24 Mei, 2025


Rumah tangga merupakan lembaga pertama dan utama dalam membentuk peradaban manusia. Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar ikatan biologis, tetapi merupakan
perjanjian suci (mītsāqan ghalīẓan) yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab, cinta, dan pengabdian kepada Allah SWT. Tujuan utama dari pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah, yaitu rumah tangga yang diliputi ketenangan, kasih sayang, dan keberkahan.

Makna Sakinah dalam Al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya:
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan dari pernikahan adalah terciptanya sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang) dalam kehidupan suami istri. Ketiganya merupakan fondasi penting dalam membangun keluarga yang kuat dan harmonis.

Prinsip-Prinsip Rumah Tangga Sakinah

1. Landasan Tauhid dan Ibadah

Rumah tangga sakinah dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah SWT. Suami istri harus menjadikan rumah tangganya sebagai tempat beribadah, saling mengingatkan dalam kebaikan, serta mendidik anak-anak dalam nilai-nilai Islam.

اللَّهُمَّ ارْحَمْ رَجُلًا أَقَامَ اللَّيْلَ وَأَقَامَ زَوْجَتَهُ

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun malam lalu membangunkan istrinya untuk shalat malam.” (HR. Abu Dawud)

2. Komunikasi yang Baik dan Saling Pengertian

Suami istri harus membangun komunikasi yang sehat, jujur, dan penuh empati. Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang sangat lembut dan komunikatif kepada istri-istrinya.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

 "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku." (HR. At-Tirmidzi)

3. Saling Memahami Peran dan Kewajiban

Dalam Islam, suami adalah pemimpin keluarga (qawwam) yang bertanggung jawab atas nafkah dan perlindungan, sementara istri adalah pengelola rumah tangga yang menjaga amanah.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ...

"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..." (QS. An-Nisa: 34)

4. Kesabaran dan Saling Memaafkan

Setiap rumah tangga pasti mengalami ujian dan konflik. Keluarga sakinah dibentuk melalui proses saling memahami, memaafkan, dan mengedepankan kesabaran sebagai jalan keluar dari perbedaan.

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 134)

Pendidikan Anak sebagai Bagian dari Keluarga Sakinah

Keluarga sakinah tidak hanya dirasakan oleh suami istri, tetapi juga anak-anak yang tumbuh dalam suasana penuh kasih, disiplin, dan nilai-nilai tauhid. Orang tua bertanggung jawab memberikan teladan dalam ibadah, akhlak, dan kecintaan kepada ilmu.

لُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Membangun rumah tangga sakinah adalah proses panjang yang harus ditempuh dengan kesungguhan, keikhlasan, dan keimanan. Ia bukan semata-mata tujuan, tetapi sebuah perjalanan spiritual menuju ridha Allah SWT. Dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman, setiap pasangan muslim dapat meraih ketenangan sejati dalam bingkai keluarga yang dirahmati.

23 Mei, 2025


Rasulullah Muhammad SAW adalah figur utama dalam Islam yang akhlaknya menjadi contoh sempurna bagi umat manusia. Dalam berbagai ayat Al-Qur'an dan hadis, dijelaskan bahwa beliau memiliki akhlak agung yang mencerminkan nilai-nilai Islam sejati. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji akhlak Rasulullah SAW berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an, hadis, dan pendapat ulama, serta menjelaskan urgensinya sebagai teladan moral di tengah krisis keteladanan dewasa ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka (library research). Hasil kajian menunjukkan bahwa akhlak Nabi mencakup dimensi spiritual, sosial, dan kemanusiaan yang tetap relevan dalam membangun karakter pribadi dan masyarakat.

Akhlak merupakan aspek fundamental dalam ajaran Islam. Ketika Allah SWT mengutus Rasulullah SAW, misi utamanya adalah menyempurnakan akhlak umat manusia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Ahmad, dan lainnya)

Krisis moral yang terjadi di masyarakat modern menuntut kehadiran figur yang bisa dijadikan panutan. Rasulullah SAW adalah contoh paling sempurna dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam relasi dengan Allah, sesama manusia, maupun alam semesta.

1. Rasulullah SAW sebagai Teladan Akhlak

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4)

Imam Ibn Kathir menafsirkan ayat ini bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang agung dalam seluruh dimensi kehidupan, baik ucapan, tindakan, maupun perilaku sosial. Akhlaknya adalah implementasi langsung dari ajaran Al-Qur'an.

2. Akhlak Rasulullah Berdasarkan Hadis

Aisyah RA, istri Nabi, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Ini menunjukkan bahwa perilaku Nabi merupakan pengejawantahan langsung dari ajaran Al-Qur'an, sehingga meneladani beliau berarti menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh.

3. Akhlak Rasulullah dalam Interaksi Sosial

Beberapa aspek penting dari akhlak Rasulullah SAW:

  1. Kejujuran: Beliau dikenal dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya) bahkan sebelum diangkat menjadi rasul.
  2. Kesabaran: Dalam menghadapi hinaan dan penyiksaan, beliau tetap sabar dan tidak membalas dengan kebencian.
  3. Pemaaf: Rasulullah memaafkan penduduk Thaif meskipun mereka melempari beliau dengan batu.
  4. Tawadhu’ (rendah hati): Beliau hidup sederhana dan tidak membedakan diri dari rakyat biasa.

Hadis lain menyebutkan:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi)

4. Pendapat Para Ulama tentang Akhlak Nabi

  1. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa Rasulullah adalah model ideal dalam pembentukan akhlak manusia. Menurutnya, pendidikan akhlak harus merujuk pada kepribadian Nabi.
  2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Zād al-Ma‘ād menggambarkan akhlak Nabi sebagai perpaduan antara rahmat, keadilan, dan kebijaksanaan.
  3. Yusuf al-Qaradawi menyatakan bahwa akhlak Nabi mencakup nilai-nilai universal seperti kejujuran, kasih sayang, dan keadilan sosial, yang relevan lintas zaman dan tempat.

5. Urgensi Meneladani Akhlak Nabi di Era Modern

Di era globalisasi, terjadi degradasi nilai-nilai moral yang melanda berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, keluarga, dan media. Meneladani akhlak Rasulullah merupakan solusi preventif dan kuratif terhadap masalah moral. Implementasinya dapat dilakukan melalui:

  1. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai profetik
  2. Keteladanan guru, orang tua, dan pemimpin masyarakat
  3. Penguatan literasi Islam dalam kurikulum

Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam akhlak mulia yang bersumber dari wahyu Allah. Keteladanan beliau terbukti melalui berbagai dalil Al-Qur'an, hadis, dan pengakuan para ulama sepanjang zaman. Meneladani akhlak beliau bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga kebutuhan moral dalam membentuk pribadi dan masyarakat yang unggul secara spiritual dan sosial. Oleh karena itu, perlu usaha kolektif untuk menghidupkan kembali nilai-nilai akhlak Rasulullah dalam kehidupan modern.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim

  2. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari

  3. Muslim, Shahih Muslim

  4. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin

  5. Ibnu Qayyim, Zād al-Ma‘ād

  6. Yusuf al-Qaradawi, Etika Islam

  7. Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim

  8. Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum


22 Mei, 2025

 


Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang paling utama setelah syahadat. Kewajiban ini tidak hanya menandakan ketaatan kepada Allah SWT, tetapi juga menjadi tolok ukur keimanan seorang Muslim. Di antara aspek penting dalam pelaksanaan shalat adalah menunaikannya tepat waktu. Allah SWT dan Rasulullah telah memberikan banyak pujian dan keutamaan bagi orang-orang yang menjaga waktu shalat dengan disiplin.

Makna Shalat Tepat Waktu

Shalat tepat waktu berarti melaksanakan ibadah shalat dalam rentang waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan syariat. Hal ini bukan hanya soal waktu teknis, tetapi juga menunjukkan ketaatan, kedisiplinan, dan kesungguhan hati dalam menyambut panggilan Allah.

Dalil-dalil Keutamaan Shalat Tepat Waktu

1. Al-Qur'an

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا

"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman."
(QS. An-Nisa: 103)

Ayat ini menegaskan bahwa waktu shalat adalah ketetapan yang wajib dijaga, dan tidak boleh diabaikan.

2. Hadis Nabi Muhammad

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا

"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat pada waktunya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa shalat tepat waktu adalah bentuk ibadah yang sangat dicintai Allah, bahkan lebih utama daripada amalan-amalan lain yang bersifat sosial atau sunnah.

3. Hadis tentang ancaman menunda shalat

فَوَيْلٌۭ لِّلْمُصَلِّينَ ۝ ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

"Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya."
(QS. Al-Ma’un: 4–5)

Menurut sebagian mufassir, “lalai dari shalatnya” mencakup melalaikan waktu pelaksanaan shalat, bukan hanya meninggalkannya.

Pandangan Ulama

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan:

"فإن الصلاة في أول الوقت أفضل، إلا أن يكون في تأخيرها مصلحة راجحة، كصلاة الجماعة، أو انتظار الجماعة، أو نحو ذلك."

"Menunaikan shalat di awal waktu adalah lebih utama, kecuali bila terdapat keutamaan berjamaah yang lebih besar di akhir waktu."

Imam Nawawi juga menyebutkan dalam Syarh Shahih Muslim bahwa shalat di awal waktu merupakan praktik utama yang dicontohkan Rasulullah , kecuali pada kondisi khusus.

Keutamaan Shalat Tepat Waktu dalam Kehidupan

1. Mendapat Cinta dan Ridha Allah

Orang yang menjaga waktu shalat akan dicintai Allah karena menunjukkan kesungguhan dalam beribadah.

2. Menumbuhkan Disiplin dan Ketertiban

Shalat tepat waktu melatih kedisiplinan hidup, karena waktu-waktunya teratur dan tidak bisa diubah seenaknya.

3. Menjadi Penjaga dari Perbuatan Keji dan Mungkar

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar..." (QS. Al-Ankabut: 45)

Shalat yang dilakukan dengan khusyuk dan tepat waktu lebih berpotensi memberi efek spiritual dan moral bagi pelakunya.

4. Menjadi Penolong di Hari Kiamat

Orang yang menjaga shalatnya dengan benar, terutama tepat waktu, akan memperoleh naungan dan pertolongan di hari kiamat, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis.

Menjaga shalat tepat waktu bukan hanya kewajiban, tetapi juga sumber keberkahan dan ketenangan hidup. Dalam dunia yang penuh kesibukan, keteguhan dalam menjaga waktu shalat menunjukkan kekokohan iman seseorang. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang menjaga waktu shalat dengan sebaik-baiknya, dan mendapat ridha serta rahmat Allah SWT.

 


21 Mei, 2025


Tauhid adalah inti ajaran Islam. Tidak ada satu nabi pun yang diutus kecuali untuk menyerukan tauhid. Tauhid secara etimologis berasal dari bahasa Arab wahhada–yuwahhidu–tauhīdan yang berarti mengesakan. Dalam istilah syariat, tauhid adalah keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tanpa sekutu dalam rububiyyah-Nya (penciptaan), uluhiyyah-Nya (peribadatan), dan asma’ wa sifat-Nya (nama dan sifat).

Tauhid bukan hanya doktrin keimanan semata, melainkan juga memiliki konsekuensi praktis dalam seluruh aspek kehidupan. Seorang Muslim yang bertauhid akan memiliki sikap hidup yang lurus, tenang, dan seimbang.

 

Keutamaan Tauhid Berdasarkan Dalil Al-Qur’an

1. Tauhid adalah tujuan penciptaan manusia dan jin

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini menegaskan bahwa tujuan penciptaan makhluk adalah agar mereka mentauhidkan Allah, bukan hanya sekadar menjalankan ibadah ritual tanpa kesadaran akidah.

2. Tauhid adalah jalan keselamatan dan ketenteraman jiwa

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
(QS. Al-An’am: 82)

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa "kezaliman" dalam ayat ini adalah syirik. Siapa yang bersih dari syirik, maka ia akan mendapatkan rasa aman dunia-akhirat.

3. Tauhid membuka pintu rezeki dan solusi hidup

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا ۝ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۚ

"...Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya."
(QS. At-Talaq: 2–3)

Tauhid yang benar melahirkan takwa, dan takwa menjadi kunci pembuka berbagai kemudahan dalam hidup.

Keutamaan Tauhid Menurut Hadis Nabi SAW

1. Tauhid adalah kunci surga

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

"Barang siapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka ia masuk surga."
(HR. Muslim, no. 26)

Hadis ini menekankan bahwa pengetahuan dan keyakinan yang benar terhadap tauhid akan menjadi sebab masuk surga.

2. Tauhid menghapus dosa sebesar apapun

"Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula."
(HR. Tirmidzi, no. 3540)

Hadis ini menunjukkan bahwa tauhid adalah sebab terbesar diampuninya dosa, selama tidak tercampur dengan syirik.

Pandangan Ulama Mengenai Keutamaan Tauhid

 

1.     Pembagian Tauhid dalam Perspektif Al-Asy‘ariyyah

Dalam mazhab Asy‘ari, tauhid dibahas dalam kerangka teologi (ilmu kalam) dengan penekanan pada pengakuan terhadap keesaan Allah dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya, serta penolakan terhadap syirik dan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Berikut pembagian tauhid menurut perspektif Asy‘ariyyah:

1. Tauhid Dzat (توحيد الذات)

Yaitu meyakini bahwa dzat Allah esa, tidak tersusun, tidak terbagi, tidak menyerupai makhluk, dan tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.

Dalil:
"Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa."
(QS. Al-Ikhlas: 1)

2. Tauhid Sifat (توحيد الصفات)

Artinya menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa menyerupakan (tasybih), mengingkari (ta’thil), atau mempertanyakan “bagaimana” (takyif) sifat tersebut.

Al-Asy‘ari membantah pandangan Mu‘tazilah yang menolak sifat-sifat Allah, dan menegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, tanpa menyamakan-Nya dengan makhluk.

Dalil:
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(QS. Asy-Syura: 11)

3. Tauhid Af‘al (توحيد الأفعال)

Yaitu meyakini bahwa semua perbuatan (af‘al) di alam semesta adalah ciptaan Allah, termasuk perbuatan manusia. Namun manusia tetap memiliki kasb (usaha atau perolehan), yang menjadi dasar tanggung jawab moralnya.

Ini adalah sintesis antara takdir dan kebebasan, dan menjadi ciri khas pemikiran Asy‘ariyyah dalam membela keadilan dan kekuasaan mutlak Allah.

Dalil:
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat."
(QS. As-Saffat: 96)

 

2.      Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Beliau menyatakan dalam Madarij as-Salikin bahwa "Tauhid adalah sumber kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan hati. Tauhid adalah obat segala penyakit hati."

3.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Dalam Majmu’ Fatawa, beliau berkata:
"Tidak ada kenikmatan dan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan mengenal Allah, mencintai-Nya, dan bertauhid kepada-Nya."

4.      Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Dalam Kitab at-Tauhid, beliau menjelaskan bahwa semua nabi diutus untuk menyerukan tauhid, dan keberhasilan hidup serta keselamatan akhirat bergantung pada tauhid.

 

Aplikasi Tauhid dalam Kehidupan Sehari-hari

  1. Menjaga Keikhlasan
    Tauhid mendorong seseorang untuk beramal hanya karena Allah. Tanpa tauhid, amal bisa rusak karena riya.
  2. Menghindari Ketergantungan kepada Makhluk
    Muslim yang bertauhid hanya berharap kepada Allah, bukan kepada kekuatan materi, jabatan, atau manusia.
  3. Menumbuhkan Optimisme dan Ketenteraman
    Orang bertauhid percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, sehingga ia tidak mudah cemas atau putus asa.
  4. Mendorong Keteguhan dalam Dakwah dan Perjuangan
    Tauhid memberikan keberanian karena hanya takut kepada Allah, bukan kepada makhluk.
  5. Menjaga Moral dan Etika
    Orang yang bertauhid akan merasa selalu diawasi oleh Allah, sehingga menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.

Tauhid bukan hanya teori dalam akidah, melainkan fondasi praktis dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ia memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berperilaku seorang Muslim dalam menghadapi segala dinamika hidup. Mewujudkan tauhid yang murni dalam seluruh aspek kehidupan adalah jalan untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.

 

20 SIFAT KETAUHIDAN (SIFAT WAJIB BAGI ALLAH SWT)

A. Sifat Nafsiyyah (1 sifat)

  1. Wujud (الوجود) – Allah ada, dan keberadaan-Nya tidak bergantung pada apa pun.

B. Sifat Salbiyyah (5 sifat – sifat penafian)

  1. Qidam (القدم) – Allah tidak bermula, tidak didahului oleh ketiadaan.
  2. Baqa’ (البقاء) – Allah kekal, tidak akan pernah binasa.
  3. Mukhalafatuhu lil hawadits (مخالفته للحوادث) – Allah berbeda dari makhluk-Nya dalam segala hal.
  4. Qiyamuhu binafsih (قيامه بنفسه) – Allah berdiri sendiri, tidak membutuhkan apa pun.
  5. Wahdaniyyah (الوحدانية) – Allah esa dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya.

C. Sifat Ma‘ani (7 sifat – sifat yang ada secara hakiki)

  1. Qudrah (القدرة) – Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
  2. Iradah (الإرادة) – Allah berkehendak, menentukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.
  3. Ilmu (العلم) – Allah maha mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun tersembunyi.
  4. Hayat (الحياة) – Allah maha hidup, tidak pernah mati atau tidur.
  5. Sama’ (السمع) – Allah maha mendengar tanpa alat pendengaran seperti makhluk.
  6. Basar (البصر) – Allah maha melihat tanpa alat penglihatan seperti makhluk.
  7. Kalam (الكلام) – Allah berfirman, memiliki sifat kalam yang tidak serupa dengan ucapan manusia.

D. Sifat Ma‘nawiyyah (7 sifat – penguat sifat ma‘ani)

  1. Kaunuhu Qadiran (كونه قادرا) – Allah dalam keadaan Maha Kuasa.
  2. Kaunuhu Muridan (كونه مريدا) – Allah dalam keadaan Maha Berkehendak.
  3. Kaunuhu ‘Aliman (كونه عالما) – Allah dalam keadaan Maha Mengetahui.
  4. Kaunuhu Hayyan (كونه حيا) – Allah dalam keadaan Maha Hidup.
  5. Kaunuhu Sami‘an (كونه سميعا) – Allah dalam keadaan Maha Mendengar.
  6. Kaunuhu Basiran (كونه بصيرا) – Allah dalam keadaan Maha Melihat.
  7. Kaunuhu Mutakalliman (كونه متكلما) – Allah dalam keadaan Maha Berfirman.

 

 Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’anul Karim
  2. Shahih Muslim
  3. Sunan Tirmidzi
  4. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim
  5. Ibnu Qayyim, Madarij As-Salikin
  6. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
  7. Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab At-Tauhid
  8. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin
  9. Asy-Syafi’i, Ar-Risalah

 



Popular

Popular Posts

Blog Archive