17 Juni, 2011

A. Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam mengahasilakan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian pula ilmu yang bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secar umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, petama, berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis, kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada sedangkan persyaratan kedua mengaharuskan kita untuk menerima pernyataan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yanhg benar secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis dan kumulatif. Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru atau pernyataan yang sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian ditentang oleh penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyempurnaan.

B. Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar, atau secarah lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan. Artinya dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak, maka seorang ilmuan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu. Hal ini sering menempatkan kaum ilmuan dalam posisi yang bertentangan dengan pihak yang berkuasa yang mungkin mempunyai kriteria kebenaran yang lain. Kriteria ilmuan yang politikus dalam membuat pernyataan adalah bebeda seperti yang dinyatakan ahli fisika Szilard: jika seorang ilmuan mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya apakah yang dinyatakan itu mengandung kebenaran atau tidak. Sebaliknya jika seorang politikus mengatakan sesuatu maka rekan-rekannya pertama sekali akan bertanya, “mengapa ia mengatakan hal itu?”, dan baru kemudian, atau bahkan mungkin juga tidak, mereka mempertanyakan apakah pernyataan itu mengandung kebenaan.

C. Nilai-nilai ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional
Sampailah kita kepada tujuh nilai yang terpancar dari hakekat keilmuan yakni kritis, rasinal, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal. Di manakah peranan ketujuh nilai tersebut dalam pengembangan kebudayaan nasional?
Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa Indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern, maka ketujuh sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam berbagai bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/tehnologi, pendidikan dan lain-lain yang membutuhkan cara pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, obyektif dan terbuka. Sedang sifat menjunjung kebenaran dan pengabdian universal akan merupakan faktor yang penting dalam pembinaan bangsa (nation building) di mana seorang lebih menitik beratkan kebenaran untuk kepentingan nasional dibandingkan kepentingan golongan. Bukan saja seni namun ilmu dalam hakekatnya yang murni bersifat mempersatukan.

D. Ke arah peningkatan keilmuan
Sekiranya dapat diterima bahwa ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya adalah bagaimana cara meningkatkan keilmuan dalam kehidupan kita. Mesti disadari bahwa keadaan masyarakat kita sekarang masih jauh dari tahap masyarakat yang berorientasi kepada ilmu. Bahkan dalam masyarakat yang telah terdidik pun ilmu masih merupakan koleksi teori-teori yang belum maksimal dalam aplikasinya.
Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan harus diberi otonomi dalam menciptakan paradigmanya sendiri. Agar paradigma tersebut dapat berkembang dengan baik, maka membutuhkan dua syarat yakni kondisi rasionalitas dan kondisi psiko-sosial kelompok. Kondisi rasionalitas menyangkut dasar pikiran paradigma yang berkaitan dengan makna, hakikat dan relevansinya dengan masalahnya yang dihadapai. Sedangkan kondisi psiko-sosial menyangkut keterlibatan dan keterikatan semua anggota kelompok dalam mengembangkan dan melaksanakan paradigma tersebut.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya....

14 Juni, 2011

Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya penerjemahan diutamakan pada buku-buku tentang ilmu kedokteran dan selanjutnya berkembang pada pengetahuan filsafat.
Sekitar tahun 750-850 M banyak bermunculan tokoh-tokoh dalam lapangan ilmu pengetahuan terutama mengenai ketabiban, astronomi, kimia, ilmu bintang, serta filsafat. Seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Miskawaih, kelima tokoh tersebut dengan tidak menafikan tokoh yang lain menjadi pembicaraan utama dalam filsafat. Zaman itu juga dikenal dengan masa penerjemahan. Namun demikian, banyak kalangan yang memperdebatkan antara filsafat Islam dengan filsafat yang bukan Islam. Bahkan ada yang tidak mengakui para filosof yang dipengaruhi oleh para filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, Galen dan lain-lain, karena dianggap mengerjakan doktrin yang bertentangan atau tidak selaras dengan pandangan-pandangan Islam yang diterima masyarakat umum sebagai filosof Muslim.
Filosof Muslim yang secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah Abu Bakar Muhammad Zakariah al-Razi dan Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. Meskipun masih ada filosof-filosof lain, seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan lain-lain, namun mereka lebih khusus terwakili oleh kedua filosof tersebut.

Nama lengkapknya adalah Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih, ia lahir dikota Rayy Iran pada tahun 320 H (932M). belaiu meningggal di Isfahan pada tahun 412 H (1030).
Ada dua pernyataan mengenai dirinya, pertama; benarkah dia seorang Majusi kemudian beralih masuk Islam, atau bukan tetapi kakeknya ?, kedua : sebutan manakah yang benar Miskawaih atau Ibn Miskawaih.
Yusuf Musa menolak pernyataan pertama dengan alasan, tidak mungkin ia seorang Majusi, kemudian masuk Islam, karena pemikirannya begitu luas seperti filosof-filosof lainnya. Barangkali yang benar kakeknyalah yang beragama Majusi kemudian masuk Islam. Dilihat dari namanya, Ahmad bin Muhammad ibn Ya’kub, dapat berpihak dari penolakan tersebut. Sedangkan menurut Ibrahim Zakiy yang mengarang kitab Dairah al-Ma’rifah Islamiyah, bahwa neneknyalah yang Majusi kemudian memeluk Islam. Adapun mengenai namanya tergantung pada keyakinan seseorang, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat tentang sebutan nama Ibn Miskawaih.
M. M Syarif menyebutkan Miskawaih tanpa ibn. Menurutnya nama itu diambil dari kata misk yang berarti kasturi. Sedangkan menurut Musklim Ishak, Miskawaih atau Maskawaih adalah nama kakeknya.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...


18 Mei, 2011

1. Sahih bukhari kitab Janaiz hadis 1275
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ كَاذِبًا مُتَعَمِّدًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَقَالَ حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا جُنْدَبٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَمَا نَسِينَا وَمَا نَخَافُ أَنْ يَكْذِبَ جُنْدَبٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ بِرَجُلٍ جِرَاحٌ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَقَالَ اللَّهُ بَدَرَنِي عَبْدِي بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Kitab adab hadis 5587, 5640
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّ ثَابِتَ بْنَ الضَّحَّاكِ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى مِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ كَمَا قَالَ وَلَيْسَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَذْرٌ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
Kitab iman dan an-nusur hadis 6161
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ كَمَا قَالَ قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

2. Sahih Muslim kitab iman hadis 159, 161
3. At-Turmuzi kitab iman dan an-nuzur hadis 1455.1473, 3710, 3711
4. An-Nasai kitab iman dan an-nuzar hadis 3711, 3753
5. Abu Daud kitab ُ iman an-nuzar hadis 2835
6. Ibnu Majah kitab kaffarat 2089
7. Ahmad kitab awal madaniyyin ajmain 15790 15791 15793 15795 15796 15797 15798

Catatan:
Bahan/makalah diatas belum lengkap.
silahkan Download sini

17 Mei, 2011

1. An-Nasai, kitab iman wa an-Nuzur
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
-أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَخْنَسِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا تَمْلِكُ وَلَا فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا قَطِيعَةِ رَحِمٍ
2. Sunan Abu Daud, Kitab iman wa an-nuzur
-أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جَدْعَانَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ ُّ بْنُ زَيْدٍ ضَعِيفٌ وَهَذَا الْحَدِيثُ خَطَأٌ وَالصَّوَابُ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
-أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جَدْعَانَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ ضَعِيفٌ وَهَذَا الْحَدِيثُ خَطَأٌ وَالصَّوَابُ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ
-أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
-حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي سَهْلٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا نَذْرَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ

3. Ibnu Magah kitab Kaffarat
-حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي سَهْلٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمِّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا نَذْرَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
4. Ahmad
-حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ إِلَّا فِيمَا ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يَمِينَ فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ
-حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا عَامِرٌ الْأَحْوَلُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
-حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا عَامِرٌ الْأَحْوَلُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ
-حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَخْنَسِ أَبُو مَالِكٍ الْأَزْدِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْرَ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ وَلَا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا قَطِيعَةِ رَحِمٍ فَمَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَدَعْهَا وَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ فَإِنَّ تَرْكَهَا كَفَّارَتُهَا

Catatan:
Bahan di atas belum lengkap, silahkan download lengkapnya.
Download disini

16 Mei, 2011


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا.
الحمد لله الذي نحمده ونستعنه ونستغفره ونعذ بالله من شرور انفسنا ومن سيات اعمالنا. اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمدا عبده ورسول, فقد قال لله تعال فالقران اكريم : ان لله وملئكته يصلون على النبى ... اللهم صلي و سلم على سيدنا وحبيبنا وسفعينا ومولنا محمد وعلي اله و صحبه و من تبعه باحسا ن الي يوم الا بقي . امّا بعد : فياا يها النا س ا تقو ا الله قد ا فلح من تزكي وذكرا سم ربه فصلي .
الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, ولله الحمد

Kaum Muslimin Sidang Jamaah Ied Rahima kumullah
Alhamdulillah, pada hari ini kita masih mempunyai kesempatan untuk melaksanakan hari raya Idul Fitry, kita sambut hari yang mulia ini dengan gema Takbir, gemuruh Tahlil dan lantunan Tahmid kepada Allah. Kita syi’arkan akan kebesaran Asma Allah dan kita syukuri Rahmat-Nya.Pada hari yang berbahagia ini, seluruh ummat Islam mengumandangkan kalimat Takbir bersahut-sahutan dari ujung dunia yang satu keujung dunia yang lain.
Di atas daratan bumi yang membentang luas, dengan beratapkan awan putih yang melambangkan kemurnian dan keaslian alam jiwa, dengan berlantaikan rumput hijau menggambarkan keluhuran budi dan perasaan yang mesra, ummat tauhid hari ini tengah berkumpul bersama, baik dilapangan, maupun di mesjid-mesjid dan mushallah-mushallah untuk berbaris dalam susunan shaf yang teratur, rapi untuk bersama-sama ruku’ dan sujud menghadap Allah Rabbul Izzati.
الله اكبر, الله اكبر, الله اكبر, ولله الحمد
Jamaah Id Fitri Yang dirahmati Oleh Allah swt.



Sejak matahari terbenam di ufuk barat kemarin sore, yang menandai telah berakhirnya bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh rahmah dan magfirah Allah swt. Kita melepas kepergiannya dengan menggemakan takbir, gemuruh tahlil dan lantunan tahmid, sebagai ungkapan rasa cinta dan syukur kita kepada Allah swt. Kita tidak henti-hentinya membasahi bibir kita dengan takbir, tahlil dan tahmid hingga kita menunaikan shalat Ied, sebagai hari kemenangan, hari kemerdekaan yang hakiki melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu. Iedul Fitry bukanlah hari raya yang berdiri sendiri, akan tetapi erat kaitannya dengan ibadah sebelumnya yakni ibadah puasa dan zakat. Dengan kata lain, kenikmatan berhari raya lebih dapat dirasakan hanya kepada mereka yang telah menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan sebulan penuh dengan dasar Iman, Ikhlas dan Sabar.

Catatan:
Khutbah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

15 Mei, 2011

1.Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari kata sekuler yang diambil dari bahasa latin yaitu saeculum yang berarti satu abad atau lebih sedikit atau hal-hal yang berhubungan dengan saman sekarang atau keduniaan yang tidak tabu. Bukan religius atau kesucian yang berhubungan dengan hari kemudian. Istilah ini dapat pula berarti lokasi atau waktu, lokasi diartikan sebagai dunia sedangkan waktu diartkan sebagai masa sekarang atau kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disamping diartikan sebagai yang bersifat dunia juga diartikan sebagai yang bersifat kebendaan dan bukan yang bersifat keagamaan atau kerohanian. Jadi sekularisasi itu sendiri adalah usaha-usaha atau proses yang menuju pada keadaan yang sekuler atau proses netralisasi dari setiap pengaruh agama dan hal-hal yang gaib atau hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.
2.Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur-unsur agama dengan pemahaman nilai-nilai dan makna-makna serta tujuan hidup manusia menurut ajaran islam kedalam ilmu pengetahuan.
Farid Alatas mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan yaitu suatu ilmu yang merujuk kepada upaya mengeliminir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik. Doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan drama serta strategi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti inilah yang mengakibatkan ilmu yang tidak sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar keseluruh dunia. Setelah melewati proses di atas kedalam ilmu tersebut ditanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman.
Dengan demikian akan terbentuk ilmu yang benar yaitu ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman yang dimaksud adalah insan, din, ilm dan makrifah hikmah, adl, amal, adab dan sebaginya. Jadi islamisasi ilmu pengetahuan itu adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan kepada ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Atau dapat pula diungkapkan sebagai koreksi ilmu-ilmu modern oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Sebelum melangkah lebih jauh, sangatlah penting untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan. Saifuddin Anshari dalam bukunya mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem tentang kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum tentang hal ihkwal yang diselidikinya (alam manusia dan juga agama). Sejauh yang dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia yang dibantu menginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris riset dan eksperimental.
3.Ontologi
Ontologi ilmu yang membahas tentang apa yang ingin diketahui seberpa jauh kita ingin tahu atau pengkajian sesuatu yang ada. Dalam pengertian lain ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya.
4.Epistimologi
Epistimologi ialah ilmu yang membahas tentang bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan. Disebut pula teori pengetahuan (theory of knoledge). Dalam pengertian lain ialah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha meperoleh pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

10 Mei, 2011

1.Pengertian Orientalis.
Kata Orientalis berasal dari bahasa Romawi yaitu Orient berarti: timur. Oriental berarti: berkaitan atau terletak di Timur . Orientalis berarti : orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran.
Dalam Kamus Webster`s New World College Dictionary dijelaskan bahwa Orientalis adalah : pada umumnya Dihubungkan dengan orang-orang [menyangkut] timur atau studi tentang budaya dari timur.
Sedangkan menurut Dr. Moh Natsir Mahmud Orientalis adalah : sarjana barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, sastra, masalah lainnya yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran. Sedangkan orientalisme adalah suatu paham atau pandangan yang diciptakan oleh Barat menyangkut berbagai masalah dunia timur.
Karena yang menjadi obyek permasalahan dalam makalah ini adalah “Islam dalam Studi Barat (Orientalis)” maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Orientalis secara ontologis adalah: orang-orang atau sarjana barat yang mengkaji Islam, dengan tidak melihat Islam sebagai pandangan hidup “way of life” tapi melihat Islam sebagai "obyek studi".
Islam menjadi salah satu obyek penelitian (studi) Orientalis yang penting karena Islam menjadi salah satu kekuatan di dunia timur. Tulisan-tulisan mereka tentang Islam telah menimbulkan tanggapan atau kritik dari sarjana muslim atau sarjana barat.
Kritik yang sering dilontarkan kepada kaum Orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka hanya terbatas pada aspek “eksternalitas” (lahiriyah ) dari agama. Mereka tidak memahami wilayah “internal” (Bathiniyah) dari pada agama yang teliti.
2. Metode Pendekatan Barat (Orientalis) dalam Studi Islam
Menurut telaah filsafat ilmu, agama sebagai obyek penelitian “pure science” dan agama sebagai pedoman hidup atau amalan-amalan praktis “applied science” selalu akan ada jarak. Dan dalam wilayah “pure science”lah bentuk studi kritis yang digeluti oleh barat (Orientalis).
Dalam telaah epistemologis “pure Science” merupakan landasan yang dilakukan barat (Orientalis) dalam mengkaji Islam. Namun dalam pengkajiannya, mereka melakukan beberapa metode pendekatan.
Pemahaman terhadap metode yang digunakan Barat (Orientalis) dalam studi Islam adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog konstruktif terhadap mereka, sebab metode yang mereka gunakan akan mewarnai alur pikir dan turut menentukan konseptualisasi dan kesimpulan yang dihasilkan.
Untuk mengikuti alur pikir mereka dalam mengkaji Islam, Maka akan diuraikan secara singkat, metode pendekatan yang dilakukan barat dalam studi Islam
a. Pendekatan Historisme
Dalam bahasa Indonesia Histori berarti sejarah. Istilah “History” dan “Historicm” mempunyai konotasi yang berbeda. Istilah historicism berasal dari makna history yang berasal dari bahasa Yunani artinya: mempelajari.
Sejarah atau histori adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa itu.
Abad ke-19 merupakan abad dimana pendekatan sejarah mewarnai hampir seluruh kajian ilmiah, sehingga pendekatan historis banyak mewarnai tulisan barat (Orientalis) tentang Islam. Pendekatan Historis yang paling ekstrim adalah historisme.
Historisme berpendapat bahwa segala sesuatu di alam ini selalu dalam hubungan waktu, tempat, konteks, atau lingkungan, dan segala yang ada di dunia ini harus di lacak asal usulnya dalam dunia itu sendiri. Tidak sesuatu bernilai transenden, tetapi segala sudah menyejarah.
Pendapat historisme di atas, seringkali tidak sejalan dengan ajaran Islam, karena Barat (Orientalis) ingin melihat cikal bakal Islam lahir atau sebagai produk dari situasi lingkungan sosial budaya dan agama-agama sebelum Islam.
Pendapat di atas, telah di dukung oleh beberapa tulisan-tulisan Orientalis yang mendeskreditkan Islam diantaranya pendapat Dr. Hitti mengatakan bahwa :
Sumber-Sumber al-Qur’an adalah orang-orang kafir, Kristen, Yahudi dan Arab. Hijaz sendiri terdiri dari beberapa wilayah Yahudi walau tidak ada satu pun wilayah Kristen, tetapi disitu terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen. Wilayah itu dikelilingi oleh berbagai pusat periabadatan di mana gagasan Kristen bisa terserap ke dalamnya. Nabi Muhammad memiliki dua orang budak dari habsyi (Ethopiah) yaitu mauzzin beliau bilal dan anak angkat beliau dieblakang hari zaid. Beliau juga mempunyai seorang istri beragama Kristen Mariyah al-Qabtiyyah dan seorang istri beragama Yahudi, Safiyah keturunan dari salah satu suku Yahudi di Madinah yang beliau taklukan

Pendapat Dr. Hitti di atas, di dukung oleh Ahrens dan Julius Welhausen yang dikutip oleh Dr. Moh Natsir Mahmud mengatakan bahwa : Agama Kristen di Mekkah amat berpengaruh sehingga memberi inspirasi bagi Muhammad dalam menyusun konsep ajaran agamanya. Agama Kristen yang berasal dari selatan Arab banyak menetap di Mekkah dan cukup berpengaruh sehingga mewarnai ajaran Nabi Muhammad.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

08 Mei, 2011

A. Pengertian Tarekat
Dalam memahami pengertian tarekat, sesungguhnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa (etimologi) dan dari segi istilah (terminologi). Pengertian tarekat bila dilihat dari segi bahasa, maka tampaknya ia berasal dari bahasa Arab, yaitu: dari kata thariqah (bentuk jamaknya adalah thuruq) yang berarti jalan atau al-Sabil. Dalam literatur yang berbahasa Inggris, misalnya dalam buku The Encyclopedia of Relegions, rupanya kata tersebut juga diartikan jalan atau road or path . Demikian pula John L. Esposito dalam bukunya The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, ia mengartikan kata tarekat tersebut dalam arti jalan atau path or way .

Selain berarti jalan, kata tarekat tersebut di atas, juga dapat berarti cara atau metode . W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusunnya, di samping kata tarekat itu diartikan jalan, juga telah dikemukakan beberapa artinya yang lain, misalnya dalam arti jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, cara atau aturan hidup dalam keagamaan atau dalam ilmu kebathinan, dalam arti sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf . Jadi, dari segi bahasa, kata tarekat itu dapat dipahami dalam arti jalan, cara atau metode. Setelah dikaitkan dengan kata tasawuf, maka ia berarti jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, atau dalam arti sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.

Pengertian tarekat bila dilihat dari segi istilah, kelihatannya telah banyak pakar yang telah merumuskan defenisinya. Di antaranya dapat disebutkan di sini pendapat Harun Nasution. Menurutnya, tarekat itu adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan . Selanjutnya beliau jelaskan,bahwa tarekat itu kemudian mengandung arti organisasi di mana tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan zikir sendiri . H.Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat Kajian Historios tentang Mistik, telah mengemukakan bahwa tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai-berantai. Di samping itu, J. Spencer Trimingham juga telah mengemukakan bahwa tarekat adalah suatu metode praktis untuk membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan, dan tindakan yang terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan maqamat untuk dapat merasakan hakekat yang sebenarnya.

Berdasarkan pendapat sejumlah pakar tersebut di atas, maka telah dapat dipahami, bahwa yang dimaksud tarekat adalah jalan atau metode praktis yang berupa petunjuk dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang diyakini berasal dari Nabi, lalu kemudian berkembang menjadi perkumpulan-perkumpulan dalam bentuk pendidikan kerohanian yang terorganisir di bawah bimbingan seorang Syekh dengan sejumlah murid yang belajar kepadanya. Tarekat sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka orang yang melakukan tarekat sesungguhnya tidak dibenarkan untuk meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru atau syekh yang disebut mursyid. Syekh inilah yang bertanggung jawab, memberikan bimbingan dan mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan rohaniah, terutama dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan berdasarkan Alquran, sunnah Rasul dan ijma’.

Untuk dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak guru atau mursyidnya, melaksanakan perintah dan mengikuti anjurannya. Seorang murid tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan oleh mursyidnya dan harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa atau noda yang dapat merusak amal. Ia juga harus memperbanyak wirid, zikir, doa dan memamfaatkan waktu seefektif dan seefesien mungkin. Biasanya seorang pengikut tarekat agar dapat melaksanakan aktivitas tarekat dengan baik, ia dimasukkan ke suatu tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiyah atau Khanqah yang merupakan tempat ibadah kaum sufi. Ditempat inilah, amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa zikir, wirid, ratib , muzik, dan mengatur cara bernafas pada waktu melaksanakan zikir tertentu.

B. Tarekat-tarekat yang Berkembang di Indonesia dan Ulama Pertama yang Membawanya Masuk ke Negeri ini.
Pada dasarnya Indonesia merupakan lahan yang subur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnnya sejumlah tarekat-tarekat sufi, baik yang digolongkan tarekat sufi yang mu’tabar (terkenal) maupun yang dikategorikan sebagai tarekat lokal. Sejumlah tarekat mu’tabar yang berkembang di negeri yang memperoleh julukan zamrud khatulistiwa ini, ada sumber yang menyatakan sebanyak tujuh buah. Nama-nama ke tujuh buah tarekat yang dimaksud adalah: Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, al-Haddad dan Khalidiyah.
Sejumlah tarekat mu’tabar yang berkembang di Indonesia tersebut di atas, masing-masing didirikan oleh seorang ulama besar lagi kenamaan. Tarekat Qadiriyah misalnya didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166 M.), tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Abul Abbas al Rifa’i (w.578 H./1106 M.), tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Syekh Muhammad bin Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandiy (w.17-791 H.), tarekat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman (w.1720 M.), tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Syekh Umar Zhiruddin al-Khalwatim (w.1397 M.), tarekat al-Haddad didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad (1044 H.-?), dan tarekat Khalidiyah yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al Khalidi.
Sebenarnya, selain tujuh buah tarekat sebagaimana yang telah disebutkan,masih ada beberapa buah tarekat yang dapat dipandang sebagai tarekat mu’tabar yang berkembang di Indonesia, misalnya tarekat Syattariyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah al-Syattari (w.633 H.), tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas(w.1878 M.), tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al-Tijani (1737-1815 M.), dan tarekat Ahmadiyah atau Idrisiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Idris (1760-1837 M.). Dua buah tarekat yang disebut terakhir, Martin Van Bruinessen menyebutnya tarekat Neo Sufi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...

25 April, 2011

Pendahuluan
Hadis Rasulullah Saw. merupakan sumber ajaran kedua setelah kitab suci Alquran. Ini berarti untuk mengetahui agama Islam yang benar di samping dibutuhkan petunjuk Alquran, juga dibutuhkan petunjuk hadis Nabi. Pemberdayaan fungsi hadis yang dimaksud, setelah diketahui adanya hadis itu berstatus sahih.
Kesahihan suatu hadis dapat diketahui setelah dilakukaknnya penelitian sanad dan matan. Karena itu, hadis dalam kedudukannya sebagai hujjah, maka keharusan adanya penelitian sanad dan matan sangatlah dibutuhkan.

A. Takhrij al-Hadis
Lafadz hadis yang diteliti adalah:
....أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا....
Untuk mengetahui hadis yang bersangkutan secara lengkap dan utuh, maka penulis menggunakan kitab “Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadsi al-Nabawiy” karya A. J. Wensink.

B. I’tibar sanad
Berdasarkan hasil penelitian pentakhrijan di atas, ditemukan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh enam mukharrij pada kitabnya masing-masing, melewati jalur yang berbeda-beda namun jalur itu bertemu pada dua periwayatan I untuk tingkat sahabat yaitu Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudriy.

C. Naqad al-Sanad
Sanad yang akan diteliti adalah dari jalur Ahmad bin Hanbal sampai pada Abu Hurairah, dengan urutan sebagai berikut:
1. Ahmad bin Hanbal : Mukharrij periwayat VI
2. Abd al-Razzaq : Sanad I periwayat V
3. Malik bin Anas : Sanad II periwayat IV
4. al-A’la bin Abdurrahman : Sanad III periwayat III
5. Abd al-Rahman : Sanad IV periwayat II
6. Abu Hurairah : Sanad V periwayat I
Dari gambar skema, terlihat syahid dari Abi Hurairah adalah Abu Sa’id al-Khudriy, sedang mutabi’nya karena jalur Ahmad bin Hanbal yang diteliti, maka mutabi’ bagi Abd Razzaq adalah Qutaibah, dan mutabi’ bagi Malik adalah Ismail bin Ja’far.

D. Naqad al-Matan
Sesuai dengan hasil penelitian, penulis dalam naqad al-sanad bahwa sanad dari jalur Ahmad bin Hanbal adalah “da’³f” sekalipun menurut al-Turmuziy sebagai hadis hasan sah³h, karena hadis ini memiliki syahid, sehingga tidak menutup kemungkinan dari kedua jalur yang lain yaitu Ibnu Majah dan al-Darimiy memilki sanad yang sahih, sehingga menjadilah hadis dari jalur Ahmad bin Hanbal sebagai hadis hasan.

Syarah Hadis
Dalam hadis lain dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. melarang Aisyah berlaku kasar dengan kalaimatnya sebagai berikut:
مهلا ياعائشة عليك بالرفق وإياك والعنف والفحشى
Artinya:
Hai aisyah hendaklah kamu berlaku ramah-tamah dan jauhilah sifat kasar lagi ganas seta perkataan jelek.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan Download disini untuk lengkapnya

10 April, 2011

Memasuki Masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yang dikenal sebagai zaman keemasan Islam, perkembangan pemikiran dalam Islam mengalami percepatan. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai ilmuan pada berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya. Hal ini antara lain didukung oleh kebijaksanaan khalifah yang memberi fasilitas berupa lembaga bayt al-Hikmah yang berfungsi sebagai lembaga ilmu pengetahuan tempat transfer dan alih bahasa ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Salah satu disiplin ilmu yang banyak diminati oleh ilmuan muslim saat itu ialah filsafat.
Filsafat Islam yang merupakan hasil dari kontak Islam dengan filsafat Yunani ini setelah masuk ke dalam Dunia Islam di antaranya ada yang tetap mempertahankan tradisi Yunaninya, misalnya filsafat paripatetik yang merupakan sintesis ajaran wahyu –Aristotelianism – Neoplatonism, dan filsafat Hermatico Pitagorean. Salah satu aliran pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah perkembangan pemikiran filsafat Islam ialah Ikhwân al-shafâ. Aliran ini memiliki karakteristik tersendiri yang membeda-kannya dari aliran pemikiran yang lain, baik yang muncul sebelum maupun sesudahnya.
Makalah ini secara khusus akan mengungkap aspek displin ilmu keislaman tradisional yang telah dijelaskan di atas, yaitu Hubb Pemikiran filsafat Ikhwân al-Shâfa’.


A. Asal-Usul dan Karya-Karyanya
Sejak berdirinya Bani Buwayhi (334-447H) dunia pemikiran umat Islam khususnya yang beraliran Sunni memasuki masa suram. Gerakan pemikiran selanjutnya beralih ke dunia Syi’ah. Di tengah kondisi seperti itu muncul satu aliran religio-politik yang menamakan dirinya Ikhwân al-Shafâ’,
Ikhwân al-Shafâ’ yang berarti persaudaraan suci muncul di Basrah sekitar pertengahan abad keempat Hijriyah (abad ke-10 M.). dan memiliki cabang di Baghdad. Disebut juga Khullân al-Wafâ’, Ahl al-‘Adl, Abnâ al-Hamd atau dengan singkatan Ikhwânunâ atau Awliyâ Allah. Dalam literatur asing non-Arab, Ikhwân al-Shafâ’ kadang ditulis dengan nama aslinya, kadang juga diterjemahkan dengan Brethen of Purity, atau Pure Brethen , atau Brethren of Sincerity.
Mayoritas sejarahwan menganggap kelompok ini sebagai pengikut sekte Syi’ah Ismailiyah. Hal ini nampak dari tulisan-tulisan mereka yang menunjukkan kecenderungannya kepada Syi’ah Ismailiyah. Namun beberapa lama kemudian mereka kemudian keluar karena mereka tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam kegiatan propaganda politik.
Mereka tidak puas dengan sikap para penguasa dan ulama yang mereka anggap telah meracuni pikiran rakyat dan menuduh para filosof sebagai penganut bid’ah yang mengakibatkan kebekuan beragama, munculnya sikap fanatism, dan fatalism. Kehadiran kelompok ini didasari oleh semangat keinginan membersihkan dan mensucikan agama dari kejahilan dan kesesatan . Usaha yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut ialah filsafat, sebab filsafat merupakan satu-satumnya jalan yang menghimpun himmah i’tiqadiyah dan maslahat ijtihadiyah. Menurut Browne, yang dikutip Hassan Ibrahim Hassan, pemikiran filsofis mereka meneruskan tradisi Mu’tazilah khususnya yang berkaitan dengan pemaduan agama (syari’ah) dan ilmu pengetahuan dan filsaf Yunani dan unifikasi kebudayaan dan peradaban Islam. Ide mereka memadukan agama dan filsafat logis sebab pengalaman sejarah filsafat membuktikan bahwa perpaduan antara agama dan filsafat pada titik tertentu akan mengantarkan kepada kesempurnaan.
Karena sifat gerakan mereka yang sangat rahasia maka pelaksanaan pertemuan dilaksanakan secara berkala dan rekrutmen anggotapun dilakukan dengan sangat ketat, setiap anggota harus merahasiakan identitasnya sehingga terkadang sesama mereka tidak saling mengenal. Kehidupan antara anggota sangat bersifat communal dan fraternal.
Anggota yang direkrut setelah melalui seleksi yang ketat, selanjutnya diklasifikasi menjadi empat kategori sebagai berikut :
1. Al-Abrâr al-ruhamâ’, yaitu mereka yang suci lahir dan batin dalam menaggapi sesuatu dalam berfikir dan mendalami sesuatu ilmu. Kelompok ini antara umur 15-30 tahun.
2. Al-Akhyâr al-Fudhalâ’, mereka mempunyai sifat lemah lembut dan menyayangi sesama manusia, berusia antara 30-40 tahun, terdiri dari para politisi.
3. Al-Fudhalâ’ al-Kirâm, mereka mempunyai kemampuan berjuang dengan penuh semangat kesederhanaan, berusia antara 40-50 tahun, dan mereka dianggap sebagai kuasa dari pelaksanaan hukum ilâhi
4. Martabat al-Kamâl, merupakan peringkat tertinggi, berusia di atas 50 tahun, dipandang telah mencapai ru’ya al-qalbu ilâ al-haqq (persepsi visual terhadap kebenaran) dan dekat dengan Tuhan.
Dari kelompok ini dikenal lima orang yang dianggap sebagai tokohnya, yaitu Abû Sulayman Muhamamd ibn Ma’syar al-Busty yang populer dengan nama al-Muqaddasy, Abû al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjany, Abû Ahmad al-Mihrajanî, al-Awfi, dan Zaid bin Rifâ’ah . Nama yang terkahir disebut-sebut sebagai ketua.
Pertemuan secara rutin dilakukan setiap 12 hari bertempat di rumah ketua perkumpulan. Dalam pertemuan tersebut mereka mendiskusikan masalah keilmuan yang mencakup filsafat dan etika. Dari diskusi yang intens tersebut mereka koleksi sehingga menghasilkan karya yang merupakan khazanah peninggalan mereka yaitu Rasâil Ikhwân al-Shafâ wa Khullân al-Wafâ’
Rasâil Ikhwân al-Shafâ’ sumbernya selain dari hasil diskusi mereka, juga mendasarkannya pada empat jenis masâdir, yaitu:
1. Karya para hukamâ’ dan filosof mencakup matematika dan ilmu eksakta.
2. Kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi terdahulu, seperti Injil, Tawrât dan al-Furqân, termasuk suhuf para nabi yang maknanya bersumber pada wahyu
3. Kitab-kitab tentang yang disusun berdasarkan anomali kosmos.
4. Kitab Jawâhir al-Nufûs yaitu kitab ilâhiyah yang tidak tersentuh kecuali oleh insan yang suci.
Rasâil Ikhwân al-Shafâ’ yang tersebut di atas mendapat penghargaan yang cukup tinggi khususnya bagi sekte Syi’ah Isma’iliyah, bahkan menganggapnya sebagai al-Qur’ân setelah al-Qur’ân , karena dianggap sebagai hasil karya sekte mereka dan dinilai sebagai karya esoterik.

B. Pemikiran Filsafatnya
Pemikiran filsafat Ikhwân al-Shafâ’ dapat ditelusuri hanya melalui Rasâil mereka yang berjumlah 52. Rasâil untuk pertama kali diterbitkan secara lengkap di Bombay-India tahun 1887-1889, kemudian diedit oleh al-Zirikhli dan diterbitkan di Cairo (1928), kemudian di Beirut (1957). Berdasarkan materinya dapat diklasifikasi sebagai berikut :
a. 14 risâlah tentang matematika dan yang berkaitan dengannya
b. 17 risâlah tentang ilmu eksakta
c. 10 risâlah tentang psikologi
d. 11 risâlah tentang metafisika.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

13 Maret, 2011

Tasawuf dalam Islam timbul bersamaan dengan agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi rasul untuk segenab manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi rasul, berulang kali telah melakukan tahannus dan khalwat di Goa Hira. Di sampaing untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, Nabi Muhammad juga mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat waktu itu.
Mustafa Zahri mengemukakan apa yang disinyalir oleh Syekh A. Baqi Surur bahwa tahannus Rasulullah di Gowa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf. Itulah benih-benih pertama kehidupan rohaniyah yang disebut ilham hati atau renungan-renungan rohaniyah yang merupakan gambaran lengkap kehidupan sufi yang sebenarnya. Dari sinilah sedikit demi sedikit lahir mazhab-mazhab rohaniyah yang terjun ke gelombang dunia tasawuf.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperolah hubungan langsung dan disadari benar bahwa seseorang telah berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme termasuk di dalamnya sufisme, adalah kesadaran adanya hubungan yang komunikatif dan dialogis antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Itu mengambil bentuk ittihad, yakni bersatu dengan Tuhan. Akan tetapi, sepanjang perjalanan sejarahnya tasawuf pun tak luput dari kecurigaan dan kecaman keras dari golongan Islam ortodoks. Pertentangan antara golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf misalnya, pertentangan antara ahli tasawuf dengan ahli fiqhi, antara ahli hakikat dengan ahli syari’at, antara penganut ajaran isoterik (batin) dan penganut ajaran eksoterik (dzahiri). Komplik terbuka tersebut tidak dapat dihindarkan, bahkan semakain tajam sejak munculnya kecenderungan pada ajaran ittihad Abu Yazid al-Bustami (w. 261/875) dan ajaran hulul Husain Ibnu Mansur al-Hallaj (w. 309/922).
Ajaran-ajaran ini dikecam oleh para ulama ortodoks karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Komplik ini memuncak dengan peristwa tragis, yaitu hukuman mati bagi al-Hallaj di tiang gantungan. Di kalangan sufi memang ada upaya mendamaikan antara tasawuf dengan syari’at sejak abad II Hijriah. Gerakan ini dipelopori oleh Abu Zaid al-Harraz (w. 286/899), Abu al-Qasim Muhammad al-Junaid (w. 298/911), Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (385/995). Namun demikian, hubungan baik yang telah dibina antara tasawuf dengan syari’at ternyata tidak dapat dipertahankan cukup lama. Hubungan ini mulai retak terutama ketika kecenderungan kepada pantheisme muncul kembali dalam bentuknya yang lebih jelas dalam ajaran wahdah al-wujud oleh Muhyi al-Din al-Arabi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

11 Maret, 2011

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadis merupakan sumber hukum yang kedua dari Al-Quran. Namun perlu dipahami bahwa al-Qur’an dan hadis tidak sekedar membahas tentang hukum dan ibadah tapi lebih luas dari itu, seperti berbicara tentang tatanan sosial kemasyarakatan, interaksi sosial, adab dan akhlak.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk melakukan penelitian terhadap hadis yang akan menjadi landasan atau dasar untuk melakukan salah satu ibadah dan menentukan suatu hukum ataukah menentukan suatu informasi yang benar-benar datangnya dari Rasulullah. Salah satu contoh, yaitu hadis yang menjadi pokok pembahasan pemakalah, dimana hadis tersebut memberikan informasi tentang seseorang (sahabat) yang akan masuk sorga.

I. Matan Hadis Pertama Yang Ditakhrij
A. Matan Hadis Bokhari

فَجَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَحَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَفَتَحْتُ لَهُ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ فَبَشَّرْتُهُ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَحَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَفَتَحْتُ لَهُ فَإِذَا هُوَ عُمَرُ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ اسْتَفْتَحَ رَجُلٌ فَقَالَ لِي افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ فَإِذَا عُثْمَانُ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ *


B. Takhrij al-Hadis

Hadis tersebut di atas, ditakhrij dari kitab Shahih Bukhari dan Sunan At-Turmuziy dengan menggunakan kitab Mu’jam Al-Mufahras dengan bantuan CD Digital yaitu: Mausu’ah Hadis Asy-Syarif. Dengan melihat akar kata dari lapadz فتح, يفتح, افتح.

C. I’tibar Sanad
Dari skema di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa periwayatan atau takhrij hadis melalui jalur riwayat Bokhari dan at-Turmiziy terjadi perbedaan sanad pada thabaqat Tabi’ittabi’in.

D. Kritik Sanad Hadis I
Melalui periwayatan jalur Bokhari ini, terdapat enam sanad termasuk Bokhari, di antaranya adalah:
1. Al-Bokhari
2. Ahmad bin Abdah
3. Hammad bin zaid
4. Ayyub
5. Utsman an-Nahdiy
6. Abi Musa Al-Asy’ariy.

II. Matan Hadis Kedua
A. Matan (Redaksi) Hadis at-Turmuziy

فَدَخَلَ حَائِطًا لِلْأَنْصَارِ فَقَضَى حَاجَتَهُ فَقَالَ لِي يَا أَبَا مُوسَى أَمْلِكْ عَلَيَّ الْبَابَ فَلَا يَدْخُلَنَّ عَلَيَّ أَحَدٌ إِلَّا بِإِذْنٍ فَجَاءَ رَجُلٌ يَضْرِبُ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ قَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَدَخَلَ وَبَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ وَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَضَرَبَ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُمَرُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا عُمَرُ يَسْتَأْذِنُ قَالَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَفَتَحْتُ الْبَابَ وَدَخَلَ وَبَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ فَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَضَرَبَ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا قَالَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا عُثْمَانُ يَسْتَأْذِنُ قَالَ افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ قَالَ أَبمو عِيس
َى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ *

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan Download Makalah lengkapanya.
Download Sini

13 Februari, 2011

Pemikiran mengenai filsafat masuk ke dunia Islam setelah terjadinya interaksi antara kebudayaan Islam dan non Islam, terutama bangsa Yunani. Pada masa daulah Bani Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid tahun 786 M, yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan sehingga ia sangat giat menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, buku yang diterjemahkan adalah buku yang mengenai kedokteran, ilmu pengetahuan dan filsafat serta buku-buku filsafat Aristoteles, Plato dan Gaelan.
Dari usaha yang digeluti oleh khalifah tersebut timbulah minat orang-orang Islam untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga bemunculanlah para cendekiawan dan filosof dikalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al- Farabi, Ibn Sina, al-Razi dan Ibn Miskawaih yang mengenai filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlaq.
Ibn Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof muslim sekaligus sebagai seorang cendekiawan muslim. Banyak ilmu yang dikuasai, tetapi ia sangat terkenal setelah ia mengarang buku di bidang akhlaq yang berjudul “Tahhdzibu Akhlaq wa Tahhir al-A’raq”.

1.Biografi Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada tanggal, 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.
Perihal kemajuannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibn Miskawaih sendiri terlahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama Bapaknya, Muhammad.
Ia juga diduga beraliran Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi pada al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-Muhallabi pada tahun 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn Al-Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Setelah Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaiki, ‘Adhud al-daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai Bendahawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.
2.Pemikirannya
a.Filsafat al Nafs (jiwa).
Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih memajukan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan warna putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikan. Bahkan menurut beliau, kebahagian dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan bukanlah kelezatan hakiki.
Menurut ibn Miskawaih keberadaan jiwa dimaksudkan untuk membantah pendapat kaum materialisme yang tidak mengakui adanya ruh bagi manusia. Namun, ruh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah materi. Immaterialitas jiwa itu menjadikan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari materil. Untuk itu, Ibn Miskawaih mengajukan argumentasi :
1)Indera, setelah mempersepsi suatu tantangan kuat, selama beberapa waktu, tidak lagi mampu mempersepsi rangsangan yang lebih lemah. Namun demikian, ini berbeda benar dengan aksi mental intuisi/kognisi.
2)Bilamana kita merenungkan suatu obyek yang musykil, kita berusaha keras untuk sepenuhnya menutup kedua belah mata kita terhadap obyek-obyek disekitar kita, yang kita anggap sebagai sedemikian banyak halangan bagi aktivitas spiritual. Jika esensi jiwa adalah materi, maka agar aktivitasnya tidak terhambat, jiwa tidak perlu lari dari dunia materi.
3)Mempersepsi rangsangan kuat memperlemah dan kadang-kadang merugikan indera. Disis lain, intelek berkembanga menjadi kuat dengan mengetahui ide-ide dan faham-faham umum (general nations).
4)Kelemahan fisik yang disebabkan oleh umur yang tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
5)Jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak mempunyai pertalian dengan data inderawi. Indera, misalnya, tidak mampu memahami bahwa dua hal yang bertentangan tidak dapat ada bersamaan.
6)Ada suatu kekuatan tertentu pada diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan yang merenung-renungkan materi yang dibawa dihadapannya melalui saluran inderawi, dan menimbang evidensi (bukti) masing-masing indera, inilah yang menentukan karakter keadaan-keadaan tandingan, maka dengan sendirinya jiwa itu harus berada di atas lingkungan materi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download selengkapnya...

About

BTemplates.com

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Clustrmaps

Popular

Popular Posts

Blog Archive