MUNAWIR SJADZALI
REAKTUALISASI HUKUM ISLAM
(Waris, Budak dan Bunga Bank)
I. Pendahuluan
Kehidupan di alam raya ini ditandai dengan adanya gerak dan dinamika. Dari gerak dan dinamika inilah timbul perubahan dan perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lain dari satu warna ke warna yang lain dalam dimensi ruang dan waktu secara terus menerus tanpa henti. Suatu agama dapat berfungsi dan terasa dibutuhkan dalam kehidupan yang demikian, jika di dalam agama itu terdapat ruang bagi gerak dan dinamika kehidupan yang digambarkan itu.
Demikian halnya dengan agama Islam. Sekalipun ia terbangun di atas fondasi-fondasi yang tertanam kukuh dan tetap merupakan hakikat kebenaran abadi, namun di dalamnya terdapat dinamika yang menjadikannya mampu membimbing kehidupan manusia yang bergerak dan berubah terus dari masa ke masa, serta berkembang dari suatu keadaan ke keadaan yang lain sepanjang perjalanan sejarah, yang sampai sekarang sudah melewati rentang waktu kurang lebih 14 tahun.
Tampilnya para pembaharu secara berkesinambungan menandai adanya dinamika yang besar dalam agama Islam. Sekaligus hal itu menggambarkan pula banyaknya tantangan yang silih berganti yang dihadapi Islam dari waktu ke waktu. Makalah ini secara umum menguraikan biografi dan pemikiran Munawir Sjadzali salah seorang penggagas pembaharuan hukum di Indonesia.
II. Pembahasan
A. Biografi Singkat Munawir Sjadzali
Munawir Sjadzali adalah tokoh intelektual dan agama serta diplomat, yang menjabat sebagai menteri agama di masa Orde baru sejak kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga kabinet Pembangunan V (1988-1993). Meskipun ia hanya sempat menjadi menteri Agama dalam dua kali masa jabatan saja, belum ada yang bisa memecahkan rekor menjadi menteri agama selama sepuluh tahun.
Munawir Sjadzali lahir di Klaten, 7 November 1925. Munawir adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas'iyah (putri Badruddin). Setelah menikah, sesuai dengan tradisi di desa Karanganom, ayah Munawir mendapat nama tua Mughaffir. Tokoh pembaharu di Indonesia ini Wafat pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2004.
Dari segi ekonomi, keluarga Mughaffir memang jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah keluarga santri. Mughaffir sendiri memang tipe seorang santri pada masanya. Hal ini antara lain dicirikan oleh pengembaraannya untuk mencari ilmu ke berbagai daerah yang cukup terkenal pada masa itu antara lain, pesantren Jamsaren (Solo), pesantren Tebuireng (Jombang), dan pesantren Termas (Pacitan).
Kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan madrasah. Bukan saja karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan ini relatif murah, tetapi juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional Islam, meskipun harus ditegaskan bahwa pertimbangan pertama lebih dominan daripada yang kedua. Karena alasan ini pula setelah menamatkan madrasah Ibtidaiyah di Kampungnya Munawir melanjutkan ke Mamba al-Ulum, kurang lebih 30 Kilometer dari desa Karanganom.
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama/tinggi Islam "Mambaul Ulum" di Solo, selanjutnya menjadi guru di Ungaran, Semarang. Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia ikut menyumbangkan tenaga antara lain sebagai penghubung antara markas pertempuran Jawa Tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam.
Kariernya di lingkungan departemen luar negeri dirintisnya sejak tahun 1950 ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, beliau menjalankan tugas berturut di Washington DC (1956-1959) dan Kolombo (1963-1968), kemudian menjabat sebagai Minister/wakil kepala perwakilan RI di London (1971-1974), dan selanjutnya diangkat menjadi duta besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980).
Adapun tugas-tugas dalam negeri yang pernah dijabatnya adalah Kepala Bagian Amerika Utara (1959-1963), Kepala Biro Tata Usaha Pimpinan Deplu (1969-1970) Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri, dan Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri sejak 1980. Pendidikan universitasnya di luar negeri pada University of Exeter, Inggris (1953-1954) dan Georgetown University, Washington DC. Serta memperoleh gelar M. A dengan Tesis Indonesia's Muslim Parties and Their Political Concepts (1950).
B. Reaktualisasi Hukum Islam
Dalam percaturan intelektual Islam Indonesia, Munawir sebenarnya datng belakangan. Keterlibatan Munawir dalam gerakan wacana gerakan reaktualisasi hukum Islam di Indonesia bahkan tidak bisa dipisahkan dari posisinya sebagai Menteri Agama. Meskipun demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak mengikuti perkembangan Islam di Indonesia, baik dari segi perjuangan politik maupun segi perkembangan pemikiran. Perhatiannya yang besar terhadap diskusi tentang hubungan antara Islam dan negara, bukan hanya merupakan indikasi yang sulit dibantah, tetapi juga menjadi semacam dorongan dalam dirinya untuk terlibat dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia.
Munawir tidak hanya dikenal kritis terhadap para pemimpin dan aktivis Islam yang mengajukan aspirasi mendirikan negara Islam. Lebih dari itu, secara intensif ia melakukan studi, dengan bersumber pada kitab-kitab klasik Islam, tentang konsep politik Islam. Tak heran jika dua tahun setelah diangkat menjadi menteri Agama, tepatnya akhir 1985, Munawir melontarkan gagasan perlunya reaktualisasi hukum Islam.
Dengan lontaran gagasan ini Munawir kemudian terlibat aktif di dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, bahkan dapat dikatakan salah satu eksponen gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kontribusinya terhadap isi dan bentuk gerakan pembaharuan Islam Indonesia, terutama dalam lingkungan intelektualisme Islam baru, jelas tidak dapat diabaikan.
Titik sentral pesan Munawir adalah mendorong komunitas Islam untuk melakukan ijtihad secara berani dan jujur. Hanya dengan cara inilah, menurutnya Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan-keperluan lokal dan temporal Indonesia.
Landasan hukum gagasan reaktualisasi Munawir ialah dalam AlQuran dan Hadis Nabi terdapat naskh. Menurutnya dalam kitab suci ini terdapat ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh nabi Muhammad saw, pada waktu-waktu sebelumnya. Ringkasnya jika hanya dalam waktu kurang 22 tahun terdapat pembaharuan maka mustahil selama 14 abad tidak terdapat hal itu.
Gagasan reaktulisasi Munawir didasari pula pada tindakan Umar bin Khattab. Menurutnya selama Umar menjabat, beliau telah mengambil banyak kebijakan dalam hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat AlQuran. Kasus yang paling terkenal adalah ketika beliau menempuh kebijaksanaan dalam pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk AlQuran (Q.S. al-Anfal, 41). Kebijaksanaan ini menurutnya, mendapat dukungan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat senior Nabi yang kemudian bergiliran menggantikan Umar sebagai khalifah dan pengelola urusan kenegaraan.
Contoh lain dari kebijaksanaan Umar bin Khattab, dalam AlQur'an ayat 60 surah at-Taubah, dengan jelas dinyatakan bahwa diantara mereka yang berhak menerima pembagian zakat adalah al-Muallafah qulubuhum, dan petunjuk itu dahulu dilaksanakan baik oleh Nabi sendiri maupun oleh khalifah Abu Bakar. Tetapi sewaktu Umar menjabat sebagai khalifah dua setengah tahun setelah Nabi wafat, beliau menghentikan pemberian bagian zakat kepada muallaf, bukan karena keadaan darurat, tetapi karena situasi telah berubah, dan pemberian bagian zakat kepada muallaf sudah tidak dianggap perlu lagi.
Reaktualisasi hukum Islam, Munawir menyentuh pada persoalan kewarisan, budak dan bunga bank. Berikut uraian umum mengenai ketiga hal tersebut, dan alasan mengapa Munawir melakukan reaktualisasi.
1. Kewarisan
Dalam pembagian harta warisan, AlQuran an-Nisa’; 11, dengan jelas mengatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan.
يو صيكم الله في اولاد كم للذكر مثل حظ الانثيين.
Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung. Hal itu diketahui oleh Munawir ketika mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai menteri agama. Ketika menjadi menteri agama, lanjut Munawir, saya mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan Alquran tersebut. Para hakim agama menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli warisnya meminta fatwa kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai dengan waris atau faraid. Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh masyarakat tetapi meminta kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang tidak sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga tokoh organisasi Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Sementara itu, banyak kepala keluarga mengambil kebijaksanaan pre-emptive, mereka tidak memberlakukan 2:1, tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya sama rata sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin, dengan alasan sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan habis sama sekali. Harta yang sedikit itu dapat dibagi sesuai dengan hukum faraid, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Namun yang menjadi masalah apakah perbuatan tersebut sudah melaksanakan ajaran agama yang sah betul ? atau bahkan merupakan perbuatan yang main-main terhadap agama.
Oleh karenanya, Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh masyarakat Islam tersebut, baik terpelajar maupun awam. Beliau mengemukakan bahwa Alquran menganut nasakh (pembatalan). Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau dibatalkan hukumnya. Hal ini didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat, maka hukum tersebut dapat digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu terakhir (adat baru). Seperti yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah mampu bekerja sendiri (menjadi mitra).
Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar di sekolah kejuruan yang jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama.
Ulama tersebut tidak dapat memberikan fatwa. Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau membegi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya sebelum meninggal sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa sedikit yang harus dibagi menurut faraid.
Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung sebentar lalu bertanya apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada putra-putrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia. Dengan demikian ulama tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam dewasa ini.
Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Di satu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi hukum waris tersebut.
2. Budak
Menurut Munawir dalam AlQuran terdapat beberapa ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun demikian, secara tidak langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil tersebut adalah nash sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak memungkinkan lagi dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai musuh kemanusiaan, maka perbudakan tersebut harus dihapuskan.
Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum menerima wahyu untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi Muhammad Saw selalu menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali.
Beliau juga mengemukakan bahwa benar Nabi belum menerima wahyu yang menghapuskan perbudakan yang sangat berakar di masyarakat sehingga tidak dapat dihapuskan sama sekali. Artinya, adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat serta tempat. Dengan munculnya adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan, maka soal budak ini dengan sendirinya menjadi hilang pula.
Apabila alur pendapat itu kita terima bahwa sedangkan hal-hal yang mendasar seperti perbudakan, nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat, maka apakah sebagai umatnya kita tidak seharusnya belajar dari kebijaksanaan panutan agung kita itu ?
Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak yang masih menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara tekstual, sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran Islam. Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai manusia merdeka.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin menghapuskan perbudakan, sebab perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya Nabi tidak khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya perbudakan, maka beliau sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan.
3. Bunga Bank
Salah satu masalah yang diperdebatkan oleh pakar-pakar hukum dewasa ini adalah maslah bunga bank. Dari hasil perdebatan tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang menganggapnya subhat, dan adapula yang menganggapnya mubah. Selain pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal.
Di antara ulama yang mangatakan bahwa bunga bank itu halal adalah Munawir, beliau mengatakan bahwa di kalangan umat Islam dewasa ini, masih banyak yang berpendirian bahwa bunga bank adalah interest dalam bank termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Mereka yang berpendirian demikian tidak hanya hidup dari bunga deposito (termasuk bunga tabungan), hanya menggunakan jasa bank dan tidak sedikit mendirikan bank dengan sistem bunga, alasan yang dikemukakannya adalah darurah (terpaksa). Alasan ini tidak sejalan dengan QS. al-Baqarah (2): 173 yang memberi kelonggaran karena tidak terpenuhinya kriteria, yakni tidak sengaja dan sekedar memenuhi kebutuhan esensial.
Ketika Munawir menyampaikan sambutannya dalam peringatan ulang tahun Muhammadiyah di Jogyakarta, beliau mengatakan bahwa dalam rangka tajdid yang menjadi salah satu ciri gerakan pembaharuan oleh Muhammadiyah apakah persoalan bank dalam Islam masih perlu di-tawaqquf-kan atau ditangguhkan pembahasannya oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah ? kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya bahwa kita setiap hari dalam kegiatan ekonomi dan untuk menyetor ongkos naik haji selalu melakukannya sekarang ini melalui bank. Apakah kebolehan penggunaan bank itu hanya dengan alasan darurah ?
Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini. Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangna melakukan riba. Di antara ulama yang dapat amenerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangna pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i.
Terkait dengan hal tersebut, apabila diperhatikan perndapat Munawir, maka ia lebih condong ke arah penerimaan bank biasa dengna alasan hajat tadi, namun beliau tetap akomodatif terhadap pembentukan bank Mu’amalah dan bank BPR Syariah dengan prinsip kongsi dagang (syirkah atau mudharabah) seraya mengindahkan peraturan perbankan yang berlaku.
III. Kesimpulan
Perhatian utama Munawir Sjadzali terletak pada premis bahwa terdapat sejumlah ayat al-Qur'an khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, bukan ritual yang tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini, seperti hukum waris, budak. Dalam soal ini Munawir antara lain merujuk pada semangat pengalaman khalifah Umar bin Khattab.
Pola ijtihad Umar bin Khattab yang berani dan jujur ini telah memberi inspirasi bagi Munawir untuk berpendapat bahwa hendaknya komunitas muslim jujur dan berani dalam berhubungan dengan hukum Islam. Percaya akan dinamika dan vitalitas syari'ah, ia menganjurkan kalangan Islam untuk melakukan reaktualisasi hukum Islam.
-------------------------------
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998.
Mursyid, Hasbullah. "Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin Berpengaruh", [ed.], M. Wahyuni, et. al., Kontekstulisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Cet. I; Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
Syihab, Umar. Hukum Islam dan Tranformasi Pemikiran, Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1996.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Wahyuni, M. et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Cet. I; Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
Yafie, Ali. "Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia", [ed], M. Wahyuni, et. al. Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Cet. I; Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
0 comments:
Posting Komentar
Silakan titip komentar anda..