Tuan Guru H. Muhammad M. Amin, BA lahir di Bima pada tanggal 21 Desember 1939. Beliau adalah putra dari pasangan Bapak M. Amin dan Ibu St. Marliah. Sejak kecil, beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, sehingga sejak dini beliau telah menunjukkan kecintaan yang besar terhadap ilmu, khususnya ilmu agama Islam.
Sebagai seorang ulama besar yang dikenal luas di wilayah timur Pulau Sumbawa, khususnya di Sape dan Lambu, TGH. Muhammad M. Amin merupakan sosok yang tidak hanya dihormati karena keilmuannya, tetapi juga karena keteguhannya dalam berdakwah dan ketulusannya dalam membimbing umat. Meski beliau tidak mendirikan pondok pesantren seperti banyak ulama di tanah Jawa, peran beliau dalam dunia pendidikan dan dakwah sangat luas dan mendalam.
Keputusan untuk tidak mendirikan pesantren bukan tanpa alasan. Selain karena beliau merupakan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Agama Kabupaten Bima, beliau juga aktif mengajar di berbagai lembaga pendidikan Islam seperti PGA (Pendidikan Guru Agama), perwakilan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya di Bima, serta sejumlah madrasah lainnya. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di beberapa kecamatan, antara lain di Kecamatan Wawo, Kecamatan Wera, dan Kecamatan Sape.
TGH. Muhammad M. Amin, BA dikenal luas sebagai “gurunya para guru”. Julukan ini bukan sekadar penghormatan, melainkan pengakuan atas peran besar beliau dalam mencetak kader-kader ulama dan guru agama. Aktivitas mengajar beliau berlangsung di mana saja — rumah, kantor, masjid, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan untuk proses belajar-mengajar. Meskipun tidak pernah belajar di Timur Tengah, beliau memiliki penguasaan bahasa Arab yang sangat baik. Oleh para gurunya, beliau diberi amanah untuk menjaga dan mengajarkan kitab-kitab kuning klasik, dan warisan ini kini dilanjutkan oleh putranya, Dr. Abdul Munir, yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah Bima, serta pernah mengajar beberapa Fakultas di UIN Alauddin Makassar.
Dalam menyampaikan dakwah, beliau dikenal sebagai pribadi yang tegas, lantang, dan tidak kompromi terhadap kemaksiatan. Suara beliau menggetarkan, bukan karena kerasnya nada, tapi karena kuatnya isi dan keberanian dalam menyuarakan kebenaran. Ia tidak segan mengingatkan umat dan pemimpin jika melihat hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai Islam, terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Setelah kembali menetap di tanah kelahirannya, Sape, beliau dipercaya untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Sape, jabatan yang beliau emban dengan penuh dedikasi hingga menjelang akhir hayatnya. Di tengah kesibukannya, beliau tetap aktif mengajar dan membimbing umat, tanpa pamrih dan tanpa membedakan latar belakang sosial murid-muridnya.
TGH. Muhammad M. Amin, BA dikaruniai delapan orang anak, yang juga menapaki jalan keilmuan dan pengabdian. Di antara mereka adalah Prof. Mahfud Nurnajamuddin, yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan Dr. Abdul Munir, dosen dan akademisi yang melanjutkan tradisi keilmuan sang ayah.
Banyak kisah yang mengiringi kehidupan beliau dan diyakini masyarakat sebagai bentuk karomah atau keistimewaan dari Allah. Salah satunya adalah kemampuannya dalam "menunda" turunnya hujan saat beliau bepergian tanpa membawa pelindung seperti jas hujan atau payung. Kejadian ini bukan sekali dua kali, melainkan telah berulang kali terjadi, dan menjadi pembicaraan masyarakat sebagai tanda keberkahan dan kedekatan beliau kepada Sang Pencipta.
Tuan Guru H. Muhammad M. Amin, BA wafat di Sape pada tanggal 3 November 2016. Kepergiannya menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Bima, terutama para murid dan pengagumnya. Namun, warisan nilai, ilmu, dan keteladanan beliau terus hidup dan tumbuh dalam jiwa generasi setelahnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan titip komentar anda..