17 Januari, 2012


Pendahuluan
Pada awal Abad ke 20 dikenal sebagai masa kebangkitan nasional di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan nasional bangsa Indonesia yang menjelma dalam bentuk organisasi. Hal ini tampak tatkala didirikan “Budi Utoma” pada tahun 1908 oleh Dr. Sutomo, dan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi serta Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Amin Rais mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang merupakan suatu fenomena modern. Ciri kemoderenan dari organisasi ini menurutnya ada tiga hal pokok; Pertama bentuk gerakannya yang terorganisir, kedua aktivitas pendidikannya yang mengacu pada model sekolah modern untuk ukuran zamannya dan ketiga pendekatan teknologi yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas organisasi terutama amal usahanya. Selanjutnya Nur Ahmad mengatakan bahwa Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai fenomena baru dari wajah Islam abad ke 20 yang kemudian melahirkan modernisme Islam Indonesia.

Adapun Deliar Noer mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah salah sebuah organisasi Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai pada era sekarang ini.
Dari pernyataan-pernyataan para ilmuan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan organisasi sosial keagamaan modern dalam Islam.
Disinyalir bahwa organisasi Sarekat Dagang Islam lahir didirikan oleh sekelompok santri untuk memainkan peranan dalam bidang perdagangan dan politik. Kehadiran Muhammadiyah yang notabene dirintis juga oleh kaum santri yang memegang sebahagian besar tanggung jawab umat dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Lahirnya berbagai organisasi di atas sudah barang tentu berfungsi sebagai suatu langkah yang diambil untuk merespon tuntutan zaman demi kepentingan masyarakat muslim.

Namun demikian Muhammadiyah dalam kurun waktu perjalanan sejarah hampir 1 abad lamanya sejak didirikannya pada tahun 1912 sampai saat ini kenyataannya membuktikan bahwa apa yang telah dirintis sebagai hal baru di masa lalu dengan penuh susah payah kini telah menjadi milik masyarakat umum, bahkan organisasi ini, kini ternyata dilanda gejala pengaburan eksistensi. Ia kini tidak banyak dikenal orang, dengan kata lain eksistensinya hanya dirasakan oleh sebahagian pengurus dan para anggotanya. Sementara di luar komunitas secara bersamaan maupun berurutan, umat kini dalam kondisi kritis menanti jawaban Muhammadiyah terutama realitas pemikiran dalam menghadapi tantangan baru.
Permasalahannya adalah bagaimana eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dalam Islam atau gerakan sosial keagamaan, yang dinamis dan realistis di tengah-tengah perubahan masyarakat modern? Pertanyaan yang problematika tersebut muncul sebagai cerminan akan keprihatinan masyarakat terhadap ketidak berdayaan organisasi Islam alam mengantisipasi berbagai persoalan umat sebagai tanggung jawab moril dan struktural

Tinjauan Historis Lahirnya Muhammadiyah
A. Latar belakang
Peranan K.H. Ahmad Dahlan cukup jelas, ia mendirikan organisasi persyarikatan Muhammadiyah tanggal 8 Dzulhijah 1330 H atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Sebagai gerakan Islam di dalam diri persyerikatan tersebut dititipkan amanah pembaharuan masyarakat, bangsanya berdasarkan cita-cita Islam.
Ketika Muhammadiyah didirikan umat Islam berada dibawah belenggu cengkraman penjajahan, kebekuan pemikiran keagamaan, rendahnya mutu pendidikan terlebih lagi jika dibandingkan dengan dunia pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial dan yayasan Katolik / Protestan. Dalam bidang pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo dan lain sebagainya mengalami nasib yang sama. Belum lagi situasi umum umat Islam yang sangat mengkhawatirkan seperti kebodohan, Keterbelakangan dan kemiskinan.
Dalam situasi tersebut di atas, muncullah ide untuk mendirikan suatu persyarikatan guna merespon tantangan Zaman tersebut dalam wujud pendirian sebuah “organisasi” yang menampakkan ciri khas model gerakan pembaruan keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia merupakan pioner, di samping sarekat Islam (SI).

Dalam bahasa HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini pertama Keterbelakangan dan kebodohan umat Islam di Indonesia pada semua aspek kehidupan, kedua kondisi kemiskinan yang parah yang dialami oleh umat Islam, Ketiga kondisi pendidikan Islam yang sudah amat kuno seperti yang telihat dalam pesantren.
Sedangkan Mustafa Kamal Pasyha mengatakan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.
Pertama : Faktor subyektif yakni hasil dari perenungan, penelaahan, pembahasan dan pengkajian yang mendalam Ahmad Dahlan terhadap al-Quran
Kedua : Faktor obyektif yang bersifat internal yakni ketidak murnian amalan umat Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an an Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebahagian besar umat Islam, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam ketika itu belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengembang misi selaku khalifah Allah di atas bumi.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal yakni semakin meningkatknya gerakan kristenisasi di Indonesia. Penetrasi bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia khusunya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia
Hadirnya Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, lepas pengaruh paham Modernisme Islam Timur Tengah yang dipelopori oleh ulama Cendikiawan Mesir “ Muhammad Abduh”
Muhammad Abduh secara khusus berpandangan bahwa kaum muslimin dapat bersatu hanya dengan mengikuti prinsip-prinsip Islam yang benar dan meninggalkan bid’ah dan khurafat-khurafat yang umumnya dianggap sebagai bagian integral agama. Selanjutnya berpendapat bahwa cara paling tepat untuk menjawab tantangan barat adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan masyarakat Islam sambil memegang teguh sumber-sumber Islam yang asli.
Juga tatkala pentingnya adalah adanya pertentangan internal masyarakat Jawa, dimana paling tidak ada dua kelompok yang bersemberangan yaitu “Priyayi” (muslim) yang dangkal tingkat komitmen keislamannya di satu pihak, dan kaum “santri” di pihak lain.

Sebagai keturunan kaum muslim santri, Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh di lingkungan yang religius tempat ortodaksi Islam tengah menghadapi ancaman serius Jawa-Hindu. Saat berdirinya Budi Utomo, Dahlan menyaksikan kuatnya Islam singkritis melalui kebangkitan kebudayaan priyayi. Dengan melihat kondisi seperti ini Ahmad Dahlan merasa terpanggil dan tertantang untuk bertindak segera melawan gelombang ini. Bagi Ahmad Dahlan tidak ada pilihan kecuali mendirikan organisasi yang dapat membebaskan Islam Jawa dari kebudayaan lokal dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan respon logis terhadap “Ketidakmurnian” yang telah lama berakar dalam masyarakat Jawa yang dikembangkan oleh Priyayi.

B. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di kampung kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, seorang khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama sitti Aminah putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta. Singkatnya bahwa Muh Darwis baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya adalah keturunan ulama.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Kauman khususnya ketika itu tersebar pendapat umum bahwa barang siapa memasuki sekolah gubernuran dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah.

Selanjutnya ia menambah berbagai ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang kenamaan di yogyakarta. Kemudian atas ajaran ayah bundahnya Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1890 M. Selanjutnya memanfaatkan kesempatan bersilaturrahmi dengan para ulama yang telah ditunjukkan oleh ayahnya di samping itu ia menerima berbagai ilmu pengetahuan di Masjid Haram. Ketika berguru pada ulama Mazhab Syafi’i Sayyid Bakri Shyanta dan mendapat Ijazah nama K.H Ahmad Dahlan. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1891 M. selain berganti nama juga bertambah ilmunya. Selain nama K.H. Ahmad Dahlan juga mendapat gelar khatib amin, setelah kembali dari tanah suci yang kedua kalinya ia disibukkan oleh berbagai kegiatan seperti berdakwah, mengajar, berdiskusi bahkan melibatkan diri pada organisasi yang telah ada seperti Budi Uotomo. Al-Hasil puncak dari pada usaha K. H. Ahmad Dahlan didirikanlah organisasi “Muhammadiyah” dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw.

C. Makan dari Nama Muhammadiyah
Secara etimologi Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terakhir. Kemudian mendapat “Ya Nisabah” yang artinya menjelaskan. Jadi Muhammadiyah berarti Umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad saw yaitu semua orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Secara terminologi Muhammadiyah ialah gerakan Islam, dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam dan bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. di kota Yogyakarta dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya “Izzatul Islam wal Muslimin” kejayaan Islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.

D. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan organisasi ini telah mengalami beberapa kali amandemen, baik dari redaksional, susunan bahasa dan perubahan istilah. Pada mula berdirinya, rumusan maksud dan tujuannya adalah : Pertama menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putra, dalam residen Yogyakarta, memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Kemudian setelah organisasi ini melebar ke luar Yogyakarta, maka rumusannya disempurnakan menjadi. Pertama; meningkatkan dan mengembangkan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda. Kedua; memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam, kepada sekutu-sekutunya
Dalam perkembangan selanjutnya sebagai mana kita lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah Bab II pasal 2 sebagai berikut : Maksud dan Tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga tujuan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Prospek Muhammadiyah Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan
Eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dapat dilihat dari dua hal yaitu : 1. Ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan. 2. Esensi yang menjadi sifat strategi gerakannya.
Perjalanan sejarah panjang persyariktan Muhammadiyah memperlihatkan ciri khasnya yang menjadi identitas dari hakikat atau jati dirinya

1. Ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah pertama; Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua; Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, ketiga; Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berarti segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah baik dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, kerumah tanggaan, perekonomian dsb tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Tegasnya kedepan gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dan wujud yang riel, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar’ berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai model usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak, semacam berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kanak-kanak hingga perguruan Tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, seluruh amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi atau perwujudan dakwah Islamiyah dengan niat dan tujuan yang tangguh, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sebagai pemurni ajaran Islam dari berbagai penyimpangan seperti; syrik, khurafat, bid’ah dan taqlid, yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang….. Tajdid yang dikenalkan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebagai pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah yang melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dan kehidupan masyarakat…
Untuk membedakan antara keduanya adalah “Tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (Purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation)

2. Esensi dari Kepribadian Muhammadiyah Terletak Pada Sepuluh Sifat yang dimilikinya
Pertama; Muhammadiyah beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Kedua; Memperbanyak kawan dan mengamalkan dakwah Islamiyah. Ketiga; Lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat; Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Kelima; Mengindahkan segala hukum undang-undang peraturan, serta dasar dan Falsafah negara. Keenam; Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi corak teladan sesuai dengan ajaran Islam. Ketujuh; Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud Islah pembangunan sesuai dengan ajaran Islam Kedelapan; Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan ilmu serta membela kepentingannya. Kesembilan; membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain di dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah. Kesepuluh; Bersifat adil dan kreatif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Baik ciri perjuangan Muhammadiyah maupun esensi yang menjadi sifat strategisnya sebagai gerakan merupakan senjata yang paling ampuh dalam menghadapi tantangan di masyarakat baik dalam sejarah maupun dimasa yang akan datang. Muhammadiyah tetap eksis sebagai gerakan sosial keagamaan dihadapan setumpuk persoalan.

Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang cukup dan bermanfaat bagi pembinaan individu maupun sosial. Misalnya dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan program ini dalam skala yang besar dengan sistem yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh pesantren pada masa lalu. Sementara telah ada institusi pendidikan yang dikelola oleh misionaris yang pada umumnya terletak di perkotaan dengan manajemen yang dianggap modern pada saat itu. Persoalannya ialah masih layakkah pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan kini sebagai gerakan reformasi.

Sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, Muhammadiyah akan senantiasa terlibat dengan setiap wacana masalah keumatan (kerakyatan), isu demokratisasi, Hak Asasi dan pemberdayaan rakyat serta gender. Setelah itu muncul kritik sistemik, krisis moral, korupsi dan lingkungan hidup, yang akan menjadi persoalan krusial, dihadapan Muhammadiyah sebagai organisasi yang didedikasikannya untuk keumatan harus merespon kenyataan tersebut. Persolannya ialah Mampukah Muhammadiyah kini untuk menjawab tantangan itu?
Berdasarkan paradigma Kontowijoyo, maka Muhammadiyah susah untuk merespon tantangan itu, Menurut Kontowijoyo, hal ini disebabkan oleh karena perspektif “Community development” Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas, oleh karena itu Muhammadiyah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Selama gerakannya belum pernah didasarkan pada elaborasi yang mendalam tentang realitas sosial yang obyektif. Gerakannya masih didasarkan atas kesadaran subyektif-normantik.
Misalnya, Muhammadiyah selama ini tampaknya masih belum bisa menerjemahkan siapa yang dimaksud dengan kaum Dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin dalam konteks sosial yang empiris. Keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial belum didasarkan pada kesadaran obyektif-empiris, namun didasarkan pada kesadaran subyektif normatif.
Adalah menjadi tugas ijtihad gerakan-gerakan pembaharu semacam Muhammadiyah untuk mulai membangun Islam dalam realitas obyektif. Di samping untuk terus memperjuangkan Islam dalam konteks kesadaran subyektif, kita berupaya memperjuangkan Islam dalam realitas obyektifnya.
Dalam konteks ini, memperjuangkan Islam dalam realitas obyektif adalah menata sistem-sistem sosial masyarakat Islam. Dalam artian, kita harus menerjemahkan Islam pada tataran empiris. Misalnya bagaimana mengimplementasikan konsep-konsep normatif tentang siapa yang dimaksud dengan kaum dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin pada formulasinya yang obyektif dan empiris. Implementasi ini akan membantu dalam memberikan panduan tentang bagaimana peranan mereka dalam sistem ekonomi, sosial, birokrasi, dan sebagainya. Tanpa obyektivitas semacam ini, umat Islam akan mengalami spilit existence- dalam realitas subyektif ia Muslim tapi pada saat yang sama ia tidak mampu mempertahankan kemuslimannya pada dunia obyektif.

Berbagai realitas yang dapat dikemukakan untuk memperjelas fenomena melemahnya daya antisipasi terhadap perubahan-perubahan adalah :
Kenyataan Pertama :berada pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah; kenyataan kedua berhubungan dengan adopsi teknologi dalam arti produk, dan kenyataan ketiga berkaitan dengan metode atau cara pengembangan organisasi.
Melemahnya daya antisipasi berikut berbagai gejala yang menampakkannya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor penting, baik eksternal maupun internal. Pertama, terjadinya degradasi aspek pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah sebagai suatu pemikiran. Kedua, sebagai jajaran persyarikatan maupun amal usaha lebih terpaku pada rutinitas gerak, ketiga, melemahnya daya dukung ekonomi, dan keempat, sektor pengkaderan.
Jika hal ini tidak diatasi dengan baik, maka Muhammadiyah akan tenggelam dalam arus marginalisasi peranan. Agar jati diri Muhammadiyah sebagai pemekarsa pergerakan inovatif tetap eksis dan menjadi ormas yang berpengaruh di masa depan, maka ada beberapa persoalan yang ia harus rekonstruksi, yakni :
Pertama, merumuskan kembali “ideologi tajdid” yang menjadi jati dirinya, Ketika telah banyak lapangan Muhammadiyah tekad direbut oleh organisasi lain, maka Muhammadiyah harus merumuskan kembali corak tajdid sebagai bahan acuan yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas keagamaan lainnya.
Kedua, menghilangkan kesenjangan antara potensi diri yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan tuntutan peranan yang harus dimainkan. Dalam konteks ini, kaderisasi, kepemimpinan adalah aspek yang paling memprihatinkan. Bukan saja kuantitas pimpinan mumpuni yang minim, tetapi juga kualitas pimpinannya juga tidak sepadan dengan tugas yang harus dijalankannya.
Ketiga, Penentuan proritas kegiatan Muhammadiyah telah menjadi organisasi yang sangat ambisius yang ingin mengerjakan begitu banyak bidang tetapi tidak didukung dengan sumber daya dan dana yang sepadan akibat tidak tegasnya dalam memilih lahan kegiatan.
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas, baik yang berhubungan dengan kelemahan dan kekuatan Muhammadiyah, maupun yang berkaitan dengan peluang dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, tentu saja belum menggambarkan keseluruhan persoalan. Masih diperlukan lagi upaya yang serius dan terus menerus untuk menganalisis berbagai fenomena serta mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Penutup / Kesimpulan
Kebutuhan manusia akan agama adalah kebutuhan manusia terhadap kemanusiaan itu sendiri . Islam yang memiliki ajaran sosial sebagai petunjuk, peringatan sekaligus penuntun kepada pencerahan kehidupan sosial. Di era ketika nilai kemanusiaan menjadi degradasi, persoalan kultural hingga struktural menjadi wacana yang memerlukan pemecahan dengan kecerdasan dalam upaya aktualisasi agama.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan tak bisa menghindari dari respon-respon terhadap fenomena global. Maka dari itu, khittah perjuangan Muhammadiyah dan slogan-slogan yang telah “basi” perlu direkonstruksi ulang dalam direvitalisasi dalam rangka menghadapi tantangan tersebut.
Untuk mempertahankan citranya sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah harus menampilkan dirinya sebagai gerakan ilmu. Jika tidak, Muhammadiyah harus dengan rela melepaskan atribut gerakan tajdid agar beban mental dan psikologi sedikit berkurang, karena saat ini Muhammadiyah menjadi gerakan Islam “Biasa-biasa saja”



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Pendekatan Teologi: dalam memahami Muhammadiyah dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intellektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.

Ahmad, Nur dan Pornomo Tantowi(ed), Muhammadiyah “Digugat” Revosisi di tengah Indonesia yang Berubah. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.

Ali, A. Mukti, Alam Pikiran di Indonesia dan Modernisme Islamic Thought in Indonesian. Yayasan NIDA 1971.

Hamka, “K.H. Ahmad Dahlan” dalam Buku Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah. Jakarta 1952.

Kontowijoyo, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah Sebagai Gerakan Organisasi Sosial Keagamaan” dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.

Kusuma, Hadi, Dari Jamaluddin al-Afgani Sampai K.H. Ahmad Dahlan. Persatuan Yogayakarta, t.th.

Jainuri, A Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Keduapuluh Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Nashir, Haedar, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah.Cet. I; Yogyakarta: 2000.

Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Cet. I; Yogyakarta: Persatuan, 1990.

Noer, Deliar The Modernisme Muslim Movement Indonesia 1900-1942, diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dengan judul Gerakan Modernisme dan Islam di Indonesia 1990-1942 (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.

Pasyha, Mustafa Kamal, dan Muh. Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2000.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Cet. I; PP. Muhammadiyah, 2000.

Rais, Amin, “Kata Pengantar” dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyosong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan 1995.

Shihab, Alwi, Memendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi Indonesia.Cet. I; Bandung: Mizan, 1998.

Sukardi dkk (ed)Embrio Cendikiawan Muhammadiyah. Cet. I; Jakarta : Perkasa 1995.


15 Januari, 2012

Suatu ketika seorang pemuda tampan melewati sebuah irigasi. Kemudian, terdengar dengan jelas sosok yang memanggil namanya. Dia telusuri ke arah sumber suara, alangkah terkejutnya ternyata yang memanggilnya adalah seekor kodok.
"Bawalah aku. Ciumlah aku. Aku akan berubah menjadi putri cantik jika kamu sudi menciumku," ungkap kodok tersebut.
Pemuda tersebut lalu membungkuk ke arah sang kodok, kemudian ia mengambil kodok tersebut dan menaruhnya ke dalam tas dan membawanya pergi.
Setibanya dari rumah, Kodok itu pun kembali berkata, "Hai tampan, Jika kamu menciumku, aku akan berubah menjadi putri yang cantik."
Pemuda itu pun mengeluarkan sang kodok dari dalam tasnya, menatap ke arah sang kodok lalu tersenyum, kemudian dimasukkannya kembali ke dalam tas.
Seolah tidak kenal lelah, sang kodok kembali merayu pemuda itu untuk menciumnya.
"Jika kamu benar-benar membantu mengubah diriku kembali menjadi putri cantik, aku akan menjadi teman hidupmu selamanya dan akan mengabulkan semua permohonanmu," ujar sang kodok. Sayangnya, sang pemuda tetap melakukan hal yang sama, menatap sang kodok, tersenyum dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Sang kodok pun merasa heran dan agak kesal. Ia pun bertanya kepada sang pemuda sambil menangis.
"Kamu kenapa, sih? Saya kan sudah memberitahu kami bahwa saya sebenarnya adalah seorang putri cantik. Saya juga rela hidup denganmu dan mau mengabulkan semua permohonanmu," ungkap sang kodok.
Lalu, pemuda itu hanya menjawab, "Lihatlah, saya ini adalah seorang Programer Komputer. Saya tidak punya waktu untuk berpacaran, apalagi memiliki seorang istri. Tapi, memiliki seekor kodok yang bisa berbicara merupakan hal yang cukup menarik dan menghibur bagiku."
@http://www.sentra-edukasi.com


19 Desember, 2011

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.

C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka Download makalah lengkapnya...

23 November, 2011

Telah lama daku tak menceritakan kegiatan dan aktivitas daku dikau. Kali ini daku akan membagi info seputar kegiatan MTQ Tingkat Prop. di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) - NTB.
Banyak waktu yang disita demi mempersiapkan diri tuk ikut serta dalam kegiatan (lomba) kali ini. Sebelum Ramadhan lalu kami telah melakukan TC (Training Center) di Hotel La Ila Kota Bima, Karena memang rencana diadakannya MTQ ini tepat setelah Bulan Ramadhan 2011, namun apa kendala dan apa gerangan sehingga tertunda hingga bln Nopember 2011 ini. Daku utusan dari Kafilah Kab. Bima, sebelum kami berangkat menuju arena di KSB tentunya ada acara pelepasan oleh Bupati Bima "Bpk. Fery Zulkanain, ST" di Pandopo tempat kediaman beliau dan star ba'da Isya'.
Singkat cerita, sampai di KSB kami di sambut oleh Camat Taliwang selengkapnya...

13 November, 2011

Pada perkembangannya, masalah muhkam dan mutasyabih telah menjadi wilayah diskursus ambiguitas dan distingsi dan merupakan karakteristik teks yang paling penting dalam kajian-kajian kritis kontemporer, sebab yang membedakan antara teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di tengah sistem semantik umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu sendiri.
Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan mukjizat yang pada dasarnya datang untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Kajian ini menjadi postulat mendasar yang pada akhirnya menimbulkan tanda tanya: "Mengapa ada ayat mutasyabihat yang sulit dipahami, padahal Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, dan bukankah akan mudah dipahami jika semua ayat itu muhkamat" ?


Rumusan Masalah

Sesuai konteks pemahaman di atas, maka ada beberapa masalah penting yang dapat dikaji dalam permasalahan yang diangkat oleh pemakalah, yang rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan muhkam mutasy±bih ?
2.Bagaimana muhkam mutasy±bih dalam persfektif al-Qur’an ?
3.Bagaiman pembagian mutasy±bih serta pandangan ulama terhadap al-Qur’an ?
4.Apa saja kriteria mutasy±bih ?
5.Hikmah adanya ayat-ayat mutasy±bih ?

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka Download Makalah selengkapnya....

Memadukan antara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Akhlaki
Ada dua varian pemikiran tasawuf yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki. Tasawuf yang pertama lebih mengarah pada pergulatan pemikiran spekulatif dan intuisi rasa, lebih banyak berkembang di dunia Syi’ah. Penganutnya seperti Ibnu Arabi dan Suhrawardi. Sedangkan tasawuf yang kedua mengarahkan pada perbaikan akhlak dan moral seperti yang dianut oleh Al-Gazali. Dalam konteks keindonesiaan dapat dilacak pada ajaran Hamzah Fanzury dan Muhyiddin Al-Jawi yang bercorak falsafi sedangkan akhlaki (sunni) pada Nuruddin al-Raniri, Abd. Samad al-Palembani dan Hasyim Asyari.
Fenomena yang terjadi sekarang nampaknya masih terjadi varian-varian tersebut. Dan ternyata pada diri Jalaluddin Rakhmat antara tasawuf falasafi dan tasawuf akhlaki mengkristal menjadi satu. Hal terjadi karena akar-akar tasawuf dapat dilacak sampai pada pemikiran spekulatif Syi’ah yang memang mumnya falasafi, akan tetapi Jalaluddin juga sangat kental warna akhlakinya. Realitas ini tidak mengherangkan pada diri seseorang memadu dua varian sekaligus, Suhrawardi (al-hikmah Isyraqiyyah) dan Mulla Sadra (al-Hikmah al-Muta’aliyah) juga memadu antara pemikiran tasawuf dan filsafat serta pemikiran persia klasik sekaligus.
Sebagai contoh tulisan-tulisan banyak diilhamai oleh pemikiran Ali bin Abi Thali dan Ja’far Shadir serta Ali Zainal Abidin (Syi’ah istna Asyariyah), Ibnu Arabi, Al-Gazali (Sunni), Mulla Sadra, Ali Syariati, Murthadha Mutahahhari, Imam Khomeini (juga banyak dipengaruhi Ibnu Arabi), Sayyed Hosein Nasr (Syi’ah kontemporer) dan sebagainya. Jalaluddin menulis bahwa meskipun Ibnu Arabi adalah seorang Sunni tetapi lebih banyak dikaji di dunia Syi’ah. Ia kemudian mengutip pandangan Ibnu Arabi wahdah al-wujud tentang realitas dan entitas.
Ibnu Arabi membagi yang ada menjadi dua macam saja : Huwa dan La Huwa (Dia dan bukan Dia). Sekarang tengoklah ke sekitar. Apa yang disaksikan ? Matahari, pepohonan, hewan, orang lain, atau diri Anda—semuanya—adalah La Huwa. Allah swt.berfirman dalam Qs. Al-Baqarah (2): 115.“Kemanapun kalian menghadapkan wajah kalian, di sana ada wajah Allah”. Sekarang hadapkanlah wajah Anda kemana saja. Apa yang Anda lihat ? Wajah-wajah selain Allah ? La Huwa ? Alquran pasti tidak salah. Yang salah diri kita, karena ihwal kita yang kotor atau karena diri kita belum dihiasi dengan sifat-sifat Tuhan. Dia tidak tampak pada kita. “penampakan” Tuhan itu disebut tajalli . Ketika tajalli, ke mana pun kita arahkan wajah, kita hanya akan melihat Huwa. Oleh karena itu, bersihkan diri kita lebih dahulu, kemudian hiasi diri kita dengan akhlak Tuhan. Yang pertama disebut takhalli.yang kedua disebut tahalli.
Kemudian pada kesempatan yang lain, Jalaluddin mengutip puisi Ibnu Arabi yang merupakan kata “syatahat al-Sufiyah”;“Dia memujiku maka aku memuji-Nya, Dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya”
Puisi ini sering dikutip untuk menunjukkan kekafiran Ibnu Arabi. Padahal, kalau dimaknai, puisi ini berarti. “Tuhan, kau mengabdi kepadaku, aku pun mengadi kepada-Mu”. Karena besarnya kasih-sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia “mengabdi” kepada kita, melayani seluruh keperluan kita. Seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita. Demikian katanya.
Jalaluddin juga sangat banyak dipengaruhi pandangan Imam Al-Gazali, bahkan sejak muda ia telah membaca Ihya ulumuddin karya masterpiece ini. Mengenai masalah-masalah istilah ruh. qalb, akal dan nafs nampak Jalaluddin sangat dipengaruh oleh Al-Gazali. Contohnya ketika ia menulis;
Menurut Al-Gazali, istilah ruh, (ruh), qalb (kalbu), aql (akal) dan nafs (jiwa) sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non-fisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seleruh tubuh qalb adalah jantung….Makna hati yang kedua yaitu; lathifah rabbaniyah ruhaniyah; sesutau yang lembut yang berasal dari Tuhan yang bersifat ruhaniyah. Lathifah itulah yang membuat kita mengetahui dan merasakan sesuatu. Kata Alquran, hati itu mengetahui, merasakan, juga memahami. Jadi, hati adalah satu bagian ruhani yang kerjanya memahami sesuatu. Itulah qalb.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka silahkan download versi lengkapnya....

09 Oktober, 2011

Dalam segi filsafat, nilai dari tanggung jawab itu dijadikan sebagai salah satu dari kriteriadari kepribadian (personality) seseorang.

Unsur-unsur tanggung jawab :
Dari segi filsafat, sesuatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh 3 unsur :
a.Kesadaran.
b.Kecintaan/kesukaan.
c.Keberanian.
1.kesadaran.
Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Orang baru dapat dimintai tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.
2.kecintaan = love, affection
Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Sadar akan arti tanggung jawab.
3.keberanian. Courage, bravery
Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani disini, didorong oleh rasa keihklasan, tidak bersifat ragu-ragu dan takut kepada segala macam rintangan yang timbul sebagai konsekuensi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan-pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi buta.8
Menurut kamus ilmiah kata social berarti : kemasyarakatan, yang suka bergaul, santun.9

Politik
Politik berarti 1). Segala yang berkenaan dengan cara-cara dan kebijksanaan dalam mengatur negara dan masyarakat bangsa.10
Moral
1). Istilah moral bersal dari kata latin: Morale, yang berarti Costom, kebiasaan, adat istiadat. Tahu adat disebut bermoral, dan sebaliknya disebut immoral. Kelakuan yang tidak baik disebut a moral. Orang yang tahu adat, mengerti tertib sopan santun inilah yang disebut moralis.11
Agama
Agama menurut kamus ilmiah berarti suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia dalam usahanya mencari hakekat dari hidupnya dan yang mengajarkan kepadanya tentang hubungannya dengan tuhan.12

B. Tanggung Jawab Para Ilmuan di Tinjau :
1. Bidang Sosial
Metode ilmu-ilmu social selalu melekat pada suatu bidang atau cabang sistim ilmu social tertentu. Pada mulanya, metode itu sangat dipengaruhi atau bahkan ditentukan ketika bidang atau cabang ilmu-ilmu social lahir. Tetapi kemudian mengalami perubahan dan perkembangan. Metode yang dipakai oleh ilmuan atau kelompok ilmuan juga dipengaruhi pada saat ilmu itu dipelajari atau diterapkan kemudian ditempat dan waktu lain, sebagai respon terhadap suatu perkembangan atau tuntutan perubahan social tertentu. Ilmu sosiologi sendiri baru pada masa revolusi industri, baik dieropa barat atau di amerika utara, pada awal abad 19. ilmuan-ilmuan Auguste Comte, Herbert Spencer, Lester Ward, emile Durkheim atau Max Weber, menulis buku-buku yang menjadi fondasi/fundamen sosiologi industri atau masa terbentuknya kapitalisme industri.13
Seorang ilmuan ilmu-ilmu social memualai tugas dan tanggung jawab dengan menemukan atau menggapai pengetahuan dengan melakukan formulasi teoritis yang kemudian harus diuji secara empiris. Kalau tidak data empiris yang dikumpulkan menrut cara-cara dan prosedur itu tertentu itu hanya ternyata mendukung formulasi teoritis yang telah disusun, maka formulasi itu kemudian berkembang atau dapat dikembangkan atau dapat dapat dikembangkan menjadi rumusan hasil pengetahuan yang didalamya terkandung teori ilmu social yang telah dibuktikan kebenarannya, yaitu kebenaran empiris.
Ada satu hal yang ikut memperkuat “kebenaran” ilmu pengetahuan social, yaitu citranya seperti ilmu kealaman dan hayat. Citra itu terealisasikan dengan memenuhi beberapa “keharusan”, yang secara etis netral si ilmuan harus memisahkan diri dari pandangan yang sifatnya pribadi atau memiliki pandangan yang impersonal sehingga dapat diperoleh apa yang disebut “objektifitas”, serta memenuhi segala persyaratan akurasitas dalam pengumpulan data.
Seorang ilmuan juga masih dituntut tanggung jawab sosialnya. Ia hanya diminta untuk menyatakan sikap terhadap suatu masalah masyarakat tempat ia hidup. Bahkan ada kalanya dituntut keterlibatannya dalam perubahan social guna mencapai tujuan tertentu. Jika tifak memiliki tanggung jawab social.
Masalah itu memang masih dan akan tetap merupakan kontroversi. Disatu pihak terdapat pandangan bahwa seorang ilmuan sejati harus tetap setia kepada fungsi alam ilmu pengetahuan “yang sebenarnya”, yaitu menyajikan dan menemukan kebenarannya ilmiah. Pemakaian hasil pemikiran dan penelitian itu sudah merupakan tanggung jawab yang lain, misalnya, negarawan, teknokrat, birograt, ruhaniawan atau agamawan, pengusaha, dan lain sebagainya yang selain ilmuan itu sendiri. sudah barang tentu seorang ilmuan dapat pindah profesi atau mengambil peranan yang lain sebagai konsumen atau pelaksana yang menerapkan hasil dan penelitian ilmiah dan dapat memenuhi tanggung jawab moral atau social yang dituntut oleh masyarakat. Tetapi, selama ia masih menjadi ilmuan, maka ketiga tanggung jawab saja yang mungkin disebut sebagai tanggung jawab ilmiah atau akademis yang bercirikan netralitas etis, objektifitas da disiplin dalam prosedur ilmiah.15

catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

08 Oktober, 2011

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua dari Alquran segaligus penjelasan atasnya. Olehnya itu, hadis selalu dipertanyakan tentang kesahihannya baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab karena harus melalui proses yang sangat panjang untuk menjawabnya, yang sering diistilahkan dengan penelitian hadis (takhr³j al-had³ts).
Hadis-hadis tentang lailatul al-qadr merupakan salah satu aspek hadis yang termuat dalam berbagai kitab hadis termasuk kitab-kitab hadis yang berstatus standar. Meski demikian, tidak serta merta dapat diterima sebagai hujjah. Maka untuk mengetahui kualitas hadis-hadis lailatul al-qadr perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.Bagaimana biografi Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M. A.
2.Bagaimana kaidah penelitian kesahihan sanad dan matan serta kualitas hadis-hadis lailatul al-qadr ?
3.Bagaimana pemahaman tekstual dan kontekstual hadis-hadis lailatul al-qadr ?.

B. Sekilas tentang buku "Menembus Lailatul al-Qadr: Perdebatan Intrpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual"
Buku "Menembus Lailatul Al-Qadr: Perdebatan Intrpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual" adalah sebuah buku karya. Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin M. A. Beliau adalah seorang ahli hadis. Sebelum pemakalah lebih jauh membahas lailatul al-qadr dalam bukunya, ada baiknya jika terlebih dahulu mengetengahkan sistematika penyusunan kitab buku "Menembus Lailatul al-Qadr", agar dapat membantu dalam mengkaji buku ini selanjutnya.

Catatan:

Makalah di atas belum lengkap, Download lengkapnya...

20 September, 2011

A.Siapa dan Bagaimana Riowayat Hidup Rabi'ah al-Adawiah ?
Rabi’ah al-Adawiah adalah putri dari Ismail al-Adawiah, sehingga nama beliau terkadang ditulis oleh sejarawan Rabi’ah binti Ismail al-Adawi. Beliau lahir di Basrah sekitar tahun 95 H/ 713 M. Dan berpulang kerahmatullah pada tahun 185 H/810 M juga di kota Basrah.
Beliau diberi nama Rabi’ah al-Adawiah karena merupakan putri ke-4 dari 3 putri lainnya (kakaknya). Beliau berasal dari keluarga ekonomi sulit, bahkan ketikan beliau dilahirkan, minyak untuk penerangan lampu pada saat kelahirannya pun tak dimiliki keluarganya, karena kemiskinan yang berkepanjangan menimpa keluarganya sampai-sampai beliau berpindah status menjadi hamba sahaya.

1.Masa Muda Rabi’ah al-Adawiah
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa beliau adalah seorang hamba sahaya pada usia kecilnya. Ini terjadi ketika kedua orangtuanya meninggal dunia, sehingga secara terpaksa beliau terjual kepada seorang majikan yang sangat kejam dengan harga yang sangat murah. Lidah Attar telah menuturkan ahwal masa kanak-kanak Rabi’ah al-Adawiah:
Pada suatu malam, ketika Rabi’ah dilahirkan, dituturkan bahwa tak sehelaipun pakaian yang dapat digunakan untuk mengolesi pusarnya. Ketika itu, ayah Rabi’ah pergi ke tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Ini atas permintaan istrinya, sekalipun sebelumnya ayah Rabi’ah telah memutuskan untuk tak meminta bantuan kepada selain Allah. Namun pada kali ini beliau dalam kondisi terdesak, sehingga secara terpaksa beliau melakukannya. Akan tetapi, tetap beliau tidak mendapat bantuan apa-apa dari tetangganya karena mereka semua sudah tidur . Kemudian ayah Rabi’ah kembali kerumah dan memberitahukan halnya, seketika itu bersedihlah sekeluarga yang pada akhirnya mereka juga tertidur dalam suasana sedih.
Pada saat tertidur, ayahnya Rabi’ah melihat Nabi Saw . Tiba-tiba muncul dihadapannya seraya berkata “Janganlah bersedih ! Engkau telah dianugrahi anak perempuan yang telah menjadi wali besar, syafaatnya dinantikan oleh 70.000 orang dari umatku” lalu Nabi kemudian memerintahkan kepadanya, “ Besok kirimlah surat ke Isa Radan (Amir Basrah) dengan mengingatkannya melalui isyarat ini, bahwasanya setiap malam dia berselawat 100 kali kepadaku, dan pada malam jum’at 400 kali(akan tetapi, pada malam jum’at ini, Ia telah melupakannku. Katakan kepadanya bahwa sebagai tebusannya dia harus memberikan 400 dinar
Pada saat fajar menyingsing, beliau terbangun sambil berurai air mata. Kemudian beliau dalam suasana kesedian. Menceritakan dan menuliskan mimpinya itu di dalam surat. Usai surat itu ditulis. Dikirimkan ke Basrah dan diserahkan kepada kepala rumah tangga istana untuk diberikan kepada Amir . Setelah membaca surat tersebut Isa Radan memerintahkan kepada prajuritnya untuk membagi-bagikan kepada orang-orang miskin sebanyak 10.000 dinar sebagai tanda syukur karena Nabi telah menyebut namanya. Terkhusus kepada ayah Rabi’ah, beliau mengirimkannya 400 dinar, seraya berkata meskipun aku sangat ingin agar orang ini (ayah Rabi’ah) mendatangiku, Akan tetapi, aku lebih memilih saya yang mendatanginya dan membersihkan debu yang ada ditelapak kakinya agar jenggotku. Demi Allah, kapan saja dalam membutuhkannya ‘maka beritahulah aku’
Sepeninggalan rang tua Rabi’ah, kelaparan hebat melanda kota Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar, sementara dia sendiri jatuh di tangan seorang yang kejam melalangnya sebagai seorang budak dengan harga beberapa dirham saja. Pada suatu malam, tiba-tiba dihampiri oleh seseorang asing dan dia merasa ketakutan. Pada mulanya dia bermaksud untuk melarikan diri, namun dia terjatuh dan kakinya patah. Dan dalam keadaan bersujud di lumpur, dia melantunkan rintihan nurani dengan mengatakan, “ Ya Allah, aku ini orang asing yang tak berayah dan tak beribu lagi. Aku dijual sebagai budak dan kini pergelangan kakiku patah. Sekalipun demikian aku tak akan merasa sedih atas sesuatu yang menimpa diriku. Aku hanya mengingingkan ridha-Mu kepadaku. Sehingga aku bisa mengetahui apakah aku sudah memperoleh kerendahan-Mu atau belum. Seketika itu, beliau mendengarkan suara gaib, “janganlah bersedih, sebab di akhirat kela, niscaya engkau akan mendapatkan kedudukan yang begitu dibanggakan, bahkan oleh mereka yang dekat kepada Allah di Surga”
Lintas, Rabi’ah kembali kerumah majikannya dan mulai berpuasa secara rutin serta melaksanakan shalat sepanjang malam. Pada siang hari, beliau selalu sibuk membantu majikannya. Suatu malam beliau shalat lail dan tiba-tiba majikannya terbangun menyaksikan Rabi’ah yang sedang berdoa seraya bersujud di tanah. Dalam doanya beliau melantunkan, “Ya Allah, engkau tahu betul, satu-satunya yang kudambakan adalah benar-benar tunduk kepada perintah-Mu, cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu. Jika itu terserah kepadaku, aku tidak akan berhenti beribadah kepada-Mu sesaatpun. Namun, engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.
Setelah mendengar ucapan ini, tuanya bangkit dan merenung sendirian serta berfikir sambil mengatakan bahwa wanita seperti ini tidak pantas diperbudak. Keesokan harinya ia memanggil Rabi’ah lalu memerdekakannya sambil berkata, “Jika engkau berkenaan tinggal bersama kami, maka kami semua menerimamu dan melayanimu, akan tetapi jika sekiranya engkau tidak menginginkan tawaran ini, maka bisa pergi kemana saja semaumu. Rabi’ah ternyata cenderung kepada opsi kedua. Lalu beliau memfokuskan diri untuk beribadah dan beramal shaleh. Konon bahwa beliau 1x24 jam terkadang melaksanakan shalat sampai 1000 rakaat
Dalam salah satu sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai seorang peniup seruling untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian beliau bertaubat dan hidup sebagai tunawisma diantara puing-puing keruntuhan bangunan, beliau berkamar untuk menyendiri beribadah maksimal semata. Akhirnya, beliau berangkat ke Makkah disanalah beliau betul-betul merasakan suasana hidup di padang pasir.

2.Rabi’ah dan Perkawinan
Sejumlah literatur menggambarkan bahwasanya Rabi’ah al-Adawiah tidak pernah menikah sepanjang usianya yang lebih kurang 90 tahun. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau ada diantara literatur lain yang menyebutkan bahwa beliau pernah dinikahi oleh Abd Wahid Ibn Zayd. Akan tetapi, menurut hamat penulis Rabi’ah yang dimaksud bukanlah Rabi’ah al-Adawiah melainkan Rabi’ah al-Damsydy karena perempuan tersebut memang termasuk wanita sufi yang disebutkan oleh sejarawan sederetan dengan Rabi’ah al-Adawiah, pendapat ini mendapat justifikasi dari Javad Nurbaksh.
Ketika beliau ditanya, “kenapa tidak menikah?” beliau menjawab berkali-kali bahwa “ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud (jasad), adakah wujud dalam diriku ? Aku adalah bukanlah milikku sendiri, melainkan aku adalah milik-Nya. Dalam riwayat yang lain beliau menjawab, sesungguhnya dalam hatiku tidak ada lagi ruang yang ditempati untuk menyimpang rasa cinta kepada selain Allah.
Jawaban lain yang ditemukan, ketika beliau dilamar oleh Abd Wahid, Rabi’ah tidak menyambut baik lamaran itu. Bahkan beliau minder menjawabnya “wahai laki-laki seksual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan engkau. Apakah engkau melihat adanya tanda-tanda seksual pada diriku ?”. Begitupula beliau memberi jawaban terhadap lamaran Hasan al-Basry dengan ucapan yang sangat bijaksana dan didalamnya termuat maksud-maksud ketidaksiapan beliau untuk bersuami dengan siapapun orangnya.

3.Kezuhudan Rabi’ah al-Adawiah
Rabi’ah al-Adawiah adalah seorang asketis (zahidan) yang menjalani hidupnya dalam keadaan miskin. Beliau sebenarnya berulang kali ditawari bantuan dan bahkan kemewahan dari berbagai sahabatnya dan orang yang hendak melamarnya. Namun, mereka semua diabaikan oleh Ra’biah. Beliau tidak pernah sedikitpun merasa tergiur dengan kemewahan atau sesuatu yang mengalamatkan kemewahan duniawi. Ini pertanda sifat dan sikap seorang asketis ada pada kepribadian beliau. Bahkan prestasi beliau dalam hal kezahidan (asketisisme) cenderung mengungguli para sufi lainnya.
Al-Jahiz seorang generasi tua mengatakan bahwa beliau pernah beberapa kali ditawari untuk diberikan kepadanya seorang budak (khadimah) yang dapat melayani kebutuhan hidupnya. Namun, beliau menjawab, “sungguh aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada pemilik dunia ini. Bagaimana aku harus memintanya kepada selain pemiliknya ? Jawaban tersebut mencerminkan karakteristik seorang zahid menanggapi perkara dunia.

Note:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download:
Rabi'ah al adawiah Versi pertma
Rabi'ah al adawiah versi kedua

11 September, 2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakng
Pemahaman pendidikan Islam berarti harus menganalisa secara pedagogis suatu aspek utama dari misi agama yang diturunkan kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah, 14 abad yang lalu.
Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi kependidikan (pedagogis) yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim, muhs³n dan muttaq³n setelah melalui tahap demi tahap.
Sebagai ajaran (doktrin), Islam mengandung sistem nilai di atas proses pendidikan Islam yang berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis-filosofis dari pemikir-pemikir pedagogis muslim, kemudian sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan Islam yang memilki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu. Keadaan demikian kita dapat saksikan di negara-negara di mana Islam dikembangkan melalui berbagai kelembagaan pendidikan formal, informal. Kecenderungan itu sesuai dengan sifat dan watak kelenturan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri

B. Rumusan Masalah
1.Apa ruanglingkup pendidikan Islam ?
2.Dan bagaimana relevansi dan ontologinya ?

C. Urgensi
1. Tujuan
Dilihat dari pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat seperti tujuan intermediair (sementara) dan insidental (peristiwa yang tertentu) dan apabila dilihat dari pendekatan sistem Instruksional tertentu, maka tujuannya sebagai berikut: tujuan Instruksional khusus, Instruksional umum, kurikuler, institusional dan nasional.
Namun yang menjadi perhatian pemakalah adalah, khusus tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: pendidikan Islam pada hakekatnya adalah relisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri yang membawa misi kesejateraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin di dunia dan di akhirat.
2. Manfaat
Dari tujuan pendidikan Islam di atas, ketika mampu dihayati, maka akan dapat bermanfaat terhadap siapa saja, karena akan dapat sedikit banyaknya berpengaruh terhadap paradigmanya ke arah lebih maju, sehingga selalu ingin melakukan hal kedepann untuk lebih memperbaiki kehidupannya. Selai itu, akan lebih menyadari bahwa kehidupan ini harus selalu diisi dengan pendidikan utamanya pendidikan agama Islam agar dapat membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur dan terbimbing terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani yang sehat menurut agama Islam.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, Download lengkapnya...

20 Agustus, 2011

Hadis merupakan sumber hukum yang kedua dari Al-Quran. Namun perlu dipahami bahwa al-Qur’an dan hadis tidak sekedar membahas tentang hukum dan ibadah tapi lebih luas dari itu, seperti berbicara tentang tatanan sosial kemasyarakatan, interaksi sosial, adab dan akhlak.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk melakukan penelitian terhadap hadis yang akan menjadi landasan atau dasar untuk melakukan salah satu ibadah dan menentukan suatu hukum ataukah menentukan suatu informasi yang benar-benar datangnya dari Rasulullah. Salah satu contoh, yaitu hadis yang menjadi pokok pembahasan pemakalah, dimana hadis tersebut mengemukakan bagaimana hukum yang sebenarnya dalam melaksanakan nazar yang baik dan bagaimana cara bersumpah yang baik serta dibenarkan oleh syari’at Allah.


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.Redaksi hadis pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’iy yang membahas tentang bernazar sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam atau yang termasuk bermaksiat kepada Allah. Dan dibolehkannya seseorang tidak menepati nazarnya karena tidak memilki kemampuan setelah bernazar.
2.Redaksi hadis kedua diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal yang mana dalam hadis tersebut Rasulullah mem[amakan antara sumpah dengan kebolehan tidak memenuhi nazar karena ketidak mampuan.
3.Hadis yang diteliti berdasarkan sanad dianggap sahih karena ketersambungan sanadnya. Dan kredibilitas perawinya dianggap Adil dan dhabit (segi kapasitas keilmuannyya dan kualitas pribadinya). Dan tidak ada satu pun kritikus hadis yang memberikan cacat atau da’if terhadapa periwayat-periwayat dari kedua hadis di atas.
4.Kedua hadis di atas, telah memberikan kejelasan hukum tentang bagaiman bernazar yang baik dan bersumpah yang benar dan sah, agar kita dapat mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt.

Catatan:
Makalah diatas belum lengkap, Download lengkapnya...

16 Agustus, 2011

Manusia adalah makhluk berfikir yang membedakannya dengan makhluk lain dapat berfikir karena ia mempunyai akal
Akal adalah salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran. Berfikir dapat dibedakan dalam dua hal yakni berfikir secara alamiah dan berfikir secara ilmiah. Dalam berfikir alamiah akal tidak memerlukan metode, sarana dan proses tertentu, Sedangkan berfikir ilmiah diperlukan metode dan sarana berfikir yang sistematis. Tersedianya metode dan sarana yang memungkinkan dilakukannya proses penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan hal tersebut bersifat imperatif bagi sesorang ilmuan, Tanpa menguasai sarana dan proses ilmiah yang baik. Tak mungkin diwujudkan.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

Metode secara etimologi berasal dari kata Yunani Meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi Metode ialah langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, tehnik atau jalan yang telah di rangcang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistic, dan historis, atau pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Kata metode dalam bahasa Inggris yaitu method yang berarti metode atau cara. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Metode ialah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan tidak cukup diperoleh melalui tradisi warisan budaya, yang kita terimah begitu saja secara fasik, melainkan harus melalui langkah-langkah yang sistematis.
Dikalangan cerdik-cendekia, makna metode masih sering dipersamakan dengan metodologi. Sesungguhnya dua konsep tersebut memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain. Metode merupakan langkah-langkah sistematis tang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu yang tidak direfleksikan atau diterima secara an sich
Metode lebih bersifat spesifik dan terapan, sedangkan metodologi merupakan bagian dari sistematika filsafat yang mengkaji cara-cara mendapatkan pengetahuan ilmiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bah sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat di dalam mencapai maksud dan tujuan.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau pengembangan pengetahuan yang telah ada. Prosedur yang disebut dengan metode ilmiah tidak memiliki ketentuan yang pasti tentang jumlah, macam dan urutan langkahnya. Langkah-langkahnya semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang spesifikasi semakin banyak. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa macam metode ilmiah yan digunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khusunya bersangkutan dengan obyek formalnya. Berdasarkan langkah-langkah yang dimaksud dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, Jujun S Suriasumantri menjelaskan cara kerja ilmiah dengan mengemukakan enam langka atau metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan yaitu : 1). Keinsyafan tentang adanya problema 2). Data yang relevan dan tersedia dikumpulkan 3). Data ditertibkan 4). Hipotesa dibentuk (Diformulasikan ) 5). Deduksidapat ditarik dari hipotesa 6) Verifikasi setelah analisa untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Langkah Pertama, yaitu kesadaran akan adanya problema, adalah penting sekali. Karena hanya dengan demikian suatu pemikiran dan penyelidikan itu mungkin untuk diawali. Dalam hal ini kemampuan untuk melukiskan problema secara jelas dan benar dalam suatu defenisi adalah penting.
Langkah kedua, mengenai pengumpulan data yang relevan, juga memerlukan kesabaran dan lebih-lebih kemampuan untuk menguji data apakah faktual atau tidak. Pada persoalan yang sulit, untuk mendapatkan data yang demikian memerlukan pemikiran dan penyelidikan yang seksama, dan tidak aneh jika memerlukan waktu bertahun-tahun.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

20 Juli, 2011

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poligami (beristri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan) adalah suatu istilah yang dikenal dalam dunia perkawinan antar manusia lawan jenis dan terjadi pada suku, bangsa dan agama apapun di dunia. Poligami merupakan suatu kebiasaan yang dipraktekan dalam masyarakat bangsa-bangsa kuno pada ratusan tahun sebelum agama Islam datang.
Sayyid Sabiq dalam bukunya al Fiqh al Sunnah, menjelaskan bahwa kebiasaan berpoligami telah berlaku di negara Afrika, India, Cina dan Jepang yang berkembang dengan pesat.
Kahfi mengatakan bahwa “poligami itu sudah berlaku pada bangsa Yahudi Israel sebelum Nabi Isa a.s. diutus. Nabi Isa a.s. kemudian menetapkan kebiasaan poligami ini pada umatnya. Bahkan Nabi Musa a.s. mewajibkan seseorang untuk mengawini janda saudara lelakinya sendiri yang telah meninggal dunia. Apa yang diperbolehkan dalam kitab Taurat maka diperbolehkan juga dalam kitab Injil”. 1
Mustafa dalam bukunya al Mar’ah baina al Fiqh wa al Qur’an menjelaskan bahwa di dalam kitab Taurat (kitab yang kemudian menjadi rujukan orang Kristen) menceritakan mengenai Nabi Daud a.s. yang memiliki 99 istri dan ditambah 1 lagi menjadi 100 istri. Dan Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 istri permaisuri dan ditambah 300 istri selir sehingga semuanya 1000 istri.
Demikian pula dalam Tarikh Islam, Rasulullah SAW. Yang kehadirannya untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia, khususnya kaum wanita, beliau juga memiliki 9 orang istri. Di antara istri-istri beliau hanya ada dua istrinya yang berstatus gadis (perawan), yakni Siti Aisyah r.a.”2 dan Mariah Alqibitiah.
Sementara di Indonesia, sebagai negara hukum yang berpenduduk mayoritas beragama Islam juga tidak lepas dari perkawinan poligami. Misalnya Ir. Soekarno, seorang nasionalis yang beragama dan orang nomor satu pertama di Indonesia, yang terkenal hampir diseluruh dunia juga melakukan poligami.
Namun yang menjadi problema dalam poligami ini, ketika seorang laki-laki melakukan pologami antara seorang wanita dengan tantenya dari pihak Bapak dan tante dari pihak Ibu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadis Rasulullah yang terdapat dalam al-kutub al-tis’ah.
Poligami antara seorang wanita dengan tantenya adalah salah satu bentuk poligami yang sangat dilarang oleh Rasulullah. Salah satu alasannya adalah karena kedua wanita tersebut masih termasuk hubungan keluarga yang masih sangat dekat yaitu: masih termasuk muhrim. Masalah muhrim ini telah dijelaskan oleh hadis lain bahawa termasuk orang yang tidak bisa dikawini.

B. Batasan Masalah
Menyadari akan luasnya persoalan poligami, maka penulis membatasi atau merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.Bagaimana pelaksanaan poligami secara umum?
2.Bagaiman poligami antara seorang wanita dengan tantenya dari pihak Bapak dan Ibu menurut hukum Islam ?
3.Dan bagaimana konsekuensinya?

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan di Download lengkapnya.

Popular

Popular Posts

Blog Archive