20 Juni, 2010

Kajian tentang haqiqat manusia (ma’rifat al-nafsi) merupakan obyek kajian yang menarik dan tidak kunjung selesai untuk dibicarakan bahkan diperdebatkan. Karena dengan akal yang dimiliki oleh manusia, berpotensi untuk mencari dan mengisi ruang-ruang yang kosong yang belum dijamah oleh manusia yang lain terhadap dirinya. Sehingga pembicaraan tentang manusia ini selalu menjadi dinamis mengikuti frame dan kondisi orang yang sedang berbicara.
Dalam diri manusia, terdapat dua potensi yang bergerak menopang manusia, dua potensi tersebut adalah jasmani dan rohani. Bila manusia ingin kontak langsung dengan Tuhannya, maka manusia menggunakan potensi rohaninya. Karena unsur Ilahiyah yang suci dalam diri manusia (Nur Muhammad) menjadi potensi yang dapat menghubungkan hamba dengan Tuhannya dalam mencapai kehidupan haqiqi dan abadi.
Unsur Ilahiyah merupakan substansi paling suci dalam diri manusia, karena ia berasal dari Tuahan. Jika unsur Ilahiyah tersebut dijadikan pedoman dalam menjalani kehudapan duniawi, maka manusia dapat meraih kehidupan sempurna, mulia dan tinggi di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, kehidupan sufisme sering dijadikan pola kehidupan manusia guna meraih kehidupan manusia yang haqiqi di hadapan Tuhannya. Dalam hal ini, yang menjadi pembahasan dalam makalah ini, yakni konsep Nur Muhammad dan Insan al-Kamil yang beredar di kalangan sufi, khususnya pada zaman Abd. Karim al-Jili.

Biografi Singkat al-Jili
Nama lengkap al-Jili adalah Abd. Karim ibn Ibrahim ibn Abd. Al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Namanya dinisbatkan dengan al-Jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi menurut Goldziher sebagaimana yang dikutip oleh Yunasril Ali, mengatakan bahwa penisbatan bukan pada Jilan, akan tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad.
Tahun kelahirannya adalah awal Muharram 767 H. di Bagdad bertepatan dengan 1365 M. ini disepakati oleh semua penulis yang meneliti riwayat hidup al-Jili. Dan tahun wafatnya 805 H/1402 M.
Sejak usia kanak-kanak ia dibawa orang tuanya berimigran ke Yaman karena situasi politik di Bagdan tidak aman, disanalah ia berguru berbagai disiplin ilmu agama. Tahun 790 H. ia berada di Kusyi, India. Ketika berkunjung ke India ini, al-Jili melihat tasawwuf falsafi Ibnu ‘Arabi dan beberapa aliran-aliran tarekat.
Pada akhir tahun 799 H. ia berkunjung ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Namun dalam kesempatan itu, ia sempat melakukan tukar pikiran dengan ulama di sana. Hal ini menandakan kepada kita bahwa ia mempunyai kecintaan kepada ilmu pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download lengkapnya...

16 Juni, 2010

Berbisnis dengan Allah - Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha atau berbisnis. Karena berbisnis bukan hanya cara untuk mendapatkan uang atau harta melimpah. Akan tetapi, bisnis juga di sebagian kalangan masyarakat adalah status sosial yang dibanggakan. Seorang pebisnis atau pedagang yang suskses biasanya dihormati dan disegani oleh banyak orang; sejak dari keluarga, karyawan, teman dan bahkan pejabat pemerintahan. Di Indonesia dan Negara miskin dan berkembang, pengusaha bisa mengatur keputusan hukum dan atau lahirnya perundang-undangan yang menguntungkan mereka dengan membayar para pejabat terkait, baik eksekutif maupun legislatif. Sebab itu, tak heran jika istilah markus (makelar kasus) hukum akhir-akhir ini semarak dibicarakan masyarakat.

Saking nikmatnya berbisnis itu, banyak dari kalangan kaum Muslimin sendiri yang tidak lagi peduli dengan halal atau haram. Tidak ingat lagi kematian dan pertanggung jawaban akhirat bagi semua harta yang dihasilkan. Risywah (sogok-menyogok), riba, data-data fiktif, sunat menyunat, spekulasi, monopoli dan berbagai tindakan menyimpang lainnya sudah menjadi budaya dan kebiasaan. Lebih sedih lagi, nyaris semua aktivitas dan profesi, termasuk politik, aktivitas keagamaan (dakwah), pelayanan sosial dan sebagainya sudah pula dijadikan sebagai lahan bisnis yang paling cepat melahirkan keuntungan harta yang berlipat ganda. Inilah kenyataan yang amat pahit yang sedang dihadapi oleh umat Islam Indonesia, khususnya sejak 10 tahun belakangan.

Kaum Muslimin rahimakumullah…
Islam sama sekali tidak melarang umatnya berbisnis, dan bahkan menganjurkannya. Akan tetapi, Islam juga memberikan persyaratan atau peraturan agar berbisnis itu tidak keluar dari format ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Paling tidak ada lima (5) syarat yang harus dipenuhi jika kita ingin menjadikan bisnis sebagai profesi untuk meraih harta dan kekayaan dunia :
  1. Berbisnis itu harus dengan niat mencari ridha Allah. Sedangkan harta yang diperoleh adalah amanah dari Allah. Sebab itu, pada hakikatnya, harta itu adalah milik Allah.
  2. Berbisnis harus sesuai dengan sistem Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw. seperti tidak boleh dengan sistem riba, tidak melakukan risywah, kolusi, nepotisme, monopoli, spekulasi dan sebagainya.
  3. Barang dan jasa yang dibisniskan tidak boleh yang diharamkan Allah seperti babi, darah, khamar, judi dan sebagainya serta harus yang dihalalkan Allah dan Rasul-Nya.
  4. Semua aktivitas yang terkait dengan ibadah dan pengabdian kepada Allah, baik yang terkait dengan ibadah individu, sosial kemasyarakatan, atau apa saja yang terkat dengan kategori dakwah dan jihad, tidak boleh atau haram hukumnya dibisniskan, yakni melaksanakannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan dunia, baik yang terkait harta, pangkat, kedudukan, status sosial, pujian dari manusia atau apapun bentuknya.
  5. Di dalam harta yang diamanahkan Allah itu terdapat jatah kaum fakir, miskin dan kebutuhan lain di jalan Allah, baik melalui zakat (wajib), maupun sedekah (infak). Oleh sebab itu, harta bukan untuk ditumpuk di dunia, akan tetapi untuk dibelanjakan di jalan Allah. Atau dengan kata lain, harta adalah jalan terbaik untuk berjihad di jalan Allah.
Berdasarkan lima (5) syarat tersebut, maka manajemen harta, baik yang diperoleh melalui bisnis, bekerja, warisan, hibah dan jalan halal lainnya, pada prinsipnya dapat disimpulkan dengan dua pertanyaan mendasar berikut :
  1. Apa jenisnya, dari mana dan bagaimana cara memperoleh harta tersebut? Dari jalan yang halalkah atau yang haram?
  2. Kemana harta yang diperoleh dengan jalan yang halal itu dibelanjakan? Untuk kepentingan duniakah atau kepentingan akhirat?
Download Lengkapnya...

10 Juni, 2010

Khutbah Jum'at Nikmat Spektakuler Surga - Iman kepada Allah sebagai Pencipta manusia dan alam semesta mendorong kita untuk mudah memahami dan meyakini semua janji-Nya; janji buruk maupun janji baik. Di antara janji baik Allah pada hamba-Nya yang taat pada-Nya dan Rasul-Nya ialah bahwa di akhirat nanti mereka akan mendapatkan surga sebagai kompensasi dan imbalan keimanan dan amal shaleh yang mereka lakukan saat mereka hidup di dunia. Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (yang banyak), bagi mereka (kelak) surga yang mengalir di bawahnya berbagai macam sungai. Itulah kesuksesan yang maha besar (tanpa batas). (Q.S. Al-Buruj : 11).

Surga yang dijanjikan Allah adalah nikmat spektakuler yang tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan semua kenikmatan dunia dengan segala isinya. Bahkan dalam banyak ayat Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah kehidupan yang sedikit dan menipu. Di antaranya seperti yang tercantum dalam surat Ali imran ayat 185, Arro’du ayat 26 dan Al-Hadid ayat 20. Bahkan dalam surat Al-An’am ayat 32 allah menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini hanya permainan dan sendagurau belaka.
Oleh sebab itu, janganlah kita tertipu oleh gemerlap kehidupan dunia ini, sebanyak apapun ia, karena tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehidupan akhirat, yakni surga yang Allah janjikan pada kita.
Orang-orang beriman dan banyak beramal shaleh atau disebut juga dengan orang-orang bertaqwa pasti akan merasakan semua kenikmatan yang dijanjikan Allah pada mereka di dalam surga. Nikmat yang mereka peroleh sungguh tidak terhitung jumlahnya, bersifat abadi (selama-lamanya) dan tidak ada henti-hentinya.
Kaum Muslimin rahimakumullah…

Di antara nikmat yang sangat spektakuler ialah :
1. Melihat Allah.
Kendatipun semua nikmat yang Allah sediakan di surga sangatlah istimewa dan spesifik, di mana belum pernah ada tandingannya di dunia. Namun demikian, melihat Allah adalah nikmat yang terbesar dan spektakuler yang diberikan-Nya kepada para kekasih-Nya yang mendiami surga, sebagai bonus untuk mereka. Siapa yang tidak terharu dan histeris jika melihat Tuhan Penciptanya? Tuhan yang memberi kehidupan di dunia dengan berbagai nikmat dan fasilitas kehidupan yang serba lengkap dan gratis?
Nikmat dan fasillitas tersebut bukan hanya mereka peroleh semasa hidup di dunia, melainkan sepanjang perjalanan wisata yang mereka lewati beribu-ribu tahun dan bahkan berjuta-juta tahun lamanya. Kemudian nikmat dan fasilitas tersebut dilipatgandakan kualitas dan kuantitasnya untuk mereka yang menjadi penghuni surga-Nya. Coba bayangkan, betapa kagum dan ta’zim (hormat)-nya mereka kepada Tuhan Pencipta yang sungguh Maha Pemurah dan Penyayang itu. Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba Tuhan Pencipta, Allah Subhanahu Wata’ala, Raja dunia dan Akhirat memberikan kesempatan kepada mereka untuk melihat-Nya. Allah menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya :
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Bagi orang-orang yang berbuat baik (profesional dalam segala hal), ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya (Q.S. Yunus: 26)
Para ulama menjelaskan kata “زيادة “ (tambahan) pada ayat di atas adalah melihat wajah Allah. Informasinya bersumber dari Abu Bakar Ash- Shiddiq, Khuzaimah Ibnu al-Yaman, Abdullah Bin Abbas, Said ibnu al-Musayyab, segolongan tabi’in dan sejumlah ulama salaf (generasi pertama) dan khalaf (generasi berikutnya).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw. ihwal firman Allah Ta’ala, “Bagi orang-orang yang berbuat baik adalah kebaikan dan “tambahan”. Maka beliau bersabda :
" الحسنى الجنة و الزيادة النظر الى وجه الله عز وجل "
“Yang dimaksud kebaikan adalah surga dan yang dimaksud ‘tambahan’ ialah memandang wajah Allah ‘Azza wa Jalla”.[1]

2. Tidak pernah merasa lelah dan lesu.
Ketika hidup di dunia, dalam sehari semalam, mereka memerlukan tidur dan istirahat minimal empat sampai delapan, karena mudah lelah dan lesu. Sebab itu, berbagai macam obat, vitamin dan nutrisi mereka santap. Namun, di surga, lelah, lesu, letih, kurang semangat dan loyo itu sudah tidak ada. Mereka selama-lamanya fit dan enerjik. Hal ini mereka akui sendiri seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya :
الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ (35)
Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu". (Q.S. Fathir: 35)
3. Nikmat raksasa dan spektakuler lain yang belum pernah mata mereka melihatnya, tidak juga telinga mereka pernah mendengar sebelumnya, dan bahkan belum pernah terlintas dalam benak mereka ialah tersedianya berbagai macam sungai, seperti sungai susu murni, sungai madu yang sudah disaring, sungai air mineral dan sungai khamar.

Semua sungai tersebut membentang sepanjang surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa bahagianya ketika mata mereka menatap sungai-sungai yang beraneka ragam itu. Semua airnya kelas super dan multi guna; diminum oke, dijadikan air mandi sangat cocok dan juga pas untuk segala keperluan mereka di surga. Di samping itu terdapat pula buah-buahan yang amat melimpah ruah, tak terhitung jumlah dan jenisnya.
Download lengkapnya...

07 Juni, 2010

A. Latar Belakang
Istilah bimbingan dan penyuluhan sudah sangat populer dewasa ini dan bahkan sangat penting perannya dalam sistem pendidikan kita dewasa ini, semuanya terbukti karena bimbingan dan penyuluhan telah dimasukkan ke dalam kurikulum bahkan merupakan ciri khas dari kurikulum umum tahun 1975 yang telah dilmulai dan dilaksanakan sejak tahun 1976 di seluruh Indonesia. Bimbingan dan penyuluhan adalah merupakan salah satu komponen dari pendidikan kita, mengingat bahwa bimbinagan dan penyuluhan adalah merupakan salah satu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah dalam rangka meningkatkan mutunya.
Hal ini sangat relevan jika dilihat dari penyusunan bahwa pendidikan itu adalah merupakan upayah dasar yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi-potensinya (bakat, minat dan kemampuan). Kepribadian menyangkut prilaku atau sikap mental dan kemampuan meliputi masalah akademik, prilaku atau sikap mental meliputi keterampilan, tingakat kepribadian dan kemampuan yang dimiliki seseorang adalah merupakan suatu gambaran mutu dari orang yang bersangkutan.
Pada masyarakat yang lebih maju, permasalahan penemuan identitas pada individu semakin rumit. Hal ini diasebabkan karena tuntutan masyarakat maju kepada anggota-anggotanya menjadi lebih berat.

B. Identifikasi Masalah
Dalam pembahasan masalah “dasar-dasar bimbingan dan penyuluhan di sekolah”, maka ada beberapa masalah yang perlu penulis identifikasi, sebagai berikut:
1.Apakah hubungan antara bimbingan dan pendidikan ?
2.Apakah pendidikan merupakan proses perubahan yang terjadi pada individu ?
3.Bagaimana pelaksanaan bimbingan di sekolah ?

PEMBAHASAN TEORI
A. Pengertian bimbingan dan penyuluhan
1. Pengertian bimbingan
Jika dilihat atau ditelaah berbagai sumber akan dijumpai pengertian-pengertian yang berbeda mengenai bimbingan, tergantung dari jenis sumbernya yang merumuskan pengertian tersebut. Bukanlah bermaksud menghapal berbagai pengertian bimbingan itu, tetapi dengan mengetahui beberapa pengertian dan pandangan mengenai bimbingan dapatlah memberikan arti yang lebih jelas tentang bimbingan.
Istilah “bimbingan” adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris “guidance” dalam penggunaan istilah bimbingan itu timbul beberapa kesulitan karena kata “bimbingan” sudah berurat berakar ke dalam bidang pendidikan. Tetapi jika disimak lebih mendalam bimbingan sebagai terjemahan dari guidance mempunyai beberap sisi yang satu dengan yang lain saling berbeda. Maka dari itu, untuk menghindari terjadinya salah tafsir dan kekaburan arti. Perlulah pengertian ini diperjelas.

2. Pengertian penyuluhan
Berdasarkan berbagai rumusan yang dikemukakan oleh para ahli, maka pengertian tentang penyuluhan atau konseling akan semakin lebih jelas walaupun dari beberapa rumusan yang dikemukakan itu terdapat persamaan pendapat dan perbedaan pandangan atau titik tolak.
Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyuluhan ialah: hubungan timbal balik antara konsoler dengan klien dalam memecahkan masalah tertentu dengan wawancara yang dilakukan secara “face to face” atau dengan cara-cara yang sesuai dengan keungan keadaan klien sehingga klien sanggup mengemukakan isi hatinya secara bebas, yang bertujuan agar klien dapat mengenal dirinya sendiri, menerima dirinya sendiri dan mengutarakan diri sendiri dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya, membuat keputusan pemilihan dan rencana yang bijaksana serta dapat berkembang dan berperan lebih baik dan optimal dalam lingkungannya.

Catatan:
Makalah di atas hanya garis besarnya saja, silahkan download selengkapnya...

28 Mei, 2010

Al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan secara umum. Pada sisi lain, ia adalah seorang kutub tasawuf, pejuang spritual dan tokoh pendidikan serta tokoh dakwah. Di sisi lain pula, ia termasuk filosof, terlihat dengan banyaknya karya-karya dan tulisannya di bidang filsafat.
Al-Ghazali banyak memberikan kritikan terhadap pemikir filosof yang lain, maka sebagian ahli dalam sejarah menganggap bahwa al-Ghazali bukan seorang filosof, bahkan ada yang menuduh bahwa yang menyebabkan stagnasi pemikiran Islam adalah akibat dari pemikiran al-Ghazali. Namun, menurut Nucholish Madjid bahwa apabila melihat kitab karya al-Ghazali, yaitu Maq±sid al-Falasifah merupakan salah satu bukti nyata bahwa ia adalah seorang filosof, karena pemahaman yang mendalam terhadap filsafat. Sedangkan kitab yang berjudul Tah±fut al-Falasifah adalah bukti lain atas penguasaannya terhadap ilmu filsafat. Dari kitab ini disinyalir mampu mewarnai kehidupan filsafat di dunia Islam dan menentukan jalannya sejarah pemikiran umat Islam berikutnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini penulis akan memaparkan pemikiran al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang telah mengkritik para filosof dalam tiga masalah, yakni:
1. Qadim-nya alam.
2. Kebangkitan jasmani.
3. Pengetahuan Tuhan.

Catatan: Download Selengkapnya...

17 Mei, 2010

A.Latar Belakang
Islam sebagai sistim yang lengkap dan utuh memberi tempat bagi penghayatan keagamaan dan esoteris sekaligus. Meskipun Islam menempatkan prinsip keseimbangan kedua bentuk penghayatan tersebut, namun dalam kenyataannya penekanan pada salah satu bentuk penghayatan itu sulit dihindarkan. Hal demikian tercatat dalam sejarah pernah menjadi pemicu timbulnya polemik antara sufi dan ahli syari’at.
Sejak munculnya doktrin fana dan ittihad, terjadinya pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya, sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah meningkat pada penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan transformasi melalui mi’raj spiritual kealam Ilahiyah. Bersamaan dengan hal tersebut, terjadinya pula pro dan kontra terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik interen sufisme maupun dengan teolog dan fuqaha.
Akibat dari perbenturan pemikiran itu, maka sekitar abad III H. tampil al-Junaid (w. 297 H.) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam.
Al-Gazali pada awalnya adalah seorang pemikir Islam (mutakallimin dan filosof), ketika suasana pemikiran di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan semangat keagamaan yang tinggi. sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia dalam usaha mencapai kebenaran yang diyakininya, menempuh proses yang panjang dengan jalan mempelajari seluruh sistem pemahaman keagamaan yang ada pada masanya.

PEMBAHASAN
A.Riwayat Hidup al-Gazali (1058-1111 M)
Sebelum memasuki pembahasan pokok, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan riwayat hidup al-Gazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Gazali diberi gelar “Hujjatul Islam”. Lahir pada tahun 1058 M. di Thus provinsi Khurasan wilayah Persi atau Iran, lebih dikenal dengan nama Imam al-Gazali. Muhammad ayah al-Gazali sebagai pengusaha kecil, yang keberhasilan kecil menyebabkan keluarganya, namun dia seorang pecinta ilmu yang mempunyai cita-cita besar. Muhammad senantiasa memohon kepada Allah agar di karunia anak-anak yang berpengetahuan dan ahli ibadah. Dia pun sering berkunjung dan berkhidmat kepada ulama. Ia telah meninggal ketika ketika al-Gazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Sebelum akhir hayatnya, ayahnya telah menitipkan dan mempercayakan kedua putranya itu kepada salah seorang sahabatnya, yaitu seorang sufi yang baik hati untuk mendidik mereka. selanjutnya kedua anak tersebut mendapatkan bimbingan berbagai cabang ilmu khususnya tentang dasar-dasar ilmu tasawuf.
Ketika sufi yang mengasuh al-Gazali dan sudaranya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu itu. Antara tahun 465-470 H. al-Gazali belajar fikih dan ilmu lainnya kepada Ahmad Radzakani di Thus dan selama 3 tahun ditemapt kelahiranya ini ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nasary (w.487 H), pada tahun 473 H. ia pergi ke Naisaburi untuk belajar di Madrasah al-Nizamiyah. Di sinilah al-Gazali berkenalan dengan al-Juwaini, sebagai tenaga pengajar, ia kemudian belajar ilmu kalam dan ilmu mantiq. Menurut Abd. Gaffar bin Ismail al-Farisi, al-Gazali menjadi pelajar yang paling pintar di zamanya, dan ia tetap setia kepada gurnuya sampai wafat.
Catatan:
Download Selengkapnya...

05 Mei, 2010

Uhhh.....
Sebenarnya banyak yang mau kuceritakan selama kegiatan MTQ Propinsi NTB ini tapi hingga kini kondisi belum fit. Gimana mau fit kalau selama perjalan dari lombok timur hingga sape, saya muntah-muntah karena mabuk darat.... hehehehe...
ok, pada posting ini hanya kuceritakan dan tampilkan dokumentasi dari hasil lomba.
Alhamdulillah kafilah kami dari Kabupatem Bima keluar sebagai Juara UMUM pada MTQ kali ini (tahun 2010).

Kebetulan saya sendiri utusan kafilah kabupaten Bima dalam cabang Khattil Qur'an bidang penulisan naskah. Alhamdulillah ga dapat juara hehehe...











20 April, 2010

Tadi sore - menghadiri acara resepsi pernikahan, beberapa sahabat, masih penasaran dengan arti yang dikatakan oleh penyampai kata sambutan keluarga, yaitu Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. Kebetulan saya guru bahasa Arab, jadi tau arti secara sempit, sebagaimana yang saya uraikan pada sahabat-sahabat tadi.
Namun setelah buka kembali file di laptop, ada artikel tentang ini, tp sudah berupa file doc. sehingga tak tau dari mana sumber artikel ini dulu. mari lanjut ke makna dari kata tersebut. Semoga membantu.

Sakinah

Kata sakinah berasal dari bahasa Arab (سكينة), yang berarti tenang, tenteram, damai, terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan penghargaan.

Kata "sakinah" juga sudah diserap menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sakinah bermakna kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan.

Mawaddah

Kata mawaddah juga berasal dari bahasa Arab (مَوَدَّة). Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu kepada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kemulusan fisik, tubuh yang seksi; atau muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya.

Biasanya mawaddah muncul pada pasangan muda atau pasangan yang baru menikah, dimana corak fisik masih sangat kuat. Alasan-alasan fisik masih sangat dominan pada pasangan yang baru menikah. Kontak fisik juga sangat kuat mewarnai pasangan muda. Misalnya ketika seorang lelaki ditanya, "Mengapa anda menikah dengan perempuan itu, bukan dengan yang lainnya?" Jika jawabannya adalah, "Karena ia cantik, seksi, kulitnya bersih", dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah mawaddah.

Demikian pula ketika seorang perempuan ditanya, "Mengapa anda menikah dengan lelaki itu, bukan dengan yang lainnya ?" Jika jawabannya adalah, "Karena ia tampan, macho, kaya", dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah yang disebut mawaddah.

Kata mawaddah juga sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi mawadah (dengan satu huruf d). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mawadah bermakna kasih sayang.

Rahmah

Rahmah berasal dari bahasa Arab(رحمة). yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, juga rejeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap melindungi yang dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Bisa dikatakan rahmah adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang sudah berada di luar batas-batas sebab yang bercorak fisik.

Biasanya rahmah muncul pada pasangan yang sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat kuat, saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima, saling memahami. Corak fisik sudah tidak dominan.

Misalnya seorang kakek yang berusia 80 tahun hidup rukun, tenang dan harmonis dengan isterinya yang berusia 75 tahun. Ketika ditanya, "Mengapa kakek masih mencintai nenek pada umur setua ini?" Tidak mungkin dijawab dengan, "Karena nenekmu cantik, seksi, genit", dan seterusnya, karena si nenek sudah ompong dan kulitnya berkeriput.

Demikian pula ketika nenek ditanya, "Mengapa nenek masih mencintai kakek pada umur setua ini?" Tidak akan dijawab dengan, "Karena kakekmu cakep, jantan, macho, perkasa", dan lain sebagainya; karena si kakek sudah udzur dan sering sakit-sakitan. Rasa cinta dan kasih sayang antara kakek dan nenek itu bahkan sudah berada di luar batas-batas sebab. Mereka tidak bisa menjelaskan lagi "mengapa dan sebab apa" masih saling mencintai.

Kata rahmah diserap dalam bahasa Indonesia menjadi rahmat (dengan huruf t). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata rahmah atau rahmat bermakna belas kasih; kerahiman; karunia (Allah); dan berkah (Allah).


Dalam sejarah dunia filsafat, Yunani merupakan tonggak pangkal munculnya pemikiran filsafat yang mulai tumbuh dan berkembang di beberapa kota. Pemikiran filosof itu kemudian masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir.
Budaya dan filsafat Yunani masuk ke negeri-negeri tersebut dengan adanya ekspansi Alexander yang agung yang dalam bahasa Arab disebut Iskandar Zulkarnain. Ekspansi tersebut terjadi pada abad ke-4 sebelum Masehi.
Setelah Alexander dapat menaklukkan negeri-negeri tersebut, ia kemudian membuat kebijaksanaan politik untuk menyatakan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia. Pengaruh kebijaksanaan tersebut meninggal-kan bekas yang besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya hingga kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexanderia di Mesir, Jundisapur di Mesopotamia dan Bacha di Persia.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani dalam dunia Islam belum nampak jelas sebab perhatian lebih dipusatkan pada kebudayaan Arab. Namun, setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Yunani nampak lebih jelas karena pada waktu itu orang-orang yang duduk di pemerintahan pusat bukan hanya dari kalangan Arab, tetapi juga orang-orang Persia yang banyak berkecimpung dengan budaya Yunani.

A. Biografi al-Farabi
Nama lengkapnya ialah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalgh. Di kalangan orang-orang Latin abad tengah, al-Farabi lebih dikenal dengan nama Abu Nashr (Abunaser),1 sementara di kalangan masyarakat Eropa ia lebih dikenal dengan al-Farabius, juga Avennaser.2 Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab (sekarang dikenal dengan kota Attar) Turkistan, dimana ia dilahirkan pada 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan Iran, sementara ibunya berkebangsaan Turki.3
Sejak kecil al-Farabi sudah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa terutama di bidang bahasa, khususnya bahasa Persia, Turkistan dan Kurdistan. Nampaknya, ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.4
Dalam usianya yang masih sangat muda, al-Farabi bersama ayahnya pergi ke Baghdad yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan. Pada mulanya, ia memusatkan perhatiannya di bidang logika dan tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) pada Abu Bakar al-Sarraj. Setelah itu, ia kemudian pindah ke Harran, lalu kembali lagi ke Baghdad untuk belajar filsafat. Di sana al-Farabi menetap selama kurang lebih 30 tahun. Waktu puluhan tahun itu digunakannya untuk belajar filsafat, matematika, kedokteran dan bahasa Arab, sekaligus mengajar dan menulis karya-karyanya.5
Pada 330 H/942 M al-Farabi pindah ke Damsyik karena mendapatkan undangan dari pemerintah Syi’i Hamdani, Sayf al-Dawlah dan tinggal bersama para pengikutnya serta beberapa rekannya di Halab (Aleppo) sampai akhir hayatnya pada 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.6
Al-Farabi adalah eksponen filsafat Neo-Platonis muslim yang dimulai oleh al-Kindi dan dilanjutkan kemudian oleh Ibnu Sina. Al-Farabi boleh dikatakan sebagai ensiklopedi hidup. George Sarton – sebagaimana yang dikutip oleh Jamil Ahmad – menulis, “Ia mengenal segenap pemikiran ilmiah pada zamannya”.7
Al-Farabi dianggap sebagai “hujjat al-mantiq” (ahli logika) dan guru besar dalam ilmu filsafat dan ilmu metafisika.8 Filsafat al-Farabi merupakan sinkretisme antara Platonisme, Aristotelisme dan Sufisme. Gagasannya di bidang ini mempunyai pengaruh yang sangat luas dan dalam. Menurut ‘Allamah ibn Khan, “Tidak ada seorang muslim pun yang bisa menyamai taraf ilmu filsafat al-Farabi, hanya dengan menelaah gagasannya dan meniru gaya tulisannya akhirnya Ibnu Sina bisa mencapai kemahiran dan kecerdasan yang menyebabkan karyanya sendiri berguna”.8 Disamping pada Ibnu Sina, pengaruh al-Farabi bisa diusut pada karya-karya pemikir dan pujangga Islam seperti Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, Fakhruddin Razi, Ibn Haytam, Ibn Miskawaih, Jalaluddin Rumi dan al-Ghazali.

B. Filsafatnya
Sebagai pembangun sistem filsafat, khususnya filsafat Islam,9 al-Farabi membaktikan diri untuk berfikir dan merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan kekisruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah risalah penting. Di samping murid-murid yang belajar secara langsung, banyak pula orang yang mempelajari karya-karyanya sepeninggalnya, bahkan menjadi pengikutnya. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya.
Filsafat al-Farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda dengan para filosof lainnya. Ajaran-ajaran para filosof terdahulu diambilnya, lalu ia bangun kembali dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan kemudian disusunnya menjadi sedemikian sistematis dan selaras. Al-Farabi adalah seorang yang logis baik dalam pemikirannya, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Filsafatnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang keliru dan mungkin juga berisi beberapa hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan modern, namun ia mempunyai peranan penting dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Berikut ini akan diuraikan secara singkat unsur-unsur penting filsafatnya.
1. Filsafat al-Faydh (emanasi)
Salah satu filsafat al-Farabi yang terkenal ialah filsafat al-faydh (emanasi)10 yang menyebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Teori ini membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al-wujud (Tuhan). Hal itu karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.11 Dengan kata lain, Tuhan sebagai al-Maujud al-Awwal merupakan sebab pertama bagi segala yang ada.
Seperti halnya Plotinus, al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa, karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari zat Tuhan itu berbilang, berarti zat Tuhan itu pun berbilang. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya sesuatu itu.12
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikan. Jadi, meski-pun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.13
Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah akal yang kedua. Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda langit terjauh (al-sama’ al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi dari dua obyek pengetahun yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu benda langit dan jiwanya. Dari akal kedua timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) beserta jiwanya dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama. Dari akal ketiga keluar-lah akal keempat dan planet Saturnus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan Matahari (al-Syams) beserta jiwanya. Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus (al-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh dan Bulan (Qamar). Dengan demikian, dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.14

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka Download lengkapnya...

16 April, 2010

Khutbah jum'at Merancang Kematian - Rutinitas kehidupan terkadang menyebabkan kita lupa pada kematian. Padahal, kematian itu adalah sebuah peristiwa besar yang pasti kita alami dan rasakan. Kematian adalah sunnatullah (sistem Allah) bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya :
لُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamatlah akan disempurnakan balasan (amal) kalian. Maka, siapa yang (hari itu) dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah sukses besar. Dan tidak adalah kehidupan dunia ini kecuali (sedikit) kenikmatan yang menipu. (QS. Ali Imran : 185)

Jika kematian itu adalah sautu kebenaran yang pasti kita rasakan, maka mengapa kita seakan acuh-tak acuh saja padanya? Mengapa kita seakan melupakannya? Mengapa kesibukan menjalani kehidupan sementara di dunia ini menyebabkan kita seakan tidak maksimal dalam menghadapi kematian?

esibukan kita dalam menjalani kehidupan sementara ini, benar-benar telah memalingkan hati dan pikiran kita dari kematian; satu peristiwa besar yang pasti menimpa diri kita semua. Hal tersebut terbukti bahwa konsentrasi kita mengumpulkan harta, menambah jumlah tabungan bank, mencari berbagai sumber uang untuk merancang dan membangun rumah di dunia dan berbagai kebutuhan hidup lainnya melebihi konsentrasi kita merancang kematian itu sendiri. Padahal kematian adalah suatu kepastian. Hampir setiap hari kita melihat kematian. Sedangkan kematian adalah penentu keberhasilan atau kegagalan dalam perjalanan panjang kita menuju Allah Tuhan Pencipta alam.

Oleh sebab itu, mari kita fokuskan hidup kita untuk merancang kematian, dengan cara mendesain hidup ini semuanya hanya untuk Allah dan dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya. Berbahagialah orang-orang yang diberi Allah kemudahan untuk mendesain semua aktivitas hidupnya hanya untuk Allah dan dapat dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul Muhammad Saw. Sebaliknya, celakalah orang-orang yang memilih jalan hidupnya selain jalan Allah, semua aktivitas hidupnya bukan untuk Allah dan dijalankan di luar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Download lengkapnya...

15 April, 2010

Menyambut Kematian - Kematian adalah suatu kepastian. Ia akan datang tepat waktu, tanpa bisa dimajukan atau diundurkan, kendati barang sedetik. Saat menghadapi kematian, petugas pencabut nyawa, Malakul Maut akan menyelesaikan tugasnya dengan sangat sempurna. Jika Anda adalah orang yang sukses menjalankan Misi Ibadah dan Visi Khilafah dengan baik ketika hidup di atas bumi Allah ini, maka Malakul Maut datang dengan penampilan yang sangat sopan, berpakaian putih bersih dengan aroma harum kasturi. Sambil tersenyum ia mencabut nyawa dari badan Anda dengan sangat hati-hati sehingga nyaris tidak Anda rasakan.
Ketika Anda menghembusakan nafas terakhir sambil mengucapkan لآ الــه الا اللــه (Tiada tuhan yang pantas disembah selain Allah), orang-orang di sekitar Anda akan melihat wajah Anda yang berseri-seri sambil tersenyum simpul. Anda bisa tersenyum karena mengetahui bahwa Anda adalah orang yang akan meraih Great Success (Kesuksesan Tanpa Batas), yakni akan masuk syurga, insya Allah.
Suasana di sekeliling Anda tiba-tiba berubah menjadi isak tangis dan kesedihan yang mendalam yang diekspresikan oleh anak, isteri, karib kerabat, sahabat, teman sejawat Anda yang sempat hadir menyaksikan peristiwa perpisahan sementara dengan Anda. Suasananya sangat kontras dengan ketika Anda memasuki fase kehidupan dunia, yakni ketika lahir sekian puluh tahun yang lalu. Ketika itu, Anda yang berteriak menangis sejadi-jadinya, sedang orang-orang yang ada di sekitarnya malah tersenyum dan tertawa. Sekarang suasana jadi terbalik, giliran Anda yang tersenyum dan mereka yang menangis sejadi-jadinya.

Sebaliknya, jika Anda adalah orang yang gagal menjalankan Misi Ibadah dan Visi Khilafah semasa mendapat jatah hidup di dunia, Izrail (Malakul Maut) akan datang kepada Anda dengan wajah yang marah, garang, hitam pekat dan berbau busuk. Ia akan memperlakukan Anda dengan sangat kasar sambil membentak-bentak dan berkata : Wahai Hamba Allah, Inilah balasan awal dari kegagalanmu dalam menjalankan Misi Ibadah dan Visi Khilafah, karena kesombongan diri, pembangkangan dan kedurhakaan pada Tuhan Pencipta, Allah Rabbul ‘Alamin. Download lengkapnya...

23 Maret, 2010

Mengukir Prestasi Dihadapan Ilahi - Telah dimaklumi bahwa, manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia di negara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua. Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, artinya:“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Disebutkan dalam ayat ini bahwa kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama, tidak ada perbedaan. Adapun yang membedakan di antara mereka adalah dalam urusan diin (agama), yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
لَيْسَ ِلأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِالدِّيْنِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).
“Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”

Ma’asyiral muslimin jama’ah Jum’ah rahimakumullah ...
Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikembangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan. Namun, kalau kita renungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia. Download lengkapnya...

20 Maret, 2010

Nama lengkapnya adalah Abu Yasid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, ia lahir di daerah Bustan (Persia) yang terletak di propinsi Qumis pada tahun 188 H/804 M, nama kecilnya ialah Taifur. Kakeknya bernama Bostam, Abu yazid adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang tertua bernama Surusyan, seorang penganut agama zoroaster, kemedian memeluk agama islam di Adam kemudian Taifur (Abu Yazid) dan yang mudah bernama Ali. Ketiganya tergolong orang-orang yang ahli zuhud dan ahli ibadah. Hanya saja diantara ketiganya Abu yazid yang tinggi tingkatannya.
Sejak dalam kandungan konon kabarnya Abu Yazid telah memiliki kelainan, Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu yazid akan memberontak sehingga ibunya akan muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kahalalannya. Sewktu mencapai usia remaja, Abu yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Di suatu ketika gurunya membacakan ayat Al-qur’an surah luqman yang artinya:”barterimah kasihlah kepada aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorng sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum menjadi seorang sufi, ia telah manjadi fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang tarkenal adalah Abu Ali As-Sindi ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya. Dalam menjalani kehidupan aebagai seorang sufi selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur makan dan minum yang sedikit saja. Abu Yazid termasuk pembesar sufi di Baghdad pada abad ketiga hijriah. Ia memiliki sejarah kehidupan yang mengagumkan dan prilaku yang kadang-kadang sulit untuk di terima akal. Ini semua tidak terlepas dari peran orang tuanya yang sejak dini mengarahkan Abu Yazid untuk mendalami ilmu-ilmu Agama. Dalam sejarah di katakan bahwa ia pernah berguru kepada 113 orang alim.
Abu Yazid maninggalkan Bistam, merantau dari suatu negeri ke negeri lain selama 30 tahun dan melakukan disiplin diri dengan berpuasa disiang hari dan bertirakat sepanjang malam. Dalam pengembaraannya Abu Yazid selalu melakukan mujahadah (peniadaan nafsu diri) kepada Allah dan selama itu pula menurut pengakuannya tidak ada yang lebih sulit dari pada mempelajari ilmu teologi dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Di riwayatkan bahwa Abu Yazid berkata”aku pergi keMekkah dan melihat sebuah rumah (Ka’bah) berdiri sendiri aku berkata” hajku tidak diterima karena aku telah melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi lalu aku melihat rumah itu dan juga tuhannya rumah itu, aku berkata ini bukan peng-esaan (tauhid) yang hakiki. Aku pergi ketiga kalinya dan hanya melihat Tuhannya, suara dalam hatiku berkata,” wahai Abu Yazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik, walaupun engkaun melihat dirimu sendiri maka engkau adalah seorang musyrik, walaupun negkau buta terhadap jagad raya. Maka dari itu aku bertaubat lagi dan taubatku yang kali ini adalah bertaubat dari memandang wujudku sendiri. Dalam perjalanannya keMekkah memakan waktu 12 tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia berjumpa dengan seorang pengkhutbah. Yang memberikan pengajaran, Abu Yazid segera membantangkan sejadahnya dan melakukan shalat sunnat.
Pada tahun berikutnya ia menunaikan ibadah haji, ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Disebuah kota dalam perjalanan, ada serombongan besar yang telah menjadi pasirnya ketika ia meninggalkan Mekkah, banyak orang yang mengikutinya, dan ketika Abu Yazid bertanya kepada mereka, mereka menjawab bahwa mereka igin berjalan bersamana dan menjadi pengikutnya. Melihat kenyataan itu Abu Yazid memohon kepada Allah, agar Allah tidak menutup penglihatan hamba-hamba-Nya karena dirinya dan agar dirinya tidak mejadi penghalang bai mereka, kemudian Abu Yazid melakukan shalat al-subh dan setelah selesai tiba-tiba dari mulutnya keluar ungkapan yang ganjil, ia berkata “sesungguhnya aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain aku dan karena itu sembahlah aku!” mendengar ucapan Abu Yazid yang demikian itu. Kemudian orang-orang tersebut merasa kesal dan menganggap bahwa Abu Yazid adalah ornag gila, oleh karena itu mereka meninggalkan Abu Yazid, meskipun demikian kejadian itu sama sekali tidak menggoyahkan niat Abu Yazid untuk meneruskan perjalanannya menujuh Madinah.
Setalah kembali dari Madinah ia pulang keBisham untuk menemui Ibunya, sesampinya disana disaat tengah malam ia mendengar ibunya berdoa, Abu Yazid menangis lalu mengetuk pintu, ibunya bertanya siapa itu, kemudian ia menjawab anakmu yang terbuang, lalu ibunya membuka pintu dan matanya menjadi kabur, ibunya berkata kepada Abu Yazid “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur, karena aku telah sedemkian banyaknya menteskan air mata sejak berpisah denganmu, punggungku telah bengkok karena beban duka kutangguhkan itu.”
Abu Yazid merupakan tokoh sufi yang membawa ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang di bawanya banyak di tentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian ia memperolah banyak pengikut percaya kepada ajarannya. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tayfuriyah suatu kelompok yang dinisbatkan pada pemimpinnya yaitu Taifur Abu Yazid Al-Bustami. Ia juga merwayatkan sebagai hadits-hadits Nabi SAW dan ia mengikuti mazhab Abu Hanifah atau imam Hanafi.

AJARAN TASAWUF ABU YAZID AL-BUSTAMI
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Al-fana, Al-baqa dan Al-ittihad. Sebagai mana di ketahui Abu Yazid tidak menuliskan ajaran-ajaran tasawufnya dalam buku tertentu yang dapat digunakan sebagai sumber primer bagi sebuah penelitian, ajaran-ajarannya banyak di tulis oleh para pengikutnya.
al-fana dan al-baqa.
Abu Yazid adalah sufi yang pertamakali memperkenalkan paham al-fana dan al-baqa dalam tasawuf. Ia senantiasa dekat dengan Tuhan. Abu Yazid mencari-cari jalan untuk dekat dangan Tuhan. Ia berkata “aku bermimpi melihat tuhan, akupun bertanya” Tuhanku bagaimana jalan untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab tinggalkanlah dirimu dan kemarilah!.
Dari situlah pertama kali di kenalkan al-fana, dari segi bahasa fana berasal dari kata faniyah yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya di artikan sebagai keadaan moral yang luhur. Menurut Abu Bakar Al-kalabadzi. Fana adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana di capai setelah meninggalkan segala keinginan kepada Allah SWT bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan.
Adapun baqa berasal dari kata bagiah, arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah taswuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana, karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Ketika seorang sufi mengalami fana, ketika itu pula ia mengalami baqa, menurut Harun Nasution, paham al fana dan al baqa Abu Yazid tersimpul dalam kata-katanya:
اَعْرِفُهُ بِي حَتَّي فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَ فْتُهُ بِهِ فَحَيَّيْتُ
Artinya: “aku tahu melalui diriku, sehingga aku mati, kemudian aku tahu
Kepada-Nya melalui dari-Nya maka akupun hidup.”
Dari ungkapan tersebut tersirat suatu pemahaman bahwa ketika sedang mengalami al-fana, Abu Yazid tidak menyadari sesuatu (sekan-akan ia telah mati). Akan tetapi, pada saat itu juga ia merasa hidup dengan Allah dan hanya Allah yang ada dalam kesadarannya. Ketika Abu Yazid mulai berada di hadirat Tuhan, dalam pengetahuannya ia merasa bahwa Tuhan adalah dia dan dia Tuhan dan pada seperti inilah keluar kata-kata di mulut Abu Yazid ucapan-ucapan yang belum pernah di dengar dari sufi sebelumnya, di antara ucapannya misalnya: “aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena engkau adalah raja yang mahakuasa.”
Kondisi dan macam ini tidak terjadi kecuali jika al-arif (sufi) telah tertarik secara menyeluruh pada Allah sehingga ia tidak menyaksikan selain Allah. Kesadaran akan pribadinya telah hilang,ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia karena kesadarannya telah menyatu dengan khadirat Allah (kehendak Allah), bukan menyatu dangan wujud-Nyan.
Dengan demikian, dapat di ambil pernyataan akhir bahwa al-fana menurut Abu Yazid adalah sirnanya kesadaran akan diri dan alam sekitarnya karena kesadarannya telah menyatu dengan kehendak Allah, sementara al-baqa merupakan perasaan tahap hidup terus dengan Allah setelah terjadinya al-fana.
Al Ittihad
Paham al ittihad dalam istilah Abu Yasid di sebut dengan tajrid-al fana fil al-tauhid, yaitu penyatuan dengan Allah tanpa di perantarai oleh suatu apapun, ungkapan Abu Yasid tantang peristiwa mi’rajnya berikut akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan : “ pada suatu ketika Tuhan menaikkan dan menampakkan aku di hadirat-Nya, ia berkata padaku “ wahai Abu Yasid makhlukku ingin melihat engkau, aku menjawab hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, dan dandani aku dengan ke-akuan-Mu, dan angkatlah aku dengan ke-esaan-Mu sehingga kalau makhlukmu memandangku mereka akan berkata, kami telah menyaksikanmu, tapi sebenarnya yang mereka lihat adalah engkau dan aku tidak ada di sana.
Ungkapan Abu Yasid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya al Ittihad, dalam hal al-ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah suatu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa bersatu dirinya dengan tuhan. Bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sesungguhnya ada dua wujud, maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan tuhan.
Abu Yasid pernah berkata tatkala dalam tahapan ittihad artinya : Tuhan berkata, semua mereka kecuali engkau adalah makhluk, akupun berkata, engkau adalah aku dan aku adalah engkau.
Dalam riwayat : suatu ketika seseorang melewati rumahnya Abu Yasid dan ia mengetuk pintu, abu yasid bertanya siapa yang engkau cari ? orang itu menjawab Abu Yasid. Abu Yasid berkata, “ pergilah dirumah ini tidak ada Abu Yasid kecuali tuhan yang maha kuasa dan maha tinggi.
Dari ungkapan ungkapan seperti itulah yang membuat Abu Yasid selalu keluar masuk penjara, karena perkataannya yang membingungkan orang orang awam.

Catatan:
Download lengkapnya...

Popular

Popular Posts

Blog Archive