20 Agustus, 2011

Hadis merupakan sumber hukum yang kedua dari Al-Quran. Namun perlu dipahami bahwa al-Qur’an dan hadis tidak sekedar membahas tentang hukum dan ibadah tapi lebih luas dari itu, seperti berbicara tentang tatanan sosial kemasyarakatan, interaksi sosial, adab dan akhlak.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk melakukan penelitian terhadap hadis yang akan menjadi landasan atau dasar untuk melakukan salah satu ibadah dan menentukan suatu hukum ataukah menentukan suatu informasi yang benar-benar datangnya dari Rasulullah. Salah satu contoh, yaitu hadis yang menjadi pokok pembahasan pemakalah, dimana hadis tersebut mengemukakan bagaimana hukum yang sebenarnya dalam melaksanakan nazar yang baik dan bagaimana cara bersumpah yang baik serta dibenarkan oleh syari’at Allah.


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.Redaksi hadis pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’iy yang membahas tentang bernazar sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam atau yang termasuk bermaksiat kepada Allah. Dan dibolehkannya seseorang tidak menepati nazarnya karena tidak memilki kemampuan setelah bernazar.
2.Redaksi hadis kedua diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal yang mana dalam hadis tersebut Rasulullah mem[amakan antara sumpah dengan kebolehan tidak memenuhi nazar karena ketidak mampuan.
3.Hadis yang diteliti berdasarkan sanad dianggap sahih karena ketersambungan sanadnya. Dan kredibilitas perawinya dianggap Adil dan dhabit (segi kapasitas keilmuannyya dan kualitas pribadinya). Dan tidak ada satu pun kritikus hadis yang memberikan cacat atau da’if terhadapa periwayat-periwayat dari kedua hadis di atas.
4.Kedua hadis di atas, telah memberikan kejelasan hukum tentang bagaiman bernazar yang baik dan bersumpah yang benar dan sah, agar kita dapat mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt.

Catatan:
Makalah diatas belum lengkap, Download lengkapnya...

16 Agustus, 2011

Manusia adalah makhluk berfikir yang membedakannya dengan makhluk lain dapat berfikir karena ia mempunyai akal
Akal adalah salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran. Berfikir dapat dibedakan dalam dua hal yakni berfikir secara alamiah dan berfikir secara ilmiah. Dalam berfikir alamiah akal tidak memerlukan metode, sarana dan proses tertentu, Sedangkan berfikir ilmiah diperlukan metode dan sarana berfikir yang sistematis. Tersedianya metode dan sarana yang memungkinkan dilakukannya proses penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan hal tersebut bersifat imperatif bagi sesorang ilmuan, Tanpa menguasai sarana dan proses ilmiah yang baik. Tak mungkin diwujudkan.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

Metode secara etimologi berasal dari kata Yunani Meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi Metode ialah langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, tehnik atau jalan yang telah di rangcang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistic, dan historis, atau pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Kata metode dalam bahasa Inggris yaitu method yang berarti metode atau cara. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Metode ialah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan tidak cukup diperoleh melalui tradisi warisan budaya, yang kita terimah begitu saja secara fasik, melainkan harus melalui langkah-langkah yang sistematis.
Dikalangan cerdik-cendekia, makna metode masih sering dipersamakan dengan metodologi. Sesungguhnya dua konsep tersebut memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain. Metode merupakan langkah-langkah sistematis tang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu yang tidak direfleksikan atau diterima secara an sich
Metode lebih bersifat spesifik dan terapan, sedangkan metodologi merupakan bagian dari sistematika filsafat yang mengkaji cara-cara mendapatkan pengetahuan ilmiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bah sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat di dalam mencapai maksud dan tujuan.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau pengembangan pengetahuan yang telah ada. Prosedur yang disebut dengan metode ilmiah tidak memiliki ketentuan yang pasti tentang jumlah, macam dan urutan langkahnya. Langkah-langkahnya semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang spesifikasi semakin banyak. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa macam metode ilmiah yan digunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khusunya bersangkutan dengan obyek formalnya. Berdasarkan langkah-langkah yang dimaksud dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, Jujun S Suriasumantri menjelaskan cara kerja ilmiah dengan mengemukakan enam langka atau metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan yaitu : 1). Keinsyafan tentang adanya problema 2). Data yang relevan dan tersedia dikumpulkan 3). Data ditertibkan 4). Hipotesa dibentuk (Diformulasikan ) 5). Deduksidapat ditarik dari hipotesa 6) Verifikasi setelah analisa untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Langkah Pertama, yaitu kesadaran akan adanya problema, adalah penting sekali. Karena hanya dengan demikian suatu pemikiran dan penyelidikan itu mungkin untuk diawali. Dalam hal ini kemampuan untuk melukiskan problema secara jelas dan benar dalam suatu defenisi adalah penting.
Langkah kedua, mengenai pengumpulan data yang relevan, juga memerlukan kesabaran dan lebih-lebih kemampuan untuk menguji data apakah faktual atau tidak. Pada persoalan yang sulit, untuk mendapatkan data yang demikian memerlukan pemikiran dan penyelidikan yang seksama, dan tidak aneh jika memerlukan waktu bertahun-tahun.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

20 Juli, 2011

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poligami (beristri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan) adalah suatu istilah yang dikenal dalam dunia perkawinan antar manusia lawan jenis dan terjadi pada suku, bangsa dan agama apapun di dunia. Poligami merupakan suatu kebiasaan yang dipraktekan dalam masyarakat bangsa-bangsa kuno pada ratusan tahun sebelum agama Islam datang.
Sayyid Sabiq dalam bukunya al Fiqh al Sunnah, menjelaskan bahwa kebiasaan berpoligami telah berlaku di negara Afrika, India, Cina dan Jepang yang berkembang dengan pesat.
Kahfi mengatakan bahwa “poligami itu sudah berlaku pada bangsa Yahudi Israel sebelum Nabi Isa a.s. diutus. Nabi Isa a.s. kemudian menetapkan kebiasaan poligami ini pada umatnya. Bahkan Nabi Musa a.s. mewajibkan seseorang untuk mengawini janda saudara lelakinya sendiri yang telah meninggal dunia. Apa yang diperbolehkan dalam kitab Taurat maka diperbolehkan juga dalam kitab Injil”. 1
Mustafa dalam bukunya al Mar’ah baina al Fiqh wa al Qur’an menjelaskan bahwa di dalam kitab Taurat (kitab yang kemudian menjadi rujukan orang Kristen) menceritakan mengenai Nabi Daud a.s. yang memiliki 99 istri dan ditambah 1 lagi menjadi 100 istri. Dan Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 istri permaisuri dan ditambah 300 istri selir sehingga semuanya 1000 istri.
Demikian pula dalam Tarikh Islam, Rasulullah SAW. Yang kehadirannya untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia, khususnya kaum wanita, beliau juga memiliki 9 orang istri. Di antara istri-istri beliau hanya ada dua istrinya yang berstatus gadis (perawan), yakni Siti Aisyah r.a.”2 dan Mariah Alqibitiah.
Sementara di Indonesia, sebagai negara hukum yang berpenduduk mayoritas beragama Islam juga tidak lepas dari perkawinan poligami. Misalnya Ir. Soekarno, seorang nasionalis yang beragama dan orang nomor satu pertama di Indonesia, yang terkenal hampir diseluruh dunia juga melakukan poligami.
Namun yang menjadi problema dalam poligami ini, ketika seorang laki-laki melakukan pologami antara seorang wanita dengan tantenya dari pihak Bapak dan tante dari pihak Ibu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadis Rasulullah yang terdapat dalam al-kutub al-tis’ah.
Poligami antara seorang wanita dengan tantenya adalah salah satu bentuk poligami yang sangat dilarang oleh Rasulullah. Salah satu alasannya adalah karena kedua wanita tersebut masih termasuk hubungan keluarga yang masih sangat dekat yaitu: masih termasuk muhrim. Masalah muhrim ini telah dijelaskan oleh hadis lain bahawa termasuk orang yang tidak bisa dikawini.

B. Batasan Masalah
Menyadari akan luasnya persoalan poligami, maka penulis membatasi atau merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.Bagaimana pelaksanaan poligami secara umum?
2.Bagaiman poligami antara seorang wanita dengan tantenya dari pihak Bapak dan Ibu menurut hukum Islam ?
3.Dan bagaimana konsekuensinya?

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan di Download lengkapnya.

11 Juli, 2011

A.Monisme dan Pluralisme Agama
Beragama adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Itu berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama, boleh jadi sampai menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum roh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.
Dalam perjalanan manusia mencari agama sebagai suatu kebutuhan, telah menemukan berbagai macam keyakinan atau agama karena didasari oleh perbedaan tingkat pengetahuan. Sehingga tidak jarang ada yang mempertuhankan hati nuraninya, nafsunya, budayanya dan adapula yang mempertuhankan zat yang tak terbatas sebagai tuhan dari tuhan-tuhan yang lain. Akibatnya melahirkan pluralitas agama yang merupakan problem yang cukup rumit. Agama di suatu sisi menekankan kebenaran yang absolut, tetapi disisi lain jumlah agama itu banyak. Setiap agama mengaku ajarannyalah yang paling benar dari sekian agama yang ada.
Masalah monisme dan pluralisme agama kini turut mewarnai diskursus (wacana) tentang Islam. Secara ontologis, monisme berpendapat bahwa hanya ada satu kebenaran yang keberlakuannya universal. Dalam kenyataan empiris, tampak aneka budaya, pandangann hidup dan agama yang dianut adalah satu-satunya kebenaran, sedangkan budaya dan agama lain bersifat inferior. Pandangan monisme lebih tajam bila menyangkut keyakinan agama dibanding budaya, karena agama lebih solid berakar dalam lubuk jiwa seseorang.
Dalam Islam, pandangan monisme mewarnai keyakinan umumnya umat Islam. Islam diyakini sebagai satu-satunya agama yang haq, satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT. Firman Allah pada Q.S. Ali Imran (3): 19.
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ...
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam..."

Dengan demikian agama lain dipandang sebagai penyelewengan dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Pandangan monisme dalam Islam dibedakan, yaitu:
1.Monisme modernis; Memandang Islam sebagai agama lengkap (self sufficien of Islam) pada tataran norma dan ajaran dasar. Tetapi pada tataran konstruksi praktis, Islam terbuka terhadap konsep luar dan perubahan-perubahan konstruktif, karena itu tidak anti barat. Monisme moderat, misalnya pada sejumlah tokoh pembaharu, seperti Muhammad Abduh dan Thaha Husain dari Mesir, Allai al-Fazi dari Maroko, Abd. Aziz al-Thalabi dari Tunisia, Abd.Hamid al-Badis dari Aljazair dan sebagainya. Meskipun kaum modernis cukup terbuka, tetapi dalam hal yang prinsipil mereka juga eksklusif.
2.Monisme Revivalisme; Memandang Islam sebagai agama lengkap, tidak saja pada level norma-norma dan ajaran dasar tatapi juga pada level tatanan struktural bahkan sampai pada konstruksi dunia praktis (sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya). Pemikir-pemikir Islam yang berhaluan revivalistik, misalnya Muhammad Abd. Wahhab (Revivalisme Klasik). Di abad 20 muncul revivalisme baru tokohnya seperti, Abu A’la al-Maududi, Syeed Amir Ali dan sebagainya.

Dalam sejarah teologi Islam, dalam pemaparan pahamnya, relatif menganut paham monisme revivalistik yang menganggap golongan selainnya adalah sesat bahkan kafir. Aliran yang tidak memberikan tempat kepada aliran lain yaitu Mu’tazilah, yang oleh khalifah al-Ma’mun memaksakan penganut aliran lain untuk menjalankan paham mu’tazilahnya. Pemaksaan paham ini populer dengan istilah al-Mihnah.

B.Monisme dan Pluralisme Kebenaran dalam Perspektif
Islam adalah agama rahmatan lil ālamīn, membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh makhluk, membawa pencerahan-pencerahan terhadap umat manusia. Idealnya, ketika Islam disebut sebagai agama rahmat, ia akan tampil sebagai agama yang rahmah terhadap pemeluknya dan juga umat-umat yang lain. Namun realitas menunjukkan bahwa Islam tidak tidak mampu menampakkan identitasnya yang sebenarnya. Apakah islam tidak mampu menjadi solusi bagi setiap persoalan ? ataukah pemeluk-pemeluknya yang cenderung memaknai Islam sedemikian sempit ?
Muhammad Arkoun melalui konsep nalar kritiknya, memandang bahwa penampakkan Islam yang tak begitu ramah disebabkan oleh pemeluknya yang cenderung mendogmakan hasil refleksi Al-Qur’an dan sunnah atau membawanya pada wilayah yang tak terpikirkan. Menurutnya ada dua bentuk nalar Islam yang tak terpikirkan;
1.Nalar ortodoks, yaitu nalar yang dihasilkan untuk memberi legitimasi terhadap praktek yang ada untuk kelangsungan suatu tradisi. Ortodokisme memandang bahwa pendapat merekalah yang dianggap benar. Dewasa ini, paham tersebut tampil dalam bentuk Islam ideologi yang melahirkan Islam militan dengan gerakan fundamentalisme Islam. Kaum fundamentalis bersifat eksklusif terhadap pemikiran luar baik dari Islam terlebih dari luar.
2.Nalar klasik, adalah hasil pemikiran yang didasarkan pada mazhab tertentu dengan merujuk pemikiran Islam klasik. Nalar ini lebih merujuk pada tradisi pemikiran masa lalu dengan bersikap apriori terhadap pemikiran lain yang telah disesuaikan dengan tuntunan zaman. Nalar Islam klasik lebih mengaitkan diri dengan mazhab tertentu yang selanjutnya diidentikkan dengan Islam. Sehingga kalau dikritik berarti mengeritik Islam. Dengan demikian hasil pemikiran keagamaan berada dalam wilayah tak terpikirkan lagi, karena dipandang ampuh membawa umat Islam dalam menjalani hidupnya.
Kedua nalar di atas, menggiring Islam ke dalam ideologi. Islam sebagai ideologi akan sangat berbeda bila Islam dipandang sebagai sebuah agama. Sebagai agama, Islam akan tetap merupakan prespektif terbuka yang memungkinkan munculnya nalar-nalar baru untuk diaktualisasikan dalam kehidupan manusia sejalan dengan arus perubahan zaman, tetapi bila Islam sebagai ideologi, maka Islam akan ditampilkan sebagai sebuah institusi yang kaku dan dogmatik.
Menurut Arkoun nalar tersebut di atas perlu dikritik. Tujuan Arkoun ingin memisahkan antara yang Ilahy dengan yang manusiawi, yang absolut dan yang relatif. Karena membaurkan kedua hal tersebut adalah anarki. Ia menginginkan agar merelatifkan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil refleksi terhadap Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, kebenaran menjadi plural yang diperoleh seseorang atau sekelompok intelektual muslim. Walaupun kebenaran itu relatif, tetapi mempunyai nilai guna dalam jangka waktu tertentu dan tempat tertentu. Pada keadaan demikian pula, kebenaran selalu terbuka terhadap kritik dan revisi.
Dengan demikian, Islam akan menampakkan wajahnya sebagai agama yang menjunjung tinggi pluralitas agama, suku, bangsa dan ras, yang terbingkai dalam persatuan dan kesatuan. Rasulullah bersabda:
اَلأَنْبِيَاءُ اِخْوَةٌ لِعَلاَّتِ. ( اُمَّهَاتٌ مُتَعَدِّدَاتٌ ) دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَاُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى
Para Nabi adalah anak dari ibu-ibu yang berbeda, agama mereka semua satu dan ibu mereka lain-lain. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).

Allah berfirman:
يَااَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثىَوَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبَا وَقَبَائِلَ لتَِعَارَفُوْا...
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...

Kedua dalil di atas, cukup mewakili untuk menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas, sehingga kita tidak lagi memandang perbedaan sebagai titik komflik.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...


24 Juni, 2011

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
*
6489 حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَيَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ قَالَ يَزِيدُ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي *

6490 حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ *

6536 حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ *


6689 حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي *

17 Juni, 2011

A. Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam mengahasilakan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian pula ilmu yang bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secar umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, petama, berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis, kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada sedangkan persyaratan kedua mengaharuskan kita untuk menerima pernyataan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yanhg benar secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis dan kumulatif. Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru atau pernyataan yang sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.

B. Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar, atau secarah lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan. Artinya dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak, maka seorang ilmuan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu. Hal ini sering menempatkan kaum ilmuan dalam posisi yang bertentangan dengan pihak yang berkuasa yang mungkin mempunyai kriteria kebenaran yang lain. Kriteria ilmuan yang politikus dalam membuat pernyataan adalah bebeda seperti yang dinyatakan ahli fisika Szilard: jika seorang ilmuan mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya apakah yang dinyatakan itu mengandung kebenaran atau tidak. Sebaliknya jika seorang politikus mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya, “mengapa ia mengatakan hal itu?”, dan baru kemudian, atau bahkan mungkin juga tidak, mereka mempertanyakan apakah pernyataan itu mengandung kebenaan.

C. Nilai-nilai ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional
Sampailah kita kepada tujuh nilai yang terpancar dari hakekat keilmuan yakni kritis, rasinal, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal. Di manakah peranan ketujuh nilai tersebut dalam pengembangan kebudayaan nasional?
Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa Indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern, maka ketujuh sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam berbagai bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/tehnologi, pendidikan dan lain-lain yang membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, obyektif dan terbuka. Sedang sifat menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan merupakan faktor yang penting dalam pembinaan bangsa (nation building) di mana seorang lebih menitik beratkan kebenaran untuk kepentingan nasional dibandingkan kepentingan golongan. Bukan saja seni namun ilmu dalam hakekatnya yang murni bersifat mempersatukan.

D. Ke arah peningkatan keilmuan
Sekiranya dapat diterima bahwa ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya adalah bagaimana cara meningkatkan keilmuan dalam kehidupan kita. Mesti disadari bahwa keadaan masyarakat kita sekarang masih jauh dari tahap masyarakat yang berorientasi kepada ilmu. Bahkan dalam masyarakat yang telah terdidik pun ilmu masih merupakan koleksi teori-teori yang belum maksimal dalam aplikasinya.
Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan harus diberi otonomi dalam menciptakan paradigmanya sendiri. Agar paradigma tersebut dapat berkembang dengan baik, maka membutuhkan dua syarat yakni kondisi rasionalitas dan kondisi psiko-sosial kelompok. Kondisi rasionalitas menyangkut dasar pikiran paradigma yang berkaitan dengan makna, hakikat dan relevansinya dengan masalahnya yang dihadapai. Sedangkan kondisi psiko-sosial menyangkut keterlibatan dan keterikatan semua anggota kelompok dalam mengembangkan dan melaksanakan paradigma tersebut.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya....

14 Juni, 2011

Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya penerjemahan diutamakan pada buku-buku tentang ilmu kedokteran dan selanjutnya berkembang pada pengetahuan filsafat.
Sekitar tahun 750-850 M banyak bermunculan tokoh-tokoh dalam lapangan ilmu pengetahuan terutama mengenai ketabiban, astronomi, kimia, ilmu bintang, serta filsafat. Seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Miskawaih, kelima tokoh tersebut dengan tidak menafikan tokoh yang lain menjadi pembicaraan utama dalam filsafat. Zaman itu juga dikenal dengan masa penerjemahan. Namun demikian, banyak kalangan yang memperdebatkan antara filsafat Islam dengan filsafat yang bukan Islam. Bahkan ada yang tidak mengakui para filosof yang dipengaruhi oleh para filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, Galen dan lain-lain, karena dianggap mengerjakan doktrin yang bertentangan atau tidak selaras dengan pandangan-pandangan Islam yang diterima masyarakat umum sebagai filosof Muslim.
Filosof Muslim yang secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah Abu Bakar Muhammad Zakariah al-Razi dan Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. Meskipun masih ada filosof-filosof lain, seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan lain-lain, namun mereka lebih khusus terwakili oleh kedua filosof tersebut.

Nama lengkapknya adalah Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih, ia lahir dikota Rayy Iran pada tahun 320 H (932M). belaiu meningggal di Isfahan pada tahun 412 H (1030).
Ada dua pernyataan mengenai dirinya, pertama; benarkah dia seorang Majusi kemudian beralih masuk Islam, atau bukan tetapi kakeknya ?, kedua : sebutan manakah yang benar Miskawaih atau Ibn Miskawaih.
Yusuf Musa menolak pernyataan pertama dengan alasan, tidak mungkin ia seorang Majusi, kemudian masuk Islam, karena pemikirannya begitu luas seperti filosof-filosof lainnya. Barangkali yang benar kakeknyalah yang beragama Majusi kemudian masuk Islam. Dilihat dari namanya, Ahmad bin Muhammad ibn Ya’kub, dapat berpihak dari penolakan tersebut. Sedangkan menurut Ibrahim Zakiy yang mengarang kitab Dairah al-Ma’rifah Islamiyah, bahwa neneknyalah yang Majusi kemudian memeluk Islam. Adapun mengenai namanya tergantung pada keyakinan seseorang, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat tentang sebutan nama Ibn Miskawaih.
M. M Syarif menyebutkan Miskawaih tanpa ibn. Menurutnya nama itu diambil dari kata misk yang berarti kasturi. Sedangkan menurut Musklim Ishak, Miskawaih atau Maskawaih adalah nama kakeknya.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...


18 Mei, 2011

1. Sahih bukhari kitab Janaiz hadis 1275
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ كَاذِبًا مُتَعَمِّدًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَقَالَ حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا جُنْدَبٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَمَا نَسِينَا وَمَا نَخَافُ أَنْ يَكْذِبَ جُنْدَبٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ بِرَجُلٍ جِرَاحٌ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَقَالَ اللَّهُ بَدَرَنِي عَبْدِي بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Kitab adab hadis 5587, 5640
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّ ثَابِتَ بْنَ الضَّحَّاكِ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى مِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ كَمَا قَالَ وَلَيْسَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَذْرٌ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
Kitab iman dan an-nusur hadis 6161
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ كَمَا قَالَ قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

2. Sahih Muslim kitab iman hadis 159, 161
3. At-Turmuzi kitab iman dan an-nuzur hadis 1455.1473, 3710, 3711
4. An-Nasai kitab iman dan an-nuzar hadis 3711, 3753
5. Abu Daud kitab ُ iman an-nuzar hadis 2835
6. Ibnu Majah kitab kaffarat 2089
7. Ahmad kitab awal madaniyyin ajmain 15790 15791 15793 15795 15796 15797 15798

Catatan:
Bahan/makalah diatas belum lengkap.
silahkan Download sini

17 Mei, 2011

1. An-Nasai, kitab iman wa an-Nuzur
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
-أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَخْنَسِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا تَمْلِكُ وَلَا فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا قَطِيعَةِ رَحِمٍ
2. Sunan Abu Daud, Kitab iman wa an-nuzur
-أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جَدْعَانَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ ُّ بْنُ زَيْدٍ ضَعِيفٌ وَهَذَا الْحَدِيثُ خَطَأٌ وَالصَّوَابُ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
-أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جَدْعَانَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ ضَعِيفٌ وَهَذَا الْحَدِيثُ خَطَأٌ وَالصَّوَابُ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
-أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
-حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي سَهْلٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا نَذْرَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ

3. Ibnu Magah kitab Kaffarat
-حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي سَهْلٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا نَذْرَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
4. Ahmad
-حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ إِلَّا فِيمَا ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يَمِينَ فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ
-حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا عَامِرٌ الْأَحْوَلُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
-حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا عَامِرٌ الْأَحْوَلُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
-حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَخْنَسِ أَبُو مَالِكٍ الْأَزْدِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ وَلَا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا قَطِيعَةِ رَحِمٍ فَمَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَدَعْهَا وَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ فَإِنَّ تَرْكَهَا كَفَّارَتُهَا

Catatan:
Bahan di atas belum lengkap, silahkan download lengkapnya.
Download disini

16 Mei, 2011


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا.
الحمد لله الذي نحمده ونستعنه ونستغفره ونعذ بالله من شرور انفسنا ومن سيات اعمالنا. اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمدا عبده ورسول, فقد قال لله تعال فالقران اكريم : ان لله وملئكته يصلون على النبى ... اللهم صلي و سلم على سيدنا وحبيبنا وسفعينا ومولنا محمد وعلي اله و صحبه و من تبعه باحسا ن الي يوم الا بقي . امّا بعد : فياا يها النا س ا تقو ا الله قد ا فلح من تزكي وذكرا سم ربه فصلي .
الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, ولله الحمد

Kaum Muslimin Sidang Jamaah Ied Rahima kumullah
Alhamdulillah, pada hari ini kita masih mempunyai kesempatan untuk melaksanakan hari raya Idul Fitry, kita sambut hari yang mulia ini dengan gema Takbir, gemuruh Tahlil dan lantunan Tahmid kepada Allah. Kita syi’arkan akan kebesaran Asma Allah dan kita syukuri Rahmat-Nya.Pada hari yang berbahagia ini, seluruh ummat Islam mengumandangkan kalimat Takbir bersahut-sahutan dari ujung dunia yang satu keujung dunia yang lain.
Di atas daratan bumi yang membentang luas, dengan beratapkan awan putih yang melambangkan kemurnian dan keaslian alam jiwa, dengan berlantaikan rumput hijau menggambarkan keluhuran budi dan perasaan yang mesra, ummat tauhid hari ini tengah berkumpul bersama, baik dilapangan, maupun di mesjid-mesjid dan mushallah-mushallah untuk berbaris dalam susunan shaf yang teratur, rapi untuk bersama-sama ruku’ dan sujud menghadap Allah Rabbul Izzati.
الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, ولله الحمد
Jamaah Id Fitri Yang dirahmati Oleh Allah swt.



Sejak matahari terbenam di ufuk barat kemarin sore, yang menandai telah berakhirnya bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh rahmah dan magfirah Allah swt. Kita melepas kepergiannya dengan menggemakan takbir, gemuruh tahlil dan lantunan tahmid, sebagai ungkapan rasa cinta dan syukur kita kepada Allah swt. Kita tidak henti-hentinya membasahi bibir kita dengan takbir, tahlil dan tahmid hingga kita menunaikan shalat Ied, sebagai hari kemenangan, hari kemerdekaan yang hakiki melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu. Iedul Fitry bukanlah hari raya yang berdiri sendiri, akan tetapi erat kaitannya dengan ibadah sebelumnya yakni ibadah puasa dan zakat. Dengan kata lain, kenikmatan berhari raya lebih dapat dirasakan hanya kepada mereka yang telah menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan sebulan penuh dengan dasar Iman, Ikhlas dan Sabar.

Catatan:
Khutbah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

15 Mei, 2011

1.Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari kata sekuler yang diambil dari bahasa latin yaitu saeculum yang berarti satu abad atau lebih sedikit atau hal-hal yang berhubungan dengan saman sekarang atau keduniaan yang tidak tabu. Bukan religius atau kesucian yang berhubungan dengan hari kemudian. Istilah ini dapat pula berarti lokasi atau waktu, lokasi diartikan sebagai dunia sedangkan waktu diartkan sebagai masa sekarang atau kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disamping diartikan sebagai yang bersifat dunia juga diartikan sebagai yang bersifat kebendaan dan bukan yang bersifat keagamaan atau kerohanian. Jadi sekularisasi itu sendiri adalah usaha-usaha atau proses yang menuju pada keadaan yang sekuler atau proses netralisasi dari setiap pengaruh agama dan hal-hal yang gaib atau hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.
2.Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur-unsur agama dengan pemahaman nilai-nilai dan makna-makna serta tujuan hidup manusia menurut ajaran islam kedalam ilmu pengetahuan.
Farid Alatas mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan yaitu suatu ilmu yang merujuk kepada upaya mengeliminir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik. Doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan drama serta strategi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti inilah yang mengakibatkan ilmu yang tidak sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar keseluruh dunia. Setelah melewati proses di atas kedalam ilmu tersebut ditanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman.
Dengan demikian akan terbentuk ilmu yang benar yaitu ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman yang dimaksud adalah insan, din, ilm dan makrifah hikmah, adl, amal, adab dan sebaginya. Jadi islamisasi ilmu pengetahuan itu adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan kepada ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Atau dapat pula diungkapkan sebagai koreksi ilmu-ilmu modern oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Sebelum melangkah lebih jauh, sangatlah penting untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan. Saifuddin Anshari dalam bukunya mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem tentang kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum tentang hal ihkwal yang diselidikinya (alam manusia dan juga agama). Sejauh yang dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia yang dibantu menginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris riset dan eksperimental.
3.Ontologi
Ontologi ilmu yang membahas tentang apa yang ingin diketahui seberpa jauh kita ingin tahu atau pengkajian sesuatu yang ada. Dalam pengertian lain ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya.
4.Epistimologi
Epistimologi ialah ilmu yang membahas tentang bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan. Disebut pula teori pengetahuan (theory of knoledge). Dalam pengertian lain ialah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha meperoleh pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

10 Mei, 2011

1.Pengertian Orientalis.
Kata Orientalis berasal dari bahasa Romawi yaitu Orient berarti: timur. Oriental berarti: berkaitan atau terletak di Timur . Orientalis berarti : orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran.
Dalam Kamus Webster`s New World College Dictionary dijelaskan bahwa Orientalis adalah : pada umumnya Dihubungkan dengan orang-orang [menyangkut] timur atau studi tentang budaya dari timur.
Sedangkan menurut Dr. Moh Natsir Mahmud Orientalis adalah : sarjana barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, sastra, masalah lainnya yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran. Sedangkan orientalisme adalah suatu paham atau pandangan yang diciptakan oleh Barat menyangkut berbagai masalah dunia timur.
Karena yang menjadi obyek permasalahan dalam makalah ini adalah “Islam dalam Studi Barat (Orientalis)” maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Orientalis secara ontologis adalah: orang-orang atau sarjana barat yang mengkaji Islam, dengan tidak melihat Islam sebagai pandangan hidup “way of life” tapi melihat Islam sebagai "obyek studi".
Islam menjadi salah satu obyek penelitian (studi) Orientalis yang penting karena Islam menjadi salah satu kekuatan di dunia timur. Tulisan-tulisan mereka tentang Islam telah menimbulkan tanggapan atau kritik dari sarjana muslim atau sarjana barat.
Kritik yang sering dilontarkan kepada kaum Orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka hanya terbatas pada aspek “eksternalitas” (lahiriyah ) dari agama. Mereka tidak memahami wilayah “internal” (Bathiniyah) dari pada agama yang teliti.
2. Metode Pendekatan Barat (Orientalis) dalam Studi Islam
Menurut telaah filsafat ilmu, agama sebagai obyek penelitian “pure science” dan agama sebagai pedoman hidup atau amalan-amalan praktis “applied science” selalu akan ada jarak. Dan dalam wilayah “pure science”lah bentuk studi kritis yang digeluti oleh barat (Orientalis).
Dalam telaah epistemologis “pure Science” merupakan landasan yang dilakukan barat (Orientalis) dalam mengkaji Islam. Namun dalam pengkajiannya, mereka melakukan beberapa metode pendekatan.
Pemahaman terhadap metode yang digunakan Barat (Orientalis) dalam studi Islam adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog konstruktif terhadap mereka, sebab metode yang mereka gunakan akan mewarnai alur pikir dan turut menentukan konseptualisasi dan kesimpulan yang dihasilkan.
Untuk mengikuti alur pikir mereka dalam mengkaji Islam, Maka akan diuraikan secara singkat, metode pendekatan yang dilakukan barat dalam studi Islam
a. Pendekatan Historisme
Dalam bahasa Indonesia Histori berarti sejarah. Istilah “History” dan “Historicm” mempunyai konotasi yang berbeda. Istilah historicism berasal dari makna history yang berasal dari bahasa Yunani artinya: mempelajari.
Sejarah atau histori adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa itu.
Abad ke-19 merupakan abad dimana pendekatan sejarah mewarnai hampir seluruh kajian ilmiah, sehingga pendekatan historis banyak mewarnai tulisan barat (Orientalis) tentang Islam. Pendekatan Historis yang paling ekstrim adalah historisme.
Historisme berpendapat bahwa segala sesuatu di alam ini selalu dalam hubungan waktu, tempat, konteks, atau lingkungan, dan segala yang ada di dunia ini harus di lacak asal usulnya dalam dunia itu sendiri. Tidak sesuatu bernilai transenden, tetapi segala sudah menyejarah.
Pendapat historisme di atas, seringkali tidak sejalan dengan ajaran Islam, karena Barat (Orientalis) ingin melihat cikal bakal Islam lahir atau sebagai produk dari situasi lingkungan sosial budaya dan agama-agama sebelum Islam.
Pendapat di atas, telah di dukung oleh beberapa tulisan-tulisan Orientalis yang mendeskreditkan Islam diantaranya pendapat Dr. Hitti mengatakan bahwa :
Sumber-Sumber al-Qur’an adalah orang-orang kafir, Kristen, Yahudi dan Arab. Hijaz sendiri terdiri dari beberapa wilayah Yahudi walau tidak ada satu pun wilayah Kristen, tetapi disitu terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen. Wilayah itu dikelilingi oleh berbagai pusat periabadatan di mana gagasan Kristen bisa terserap ke dalamnya. Nabi Muhammad memiliki dua orang budak dari habsyi (Ethopiah) yaitu mauzzin beliau bilal dan anak angkat beliau dieblakang hari zaid. Beliau juga mempunyai seorang istri beragama Kristen Mariyah al-Qabtiyyah dan seorang istri beragama Yahudi, Safiyah keturunan dari salah satu suku Yahudi di Madinah yang beliau taklukan

Pendapat Dr. Hitti di atas, di dukung oleh Ahrens dan Julius Welhausen yang dikutip oleh Dr. Moh Natsir Mahmud mengatakan bahwa : Agama Kristen di Mekkah amat berpengaruh sehingga memberi inspirasi bagi Muhammad dalam menyusun konsep ajaran agamanya. Agama Kristen yang berasal dari selatan Arab banyak menetap di Mekkah dan cukup berpengaruh sehingga mewarnai ajaran Nabi Muhammad.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

08 Mei, 2011

A. Pengertian Tarekat
Dalam memahami pengertian tarekat, sesungguhnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa (etimologi) dan dari segi istilah (terminologi). Pengertian tarekat bila dilihat dari segi bahasa, maka tampaknya ia berasal dari bahasa Arab, yaitu: dari kata thariqah (bentuk jamaknya adalah thuruq) yang berarti jalan atau al-Sabil. Dalam literatur yang berbahasa Inggris, misalnya dalam buku The Encyclopedia of Relegions, rupanya kata tersebut juga diartikan jalan atau road or path . Demikian pula John L. Esposito dalam bukunya The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, ia mengartikan kata tarekat tersebut dalam arti jalan atau path or way .

Selain berarti jalan, kata tarekat tersebut di atas, juga dapat berarti cara atau metode . W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusunnya, di samping kata tarekat itu diartikan jalan, juga telah dikemukakan beberapa artinya yang lain, misalnya dalam arti jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, cara atau aturan hidup dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan, dalam arti sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf . Jadi, dari segi bahasa, kata tarekat itu dapat dipahami dalam arti jalan, cara atau metode. Setelah dikaitkan dengan kata tasawuf, maka ia berarti jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, atau dalam arti sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.

Pengertian tarekat bila dilihat dari segi istilah, kelihatannya telah banyak pakar yang telah merumuskan defenisinya. Di antaranya dapat disebutkan di sini pendapat Harun Nasution. Menurutnya, tarekat itu adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan . Selanjutnya beliau jelaskan,bahwa tarekat itu kemudian mengandung arti organisasi di mana tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan zikir sendiri . H.Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat Kajian Historios tentang Mistik, telah mengemukakan bahwa tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai-berantai. Di samping itu, J. Spencer Trimingham juga telah mengemukakan bahwa tarekat adalah suatu metode praktis untuk membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan, dan tindakan yang terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan maqamat untuk dapat merasakan hakekat yang sebenarnya.

Berdasarkan pendapat sejumlah pakar tersebut di atas, maka telah dapat dipahami, bahwa yang dimaksud tarekat adalah jalan atau metode praktis yang berupa petunjuk dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang diyakini berasal dari Nabi, lalu kemudian berkembang menjadi perkumpulan-perkumpulan dalam bentuk pendidikan kerohanian yang terorganisir di bawah bimbingan seorang Syekh dengan sejumlah murid yang belajar kepadanya. Tarekat sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka orang yang melakukan tarekat sesungguhnya tidak dibenarkan untuk meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru atau syekh yang disebut mursyid. Syekh inilah yang bertanggung jawab, memberikan bimbingan dan mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan rohaniah, terutama dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan berdasarkan Alquran, sunnah Rasul dan ijma’.

Untuk dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak guru atau mursyidnya, melaksanakan perintah dan mengikuti anjurannya. Seorang murid tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan oleh mursyidnya dan harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa atau noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus memperbanyak wirid, zikir, doa dan memamfaatkan waktu seefektif dan seefesien mungkin. Biasanya seorang pengikut tarekat agar dapat melaksanakan aktivitas tarekat dengan baik, ia dimasukkan ke suatu tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyah atau Khanqah yang merupakan tempat ibadah kaum sufi. Ditempat inilah, amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa zikir, wirid, ratib , muzik, dan mengatur cara bernafas pada waktu melaksanakan zikir tertentu.

B. Tarekat-tarekat yang Berkembang di Indonesia dan Ulama Pertama yang Membawanya Masuk ke Negeri ini.
Pada dasarnya Indonesia merupakan lahan yang subur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnnya sejumlah tarekat-tarekat sufi, baik yang digolongkan tarekat sufi yang mu’tabar (terkenal) maupun yang dikategorikan sebagai tarekat lokal. Sejumlah tarekat mu’tabar yang berkembang di negeri yang memperoleh julukan zamrud khatulistiwa ini, ada sumber yang menyatakan sebanyak tujuh buah. Nama-nama ke tujuh buah tarekat yang dimaksud adalah: Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, al-Haddad dan Khalidiyah.
Sejumlah tarekat mu’tabar yang berkembang di Indonesia tersebut di atas, masing-masing didirikan oleh seorang ulama besar lagi kenamaan. Tarekat Qadiriyah misalnya didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166 M.), tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Abul Abbas al Rifa’i (w.578 H./1106 M.), tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Syekh Muhammad bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandiy (w.17-791 H.), tarekat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman (w.1720 M.), tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Syekh Umar Zhiruddin al-Khalwatim (w.1397 M.), tarekat al-Haddad didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad (1044 H.-?), dan tarekat Khalidiyah yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al Khalidi.
Sebenarnya, selain tujuh buah tarekat sebagaimana yang telah disebutkan,masih ada beberapa buah tarekat yang dapat dipandang sebagai tarekat mu’tabar yang berkembang di Indonesia, misalnya tarekat Syattariyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah al-Syattari (w.633 H.), tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas(w.1878 M.), tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al-Tijani (1737-1815 M.), dan tarekat Ahmadiyah atau Idrisiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Idris (1760-1837 M.). Dua buah tarekat yang disebut terakhir, Martin Van Bruinessen menyebutnya tarekat Neo Sufi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

Popular

Popular Posts

Blog Archive