
    Amanah berarti menunaikan janji dan perjanjian.

“Orang mukmin itu jika berjanji tidak mengingkari.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Transparan dan bertanggung jawab
    Pengusaha muslim wajib menyampaikan informasi yang jelas, termasuk harga, kualitas, dan kebijakan retur jika ada kerusakan.

Dampak Positif Menjadi Pengusaha yang Amanah

  1. Kepercayaan masyarakat meningkat
    Kejujuran menciptakan loyalitas pelanggan dan reputasi yang baik.
  2. Keberkahan dalam rezeki
    Rasulullah SAW bersabda:

“Penjual dan pembeli memiliki pilihan (untuk meneruskan atau membatalkan), selama mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan menjelaskan kondisi barang, maka akan diberkahi dalam jual beli mereka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Mendapat tempat istimewa di akhirat

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1209)

Tantangan dan Solusi dalam Menjaga Amanah Bisnis

 

Tantangan

Solusi Islami

Godaan keuntungan cepat dari penipuan

Menanamkan nilai takwa dan hisab akhirat

Kompetisi tidak sehat di pasar bebas

Mengedepankan etika persaingan dan keadilan

Konsumen tidak memahami nilai Islami

Edukasi dan transparansi dalam pemasaran

Sistem ekonomi konvensional yang tidak syar’i

Membangun sistem bisnis syariah berbasis koperasi, wakaf produktif, dan akad muamalah

Kesimpulan

Menjadi pengusaha muslim yang amanah bukan hanya sebuah pilihan moral, tetapi juga kewajiban agama yang dijanjikan keberkahan dunia dan akhirat. Dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan, setiap muslim dapat membangun usaha yang tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga memberi dampak sosial dan spiritual yang luas.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim
  3. Imam Bukhari, Sahih Bukhari
  4. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi
  5. Al-Ghazali. (2002). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr.
  6. Yusuf al-Qaradawi. (1995). Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Gema Insani
  7. M. Umer Chapra. (2000). The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation.
  8. Majid Khadduri. (1984). The Islamic Conception of Justice. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
  9. Kementerian Agama RI. (2020). Al-Qur'an dan Terjemahannya Edisi Kemenag.

 


04 Agustus, 2025

Menjauhi Korupsi dan Kecurangan

Korupsi dan kecurangan merupakan dua tindakan tercela yang tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga dikecam keras dalam ajaran Islam. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah pandangan Islam terhadap praktik korupsi dan kecurangan melalui pendekatan normatif berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, serta pandangan ulama dan akademisi muslim. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan dan amanah, meletakkan dasar moral yang kokoh dalam mencegah perbuatan zalim dan merugikan orang lain. Dengan demikian, penguatan nilai-nilai religius menjadi kunci dalam memberantas praktik ini dari akarnya.

Pendahuluan

Korupsi dan kecurangan telah menjadi masalah struktural yang mengakar di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. World Bank mendefinisikan korupsi sebagai abuse of public power for private benefit. Dalam konteks Indonesia, korupsi bahkan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Dalam Islam, korupsi dan segala bentuk kecurangan merupakan perbuatan dosa yang dapat menghancurkan keadilan sosial. Kedua perbuatan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip utama dalam Islam, yakni keadilan (al-‘adl), kejujuran (sidq), dan amanah (trustworthiness).

Pengertian Korupsi dan Kecurangan dalam Islam

Kata “korupsi” dalam bahasa Arab dapat dikaitkan dengan kata fasad yang berarti kerusakan atau keburukan. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ۚ وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al-A’raf: 56)

Sementara itu, kecurangan bisa berupa menipu dalam transaksi, mengurangi timbangan, atau manipulasi lainnya. Dalam Al-Qur’an, Allah mengecam para pelaku curang dalam timbangan:

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ، الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ، وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

“Celakalah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
(QS. Al-Muthaffifin: 1–3)

Larangan Korupsi dan Kecurangan dalam Hadis

Rasulullah SAW sangat keras dalam menegaskan larangan penyalahgunaan wewenang. Dalam satu hadis, beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي. فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ:
"مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا لِي أُهْدِيَ لِي؟ أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا يَغُلُّ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ..."

"Barang siapa di antara kalian yang kami angkat menjadi petugas, lalu ia berkata, ‘Ini bagian untuk kalian dan ini diberikan kepadaku sebagai hadiah,’ maka hendaknya ia duduk di rumah ayah atau ibunya (saja) dan lihatlah apakah hadiah itu akan diberikan kepadanya atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang menyembunyikan sesuatu (dari hasil tugasnya) kecuali ia akan membawanya pada Hari Kiamat di atas pundaknya…”

 (HR. Muslim no. 1833)

Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

"يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ."

"Wahai Ka‘b bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram (suhut); neraka lebih layak baginya."
(HR. At-Tirmidzi no. 614
& HR. Ahmad, no. 12947)

Hadis ini menunjukkan bahwa penggunaan harta secara haram, termasuk hasil korupsi, tidak diterima secara syariat dan akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.

Dampak Korupsi dan Kecurangan dalam Masyarakat

Secara sosial, korupsi dan kecurangan:

  1. Menghancurkan kepercayaan publik.
  2. Menghambat pembangunan dan pemerataan kesejahteraan.
  3. Menimbulkan kemiskinan struktural.
  4. Mengundang kemurkaan Allah.

Islam menegaskan bahwa negara yang dipenuhi kezaliman akan dihancurkan, sebagaimana firman Allah:

فَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَّشِيدٍ

"Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan karena mereka berlaku zalim, sehingga (sekarang) tembok-temboknya runtuh, sumur-sumur ditinggalkan, dan istana-istana tinggi (kosong tak berpenghuni).”
(QS. Al-Hajj: 45)

Pendekatan Solutif Islam terhadap Korupsi dan Kecurangan

Islam menawarkan solusi preventif dan kuratif dalam menangani korupsi:

  1. Menanamkan nilai takwa dan akhlak

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

  1. Pendidikan moral dan spiritual sejak dini
    Pendidikan karakter yang berbasis agama berperan penting dalam membentuk pribadi jujur dan amanah.
  2. Sanksi tegas bagi pelaku
    Dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam), tindakan penggelapan dan kecurangan dikenakan hukuman ta’zir, yaitu sanksi yang ditetapkan oleh hakim untuk menjaga ketertiban sosial.
  3. Transparansi dan akuntabilitas
    Dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab menerapkan audit kekayaan pejabat, dan melarang mereka menerima hadiah dari rakyat.

Contoh Keteladanan dalam Sejarah Islam

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang anti-korupsi. Ia pernah mematikan lampu istana saat membahas urusan pribadi agar tidak menggunakan fasilitas negara secara tidak sah.

 

Kesimpulan

Korupsi dan kecurangan bukan hanya kejahatan hukum, tetapi juga dosa besar dalam Islam yang berimplikasi dunia dan akhirat. Islam telah memberikan landasan yang kuat untuk mencegahnya melalui nilai takwa, keadilan, amanah, dan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, setiap individu muslim dituntut untuk menjadi bagian dari solusi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan, khususnya dalam pengelolaan harta, kekuasaan, dan jabatan.

 

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim.
  3. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi.
  4. Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin.
  5. Yusuf al-Qaradawi. (2001). Nilai dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
  6. Nasaruddin Umar. (2010). Membangun Budaya Anti-Korupsi Berbasis Nilai Islam. Jakarta: KPK.
  7. M. Quraish Shihab. (2002). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
  8. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2014). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi.

 


Popular

Popular Posts

Blog Archive