19 Desember, 2011

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).
Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis.
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemimiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.
Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.
Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.

C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka Download makalah lengkapnya...

23 November, 2011

Telah lama daku tak menceritakan kegiatan dan aktivitas daku dikau. Kali ini daku akan membagi info seputar kegiatan MTQ Tingkat Prop. di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) - NTB.
Banyak waktu yang disita demi mempersiapkan diri tuk ikut serta dalam kegiatan (lomba) kali ini. Sebelum Ramadhan lalu kami telah melakukan TC (Training Center) di Hotel La Ila Kota Bima, Karena memang rencana diadakannya MTQ ini tepat setelah Bulan Ramadhan 2011, namun apa kendala dan apa gerangan sehingga tertunda hingga bln Nopember 2011 ini. Daku utusan dari Kafilah Kab. Bima, sebelum kami berangkat menuju arena di KSB tentunya ada acara pelepasan oleh Bupati Bima "Bpk. Fery Zulkanain, ST" di Pandopo tempat kediaman beliau dan star ba'da Isya'.
Singkat cerita, sampai di KSB kami di sambut oleh Camat Taliwang selengkapnya...

13 November, 2011

Pada perkembangannya, masalah muhkam dan mutasyabih telah menjadi wilayah diskursus ambiguitas dan distingsi dan merupakan karakteristik teks yang paling penting dalam kajian-kajian kritis kontemporer, sebab yang membedakan antara teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di tengah sistem semantik umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu sendiri.
Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan mukjizat yang pada dasarnya datang untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Kajian ini menjadi postulat mendasar yang pada akhirnya menimbulkan tanda tanya: "Mengapa ada ayat mutasyabihat yang sulit dipahami, padahal Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, dan bukankah akan mudah dipahami jika semua ayat itu muhkamat" ?


Rumusan Masalah

Sesuai konteks pemahaman di atas, maka ada beberapa masalah penting yang dapat dikaji dalam permasalahan yang diangkat oleh pemakalah, yang rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan muhkam mutasy±bih ?
2.Bagaimana muhkam mutasy±bih dalam persfektif al-Qur’an ?
3.Bagaiman pembagian mutasy±bih serta pandangan ulama terhadap al-Qur’an ?
4.Apa saja kriteria mutasy±bih ?
5.Hikmah adanya ayat-ayat mutasy±bih ?

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka Download Makalah selengkapnya....

Memadukan antara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Akhlaki
Ada dua varian pemikiran tasawuf yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki. Tasawuf yang pertama lebih mengarah pada pergulatan pemikiran spekulatif dan intuisi rasa, lebih banyak berkembang di dunia Syi’ah. Penganutnya seperti Ibnu Arabi dan Suhrawardi. Sedangkan tasawuf yang kedua mengarahkan pada perbaikan akhlak dan moral seperti yang dianut oleh Al-Gazali. Dalam konteks keindonesiaan dapat dilacak pada ajaran Hamzah Fanzury dan Muhyiddin Al-Jawi yang bercorak falsafi sedangkan akhlaki (sunni) pada Nuruddin al-Raniri, Abd. Samad al-Palembani dan Hasyim Asyari.
Fenomena yang terjadi sekarang nampaknya masih terjadi varian-varian tersebut. Dan ternyata pada diri Jalaluddin Rakhmat antara tasawuf falasafi dan tasawuf akhlaki mengkristal menjadi satu. Hal terjadi karena akar-akar tasawuf dapat dilacak sampai pada pemikiran spekulatif Syi’ah yang memang mumnya falasafi, akan tetapi Jalaluddin juga sangat kental warna akhlakinya. Realitas ini tidak mengherangkan pada diri seseorang memadu dua varian sekaligus, Suhrawardi (al-hikmah Isyraqiyyah) dan Mulla Sadra (al-Hikmah al-Muta’aliyah) juga memadu antara pemikiran tasawuf dan filsafat serta pemikiran persia klasik sekaligus.
Sebagai contoh tulisan-tulisan banyak diilhamai oleh pemikiran Ali bin Abi Thali dan Ja’far Shadir serta Ali Zainal Abidin (Syi’ah istna Asyariyah), Ibnu Arabi, Al-Gazali (Sunni), Mulla Sadra, Ali Syariati, Murthadha Mutahahhari, Imam Khomeini (juga banyak dipengaruhi Ibnu Arabi), Sayyed Hosein Nasr (Syi’ah kontemporer) dan sebagainya. Jalaluddin menulis bahwa meskipun Ibnu Arabi adalah seorang Sunni tetapi lebih banyak dikaji di dunia Syi’ah. Ia kemudian mengutip pandangan Ibnu Arabi wahdah al-wujud tentang realitas dan entitas.
Ibnu Arabi membagi yang ada menjadi dua macam saja : Huwa dan La Huwa (Dia dan bukan Dia). Sekarang tengoklah ke sekitar. Apa yang disaksikan ? Matahari, pepohonan, hewan, orang lain, atau diri Anda—semuanya—adalah La Huwa. Allah swt.berfirman dalam Qs. Al-Baqarah (2): 115.“Kemanapun kalian menghadapkan wajah kalian, di sana ada wajah Allah”. Sekarang hadapkanlah wajah Anda kemana saja. Apa yang Anda lihat ? Wajah-wajah selain Allah ? La Huwa ? Alquran pasti tidak salah. Yang salah diri kita, karena ihwal kita yang kotor atau karena diri kita belum dihiasi dengan sifat-sifat Tuhan. Dia tidak tampak pada kita. “penampakan” Tuhan itu disebut tajalli . Ketika tajalli, ke mana pun kita arahkan wajah, kita hanya akan melihat Huwa. Oleh karena itu, bersihkan diri kita lebih dahulu, kemudian hiasi diri kita dengan akhlak Tuhan. Yang pertama disebut takhalli.yang kedua disebut tahalli.
Kemudian pada kesempatan yang lain, Jalaluddin mengutip puisi Ibnu Arabi yang merupakan kata “syatahat al-Sufiyah”;“Dia memujiku maka aku memuji-Nya, Dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya”
Puisi ini sering dikutip untuk menunjukkan kekafiran Ibnu Arabi. Padahal, kalau dimaknai, puisi ini berarti. “Tuhan, kau mengabdi kepadaku, aku pun mengadi kepada-Mu”. Karena besarnya kasih-sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia “mengabdi” kepada kita, melayani seluruh keperluan kita. Seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita. Demikian katanya.
Jalaluddin juga sangat banyak dipengaruhi pandangan Imam Al-Gazali, bahkan sejak muda ia telah membaca Ihya ulumuddin karya masterpiece ini. Mengenai masalah-masalah istilah ruh. qalb, akal dan nafs nampak Jalaluddin sangat dipengaruh oleh Al-Gazali. Contohnya ketika ia menulis;
Menurut Al-Gazali, istilah ruh, (ruh), qalb (kalbu), aql (akal) dan nafs (jiwa) sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non-fisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seleruh tubuh qalb adalah jantung….Makna hati yang kedua yaitu; lathifah rabbaniyah ruhaniyah; sesutau yang lembut yang berasal dari Tuhan yang bersifat ruhaniyah. Lathifah itulah yang membuat kita mengetahui dan merasakan sesuatu. Kata Alquran, hati itu mengetahui, merasakan, juga memahami. Jadi, hati adalah satu bagian ruhani yang kerjanya memahami sesuatu. Itulah qalb.

Note:
Makalah ini belum lengkap, maka silahkan download versi lengkapnya....

09 Oktober, 2011

Dalam segi filsafat, nilai dari tanggung jawab itu dijadikan sebagai salah satu dari kriteriadari kepribadian (personality) seseorang.

Unsur-unsur tanggung jawab :
Dari segi filsafat, sesuatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh 3 unsur :
a.Kesadaran.
b.Kecintaan/kesukaan.
c.Keberanian.
1.kesadaran.
Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Orang baru dapat dimintai tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.
2.kecintaan = love, affection
Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Sadar akan arti tanggung jawab.
3.keberanian. Courage, bravery
Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani disini, didorong oleh rasa keihklasan, tidak bersifat ragu-ragu dan takut kepada segala macam rintangan yang timbul sebagai konsekuensi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka seorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan-pertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi buta.8
Menurut kamus ilmiah kata social berarti : kemasyarakatan, yang suka bergaul, santun.9

Politik
Politik berarti 1). Segala yang berkenaan dengan cara-cara dan kebijksanaan dalam mengatur negara dan masyarakat bangsa.10
Moral
1). Istilah moral bersal dari kata latin: Morale, yang berarti Costom, kebiasaan, adat istiadat. Tahu adat disebut bermoral, dan sebaliknya disebut immoral. Kelakuan yang tidak baik disebut a moral. Orang yang tahu adat, mengerti tertib sopan santun inilah yang disebut moralis.11
Agama
Agama menurut kamus ilmiah berarti suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia dalam usahanya mencari hakekat dari hidupnya dan yang mengajarkan kepadanya tentang hubungannya dengan tuhan.12

B. Tanggung Jawab Para Ilmuan di Tinjau :
1. Bidang Sosial
Metode ilmu-ilmu social selalu melekat pada suatu bidang atau cabang sistim ilmu social tertentu. Pada mulanya, metode itu sangat dipengaruhi atau bahkan ditentukan ketika bidang atau cabang ilmu-ilmu social lahir. Tetapi kemudian mengalami perubahan dan perkembangan. Metode yang dipakai oleh ilmuan atau kelompok ilmuan juga dipengaruhi pada saat ilmu itu dipelajari atau diterapkan kemudian ditempat dan waktu lain, sebagai respon terhadap suatu perkembangan atau tuntutan perubahan social tertentu. Ilmu sosiologi sendiri baru pada masa revolusi industri, baik dieropa barat atau di amerika utara, pada awal abad 19. ilmuan-ilmuan Auguste Comte, Herbert Spencer, Lester Ward, emile Durkheim atau Max Weber, menulis buku-buku yang menjadi fondasi/fundamen sosiologi industri atau masa terbentuknya kapitalisme industri.13
Seorang ilmuan ilmu-ilmu social memualai tugas dan tanggung jawab dengan menemukan atau menggapai pengetahuan dengan melakukan formulasi teoritis yang kemudian harus diuji secara empiris. Kalau tidak data empiris yang dikumpulkan menrut cara-cara dan prosedur itu tertentu itu hanya ternyata mendukung formulasi teoritis yang telah disusun, maka formulasi itu kemudian berkembang atau dapat dikembangkan atau dapat dapat dikembangkan menjadi rumusan hasil pengetahuan yang didalamya terkandung teori ilmu social yang telah dibuktikan kebenarannya, yaitu kebenaran empiris.
Ada satu hal yang ikut memperkuat “kebenaran” ilmu pengetahuan social, yaitu citranya seperti ilmu kealaman dan hayat. Citra itu terealisasikan dengan memenuhi beberapa “keharusan”, yang secara etis netral si ilmuan harus memisahkan diri dari pandangan yang sifatnya pribadi atau memiliki pandangan yang impersonal sehingga dapat diperoleh apa yang disebut “objektifitas”, serta memenuhi segala persyaratan akurasitas dalam pengumpulan data.
Seorang ilmuan juga masih dituntut tanggung jawab sosialnya. Ia hanya diminta untuk menyatakan sikap terhadap suatu masalah masyarakat tempat ia hidup. Bahkan ada kalanya dituntut keterlibatannya dalam perubahan social guna mencapai tujuan tertentu. Jika tifak memiliki tanggung jawab social.
Masalah itu memang masih dan akan tetap merupakan kontroversi. Disatu pihak terdapat pandangan bahwa seorang ilmuan sejati harus tetap setia kepada fungsi alam ilmu pengetahuan “yang sebenarnya”, yaitu menyajikan dan menemukan kebenarannya ilmiah. Pemakaian hasil pemikiran dan penelitian itu sudah merupakan tanggung jawab yang lain, misalnya, negarawan, teknokrat, birograt, ruhaniawan atau agamawan, pengusaha, dan lain sebagainya yang selain ilmuan itu sendiri. sudah barang tentu seorang ilmuan dapat pindah profesi atau mengambil peranan yang lain sebagai konsumen atau pelaksana yang menerapkan hasil dan penelitian ilmiah dan dapat memenuhi tanggung jawab moral atau social yang dituntut oleh masyarakat. Tetapi, selama ia masih menjadi ilmuan, maka ketiga tanggung jawab saja yang mungkin disebut sebagai tanggung jawab ilmiah atau akademis yang bercirikan netralitas etis, objektifitas da disiplin dalam prosedur ilmiah.15

catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

08 Oktober, 2011

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua dari Alquran segaligus penjelasan atasnya. Olehnya itu, hadis selalu dipertanyakan tentang kesahihannya baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab karena harus melalui proses yang sangat panjang untuk menjawabnya, yang sering diistilahkan dengan penelitian hadis (takhr³j al-had³ts).
Hadis-hadis tentang lailatul al-qadr merupakan salah satu aspek hadis yang termuat dalam berbagai kitab hadis termasuk kitab-kitab hadis yang berstatus standar. Meski demikian, tidak serta merta dapat diterima sebagai hujjah. Maka untuk mengetahui kualitas hadis-hadis lailatul al-qadr perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.Bagaimana biografi Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M. A.
2.Bagaimana kaidah penelitian kesahihan sanad dan matan serta kualitas hadis-hadis lailatul al-qadr ?
3.Bagaimana pemahaman tekstual dan kontekstual hadis-hadis lailatul al-qadr ?.

B. Sekilas tentang buku "Menembus Lailatul al-Qadr: Perdebatan Intrpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual"
Buku "Menembus Lailatul Al-Qadr: Perdebatan Intrpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual" adalah sebuah buku karya. Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin M. A. Beliau adalah seorang ahli hadis. Sebelum pemakalah lebih jauh membahas lailatul al-qadr dalam bukunya, ada baiknya jika terlebih dahulu mengetengahkan sistematika penyusunan kitab buku "Menembus Lailatul al-Qadr", agar dapat membantu dalam mengkaji buku ini selanjutnya.

Catatan:

Makalah di atas belum lengkap, Download lengkapnya...

20 September, 2011

A.Siapa dan Bagaimana Riowayat Hidup Rabi'ah al-Adawiah ?
Rabi’ah al-Adawiah adalah putri dari Ismail al-Adawiah, sehingga nama beliau terkadang ditulis oleh sejarawan Rabi’ah binti Ismail al-Adawi. Beliau lahir di Basrah sekitar tahun 95 H/ 713 M. Dan berpulang kerahmatullah pada tahun 185 H/810 M juga di kota Basrah.
Beliau diberi nama Rabi’ah al-Adawiah karena merupakan putri ke-4 dari 3 putri lainnya (kakaknya). Beliau berasal dari keluarga ekonomi sulit, bahkan ketikan beliau dilahirkan, minyak untuk penerangan lampu pada saat kelahirannya pun tak dimiliki keluarganya, karena kemiskinan yang berkepanjangan menimpa keluarganya sampai-sampai beliau berpindah status menjadi hamba sahaya.

1.Masa Muda Rabi’ah al-Adawiah
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa beliau adalah seorang hamba sahaya pada usia kecilnya. Ini terjadi ketika kedua orangtuanya meninggal dunia, sehingga secara terpaksa beliau terjual kepada seorang majikan yang sangat kejam dengan harga yang sangat murah. Lidah Attar telah menuturkan ahwal masa kanak-kanak Rabi’ah al-Adawiah:
Pada suatu malam, ketika Rabi’ah dilahirkan, dituturkan bahwa tak sehelaipun pakaian yang dapat digunakan untuk mengolesi pusarnya. Ketika itu, ayah Rabi’ah pergi ke tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Ini atas permintaan istrinya, sekalipun sebelumnya ayah Rabi’ah telah memutuskan untuk tak meminta bantuan kepada selain Allah. Namun pada kali ini beliau dalam kondisi terdesak, sehingga secara terpaksa beliau melakukannya. Akan tetapi, tetap beliau tidak mendapat bantuan apa-apa dari tetangganya karena mereka semua sudah tidur . Kemudian ayah Rabi’ah kembali kerumah dan memberitahukan halnya, seketika itu bersedihlah sekeluarga yang pada akhirnya mereka juga tertidur dalam suasana sedih.
Pada saat tertidur, ayahnya Rabi’ah melihat Nabi Saw . Tiba-tiba muncul dihadapannya seraya berkata “Janganlah bersedih ! Engkau telah dianugrahi anak perempuan yang telah menjadi wali besar, syafaatnya dinantikan oleh 70.000 orang dari umatku” lalu Nabi kemudian memerintahkan kepadanya, “ Besok kirimlah surat ke Isa Radan (Amir Basrah) dengan mengingatkannya melalui isyarat ini, bahwasanya setiap malam dia berselawat 100 kali kepadaku, dan pada malam jum’at 400 kali(akan tetapi, pada malam jum’at ini, Ia telah melupakannku. Katakan kepadanya bahwa sebagai tebusannya dia harus memberikan 400 dinar
Pada saat fajar menyingsing, beliau terbangun sambil berurai air mata. Kemudian beliau dalam suasana kesedian. Menceritakan dan menuliskan mimpinya itu di dalam surat. Usai surat itu ditulis. Dikirimkan ke Basrah dan diserahkan kepada kepala rumah tangga istana untuk diberikan kepada Amir . Setelah membaca surat tersebut Isa Radan memerintahkan kepada prajuritnya untuk membagi-bagikan kepada orang-orang miskin sebanyak 10.000 dinar sebagai tanda syukur karena Nabi telah menyebut namanya. Terkhusus kepada ayah Rabi’ah, beliau mengirimkannya 400 dinar, seraya berkata meskipun aku sangat ingin agar orang ini (ayah Rabi’ah) mendatangiku, Akan tetapi, aku lebih memilih saya yang mendatanginya dan membersihkan debu yang ada ditelapak kakinya agar jenggotku. Demi Allah, kapan saja dalam membutuhkannya ‘maka beritahulah aku’
Sepeninggalan rang tua Rabi’ah, kelaparan hebat melanda kota Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar, sementara dia sendiri jatuh di tangan seorang yang kejam melalangnya sebagai seorang budak dengan harga beberapa dirham saja. Pada suatu malam, tiba-tiba dihampiri oleh seseorang asing dan dia merasa ketakutan. Pada mulanya dia bermaksud untuk melarikan diri, namun dia terjatuh dan kakinya patah. Dan dalam keadaan bersujud di lumpur, dia melantunkan rintihan nurani dengan mengatakan, “ Ya Allah, aku ini orang asing yang tak berayah dan tak beribu lagi. Aku dijual sebagai budak dan kini pergelangan kakiku patah. Sekalipun demikian aku tak akan merasa sedih atas sesuatu yang menimpa diriku. Aku hanya mengingingkan ridha-Mu kepadaku. Sehingga aku bisa mengetahui apakah aku sudah memperoleh kerendahan-Mu atau belum. Seketika itu, beliau mendengarkan suara gaib, “janganlah bersedih, sebab di akhirat kela, niscaya engkau akan mendapatkan kedudukan yang begitu dibanggakan, bahkan oleh mereka yang dekat kepada Allah di Surga”
Lintas, Rabi’ah kembali kerumah majikannya dan mulai berpuasa secara rutin serta melaksanakan shalat sepanjang malam. Pada siang hari, beliau selalu sibuk membantu majikannya. Suatu malam beliau shalat lail dan tiba-tiba majikannya terbangun menyaksikan Rabi’ah yang sedang berdoa seraya bersujud di tanah. Dalam doanya beliau melantunkan, “Ya Allah, engkau tahu betul, satu-satunya yang kudambakan adalah benar-benar tunduk kepada perintah-Mu, cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu. Jika itu terserah kepadaku, aku tidak akan berhenti beribadah kepada-Mu sesaatpun. Namun, engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.
Setelah mendengar ucapan ini, tuanya bangkit dan merenung sendirian serta berfikir sambil mengatakan bahwa wanita seperti ini tidak pantas diperbudak. Keesokan harinya ia memanggil Rabi’ah lalu memerdekakannya sambil berkata, “Jika engkau berkenaan tinggal bersama kami, maka kami semua menerimamu dan melayanimu, akan tetapi jika sekiranya engkau tidak menginginkan tawaran ini, maka bisa pergi kemana saja semaumu. Rabi’ah ternyata cenderung kepada opsi kedua. Lalu beliau memfokuskan diri untuk beribadah dan beramal shaleh. Konon bahwa beliau 1x24 jam terkadang melaksanakan shalat sampai 1000 rakaat
Dalam salah satu sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai seorang peniup seruling untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian beliau bertaubat dan hidup sebagai tunawisma diantara puing-puing keruntuhan bangunan, beliau berkamar untuk menyendiri beribadah maksimal semata. Akhirnya, beliau berangkat ke Makkah disanalah beliau betul-betul merasakan suasana hidup di padang pasir.

2.Rabi’ah dan Perkawinan
Sejumlah literatur menggambarkan bahwasanya Rabi’ah al-Adawiah tidak pernah menikah sepanjang usianya yang lebih kurang 90 tahun. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau ada diantara literatur lain yang menyebutkan bahwa beliau pernah dinikahi oleh Abd Wahid Ibn Zayd. Akan tetapi, menurut hamat penulis Rabi’ah yang dimaksud bukanlah Rabi’ah al-Adawiah melainkan Rabi’ah al-Damsydy karena perempuan tersebut memang termasuk wanita sufi yang disebutkan oleh sejarawan sederetan dengan Rabi’ah al-Adawiah, pendapat ini mendapat justifikasi dari Javad Nurbaksh.
Ketika beliau ditanya, “kenapa tidak menikah?” beliau menjawab berkali-kali bahwa “ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud (jasad), adakah wujud dalam diriku ? Aku adalah bukanlah milikku sendiri, melainkan aku adalah milik-Nya. Dalam riwayat yang lain beliau menjawab, sesungguhnya dalam hatiku tidak ada lagi ruang yang ditempati untuk menyimpang rasa cinta kepada selain Allah.
Jawaban lain yang ditemukan, ketika beliau dilamar oleh Abd Wahid, Rabi’ah tidak menyambut baik lamaran itu. Bahkan beliau minder menjawabnya “wahai laki-laki seksual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan engkau. Apakah engkau melihat adanya tanda-tanda seksual pada diriku ?”. Begitupula beliau memberi jawaban terhadap lamaran Hasan al-Basry dengan ucapan yang sangat bijaksana dan didalamnya termuat maksud-maksud ketidaksiapan beliau untuk bersuami dengan siapapun orangnya.

3.Kezuhudan Rabi’ah al-Adawiah
Rabi’ah al-Adawiah adalah seorang asketis (zahidan) yang menjalani hidupnya dalam keadaan miskin. Beliau sebenarnya berulang kali ditawari bantuan dan bahkan kemewahan dari berbagai sahabatnya dan orang yang hendak melamarnya. Namun, mereka semua diabaikan oleh Ra’biah. Beliau tidak pernah sedikitpun merasa tergiur dengan kemewahan atau sesuatu yang mengalamatkan kemewahan duniawi. Ini pertanda sifat dan sikap seorang asketis ada pada kepribadian beliau. Bahkan prestasi beliau dalam hal kezahidan (asketisisme) cenderung mengungguli para sufi lainnya.
Al-Jahiz seorang generasi tua mengatakan bahwa beliau pernah beberapa kali ditawari untuk diberikan kepadanya seorang budak (khadimah) yang dapat melayani kebutuhan hidupnya. Namun, beliau menjawab, “sungguh aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada pemilik dunia ini. Bagaimana aku harus memintanya kepada selain pemiliknya ? Jawaban tersebut mencerminkan karakteristik seorang zahid menanggapi perkara dunia.

Note:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download:
Rabi'ah al adawiah Versi pertma
Rabi'ah al adawiah versi kedua

11 September, 2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakng
Pemahaman pendidikan Islam berarti harus menganalisa secara pedagogis suatu aspek utama dari misi agama yang diturunkan kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah, 14 abad yang lalu.
Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi kependidikan (pedagogis) yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim, muhs³n dan muttaq³n setelah melalui tahap demi tahap.
Sebagai ajaran (doktrin), Islam mengandung sistem nilai di atas proses pendidikan Islam yang berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis-filosofis dari pemikir-pemikir pedagogis muslim, kemudian sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan Islam yang memilki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu. Keadaan demikian kita dapat saksikan di negara-negara di mana Islam dikembangkan melalui berbagai kelembagaan pendidikan formal, informal. Kecenderungan itu sesuai dengan sifat dan watak kelenturan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri

B. Rumusan Masalah
1.Apa ruanglingkup pendidikan Islam ?
2.Dan bagaimana relevansi dan ontologinya ?

C. Urgensi
1. Tujuan
Dilihat dari pendidikan teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat seperti tujuan intermediair (sementara) dan insidental (peristiwa yang tertentu) dan apabila dilihat dari pendekatan sistem Instruksional tertentu, maka tujuannya sebagai berikut: tujuan Instruksional khusus, Instruksional umum, kurikuler, institusional dan nasional.
Namun yang menjadi perhatian pemakalah adalah, khusus tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: pendidikan Islam pada hakekatnya adalah relisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri yang membawa misi kesejateraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin di dunia dan di akhirat.
2. Manfaat
Dari tujuan pendidikan Islam di atas, ketika mampu dihayati, maka akan dapat bermanfaat terhadap siapa saja, karena akan dapat sedikit banyaknya berpengaruh terhadap paradigmanya ke arah lebih maju, sehingga selalu ingin melakukan hal kedepann untuk lebih memperbaiki kehidupannya. Selai itu, akan lebih menyadari bahwa kehidupan ini harus selalu diisi dengan pendidikan utamanya pendidikan agama Islam agar dapat membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur dan terbimbing terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani yang sehat menurut agama Islam.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, Download lengkapnya...

20 Agustus, 2011

Hadis merupakan sumber hukum yang kedua dari Al-Quran. Namun perlu dipahami bahwa al-Qur’an dan hadis tidak sekedar membahas tentang hukum dan ibadah tapi lebih luas dari itu, seperti berbicara tentang tatanan sosial kemasyarakatan, interaksi sosial, adab dan akhlak.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk melakukan penelitian terhadap hadis yang akan menjadi landasan atau dasar untuk melakukan salah satu ibadah dan menentukan suatu hukum ataukah menentukan suatu informasi yang benar-benar datangnya dari Rasulullah. Salah satu contoh, yaitu hadis yang menjadi pokok pembahasan pemakalah, dimana hadis tersebut mengemukakan bagaimana hukum yang sebenarnya dalam melaksanakan nazar yang baik dan bagaimana cara bersumpah yang baik serta dibenarkan oleh syari’at Allah.


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.Redaksi hadis pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’iy yang membahas tentang bernazar sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam atau yang termasuk bermaksiat kepada Allah. Dan dibolehkannya seseorang tidak menepati nazarnya karena tidak memilki kemampuan setelah bernazar.
2.Redaksi hadis kedua diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal yang mana dalam hadis tersebut Rasulullah mem[amakan antara sumpah dengan kebolehan tidak memenuhi nazar karena ketidak mampuan.
3.Hadis yang diteliti berdasarkan sanad dianggap sahih karena ketersambungan sanadnya. Dan kredibilitas perawinya dianggap Adil dan dhabit (segi kapasitas keilmuannyya dan kualitas pribadinya). Dan tidak ada satu pun kritikus hadis yang memberikan cacat atau da’if terhadapa periwayat-periwayat dari kedua hadis di atas.
4.Kedua hadis di atas, telah memberikan kejelasan hukum tentang bagaiman bernazar yang baik dan bersumpah yang benar dan sah, agar kita dapat mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt.

Catatan:
Makalah diatas belum lengkap, Download lengkapnya...

16 Agustus, 2011

Manusia adalah makhluk berfikir yang membedakannya dengan makhluk lain dapat berfikir karena ia mempunyai akal
Akal adalah salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran. Berfikir dapat dibedakan dalam dua hal yakni berfikir secara alamiah dan berfikir secara ilmiah. Dalam berfikir alamiah akal tidak memerlukan metode, sarana dan proses tertentu, Sedangkan berfikir ilmiah diperlukan metode dan sarana berfikir yang sistematis. Tersedianya metode dan sarana yang memungkinkan dilakukannya proses penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan hal tersebut bersifat imperatif bagi sesorang ilmuan, Tanpa menguasai sarana dan proses ilmiah yang baik. Tak mungkin diwujudkan.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

Metode secara etimologi berasal dari kata Yunani Meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi Metode ialah langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, tehnik atau jalan yang telah di rangcang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistic, dan historis, atau pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Kata metode dalam bahasa Inggris yaitu method yang berarti metode atau cara. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Metode ialah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan tidak cukup diperoleh melalui tradisi warisan budaya, yang kita terimah begitu saja secara fasik, melainkan harus melalui langkah-langkah yang sistematis.
Dikalangan cerdik-cendekia, makna metode masih sering dipersamakan dengan metodologi. Sesungguhnya dua konsep tersebut memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain. Metode merupakan langkah-langkah sistematis tang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu yang tidak direfleksikan atau diterima secara an sich
Metode lebih bersifat spesifik dan terapan, sedangkan metodologi merupakan bagian dari sistematika filsafat yang mengkaji cara-cara mendapatkan pengetahuan ilmiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bah sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat di dalam mencapai maksud dan tujuan.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau pengembangan pengetahuan yang telah ada. Prosedur yang disebut dengan metode ilmiah tidak memiliki ketentuan yang pasti tentang jumlah, macam dan urutan langkahnya. Langkah-langkahnya semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang spesifikasi semakin banyak. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa macam metode ilmiah yan digunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khusunya bersangkutan dengan obyek formalnya. Berdasarkan langkah-langkah yang dimaksud dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, Jujun S Suriasumantri menjelaskan cara kerja ilmiah dengan mengemukakan enam langka atau metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan yaitu : 1). Keinsyafan tentang adanya problema 2). Data yang relevan dan tersedia dikumpulkan 3). Data ditertibkan 4). Hipotesa dibentuk (Diformulasikan ) 5). Deduksidapat ditarik dari hipotesa 6) Verifikasi setelah analisa untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Langkah Pertama, yaitu kesadaran akan adanya problema, adalah penting sekali. Karena hanya dengan demikian suatu pemikiran dan penyelidikan itu mungkin untuk diawali. Dalam hal ini kemampuan untuk melukiskan problema secara jelas dan benar dalam suatu defenisi adalah penting.
Langkah kedua, mengenai pengumpulan data yang relevan, juga memerlukan kesabaran dan lebih-lebih kemampuan untuk menguji data apakah faktual atau tidak. Pada persoalan yang sulit, untuk mendapatkan data yang demikian memerlukan pemikiran dan penyelidikan yang seksama, dan tidak aneh jika memerlukan waktu bertahun-tahun.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

20 Juli, 2011

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poligami (beristri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan) adalah suatu istilah yang dikenal dalam dunia perkawinan antar manusia lawan jenis dan terjadi pada suku, bangsa dan agama apapun di dunia. Poligami merupakan suatu kebiasaan yang dipraktekan dalam masyarakat bangsa-bangsa kuno pada ratusan tahun sebelum agama Islam datang.
Sayyid Sabiq dalam bukunya al Fiqh al Sunnah, menjelaskan bahwa kebiasaan berpoligami telah berlaku di negara Afrika, India, Cina dan Jepang yang berkembang dengan pesat.
Kahfi mengatakan bahwa “poligami itu sudah berlaku pada bangsa Yahudi Israel sebelum Nabi Isa a.s. diutus. Nabi Isa a.s. kemudian menetapkan kebiasaan poligami ini pada umatnya. Bahkan Nabi Musa a.s. mewajibkan seseorang untuk mengawini janda saudara lelakinya sendiri yang telah meninggal dunia. Apa yang diperbolehkan dalam kitab Taurat maka diperbolehkan juga dalam kitab Injil”. 1
Mustafa dalam bukunya al Mar’ah baina al Fiqh wa al Qur’an menjelaskan bahwa di dalam kitab Taurat (kitab yang kemudian menjadi rujukan orang Kristen) menceritakan mengenai Nabi Daud a.s. yang memiliki 99 istri dan ditambah 1 lagi menjadi 100 istri. Dan Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 istri permaisuri dan ditambah 300 istri selir sehingga semuanya 1000 istri.
Demikian pula dalam Tarikh Islam, Rasulullah SAW. Yang kehadirannya untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia, khususnya kaum wanita, beliau juga memiliki 9 orang istri. Di antara istri-istri beliau hanya ada dua istrinya yang berstatus gadis (perawan), yakni Siti Aisyah r.a.”2 dan Mariah Alqibitiah.
Sementara di Indonesia, sebagai negara hukum yang berpenduduk mayoritas beragama Islam juga tidak lepas dari perkawinan poligami. Misalnya Ir. Soekarno, seorang nasionalis yang beragama dan orang nomor satu pertama di Indonesia, yang terkenal hampir diseluruh dunia juga melakukan poligami.
Namun yang menjadi problema dalam poligami ini, ketika seorang laki-laki melakukan pologami antara seorang wanita dengan tantenya dari pihak Bapak dan tante dari pihak Ibu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadis Rasulullah yang terdapat dalam al-kutub al-tis’ah.
Poligami antara seorang wanita dengan tantenya adalah salah satu bentuk poligami yang sangat dilarang oleh Rasulullah. Salah satu alasannya adalah karena kedua wanita tersebut masih termasuk hubungan keluarga yang masih sangat dekat yaitu: masih termasuk muhrim. Masalah muhrim ini telah dijelaskan oleh hadis lain bahawa termasuk orang yang tidak bisa dikawini.

B. Batasan Masalah
Menyadari akan luasnya persoalan poligami, maka penulis membatasi atau merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.Bagaimana pelaksanaan poligami secara umum?
2.Bagaiman poligami antara seorang wanita dengan tantenya dari pihak Bapak dan Ibu menurut hukum Islam ?
3.Dan bagaimana konsekuensinya?

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan di Download lengkapnya.

11 Juli, 2011

A.Monisme dan Pluralisme Agama
Beragama adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Itu berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama, boleh jadi sampai menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum roh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu.
Dalam perjalanan manusia mencari agama sebagai suatu kebutuhan, telah menemukan berbagai macam keyakinan atau agama karena didasari oleh perbedaan tingkat pengetahuan. Sehingga tidak jarang ada yang mempertuhankan hati nuraninya, nafsunya, budayanya dan adapula yang mempertuhankan zat yang tak terbatas sebagai tuhan dari tuhan-tuhan yang lain. Akibatnya melahirkan pluralitas agama yang merupakan problem yang cukup rumit. Agama di suatu sisi menekankan kebenaran yang absolut, tetapi disisi lain jumlah agama itu banyak. Setiap agama mengaku ajarannyalah yang paling benar dari sekian agama yang ada.
Masalah monisme dan pluralisme agama kini turut mewarnai diskursus (wacana) tentang Islam. Secara ontologis, monisme berpendapat bahwa hanya ada satu kebenaran yang keberlakuannya universal. Dalam kenyataan empiris, tampak aneka budaya, pandangann hidup dan agama yang dianut adalah satu-satunya kebenaran, sedangkan budaya dan agama lain bersifat inferior. Pandangan monisme lebih tajam bila menyangkut keyakinan agama dibanding budaya, karena agama lebih solid berakar dalam lubuk jiwa seseorang.
Dalam Islam, pandangan monisme mewarnai keyakinan umumnya umat Islam. Islam diyakini sebagai satu-satunya agama yang haq, satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT. Firman Allah pada Q.S. Ali Imran (3): 19.
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ...
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam..."

Dengan demikian agama lain dipandang sebagai penyelewengan dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Pandangan monisme dalam Islam dibedakan, yaitu:
1.Monisme modernis; Memandang Islam sebagai agama lengkap (self sufficien of Islam) pada tataran norma dan ajaran dasar. Tetapi pada tataran konstruksi praktis, Islam terbuka terhadap konsep luar dan perubahan-perubahan konstruktif, karena itu tidak anti barat. Monisme moderat, misalnya pada sejumlah tokoh pembaharu, seperti Muhammad Abduh dan Thaha Husain dari Mesir, Allai al-Fazi dari Maroko, Abd. Aziz al-Thalabi dari Tunisia, Abd.Hamid al-Badis dari Aljazair dan sebagainya. Meskipun kaum modernis cukup terbuka, tetapi dalam hal yang prinsipil mereka juga eksklusif.
2.Monisme Revivalisme; Memandang Islam sebagai agama lengkap, tidak saja pada level norma-norma dan ajaran dasar tatapi juga pada level tatanan struktural bahkan sampai pada konstruksi dunia praktis (sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya). Pemikir-pemikir Islam yang berhaluan revivalistik, misalnya Muhammad Abd. Wahhab (Revivalisme Klasik). Di abad 20 muncul revivalisme baru tokohnya seperti, Abu A’la al-Maududi, Syeed Amir Ali dan sebagainya.

Dalam sejarah teologi Islam, dalam pemaparan pahamnya, relatif menganut paham monisme revivalistik yang menganggap golongan selainnya adalah sesat bahkan kafir. Aliran yang tidak memberikan tempat kepada aliran lain yaitu Mu’tazilah, yang oleh khalifah al-Ma’mun memaksakan penganut aliran lain untuk menjalankan paham mu’tazilahnya. Pemaksaan paham ini populer dengan istilah al-Mihnah.

B.Monisme dan Pluralisme Kebenaran dalam Perspektif
Islam adalah agama rahmatan lil ālamīn, membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh makhluk, membawa pencerahan-pencerahan terhadap umat manusia. Idealnya, ketika Islam disebut sebagai agama rahmat, ia akan tampil sebagai agama yang rahmah terhadap pemeluknya dan juga umat-umat yang lain. Namun realitas menunjukkan bahwa Islam tidak tidak mampu menampakkan identitasnya yang sebenarnya. Apakah islam tidak mampu menjadi solusi bagi setiap persoalan ? ataukah pemeluk-pemeluknya yang cenderung memaknai Islam sedemikian sempit ?
Muhammad Arkoun melalui konsep nalar kritiknya, memandang bahwa penampakkan Islam yang tak begitu ramah disebabkan oleh pemeluknya yang cenderung mendogmakan hasil refleksi Al-Qur’an dan sunnah atau membawanya pada wilayah yang tak terpikirkan. Menurutnya ada dua bentuk nalar Islam yang tak terpikirkan;
1.Nalar ortodoks, yaitu nalar yang dihasilkan untuk memberi legitimasi terhadap praktek yang ada untuk kelangsungan suatu tradisi. Ortodokisme memandang bahwa pendapat merekalah yang dianggap benar. Dewasa ini, paham tersebut tampil dalam bentuk Islam ideologi yang melahirkan Islam militan dengan gerakan fundamentalisme Islam. Kaum fundamentalis bersifat eksklusif terhadap pemikiran luar baik dari Islam terlebih dari luar.
2.Nalar klasik, adalah hasil pemikiran yang didasarkan pada mazhab tertentu dengan merujuk pemikiran Islam klasik. Nalar ini lebih merujuk pada tradisi pemikiran masa lalu dengan bersikap apriori terhadap pemikiran lain yang telah disesuaikan dengan tuntunan zaman. Nalar Islam klasik lebih mengaitkan diri dengan mazhab tertentu yang selanjutnya diidentikkan dengan Islam. Sehingga kalau dikritik berarti mengeritik Islam. Dengan demikian hasil pemikiran keagamaan berada dalam wilayah tak terpikirkan lagi, karena dipandang ampuh membawa umat Islam dalam menjalani hidupnya.
Kedua nalar di atas, menggiring Islam ke dalam ideologi. Islam sebagai ideologi akan sangat berbeda bila Islam dipandang sebagai sebuah agama. Sebagai agama, Islam akan tetap merupakan prespektif terbuka yang memungkinkan munculnya nalar-nalar baru untuk diaktualisasikan dalam kehidupan manusia sejalan dengan arus perubahan zaman, tetapi bila Islam sebagai ideologi, maka Islam akan ditampilkan sebagai sebuah institusi yang kaku dan dogmatik.
Menurut Arkoun nalar tersebut di atas perlu dikritik. Tujuan Arkoun ingin memisahkan antara yang Ilahy dengan yang manusiawi, yang absolut dan yang relatif. Karena membaurkan kedua hal tersebut adalah anarki. Ia menginginkan agar merelatifkan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil refleksi terhadap Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, kebenaran menjadi plural yang diperoleh seseorang atau sekelompok intelektual muslim. Walaupun kebenaran itu relatif, tetapi mempunyai nilai guna dalam jangka waktu tertentu dan tempat tertentu. Pada keadaan demikian pula, kebenaran selalu terbuka terhadap kritik dan revisi.
Dengan demikian, Islam akan menampakkan wajahnya sebagai agama yang menjunjung tinggi pluralitas agama, suku, bangsa dan ras, yang terbingkai dalam persatuan dan kesatuan. Rasulullah bersabda:
اَلأَنْبِيَاءُ اِخْوَةٌ لِعَلاَّتِ. ( اُمَّهَاتٌ مُتَعَدِّدَاتٌ ) دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَاُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى
Para Nabi adalah anak dari ibu-ibu yang berbeda, agama mereka semua satu dan ibu mereka lain-lain. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).

Allah berfirman:
يَااَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثىَوَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبَا وَقَبَائِلَ لتَِعَارَفُوْا...
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...

Kedua dalil di atas, cukup mewakili untuk menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas, sehingga kita tidak lagi memandang perbedaan sebagai titik komflik.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...


24 Juni, 2011

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
*
6489 حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَيَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ قَالَ يَزِيدُ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي *

6490 حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ *

6536 حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ *


6689 حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي *

About

BTemplates.com

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Clustrmaps

Popular

Popular Posts

Blog Archive