Tampilkan postingan dengan label Dunia Islam Modern. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Islam Modern. Tampilkan semua postingan
Published Maret 16, 2012 by with 0 comment

ABUL KALAM AZAD (Nasionalisme India)

ABUL KALAM AZAD 
(Nasionalisme India)

BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah

Pada abad kesembilan belas,umat Islam India dapat dikatakan masih hidup dengan tradisi kebesaran dan kemegahan masa lalu. Tetapi pada abad kedua puluh,sebagian dari rakyat muslim India telah bangkit dengan visi yang bercampur aduk antara kebesaran masa lalu yang telah hilang dan impian kebesaran yang akan datang.
Jika kita membahas tentang pergolakan pemikiran Islam di India dan Pakistan juga di dunia Islam lainnya maka kita mengetahuai bahwa gerakan pemikiran itu tidaklah terjadi dalam kekosongan dorongan dari luar,kuat ataupun lemah,adalah erathubungannya dengan kebiasaan berpikir dan system ide yang ada dalam pikiran musim itu sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan untuk dapat memahami pemikiran moderen dalam Islam,baik di India dan Pakistan maupun lainnya, kecuali kita harus memahami latar belakang dari ide-ide Islam yang ada. Untuk mengetahui pemikiran Islam moderen di India dan Pakistan, latar belakang yang paling memberi petunjuk adalah keadaan Islam pada abad kesembilan belas atau paling awal pada abad kedelapan belas. Tetapi itulah soal-soal yang menjadikan pengetahuan kta sangat terbatas karena kurangnya literatur. Para penulis memusatkan pembahasanya pada abad-abad pertama dari perkembangan ilmu kalam dan fiqhi dan timbulnya tasawuf dan tarikat. Setelah abad ketiga belas atau sekitar itu orang menduga bahwa dari seg agama ,Islam mengalami kemandekan yaitu tetap berada dalam bentuk yang dicetak oleh ulama-ulama dari abad-abad pembentukan sebelumnya, bahkan sering kali mereka beranggapan kalaupun ada perubahan,maka perubahan iyu berisi kemunduran.

Para pemimpin muslim India pada pertengahan abad kesembilan belas hidup dengan kehidupan yang baru ,berpikir dengan pikiran yang baru lain dari kehidupa dan pemikiran rang-orang tua dan nenek-moyang mereka. Sejarah ide Islam India pada waktu penjajaan inggris menggambarkan beberapa aspek yang stiap aspek berada sejajar dengan perkembangan baru dalam lingkungan social negeri itu .
Di antara sekian banyak tokoh pembaharu muslim di India Nama Abul Kalam Azad juga merupakan salah satunya, Beliau berusaha memperjuangkan Nasionalisme India meskipun hasilnya tidak semaksimal yang beliau harapkan.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis dapat memberikan rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah Abul Kalam Azad itu ?
2. Sejauh manakah peran Abul Kalam Azad dalam memperjuangkan Nasinalisme India ?

--------------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abul Kalam Azad
Waktu kecilnya Abul Kalam Azad adalah anak yang penuh dengan misteri,pengagum-pengagumnya telah berusaha dengan segala kekuatan untuk menjadikannya seorang leendaris, yang kemngkinan agak berlebihan dalam usahanya tersebut. Umpamanya ,tidak jelas siapa nama dia yang sebenarnya, kadang-kadang ia dipanggil Ahmad dan kadang-kadang Muhyiddin. Tetapi dalam surat pertamanya ditemukan ia menandatanganinya dengan nama “ Ghulam Muhyiddin”. Dari sedikit informasi yang tersingkap ke khalayak umum,mungkin untuk mengambil kesimpulan bahwa ayahnya seorang ulama juga seorang pir ( Syaikh tarikat ),meninggalkan Bombay pada abad ke-19 kemudian menetap di mekkah. Dan di sana Abdul Kalam Azad dilahirkan pada tahun 1888. sepuluh tahun kemudian ayahnya kembali ke India dan menetap di Calcutta karena ia mempunyai banyak tarekat di Bengali Timur.Azad dibesarkan dalam suasana agama dan dididik pada pendidikan Islam kuno .
Didikan pertama diperolehnya di Mekkah dan didikan selanjutnya di Al-Azhar di Cairo. Setelah orang tuannya meninggal ia pergi k India dan menetap di sana untu selama-lamanya.Dari perguruan-perguruan di Mekkah dan Cairo ia hanya memperoleh pengetahuan bahasa arab dan agama. Kepada pengetahuan ini ia tambahkan pengetahuan bahasa Inggris dan ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat,yang dipelajarinya atas usaha sendiri setelah belarada di India. Ia idak ingin menjadi ulama seperti orang tuanya,tetapi bercita-cita menjadi pengarang da politikus.
Ayah Azad adalah salah seorang Syaikh tarekat yang brpengaruh, yang dalam dunia spiritual sejajar dengan aristocrat dalam hal-hal duniawi. Apabila mau,ia bisa hidup dengan nyaman dari hadiah-hadiah dan kebaktian-kebaktian dari muri-murid ayahnya. Tetapi anak muda yang percaya diri ini menyimpang dari jalan ayahnya. Pada usia yang muda ia sudah berketetapan hati untuk berjuang dengan penanya. Dalam segala hal,ia merupakan anak yang cerdas. Ia ingin menulis riwayat hidup Al-Gazali pada waktu ia berumur dua belas tahun. Dua tahun kemudian ia menulis artikel-artikel ilmiah di Makhzan, majalah sastra yang paling baik pada waktu itu. Salah satu artikel-artikel itu (dan ini adalah khas sekali) adalah mengenai kekuatan dan pengaruh surat kabar dan tulisannya yang lain adalah artikel bersambung yang ia sanggupi tenang sejarah puisi persia. Ia juga mulai menghadiri pertemuan-pertemuan nasional,dan orang-orang yang hadir di situ heran melihat anak muda ajaib yang masih ingusan itu, melihat pembahasan sastranya yang serius mereka menyangka bahwa pasti orang itu adalah orang dewasa, tapi nyatanya mereka berhadapan dengan anak yang baru berumur enam belas tahun

B. Abul Kalam Azad Dan Nasionalisme India.
Di Zaman kekuasaan Inggris muncul sejumlah pemikir muslim yang memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui pemurnian, pembaharuan pemikiran dan berbagai gagasan untuk melepas diri dari belenggu penjajahan dari sejumlah pemikir Abul Kalam Azad adalah salah satunya.
Peranannya dalam lapangan pemikiran pembaharuan dalam Islam kurag menonjol jika diperbandingkan dengan kegiatnnya dalam bidang politik. Penilis-penulis menyebut bahwa dimasa mudanya ia adalah seorang pan-Islamis dan kemudian berobah menjadi nasonalis India yang berpengaruh kepada golongan intelegensia Islam India adalah Abul Kalam di masa mudanya. Pemikirannya dalam bidang agama tidak seliberal pemikira Ahmad Khan, sebagai murid Sibli ,Pembaharuannya kelihatan bersifat moderat, tujuannya seperti tersebut dalam Al-Hilal ialah melepaskan umat Islam dari pemikiran-pemikiran abad pertengahan dan taklid. Ia menganjurkan kembali kepada al-Qur`an dan untuk keperluan ini ia terjemahkan al-Qur`an kedalam bahasa urdu dengan diberi tafsiran. Al-Qur`an harus dipahami sebagaimana ia terlepas dari pemikiran ahli hukum,sufi,teolog,filosof dan sebagainya.
Kemunduran umat Islam selain disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid tersebut juga disebabkan oleh keadaan umat Islam tidak lagi seluruhnya menjalankan ajaran-ajaran Islam. Kebangkitan umat Islam dapat diwujudkan selain dengan melepaskan diri dari faham-faham usang,juga dengan melaksanakan ajaran Islam dalam segala bidang kehidupan umat dan kekuatan umat Islam akan timbul kembalidengan memperkuat tali persaudaraan dan pesatuan umat Islam seluruh dunia.
Sebagai nasionals India ia mempunyai pengaruh terutama dikalangan umat Hindu. Ia diharapkan akan dapat menarik golongan Islam India ke pihak partai kongres. Ia memang tidak segan-segan mengkritik Gerakan Algarh. Pendidikan moderan yang dibawah Sayyed Ahmad Khan hanya menghasilkan orang-orang yang berjiwa pegawai dan tunduk serta patuh pada Inggis. Sikap anti nasionalisme India tidak ada pertentangan. Semua umat manusia bersaudara dan darah seorang Islam.Rasa umat Islam terhadap mayoritas Hindu, menurut pendapatnya tidak mempunyai dasar. Jika umat Islam ingin tetep hidup dan tinggal di India ,mereka harus memeluk orang hindu sebagai tetangga dan saudara.dan jika umat Islam masih curiga dan takut pada merdeka ,Umat Islam haruslah tahan dijajah oleh bagsa dari luar. Tetapi ajaran Islam demikian menjelaskan lebih lanjut sekali-kali tidak membolehkan umat Islam mengorbankan kemerdekaan, untuk kesenangan hidup. Umat Islam harus bekerja sama dengan saudara-saudaranya dari golongan Hindu,Sikh, Parsi dan Kristen untuk membebaskan tabnah air dari perbudakan. Umat Islam harus berjuang untuk memperoleh hak dan kemerdekaan mereka. Kemerdekaan tanah air India sudah menjadi tujuan nasional dan Abul Kalam akan hidup untuk mencapai tujuan nasional itu. Jalan untuk mncapai tujuan itu, menurut pendapatnya bukanlah meminta-minta dengan mengirim petisi dan delegasi. Lawan yang dihadapi mempunyai kedudukan dan peralatan yang kuat. Terhadap lawan yang demikian sikap lembut tidak berarti dan haruslah dipakai sikap tekanan dan kekerasan. Pernah dikatakan bahwa tujuan Al-Hilal antara lain ialah menggerakkan umat Islam India untuk bangkit melepaskan diri dari kekuasaan asing.
Tulisan-tulisan Abul Kalam mempunyai pengaruh yang langsung pada kehidupan agama uamt muslim India. Sudah barangtentu sebagian besar dari mereka itu tidak pernah bersikap masa bodoh terhadap agama. Dan beberapa tahun sebelum terbitn Al- Hilal.Viqarun Mulk tela mulai dari Aligarh suatu era kehidupan agama yang ortodoks(Sunni) dan kekerasan dalam melaksanakan ajaran agama yang pengaruhnya tidak kecil terhadap sikap generasi muda. Tetapi Abul Kalam mendekati masalah ini dengan semangat baru,dan membawa kepada pendapatnya untuk menjadikan agama sebagai dasar bagi semua hal dengan bantuan pena yang sangat kuat. Ini membawa kepada kebangkitan agamis dan dalam suasana iman dan antusiasme yang baru,sikap apologetik Sayyid Ahmad Khan terhadap beberapa aspek dalam Islam dan usahanya untuk mnysuaikan Islam dengan sains moderen,kehilangan daya tariknya.
Abul Kalam menekankan bahwa “Politik” dan “Agama” adalah kembar dan sudah tentu hal ini membawa kepada para pemimpin agama untuk menaruh perhatian lebih besar kepada politik kebaikan pengaruh perkembangan inin baik agama maupun politik ditantang bahkan dalam kolom-kolom Al-Hilal sendiri. Ditekankan oleh seorang koresponden yang berpengauh bahwa ketekunan para pemimpin agama dan politik akan mempunyai pengaru jelek terhadap kegiatan-kegiatan agama. Dari pengalaman menunjukkan bahwa dalam politik ulama cenderung hanya mengikut dari para ahli politik dalam masalah-masalah politik itu lebih hidup bagi massa pada umumnya dan Azad menerima dukungan yang sangat kuat dari bagian komunitas yang berpengaru.

Dalam masalah politik dalam negeri, Abul Kalam Azad tidak langsung menentang pendapat Vikarul Mulk, bahwa umat Muslim harus meneruskan untuk mempunyai tempat berpijak tersendiri.Ia jarang sekali menulis tentang masalah ini, dan orang akan kehilangan jejak jika meneliti jilid-jilid yang besar dari Al-Hilal untuk menemukan satu artikel pun tentang “ Hubungan Hindu - Muslim”atau subyek seperti “Hari depan umat muslin India”. Editor Al-Hilal tampak tidak tertarik untuk membicarakan masalah umat muslim India, tapi salah satu artikel tentang kontroversi kontemporer menunjukan catatan-catatan yang kuat tentang masalah hindu-muslim yang menjadi penting pada akhir sejarah kehidupan Maulana Abul Kalam Azad. Dalam satu artikel yang membahas tentang pindah agamanya (conversi) orang-orang Hindu menjadi Muslim,ia menulis:
“ Tidak ada perlunya untuk takut kepada oranorang Hindu . engkau harus takut hanya kepada Allah, engkau adalah tentara Allah,tetapi engau melepaskan baju seragam yang diberikan oleh Allah kepadamu, pakailah baju seragam itu dan seluruh dunia akan takut kepadamu. Apabila engkau ingin tetap di India dan tetap ingin hidup,maka kau harus memeluk tetangga-tetanggamu. Engkau telah melihat hasil dari sikap menjauhkan diri dari mereka,sekarang ini kau harus bekerja sama dengan mereka. Apabila ada gangguan dari pihak mereka ,jangan dihiraukan. Kau harus melihat kedudukanmu dalam bangsa-bangsa di dunia. Engkau adalah wakil Tuhan di bumi. Begitulah maka seperti tuhan kau harus melihat segala sesuatu dari atas ,sekalipun bansa-bangsa lain tidak bersikap manis terhadap kau, kau harus bersikap baik terhadap mereka. Yang tua memberikan maaf kepada kesalahan akan muda. Mereka tidak akan melawan dan tidak menerit sekalipun mereka disiksa oleh anak-anak muda itu!”

Telah dilihat bahwa banyak di antara umat Islam yang tidak sepaham dengan Abul Kalam tentang ide nasionalisme India dan politik bersatu dengan mayoritas umat hindu dalam satu negara. Untuk menghadapi umat Islam dan organisasi tersebut, Abul Kalam melihat perlunya kekuatan Islam yang ada di partai Kongres di satukan. Untuk itu dibentuklah di tahun 1929 Kelompok Nasionalis Islam da partai Kongres, yang diketahui oleh Abul Kalam sendiri. Tujuan kelompok ialah membangkitkan jiwa patriotisme dikalangan umat Islam India dan mencari penyelesaian tentang perbedaan faham dan tujuan antara umat Islam dan Umat Hindu.

Usaha yang dijalankan Abul Kalam Azad itu tidak membawa hasil .Umat Islam tidak bisa menghilangkan kecurigaa mereka terhadap Hindu, apalagi setelah ternyata bahwa orang-orang partai kongreslah ,sebagai hasil pemilihan tahun 1937, yang berkuasa di daerah-daerah. Liga muslimin tidak dihargai dan Umat Islam erasa kedudukan mereka menjadi tedesak. Di kalangan nasionalis Islam yang bergabung dengan partai kongres ada yang sudah kurang tertarik pada ide nasionalisme India. Sungguhpun demikian Abul Kalam tetap pada pendirian dan peruangannya untuk mencapai kemerdekaan India ,Ia yakin bahwa problem Islam –Hindu akan dapat diselesaikan setelah tercapainya kemerdekaan.
Perkembangan selanjutnya dari pembaharuan dan politik India ,tidak membawa kepada apa yang dicita-citakan Abul Kalam Azad. Yang tercapai bukanlah kemerdekaan India yang utuh tetapi pecahnya India menjadi dua negara, negara unat Islam dan negara umay Hindu.
Dari apa yang telah di paparkan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap pembaharuan yang dilakukan tidaklah serta merta dapat diterima oleh orang-orag setempat hal ini disebabkan berbedanya dalam memehami ajaran Islam, Oleh karenanya Umat Islam harus kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, Segala bid`ah yang tidak sesuai dengan Islam dan yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan Umat Islam harus dibuang.

-----------------
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka. Penulis dapat menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Abul Kalam Azad dapat dikatakan sebagai seorang tokoh pembaharuan Islam di India yang memperjuangkan Nasionalisme masyarakat India.
2. Peranan Abul Kalam Azad dalam menyatukan antara umat Islam Dan umat Hindu Tidaklah berjalan sesuai apa yang diharapkannya hal ini di sebabkan adanya faktor kecurigaan dari masing-masing pihak serta kebanyakan dari mereka telah meninggalkan ajaran murni setiap agama.

B. Saran

Makalah yang ada ditangan para audiens saat ini masih sangat jauh dari arti kesempurnaan olehnya itu, penulis mengharapkan masukan serta arahan dari rekan-rekan khususnya kepada dosen pemandu mata kuliah,demi kesempurnaan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

Ali,Mukti, Aliran Pemkiran Modern dalam di India dan Pakistan, Bandung: Mizan,1993
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houeve, 1997
Nasution Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerak,Jakarta: Bulan Bintang,1982
Encylopedia Of Islam and The Muslim World, Thompson Gale,2004

Read More
Published Maret 15, 2012 by with 0 comment

Harun Nasution ( Islam Rasional )

Harun Nasution ( Islam Rasional )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakan

Dalam sejarah perkembangan suatu Negara sangatlah dipengaruhi oleh para pembaharu dalam memberi warna baru untuk mencapai tujuan yang maksimal dengan nuansa yang berbeda-beda.
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik untuk ditelusuri , dimana minimal ada manfaat yang dapat diperoleh yakni bila kesimpulan sejarah menunjikkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya inovasi pengembangan dan kemajuan baik pada system pemerintahan, pertahanan, social ekonomi, politik, bahkan pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandang suatu fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa. Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menguak tentang ide-ide,gagasan atau pun pemikiran yang dituangkan oleh Harun Nasution,adalah sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang terbayang adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indinesia.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis berusaha memberi rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Harun Nasution seorang tokoh pembaharu ?
2. Sejauh manakah pengaruh ide,gagasan ataupun pemikiran Harun Nasution di Indonesia ?

---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.

Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsh School (HIS), yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berumur 14 tahun.Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool ( MIK), selama 3 tahun. Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini. Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam , kerena Islam tampak sangat modern di tangan pengajar MIK. Di sinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan dengan pemikiran moderen Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek lebih lanjut Harun Nasution berkomentar tentang MIK sebagai berikut :

” Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi kesolo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam d Mekkah agar lebih lurus pemikirannya.

Senada dengan itu sumber lain mengimpormasikan, bahwa pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir, karena sebelumnya ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim Indonesia tamatan mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A.Ghani, dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai tokoh agama terkemuka. Selepas dari mesir Harun Nasution pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo.

B. Harun Nasution : Islam Rasional
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia, ia berpendapat bahwa masyarakat muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah harus bertanggung jawab atas kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, konsep manusia yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam masyarakat terdapat konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan rasa adalah kalbu, Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak tujuan membina manusia seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada antara ulama agama dan ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan terjadi kehancuran masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada konsep Barat bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja, tanpa adanya unsur ruh.

Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio. Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar, oleh karena itu ajaran-ajaran agama diyakini brsifat absolut dan mutlak benaryang harus diterima begitu saja oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan tidak bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.

Sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional dan sikap dinamis umat yang berkembang pada Zaman Klasik, hilang bahkan lenyap pada Zaman Pertengahan Islam yang dimulai pada tahun 1250 dan berakhir pada tahun 1800 M. Sebagai gantinya timbul pemikiran taradisional dengan pandangan yang sempit , pemikirannya yang tertutup, serta sikapnya yang statis. Kalau pada Zaman Klasik hanya ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur`an dan hadis yang diyakini merupakan dogma, pada Zaman Pertengahan Islam, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada Zaman Klasik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada Zaman Pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang banyak bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman.sehingga kebebasan berpikir dan bergerak amat terikat. Setiap mau berpikir dan bergerak dijumpai banyak larangan dan hambatan, pemikiran membeku dan umat menjadi statis.

Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat. Dania Islam pun memasuki Zaman Modernnya.

Di Indonesia aliran Mu`tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu`tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada kekuatan akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran teologi mereka banyak ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan di kalangan sebagian umat, ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum mu`tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar, bahkan tidak sedikit umat Islam yang menganggap mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.

Pemikiran rasional memeng banyak mempengaruhi kaum mu`tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu al-Huzhail yang pertama memberi penjelasan sejau mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Megetahui adanya Tuhan
2. Mengetahi kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannyamengetahui perbuatan jahat

Kita di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini, masih dingaruhi oleh filsafat hidup corak tradisional tersebut. Penghargahan pada akal sebagai anugrah Tuhan itu belum cukup tinggi, paham qadha dan qadar dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan, rasa tanggung jawab belum tinggi dan masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib.

Pembaharuan di Indonesia masih terbatas pada permasalahan Furu sementara itu pemikiran di Indonesia muncul terlambat lima puluh tahun dari India dan seratuh tahun dari Mesir dan Turki. Latar belakang ide pembaharuan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang yang ada di Mesir, Turki dan India. Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga negara tersebut. Indonesia tak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai abad ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya.

Di kalangan para pembaharu Indonesia yang timbul kira-kira tujuh puluh tahun lalu, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional serta pemikiran ilmiah demikian, tak dijumpai. Semua ini karena, sebagainama mereka katakan, dalam ushul mereka sepaham dan yang mereka pertentangkan adalah masalah furu`. Perlu diperhatikan bahwa ushul yang disepakati itu adalah teologi Asy`ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan qadar. Itulah sebabnya kenapa dibukakan intu ijtihad dengan kembali kepada Al-Qur`an dan hadis, yang di anut oleh para pembaru itu, tidak berkembang di Indonesia. Pembaru-pembaru permulaan abad kedua puluh ini pada hakikatnya masih terikat kepada hasil ijtihad ulama masi silam.

Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain. Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.

Selanjutnya Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran mu`tazilah di abad klasik telah pula diperktekan oleh para ilmuan di abad sembilan belas. Beliau juga ingin engatakan bahwa pemikiran mu`tazilah ternyata telah dianut oleh kalangan ilmuan di berbagai negara. Timbulnya gerakan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki dan sebagainya antara lain karena pengaruh pemikiran Mu`tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaharu tersebut

Dari pemaparan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Harun Nasution hadir sebagai tokoh kontroversial yang bercorak rasinal, hal ini dpengaruhi dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Misalnya ayahnya yang menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kerendahan melanggar aturan adat tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dilihat dari tugas utamanya Harun Nasution sebagai pmbaru dan sekaligus pendidik. Dengan kata lain ia adalah seorang pembaru yang menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan yang ditekuninya. Ia ingin memperkenalkan sikap moderen yang dapat menimbulkan kemajuan bagi umat Islam. Serta ngin mengubah pola pikir dan tingkah laku umat yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola pikir yang rasional dan tingkah laku modern.

-------------------
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab terdahulu yang membahas tentang Islam Rasional
( Harun Nasution) maka, penulis dapat menyimpulka sebagai berikut:

  1. Harun Nasution adalah seorang ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikiranya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pmikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan terikat pada mazhab tertentu. Sifat dan corak pemikiran Harun Nasution yang demikian itu menyebabkan ia dianggap sebagai ilmuan yang sekular.
  2. Pengaruh ide-ide dan gagasan Harun Nasution begitu terlihat jelas dalam bidang pendidikan karena merupakan alat untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan pendidikan. Yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan.

----------------
DAFRAT PUSTAKA
Nata Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafifindo Persada, 2005
......................., Problematika Politik Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Grasindo dan UIN Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Mizan, 1998
.....................Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1975.
Yatim Badri dan Hamid Nasushi, Membangu Pusat Keungulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pemimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: IAIN Jakarta Press,2002

Read More
Published Maret 12, 2012 by with 0 comment

Sayyid Ahmad Khan (Ide – Ide Pembaharuan)

Sayyid Ahmad Khan 
(Ide – Ide Pembaharuan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ide pembaharuan Islam yang tercetus sejak awal abad ke – 13 H (19 M), semakin mendapatkan tempatnya di era ini. Era pasca modernisme sebagai lanjutan dari fase modern banyak memberikan peluang bagi setiap pemikiran untuk berkembang. Termasuk diantaranya adalah ide pembaruan Islam, yang menyuarakan gagasan – gagasan yang cukup memberikan suasana baru di dunia Islam, termasuk India yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini. Berbagai fenomena pascamodernisme terus melaju mengisi setiap sisi kehidupan. Warna relatifisme dan pluralisme menciptakan ruang – ruang yang lebar bagi berkembangnya ide – ide pembaharuan. Ide yang cukup relevan karena dianggap bersifat kritis dan korektif terhadap konsep apapun termasuk teks – teks keagamaan yang telah mapan.

Para pemimpin Muslim India pada pertengahan abad ke – 19 hidup dalam kehidupan baru, berfikir dengan fikiran baru, lain dari kehidupan dan pemikiran orang – orang tua dan nenek – moyang mereka. Sejarah ide Islam India pada waktu penjajahan Inggris menggambarkan beberapa aspek, yang setiap aspek berada sejajar dengan perkembangan baru dalam lingkungan sosial negeri itu. Dua aspek merupakan reaksi, dalam beberapa hal sangat keras, terhadap perkembangan baru itu. Sedangkan aspek – aspek yang lain merupakan adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial.

Di dunia Islam khususnya di India, sebagian kalangan menganggap ide tersebut perlu mendapat dukungan kuat. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai bahaya besar bagi perjuangan kebangkitan umat Islam. Para orientalis dengan penuh optimistis menggantungkan harapan besar pada gerakan – gerakan pembaharuan ini. Bahkan mereka menyusun langkah – langkah khusus untuk mendorong kaum Muslimin agar berinisiatif dan aktif dalam upaya pembaharuan tersebut. Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke – 13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaharuan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata – mata selaras dengan isi kandungan nash – nash. Di saat kaum Muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya – upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaharu memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum – hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah – kaidah umum dan hukum – hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat perspektif wahyu (al – Qur’an dan Hadits).

Sebagai langkah untuk membangkitkan kembali umat Islam khususnya di India, Sir Sayyid Ahmad Khan mengemukakan tiga langkah yang harus ditempuh, yaitu : bekerjasama dalam bidang politik, mengambil ilmu – ilmu kebudayaan Barat, dan menafsir ulang Islam dalam bidang pemikiran.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
a. Siapakah Sir Sayyid Ahmad Khan?
b. Apa saja ide – ide pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan?
2. Batasan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam membahas masalah pokok yang menjadi inti permasalahan pada pembahasan ini, maka penulis terlebih dahulu akan membatasi permasalahan yang akan dibahas. Adapun batasan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Pada dasarnya, sangat banyak tokoh – tokoh pembaharuan yang ada di India. Namun yang menjadi pembahasan dalam makalah ini hanya terbatas pada seorang tokoh yang sangat terkenal di India, yaitu Sir Sayyid Ahmad Khan.
b. Adapun ide – ide pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan dalam pembahasan ini adalah ide pembaharuannya dalam bidang politik, pendidikan dan bidang sosial keagamaan.

---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Sir Sayyid Ahmad Khan
Sir Syed Ahmed Khan , also Sayyid Ahmad Khan lahir tanggal 6 Dzulhijjah 1232 Hijriyah atau 17 Oktober 1817 Masehi di kota Delhi. Ia dilahirkan dari keluarga terhormat di kota Delhi yang melalui garis kedua orang tuanya berhubungan dengan pemerintahan Mughal. Pada masa anak – anak ia mempunyai kesempatan mengikuti nasib istana Mughal berangsur – angsur runtuh . Ia biasa dipanggil dengan Sir Sayyid. Sebutan Sir ia dapatkan dari bangsa Inggris atas jasa – jasanya terhadap Inggris. Sedangkan sebutan Sayyid karena ia masih keturunan langsung nabi Muhammad SAW. Ia merupakan keturunan dari Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah . Ayahnya bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama, tetapi karena keturunan Sayyid maka ia juga memperoleh pengaruh besar dan juga sangat dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II.

Pada waktu Sayyid Ahmad lahir, bapaknya membawa dia kepada Syaikh Ghulam Ali, sahabat kental ayahnya yang pada waktu itu sebagai syaikh dari tarikat Mujaddidi. Syaikh itu kemudian memberikan nama Ahmad. Pada waktu anak itu mulai besar sampai kepada umur pergi ke sekolah, pertama – tama ia dibawa kepada Syaikh Ghulam Ali, yang mengajarnya huruf Arab . Ahmad Khan mendapat pendidikan formal pertama kali disebuah maktab (mungkin kalau di Indonesia semacam madrasah diniyah), yaitu lembaga pendidikan Islam tradisional yang khusus mengajarkan ilmu agama.

Di Maktab ini ia belajar bahasa Parsi, bahasa “beradab” bagi muslim India pada waktu itu, dan juga berhitung . Boleh dibilang pendidikan formal yang diperolehnya pada waktu ia kecil tidaklah demikian mendalam dan sistematis. Ia lebih banyak mendapat bimbingan dari ibunya, seorang wanita yang bijaksana, yang mengasuhnya dengan sungguh – sunguh, sehingga ia memperoleh pengetahuan yang cukup tentang beberapa ilmu pengatahuan yang biasa diajarkan di madrasah – madarasah muslim pada waktu itu . Selain itu, ia seorang anak yang sangat rajin membaca berbagai ilmu pengetahuan. Dan ditambah pengetahuannya tentang masalah – masalah kenegaraan (ilmu pemerintahan). Pengenalannya dengan kebudayaan barat diperolenya dari sang kakek dari pihak ibu, Khawaja Fariduddin, yang pernah menjadi Perdana Menteri di Istana Mughal masa Sultan Akbar II selama delapan tahun . Pada awalnya ia bekerja di The East India Company, kemudian dipindahkan ke bagian Criminal Departmen di bagian New Delhi. Pada tahun 1846, setelah lima tahun bekerja sebagai musnif di Fatihpur Sikri distrik Agra, ia dipindahkan ke Delhi, kota kelahirannya. Pada tanggal 10 Mei 1857, ketika terjadi pemberontakan terhadap kolonial Inggris, saat itu ia berada di daerah Bignapur, sebagai seorang pegawai peradilan. Ia tidak ikut memberontak, bahkan ia banyak membantu melepaskan orang – orang Inggris yang teraniaya dalam pemberontakan tersebut.

Karena jasa – jasanya itulah ia di beri gelar Sir oleh Inggris . Sir Sayyid Ahmad Khan sakit pada tanggal 24 Maret 1898, dan dua hari kemudian dengan berkomat – kamit membaca ayat – ayat al - Qur’an ia meninggal dunia . Ahmad Khan telah tiada, namun sampai kini gagasan – gagasannya masih banyak diualas oleh akademisi dan para ilmuan. Pandangan yang sangat mendasar dari Ahmad Khan adalah tentang keterbelakangan masayarakat muslim India. Menurut analisanya umat Islam di India sangat terbelakang bila dibandingkan dengan peradaban Barat karena ia tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi diakibatkan oleh kejumudan pemikiran umat Islam pasca abad pertengahan, sehingga untuk melawan keterbelakangan maka yang harus dilakukan umat Islam adalah menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran rasional agama zaman klasik, dengan perhatian yang besar pada sains dan tehnologi.

B. Ide – Ide Pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan
1. Ide – pembaharuannya dalam Bidang Politik
Pada tahun 1857 ketika Sayyid Ahmad Khan genap berusia 40 tahun, terjadi satu fase baru dari kepribadiannya yang serba – segi itu terungkap. Pada waktu itu terjadi kekacauan politik besar terjadi yang dimulai dengan pemberontakan Angkatan Darat India terhadap pemerintahan Inggris di India yang kemudian merambah pada penduduk sipil. Menurut Sayyid Ahmad Khan, sebab pokok yang akhirnya membawa kepada pemberontakan besar tersebut adalah tidak adanya orang India yang mewakili pandangan India pada tingkat atas badan – badan yang memerintah negeri tersebut. Ia menyatakan:
“Sebagian orang setuju… adalah sangat sesuai bagi kebahagian dan kemakmuran pemerintah jika rakyat harus mempunyai suara dalam Badan – badan Perwakilannya” .

Ia membuka dengan jelas segala kejelekan yang disebabkan karena tidak adanya orang India di Dewan Legslatif, tidak mengertinya Dewan tersebut tentang pandangan yang sebenarnya mengenai orang – orang India. Selanjutnya ia menunjuk kepada campur tangan pemerintah dalam soal agama: “Tidak ada kebimbangan sedikitpun pada semua orang, baik bodoh maupun pandai tinggi atau rendah pangkatnya mempunyai keyakinan yang kukuh bahwa pemerintah Inggris condong untuk campur tangan dengan agama mereka dan adat kebiasaan mereka yang telah ada sejak lama ”. Ia juga mengeluh mengenai tidak adanya pergaulan dan komunikasi antara orang Inggris dan sebagian orang India . Ia merenungkan tragedi yang menimpa negerinya, dan mendapatkan kesimpulan bahwa hal tersebut disebabkan karena kebodohan. Oleh karena itu ia bertekad untuk mulai mendidik orang yang memerintah dan yang diperintah, dan menghilangkan sebab – sebab yang memungkinkan pertentangan dan salah paham.

Tugas pertama ia mulai dengan bukunya Causes of the Indian Revolt, dan ia teruskan sepanjang hidupnya dengan mengajukan pikiran – pikiran rakyatnya dengan berani. Untuk tujuan inilah maka pda tahun 1866, ia mendirikan British Indian Association” di Aligahr yang digambarkan sebagai pendahulu Kongres Nasional India, dan meskipun baru saja berdiri telah dapat melahirkan pelbagai macam pandangan yang berguna dan efektif bagi Parlemen Inggris dan Pemerintah di India mengenai kesulitan – kesulitan yang dihadapi rakyat India. Sayyid Ahmad Khan juga mengetahui bahwa pemberontakan tersebut dikatakan sebagai pemberontakan Muslim, dan umat Muslim ditindas dengan kekerasan. Ia berusaha untuk membetulkan kesan yang salah dari pejabat – pejabat Inggris… Namun secara politis, ia tetap melayani Inggris, dan pernah menjadi anggota Dewan Gubernur Jenderal, beberapa kali menjadi anggota komisi pemerintah dan terus mengembangkan loyalitas dari umat Islam kelas menengah di India Utara. Lebih dari itu, ia kemudian mendirikan Muhammadan Educational Conference yang segera berkembang menjadi organisasi yang sangat baik dan memperoleh dukungan dari banyak pihak, dan cabang – cabangnya segera tumbuh di kalangan masyarakat Islam India. Konferensi ini menjadi alat penyiaran ide – ide Sir Sayyid Ahmad Khan dalam bidang sosial dan agama . Selain itu, Ahmad Khan juga mendirikan organisasi yang bersifat politik, yaitu Muhammadan Defence Association, yang tujuannya adalah melindungi anggota – anggotanya dari saingan golongan yang kuat dan lebih maju .

Dalam keseluruhannya tidak diragukan lagi bahwa Sir Sayyid Ahmad Khan adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk kesejahteraan masyarakat Muslim India dengan membina agama dan moralitas, serta loyal kepada bangsa yang memerintah mereka, yaitu Inggris.

2. Ide – pembaharuannya dalam Bidang Pendidikan
Di India pendidikan modern yang dibawa oleh Inggris pada awal abad ke – 19 telah menimbulkan dualisme sikap masyarakat Muslim. Yaitu sikap antagonis (menolak) dan sikap akomodatif (menerima) . Sikap penolakan ditunjukkan oleh sebagian besar umat Islam India, terutama para pengelola lembaga pendidikan Islam tradisional yang khusus mengajarkan ilmu – ilmu agama. Penolakan tersebut, karena meraka beranggapan apa yang dibawa oleh Inggris tidak cocok diikuti umat Islam, sebab pendidikan modern Inggris mengabaikan bidang studi dan tradisi keilmuan Islam.

Sebagian lain masyarakat Islam dapat menerima dengan lapang dada sistem pendidikan modern Inggris tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan tehnologi modern yang dibawa oleh Inggris dan diajarkan pada lembaga – lembaga pendidikan Inggris tersebut merupakan sarana yang dapat membawa kemajuan umat Islam India. Sebab mereka menyadari India sangat ketinggalan jauh dengan Inggris dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Salah satu tokoh yang mendukung sikap ini adalah Ahmad Khan. Ia berpandangan bahwa saat ini umat Islam harus kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah seperti pada zaman Islam klasik. Ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat di Barat perlu dikuasai oleh umat Islam. Sebab ilmu pengetahuanlah yang akan mampu menghidupkan kembali orientasi keduniaan umat yang telah hilang sejak zaman pertengahan. Untuk mengusai pengetahuan dari Barat tiada lain jalan yang ditempuh adalah dengan mengakomodasi pikiran – pikiran modern termasuk pendidikan yang dibawa oleh Inggris. Pada tahun 1869, bersamaan dengan kepergian anaknya ke Inggris untuk melanjutkan studinya, ia juga pergi ke Inggris. Kepergiannya ini adalah semata – mata untuk memenuhi keingintahuannya yang sudah lama yaitu mempelajari sendiri sumber – sumber kekuatan Inggris, dengan harapan dapat mewujudkan cita – citanya menciptakan negara India yang kuat dan makmur, dapat mengikuti perkembangan zaman modern serta dapat menduduki tempat mulia dalam masyarakat dunia . Ia sadar bahwa jika rakyat tidak menerima pendidikan modern yang cukup maka keadaan mereka tidak akan tambah baik, dan tidak bisa menduduki kedudukan – kedudukan terhormat di antara bangsa – bangsa di dunia . Sekembalinya dari Inggris, ia merasa mendapat kekuatan baru yang lebih meyakinkan anggapannya bahwa selama ini ketertinggalan India dari bangsa Barat adalah karena faktor mental, Inggris memiliki mental yang kuat dalam segala hal. Dan untuk merubah mental masyarakat India harus dilakukan revolusi pemikiran dengan meninggalkan ide – ide dan kebiasaan – kebiasaan lama dan menerima tuntutan zaman modern. Bersamaan dengan itu ia mulai merintis berdirinya perguruan tinggi Islam modern. Perlu diterangkan di sini bahwa ada beberapa kelompok yang menentang pikiran – pikirannya. Yang pertama adalah jelas bahwa dia tidak memperoleh dukungan dari petani yang sebenarnya merupakan sembilan persepuluh dari penduduk India. Penduduk pedesaan sama sekali tidak mengerti tentang ide yang dilancarkan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan. Kedua, ia ditentang oleh tingkatan yang lebih atas dari masyarakat kuno India yang mereka itu bebas, tetapi tidak mengabaikan Sir Sayyid Ahmad Khan juga tidak bebas mendukungnya. Kelompok ini adalah kelompok kecil dari penduduk kota, dan terutama para ulama yang biasa mengajarkan agama dengan bahasa Parsi. Mereka menganggap bahwa pembaharuan yang dilakukan Sir Sayyid Ahmad Khan dan terutama bahasa Inggrisnya, mengancam kedudukan mereka, baik secara idologis maupun ekonomis .

Usaha pokok Sayyid Ahmad bagi penyiaran ilmu (sebelum ia mendirikan perguruan tinggi Aligarh) adalah berdirinya The Scientific Society yang asalnya terkenal sebagai The Translation Society yang dimulai di Ghazipur pada bulan Januari 1864. Pada waktu mulai membuka sekolahan dan menentukan kurikulumnya, ia menyadari bahwa bahasa – bahasa India kurang mempunyai literatur yang berguna mengenai ilmu – ilmu yang dibahas dengan bahasa – bahasa Barat. Cita – cita Ahmad Khan untuk mendirikan Perguruan Tingi akhirnya terwujud dengan diletakkannya batu pertama pembangunan gedung perguruan tinggi tersebut oleh Gubernur Jenderal Lord Lotion (raja muda waktu itu) pada tanggal 8 Januari 1877 di kota Aligarh. Perguruan tinggi tersebut diberi nama Muhammadan Anglo Oriental College, yang lebih dikenal dengan Aligarh College . Perguruan tinggi ini adalah proontoh – Inggris. Ia mencontoh perguruan tinggi Oxford dan Cambridge, bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, kurikulumnya adalah kurikulum Barat dengan ditambah mata kuliah Agama Islam, dan dekan serta banyak dosennya adalah orang – orang inggris . Aligahr College adalah Karya besar Ahmad Khan dalam bidang pendidikan. Aligarh merupakan lembaga pendidikan Islam modern yang dikembangkan olehnya dari hasil studi panjangnya di Inggris. Sistem pendidikannya berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada waktu itu. Perbedaan tersebut nampak dalam hal materi dan tujuan pendidikan . Dari segi materi Aligarh memasukkan pengetahuan umum (ilmu pengetahuan umum dan tehnologi) dalam pembelajarannya, padahal pada era tersebut India sama sekali tidak memiliki satu lembaga pendidikan Islam yang memasukkan ilmu – ilmu umum dalam daftar mata pelajarannya . Sayyid Ahmad Khan tahu kebencian umat Islam terhadap orang – orang Kristen, tetapi bagaimanapun juga mereka harus memperoleh pendidikan Barat. Dalam prospektus perguruan Aligarh itu dengan jelas dinyatakan “ Untuk mendirikan Perguruan Tinggi yang di dalamnya umat Islam bisa memperoleh pendidikan Inggris tanpa merugikan agama mereka” .

Dengan memberikan pelajaran umum ini Ahmad Khan menginginkan hilangnya dikotomi ilmu yang ada pada benak dan pikiran masyarakat Islam India. Terlihat dari penyusunan cabang ilmu pegetahuan yang diajarkan di Aligarh. Dalam susunan itu ilmu – ilmu agama dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, bukan menjadi cabang tersendiri yang terpisah dari ilmu pengetahuan yang lain. Ahmad Khan tidak menginginkan adanya keterpisahan ilmu pengetahuan dalam pandangan umat Islam India. Dari sudut tujuan, Aligarh College memiliki tujuan yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam mainstrem. Ia memiliki tujuan membentuk ulama intelek, yaitu orang yang memiliki keahlian dalam bidang pengetahuan agama dan juga mahir dalam ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian diharapkan lulusan Aligarh College memiliki intelegensia yang tinggi dan adaptif dengan perkembangan zaman dan peradaban modern dengan kepribadian Muslim.

3. Ide – pembaharuannya dalam Bidang Sosial Keagamaan
Secara agamis, pandangan Sayyid Ahmad Khan sebagian dapat dilihat dari tulisan – tulisannya. Bukunya Essay on the Life of Mohammed, juga berisi jawaban – jawaban terhadap kritik Barat. Buku itu ditulis untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama terhormat dinilai dari ukuran – ukuran Barat Modern. Ia sendiri menyerap jiwa kebudayaan Barat terutama rasionalismenya. Pikirannya tidak mau terbelenggu oleh otoritas hadits dan fiqhi. Semua itu diukur dengan kritik rasional. Akibatnya ia menolak semua hal yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Dengan begitu ia sudah barang tentu menolak otoritas lama (taqlid).
Dalam lapangan agama, ia berusaha untuk menunjukkan persamaan dasar antara Islam dan Kristen, dan dengan itu menganjurkan kerukunan hidup antara kedua pemeluk agama tersebut. Ia menulis uraian untuk mempertahankan pendapat dibolehkannya hubungan antar orang Islam dan orang Kristen dari segi agama.

Pada waktu perguruan tinggi Aligarh didirikan, ia menyetujui untuk menyerahkan semua masalah agama tersebut kepada Komite Ulama – ulama Muslim Ortodoks dan berjanji tidak campur tangan dalam urusan tersebut. Dengan pembagian kerja seperti itu, maka segi – segi kerohanian Perguruan Tinggi tersebut memperoleh dukungan dari pribadi yang dinamis, tetapi Sayyid Ahmad tetap melaksanakan pembagian kerja tersebut. Ia bukan hanya menyerahkan urusan agama dari Perguruan Tinggi tersebut berjalan sendiri, tetapi juga tidak membolehkan karangan – karangannya yang kontroversial jatuh ke tangan mahasiswa – mahasiswanya. Tetapi di luar Perguruan Tinggi ia tetap meneruskan kegiatan – kegiatannya.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa al-Quran merupakan satu – satunya asas untuk memahami Islam.

Hal ini ia dasarkan pada perkataan Umar Ibnu Khathab, "Cukuplah bagi kita kitabullah". Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka untuk memahami al-Qur’an tidak mungkin bersandar pada al-Qur’an menggunakan penafsiran kontemporer. Ia berpendapat bahwa ayat – ayat muhkamat bersifat asasi atau mengandung dasar – dasar aqidah, sedangkan ayat – ayat mutasyabihat menerima lebih dari satu penafsiran yakni mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Perubahan terjadi setiap saat, ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia bertambah. Oleh karena itu untuk menghadapi perubahan tersebut harus terjadi perubahan pemahaman manusia terhadap ayat – ayat mutasyabihat. Karena boleh jadi akan ada penafsiran lain yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan alam manusia masa kini .

Menurut Ahmad Khan, hanya al-Quran yang menjadi asas dalam memahami agama, sedangkan hadits yang dapat dijadikan sebagai sandaran hanyalah hadits – hadits yang sesuai dengan nash dan ruh al-Quran, yang sesuai dengan akal dan pengalaman manusia dan yang tidak bertentangan dengan hakekat sejarah. Bahkan setiap hadits yang bertalian dengan masalah dunia hanya berlaku khusus bagi kondisi dan keadaan bangsa Arab pada masa nubuwah, dan tidak mengikat bagi seluruh kaum muslimin .

Tampaknya poin terpenting yang dinafikan Ahmad Khan adalah dalam menerima hadits. Ia berpendapat perkara – perkara agama bersifat tetap, sedangkan perkara – perkara dunia berubah – ubah. Sampai disini dapat disimpulkan bahwa menurut Ahmad Khan, hadits – hadits tidak diterima sebagai sumber hukum diera setelah masa kenabian. Ia pun akhirnya menyangsikan kelayakan pendapat – pendapat fuqaha dahulu untuk diterapkan pada masa sekarang. Maka pintu ijtihad terbuka untuk seluruh masalah. Menurutnya perbedaan fisi dan kebebasan yang luas merupakan satu – satunya jalan untuk memajukan umat. Salah satu pendapatnya yang cukup mendapat tanggapan keras dari beberapa kalangan adalah bahwa Allah telah menciptakan dan membuat hukum – hukum, akan tetapi Allah tidak turut campur dalam hukum alam. Dari sini cukup memperlihatkan bahwa ia menggunakan sistem nilai dari pemikiran Barat untuk memahami agama dan menafsirkan al-Qur’an.

Sayyid Ahmad menjelajah hampir semua literatur Islam untuk menggali pendapat – pendapat yang memiliki otoritas yang mendukung tesisnya, bahwa dalam al-Qur’an tidak ada sesuatupun yang tidak sesuai dengan sains modern. Cocok dengan alam adalah ukuran untuk menilai pelbagai macam agama, dan agama Islam adalah agama yang benar karena sesuai dengan alam. “Kalimat Allah (al-Qur’an )”, ia menyatakan harus sesuai dengan perbuatan Allah (alam)”. Ia mengikuti metode Mu’tazilah dalam mencocokkan agama dengan sains, dan ia dianggap sebagai Mu’tazilah modern .
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama yang dipahami oleh Sir Sayyid Ahmad Khan adalah suatu paham agama yang secara eksplisit sesuai dengan kemajuan dan khususnya dengan kebudayaan Inggris pada abad ke – 19 dengan ilmu, moralitas liberal, humanisme, dan rasionalisme ilmiahnya.


----------------
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
  1. Sir Sayyid Ahmad Khan adalah salah seorang tokoh pembaharu di India pada abad ke – 19. Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu yang ide – idenya dinilai oleh masyarakat banyak membawa kontroversial khususnya oleh masyarakat konservatif.
  2. Ide – ide pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan secara rinci dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Bidang Politik
Dalam keseluruhannya Sir Sayyid Ahmad Khan adalah orang yang menghabiskan waktunya untuk kesejahteraan masyarakat Muslim India dengan membina agama, moralitas, serta loyal kepada bangsa yang memerintahnya.
b. Bidang Pendidikan
Ia berpandangan bahwa umat Islam harus kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah seperti pada zaman Islam klasik, dari pada itu ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat di Barat perlu dikuasai oleh umat Islam. Sebab ilmu pengetahuanlah yang akan mampu menghidupkan kembali orientasi keduniaan umat yang telah hilang sejak zaman pertengahan. Untuk mengusai pengetahuan dari Barat tiada lain jalan yang ditempuh adalah dengan mengakomodasi pikiran – pikiran modern termasuk pendidikan yang dibawa oleh Inggris.
c. Bidang Sosial – Keagamaan
Agama yang dipahami oleh Sir Sayyid Ahmad Khan adalah suatu paham agama yang secara eksplisit sesuai dengan kemajuan dan khususnya dengan kebudayaan Inggris pada abad ke-19 dengan ilmu, moralitas liberal, humanisme, dan rasionalisme ilmiahnya.

B. Saran – saran 
Secara umum makalah yang ada dihadapan bapak – bapak dan ibu – ibu peserta seminar kelas masih banyak memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan lebih lanjut.

-----------------------
DAFTAR PUSTAKA
Ali, HA. Mukti , Aliran Pemikiran Modern dalam Islam di India dan Pakistan, Bandung: Mizan,1993
---------------------, Alam Pikiran Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995.
Baljon, J.M.S. Sayyid Akhmad Khan Seorang Islam Modern dan Pembaharu Sosial, Terjemahan Amal Hamzah, Jakarta: Djaur Gatan, 1950
Engineer, ALI, Asghar Rational Approach to Islam, Delhi: Gyan Publishing House, 2001
Encyclopedia of Islam and the Muslim World, Thompson Gale 2004
Glasse, Cyril, The New Encyclopedia of Islam, Altamira Press, 2001
Sir Syed Ahmad Khan- Chronology “Sir Syed University of Engineering and Technology.http://www.Ssuet .edu.pk/Chronology.htm. Retrieved, 14 Januari 2010
"Sir Syed Ahmad Khan". Story of Pakistan. http // www. Story of Pakistan. Com / person. asp? perid= P001. 14 Pebruari 2010

Read More
Published Februari 25, 2012 by with 0 comment

KH. Abdur Rahman Wahid (Hubungan Agama dan Negara)

KH. Abdur Rahman Wahid 
(Hubungan Agama dan Negara)

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sangat boleh jadi semua orang sepakat tentang Gus Dur hanya satu hal, yaitu bahwa dia adalah tokoh kontraversial tulen. Dan memang semua orang boleh menjuluki apa saja tentang tokoh yang satu ini mulai dari yang baik-baik sampai kepada yang buruk-buruk. Toh selama ini Gus Dur cuek saja dengan kalimat yang sekaligus menjadi ciri khasnya “gitu aja kok repot”.
Sampai saat ini, belum atau taakan perna ada yang akan bisa menandingi Gus Dur dalam banyak mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam mengumpulkan julukan itu. Mereka yang melihatnya begitu taat dan gigihnya mengikuti orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air mungkin akan mejlukunya Nasionalis. Mereka yang melihatnya berkiprah dibidang kesenian dan budaya mungkin akan menjulukinya budayawan atau seniman. Mereka yang sering menyaksikan dalam mengisi seminar-seminar dan menuliskan pemikiranpemikirannya mungkin akan mejulukinya cendekiawan atau pemikir dan seterusnya.

Sangat boleh jadi “Wallahu a’lam” Gus Dur memang merupakan “pelajaran” atau “pengajaran” yang sangat keras bagi bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil ini. Mulai dari zaman kerajaan hingga zaman raja Suharto bangsa ini boleh dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu didikkan oleh para penguasanya terutama penguasa orde baru dulu adalah penyeragaman. Sehingga tanpa terasa di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang sebagai hal yang angker. Orang yang berbeda diidientikkan dengan musuh. Dan pada gilirannya orangpun sulis bersikap adil dan obyektif.
Oleh karena itu jangan heran bila demokrasi disini masih terus menjadi infian dan slogan. Barangkali dan mudah-mudahan karena sayangnya Allah kepada bangsa ini, iapun terus mengingatkan dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena kontraversial yang betapapun kita ingin menyeragamkan tak akan pernah kita dapat menyatukan pandangan kita, sebagai contoh berulangkalinya terjadi perbedaan penentuan hari raya baik “idiel fitry” maupun “idiel adha”. Betapapun hebatnya argument masing-masing pihak, tetapun pihak lain tidak akan mampu sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri.
Boleh jadi karena berkali-kalinya kita tidak bisa mencermati pelajaran-pelajaran Allah yang diberikan dengan cara seperti itu, maka iapun memberikan pelajaran puncak dalam bentuk seorang imam yang paling kontraversial yang pernah dimiliki Republik ini yang sedikitpun tidak pernah merasa takut terhadap perbedaan, yaitu Gus Dur !

Terpilihnya Gusdur sebagai presiden bukanlah pemberian poros tengah, bukan Amin Rais, bukan NU apalag PKB partai yang dideklarasikan oleh Gus Dur sendiri dan kalau seandainya boleh ditanyakan pada Poros Tengah yang mengusungnya waktu itu atau kepada fraksi-fraksi yang ada di MPR, termasuk Amin Rais sendiri,apakah Gus Dur pada saat itu menjadi pilihan mereka untuk menjadi presiden ? Asal mereka mau jujur pada diri mereka sendiri, pasti mereka akan menjawab bukan.

Dari sekian orang yang segar bugar, sekian ribu politisi,sekian ribu ahli politik,sekian ribu tokoh masyarakat, sekian ribu pakar tata negara, tetapi aneh Gus Dur yang bukan tokoh partai politik, bukan pemerintah yang sedang berkuasa dan buka pula milioner, dipilih secara demokratis bahkan paling demokratis dalam sejarah Republik ini oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana setiap orang bisa menyampaikan anspirasinya sebesar-besarnya.
Jadi minimal menurut keyakinan saya sendiri, Gus Dur adalah tokoh kontraversial sejati yang suka berbeda memang dipilih oleh Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita, bangsa yang selama ini terus menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak menghargai keadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas melalui makalah ini penulis akan mengambil secuil pemikiran dan pandangan seorang Gus Dur (K.H.ABD.RAHMAN WAHID ) melalui topic “K.H.Abd.Rahman Wahid Hubungan Agama dan Negara”dengan rumusan dan batasan masalah seperti berikut.

B. Rumusan dan Batasn Masaalah.
Dalam pembahasan makalah ini penlis membatasi rumusan dan permasalahan sebagai berikut :
1. Siapakah sebenarnya K.H.Abd. Rahman Wahiud ?
2. Bagaimana pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid tentang hubungan agama dan negara ?
3. Apa alasan-alasan K.H.Abd.Rahman Wahid dalam memisahkan antara urusan agama dan negara ?


---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi K.H.Abd.Rahman Wahid
1. Gus Dur Kecil
K.H.Abd.Rashman Wahid atau yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan didunia melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang .
Ibunya, Ny. Hj Sholehah juga putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Rois ‘Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah, dengan demikian secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru. Gus Dur adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa Indonesia.
Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Sukarno Presiden pertama Republik Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus “Piagam Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam keudukannya sebagai keturunan kiyai paling terkemuka dan bangsawan di Indonesia.

Meskipun demikian kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di Pondok Pesantren. Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al Qur’an, gurunya waktu itu adalah kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari .
Pada saat bocah tidak seperti anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dia diajari mengaji dan membaca al Qur’an oleh kakenya sendiri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Disaat serumah dengan kakenya itulah Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

2. Proses menjadi Gus Dur.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berhasil menamatkan bebrap kitab standar mu’tabarah Pondok Pesantren. Sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim. Dalam usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan study di Al Azhar Islamic University Mesir, mengambil konsentrasi Departemen of Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah tiba di Mesir Gus Dur menemui kendala karena ijazahnya tertolak, sehingga praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk mengurus Ijazah tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar,namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia terima disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk menghilangkan rasa bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan lengkap di Kairo.
Selama kuliah di Kairo ia lebih aktif ke perpustakaan, nonton film dan selebihnya diisi dengan kegiatan organisasi, akibatnya Gus Dur tidak naik tiungkat dalam kuliahnya di Al Azhar. Mendengar kegagalan kuliyah Gus Dur
di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim surat dari tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur, “Kamu harus berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan perasaan dalam hatiku,” tulis Nuriyah .
Meski begitu bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh faham “Sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang Arab kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya, hal itu dilakukan karena mereka tidak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. Dan inilah yang ikut mempengaruhi pemikiran-pemikiran Gus Dur yang membias dalam derap langkahnya di Indonesia.
Merasa tak akan berkembang Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas Al Azhar mesir dan pindah ke Bagdad, dan pada tahun 1966, dalam usia 26 tahun Gus Dur secara resmi masuk ke Departemen of Relegion, di Universitas Baghdad Irak. Di Baghdad Gus Dur memperoleh gelar Lc-setinggkat S1 di Indonesia-Sastra Arab. Kemudian melanjutkan S2 (Setingkat MA). Judul thesisnya sudah diajukan, tapi sial sipembimbing meninggal dunia dan untuk mencari gantinya setengah mati, akhirnya ia memutuskan pulang ke Indonesia3.

3. Eksperimentasi menjadi Gus Dur.
Dengan berbekal ijazah S1 Universitas Baghdad, Gus Dur kembali ke IndonesiaPada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga tahun 1974. Ketika itu pula ia menekuni kembali bakatnya menulis dan menjadi kolumnis. Tulisannya yang anatik dan kritis, tajam dan reflektif tentang pesasntren, toleransi beragama, pluralism, demokratisasi dam filsafat tersebar keberbagai media massa, terutama majalah Tempo,Surat Kabar Kompas,pelita dan jurnal prisma .
Hal inilah yang kemudian mengantar seorang Gus Dus semakin mencuat kepermukaan karena gagasan-gagasannya yang menarik perhatian banyak orang dan tidak sedikit yang mengundang kontraversi.

B. Agama da Negara dalam Pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid
Pada dekade l980an beberapa cendekiawan muslim termasuk K.H.Abd. Raman Wahid memberikan kalaripakasi tentang hubungan anatar agama dan negara, hal ini mereka anggap perlu karena pada dekade tersebut banyak ummat Islam yang ragu-ragu dan hawatir tentang posisi Islam dan negara, keraguan tersebut dapat dimengerti karena pada dekade tersebut pemerintah Indonesia intens melakukan pembedahan idiologis yang mempunyai dampak luas terhadap kekuatan politik Islam. Sementara dipihak lain pemerintah Orde Baru meskipun kedengarannya agak berlebihan, juga meragukan kestiaan golongan Islam terhadap Pancasila. Hal ini terutama setelah terjadinya berbagai rentetan kejadian yang dinilai mengganggu stabilitas nasional.

Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan Muslim melontarkan pemikiran kreatif dan kritis, termasuk K.H.ABD. Rahman Wahid beliau berpendapat bahwa dalam Islam, negara itu adalah hukum (alhukmu) dan Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang ada pada Islam adalah etik kemasyarakatan dan komunitas, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok saja kata beliau seperti suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten, terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlulhalli wal aqdi (sistem formateur). Padahal menurut K.H.Abd. Rahman Wahid, soal suksesi adalah masaalah yang cukup urgen dalam masaalah kenegaraan, kalau memang Islam punya konsep tentu tidak terjadi demikian.

Dalam prespektif Ahl-u ‘l-sunnah wa’l-jama’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsinya, bukan dari norma formal eksistensinya, atau negara
itu Islam apa bukan, selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh maka konteks pemerintahannya tidak laigi menjadi pusat pemikirannya. Kitab suci al Qur’an pun mengatakan dengan tegas bahwa : waja’alna kum syu’ub-an waqaba’ila lita’arafu. Syu’ub itu artinya nation (bangsa) kata beliau, sedangkan qaba’il artinya suku, namun yang penting adalah lita’arafu, untuk saling berhubungan bukan untuk saling unggul-unggulan, tandasnya.

Yang ditenatang oleh Islam bukanlah nasionalisme, tetapi fasisme seperti yang terjadi pada Jerman, Italia dan sebagainya. Namun demikian kata beliau lebih lanjut, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis, ayat tersebut sudah ekplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi beliau mengakui bahwa pengertian bangsa dalam rumusan al Qur’an diatas terbatas hanya pada bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami territorial bersama. Sementara wawasan kebangsaan dimasa modern ini pengertiannya sudah lain, ya’ni satuan politis yang didukung oleh idiologi nasional. Penjelmaan pengertian ini kata beliau adalah konsep negara bangsa (nation state). Diabad modern ini mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global yang merupakan nation state. Tulis Abdurrahman Wahid .
Tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk mencernakan kearusan historis dalam berintraksi dengan fenomena global itu. Kesulitan besar dalm mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan, terletak pada Islam yang seolah-olah “supra nasional” sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Maka ada kesulitan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konstruksi idiologis yang bersifat nasional. Salah satu cara untuk meneropongi kaitan antara wawasan
Islam yang universal dan supra nasional dengan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa ialah dengan mengambil sudut pandang fungsional antara keduanya.
Dengan jalan fikiran seperti ini Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahtraan warga masyarakat apapun bentuk masyarakat yang digunakan. Dan pada akhirnya Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan.
K.H.Abd.Rahman Wahid juga melihat pancasila sebagai “aturan permainan” yang menghubungkan semua agama dan faham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi kalau pancasila berfungsi membenarkan satu agama saja, mnisalnya UIslam saja maka ia akan berhenti sebagai “aturan permainan” yang disepakati bersama. Dalam kaitannya dengan klaim bahwa setiap gama benar, pancasila harus memberikan rumusan interperetatif yang memenuhi kepentingan semua pihak, dan bukan satu pihak saja. Dalam konteks ini dapat dirimuskan bahwa Pancasila memperlakukan bahwa semua agama sama dan semuja sama dimuka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.

Tetapi dalam hubungan penerimaan NU terhadap pancasila sebagai satu-satunya asas. Abdurrahman Wahid menjelaskannya dari sudut Fiqhi kum ahl-u’l-sunnah wa’l jama’ah. Bagi NU pancasila sebagai idiologi bangsa memiliki posisi netral. Pandangan ini sejalan dengan visi imam Syafi’i tentang tiga jenis negara ya’ni dar Islam (negara Islam), dar harb (negara perang), dan dar sulh
(negara damai). Pemerintahan kita yang beridiologi pancasila termasuk dalam “negara damai” yang harus dipertahankan.
Kalau syari’ah dalam bentu hukum/fiqhi atau etika masyarakat masih dilakukan oleh kaum muslimin didalamnya sekalipun itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, bila etika masyarakat Islam sudah dijalankan maka tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah, ujarnya.


C. Alasan-Alasan K.H.Abd.Rahman Wahid memisahkan antara hubungan agama dan negara.
Diantara sekian banyak intlektual Indonesia K.H.Abd Rahman Wahid adalah salah seorang intelektual yang jelas menolak hubungan agama dengan negara dengan beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Dipilihnya agama sebagai suplementer dalam kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan tidak akan mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak dari kiebebasan berbicara dan berpendapat.
  2. Dalam posisinya yang suplementer hubungan agama dan negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.
  3. K.H.Abd. Rahman Wahid juga menolak sebagai idiologi alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik menjadikan Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan.
  4. Dalam sebuah negara pluralistik negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurut Abdurrahman Wahid, Islam seharusnya diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam harus berfungsi komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai idiologi negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti terlihat hampir selama lima dekade sejak tahun 1930-an .
  5. Bagi Abdurrahman Wahid agama sebagai etika sosial yang berfungsi koplementer dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
BAB III
P E N T U P

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. K.H.Abd Rahman Wahid berasl dari keluarga santri sunni namun memiliki sikap dan pemikiran yang liberal, progresif dan inklusif, kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada ditempuh di Barat secara intlektual, jauh lebih siap berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat.
  2. Bahwa nilai-nilai agama dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
  3. Nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Rahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunanpercikan pemikiran Gusdur.(Cet. I Jakarta Gelora Aksara Pratama, 1999).

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Akasi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,(Penerbit Paramadina Jakrta. 1995).

M. Saleh Isre, Tabayn Gus Dur, Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Cet.II LKIS Yogyakarta,1998).

K.H.A.Mustafa Bisri, Pasca Wacana Sinta Nuriyah Rahman,JejakAntropologis Pemikiran Dan Gerakan GUS DUR, (Cet. I PT.Remaja Rosdakarya, Bandung 2000).


Read More
Published Februari 15, 2012 by with 0 comment

Nurcholish Madjid (Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia)

Nurcholish Madjid 
(Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia)

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah jatuh bangunnya sebuah tatanan sosial dalam berbagai bentuknya (khilafah, kerajaan, kesultanan, sampai kepada negara bangsa yang dianggap paling modern) selalu ditandai dengan bangkit atau munculnya gerakan-gerakan pembaharu yang melawan dan menentang sistim dan kekuasaan dengan berbagai cara.
Cara yang lazim ditempuh oleh para pemimpin dalam mengambil kebijakan sering kali berlawanan dengan penentang atau oposisi yang memang telah mengambil jarak untuk selalu mengontrol kebijakan pemerintah. Di masa lalu (dalam sejarah Islam) oposisi seringkali berwujud dalam bentuk kekuatan militer. Namun, cara-cara tersebut tentu berbeda dengan kondosi sekarang ini. Cara dengan kekuatan militer telah beralih oposisi dalam wujudnya dalam bentuk tatanan politik dengan kontrol yang sangat ketat dan kuat.
Namun demikian, tidak semua orang terlebih lagi tokoh reformis bisa dan setuju dengan oposisi dalam gerakan politik. Cara-cara kontrol sosial dengan beropini atau berwacana melalui bantuan media dengan posisi yang independen banyak mewarnai dalam gerakan pembaharuan (pembaruan) Islam di Indonesia bahkan mungkin melampaui Islam secara formal kelembagaan karena gerakan-gerakannya bermuatan pembelaan hak-hak warga negara (kemanusiaan).

Posisi mengambil sikap oposisi dalam negara Indonesia, terlebih di bawah rezim otoriter (Orde Baru), tentu membutuhkan kecerdasan mengambil posisi agar tidak dianggap dan dinilai oleh rezim sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa. Ini diperlukan karena terlalu banyak tokoh yang dipenjarakan oleh rezim karena secara terang-terangan melakukan perlawanan melalui opini (media). Bentuk atau model perlawanan tersebut mungkin saja telah dipilih dengan secara sadar dan dengan resiko yang telah diperhitungkan.
Nurcholish Madjid, salahsatu tokoh reformis Indonesia tiga zaman (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi), memilih pendekatan budaya akademis dalam setiap gerakan dan opininya. Strategi ini kurang resiko untuk berbenturan dengan penguasa karena selalu membawa nilai-nilai pembaruan yang obyektif, yang langsung menyentuh warga sebagai umat. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pembaruan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi di Indonesia selalu diterima walaupun juga terjadi kontra karena gerakannya murni akademis (tidak politis/politik) dan selalu ingin memperbarui pola pikir masyarakat menengah. Perspektif penulis bahwa gerakan pada level ini sengaja dilakukan dengan harapan masyarakat akademisilah yang perlu diubah sebagai agen pembaruan untuk masyarakat dan pemerintahan waktu itu dan ke depan. Dan inilah sesungguhnya gerakan substansi Islam (islami) tanpa simbol-simbol keagamaan.

B. Pengertian Judul
Sebelum membahas lebih jauh tentang topik di atas dengan judul Nurcholish Madjid : Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia. Terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian topik tersebut. Kata Nurcholish Madjid adalah nama salah seorang yang dinilai sebagai tokoh pembaruan Indonesia. Tema-tema gerakan pembaruannya diantaranya tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi.
Kata modernisasi dari bahasa Inggris modern yang artinya orang yang modern. Jika diberi imbuhan isasi (proses) maka modernisasi sebanding dengan kata modernize maknanya memodernisasikan atau memoderenkan. Kata moderat (kb) berarti orang lunak, sedang kata sifatnya bermakna layak, yang sekedarnya. Sedang, kata sekulerisasi juga dari bahasa Inggris secular yang artinya duniawi, maksudnya usaha (proses) memindahkan kepada urusan kegiatan-kegiatan keduniawian. Kata desakralisasi dari kata dasar sakral bermakna sesuatu yang dianggap tidak biasa (dikeramatkan, dimuliakan). Desakralisasi bermakna tidak mensakralkan (memitoskan atau mengultuskan) sesuatu yang sebenarnya bertentangan prinsip-prinsip keyakinan kepada Tuhan.
Dengan demikian, judul tersebut memuat makna bagaimana membumikan atau memanifestasikan nilai-nilai kemoderenan, sekulerisasi (bukan sekularisme) yakni membumikan hal-hal yang bersifat duniawi tidak malah mengukhrawikannya (baca:akhirat). Dan usaha untuk tidak mensakralkan sesuatu yang tidak perlu disakralkan. Usaha-usaha tersebut tentu terkait dengan tokoh atau sosok Nurcholish Madjid, sebagai pembaru dalam masalah ini.

C. Rumusan Masalah
Memerhatikan latar masalah di atas, penulis mengangkat masalah :
1. Bagaimana memahami substansi pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemoderenan (modernisasi), sekulerisasi, dan desakralisasi dalam kehidupan beragama dan berbangsa?
2. Bagaimana aktualisasi dan reaksi atas gagasan Nurcholish Madjid dalam konteks keagamaan dan keindonesiaan.

-------------
BAB II
PEMBAHSAN 

A. Nurcholish Madjid: Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi

Sebelum terlalu jauh membahas masalah ini ada baiknya kita kutip ungkapan Nurcholish tentang latar dari gagasannya yang berangkat dari pemahaman tentang Al-Quran. Gagasan ini sebagai dasar pijakan perlunya modernisasi sekularisasi dan desakralisasi. Nurcholish mengungkapkan bahwa ziarah historis akan mengajak kita memahami Al-Quran dalam sebuah lanskap kehidupan yang kaya, sehingga mendorong munculnya pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison keagamaan. Lebih dari itu, sebuah tradisi dan paham keagamaan tidak mengeras dan menutup diri, lalu menjadi ideologi yang disakralkan dan tabu terhadap setiap upaya penafsiran baru. Perluasan horison suit diwujudkan jika seseorang tidak menyadari bahwa semua peristiwa dan pemikiran (termasuk dalam penetapan hukum) selalu dibatasi kalau tidak dipengaruhi oleh situasi, termasuk bahasa Arab sebagai medium (alat) yang digunakan Al-Quran dan masyarakat Arab yang disapa secara langsung kala itu. Menyadari akan dimensi “situasional” ini maka tradisi Islam telah melahirkan sekian banyak mujtahid yang selalu berusaha memperluas horison penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap Al-Quran , yang resikonya kadang berupa perselisihan antar tokohnya
Masalah modern dalam ungkapan Nurcholish tersebut tersirat dalam ungkapannya bahwa diperlukan pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison bukan hanya hal-hal yang berkaitan dengan perlunya penafsiran bidang ibadah semata tapi juga yang berkaitan langsung dengan kehidupan dunia. Diperlukannya modernisasi di sini dikarenakan kuatnya pengaruh situasional (budaya, tradisi, sosial kemasyarakatan) di mana sebuah ayat diturunkan.

Kajian berikutnya terkait dengan sekulerisasi. Jika ingin didalami lebih serius lagi, sebenarnya gerakan membumikan Al-Quran oleh Quraish Shihab atau membumikan Islam oleh Endang Saifuddin Anshori atau tema-tema lain yang semangatnya sama dengan itu, semuanya sedikit banyaknya mengandung gerakan sekularisasi. Jika sekularisasi yang dimaksud adalah menduniakan sesuatu yang bersifat duniawi dan tidak mensakralkannya.

Gerakan modernisasi dan sekularisasi Nurcholish terbaca dalam gagasan-gagasannya tentang pluralisme, kesetaraan, dan toleransi merupakan ide-ide etik dari diskursus civil society yang di Indonesia sering dilontarkan Nurcholish Madjid. Perhatian utama Nurcholish adalah yang berkaitan dengan bagaimana melacak otentisitas landasan etik nilai-nilai tersebut dalam khazanah Islam dan secara liberatif mampu membangun hubungan dialogis dengan wacana modernitas.

Relevansinya dengan modernisasi dan sekulerisasi Nurcholish berpendapat bahwa Islam adalah agama egaliter. Mengutip pandangan Ernest Gellner, bahwa prinsip Islam yang formal, sentral dan murni pada dasarnya bersifat egaliter dan ilmiah serta membantunya untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern. Usaha menyesuaian diri inilah, posisi gerakan modernisasi dan sekularisasi serta desakralisasi Nurcholish menemukan persamaannya. Nurcholish memahami bahwa Islam yang oleh Ernest dipahami sebagai agama yang egaliter dan ilmiah tidaklah dalam makna otomatis dan statis. Melainkan harus diusahakan dengan berbagai upaya, dan upaya itu termasuk menghindari sakralisasi ajaran dan budaya Islam.

Dalam konteks Indonesia, gagasan Nurcholish telah banyak memberi warna dalam kehidupan bernegara. Baca misalnya pernyataan beliau tentang Pancasila sebagai dasar negara. Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang menjadi karakteristik utama bangsa itu. Etos itu kemudian dinyatakan dalam berbagai bentuk perwujudan seperti jati diri, kepribadian, dan ideologi. Pancasila disebut sebgai ideologi nasional. Tetapi pancasila adalah sebuah ideologi modern. Bukan hanya karena muncul di zaman modern, tapi juga lebih-lebih karena ia ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang dewasa dengan wawasan modern. Itulah sebabnya, Kiai Haji Ahmad Shiddiq (Ra’is Amm Nahdlat al-‘Ulama) mengemukakan bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi negara tidak perlu lagi dipersoalkan dan bersifat final. Namun, Nurcholish mengemukakan bahwa dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya sehingga menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, pancasila tidak bisa lain kecuali harus dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis.

Masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan Nurcholis juga punya pandangan, khususnya dalam kehidupan ekonomi sosial. Kyai Ahmad Dahlan seringkali dikutip Nurcholish dalam beberapa kali ceramahnya. Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju cita-cita reformasi Islam di Indonesia, beliau memperkenalkan dan mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur’an dari Juz ‘Amma, yaitu surat al-Ma’un (QS 107). Surat tersebut seringkali dibaca dalam shalat bahkan menjadi hafalan santri. Tetapi masyarakat Islam Indonesia seperti tidak pernah tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya (lembaga pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi, rumah sakit, lembaga dakwah, panti asuhan, dan baitul mall-nya.

Masalah pendidikan tidak lepas dari wacana pemikiran Nurholish Madjid. Dua dimensi hidup manusia, yakni Ketuhanan dan Kemanusiaan menjadi fokus utamanya. Beliau menegaskan bahwa pendidikan itu berangkat dari keluarga. Bayangkan, orang yang dituduh sebagai sekuler, masih berfikiran konservatif (tradisional) dalam masalah pendidikan. Dimensi Ketuhanan yang perlu ditanamkan adalah meliputi nilai-nilai yang sangat mendasar seperti: iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, shabr (sabar). Sedangkan nilai-nilai mendasar tentang kemanusiaan adalah: Silaturrahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat, dermawan. Semua itu adalah ilmu-ilmu terapan yang sangat universa.


B. Kontroversi Gagasan Nurcholish Madjid Dalam kehidupan Keagamaan dan Kenegaraan
Tidak mungkin dengan pengetahuan yang sempit dan dengan waktu yang terbatas, penulis dapat menjelaskan dengan lengkap sosok tokoh Nurcholish Madjid. Tetapi justru keterbatasan itulah penulis mencoba mengurai apa yang dapat penulis uraikan.
Dalam sebuah kesempatan, Nurcholish diminta memberi khutbah Idul Fitri yang menurut beliau merupakan hari raya kesucian manusia. Dalam suasana kesucian itu, kita akan kembali kepada kebahagiaan primordial kita, tempat leluhur kita Adam dan Hawa hidup bebas dan bahagia, yaitu kehidupan aman, tenteram, dan damai dalam kebahagiaan itu tidak ada sumpah-serapah dan caci-maki, yang ada ucapan salam, damai untuk semua.

Di sana mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia, juga tidak ucapan tuduhan berdosa, melainkan ucapan “Damai, damai!” semata. (Qs.al-Waqi’ah/56:25-26) Damai! Sebagai tegur-sapa dari Tuhan Yang Maha Kasih. (Qs. Yasin/36:58)
Dalam suasana rahmat dan kasih-Nya itu, Allah mengajarkan kepada kita bahwa hakikat kemanusiaan adalah satu, dengan tetap ada perbedaan yang tidak hakiki, yang perbedaan itu tidak seharusnya membawa kepada pertikaian. Bagi sementara kalangan di antara kita, perbedaan di antara kita, perbedaan lahiriah antara berbagai golongan disalahpahami sebagai perbedaan hakiki. Maka bagi mereka itu, seperti halnya bagi kaum musyrik, sulit sekali memenuhi ajakan untuk tidak berpecah-belah, untuk bersatu dalam ajaran dasar kesucian dari Tuhan Yang Maha Esa.

Di akhir khutbahnya Nurcholish menutup dengan ungkapan marilah kita galang persaudaraan antar umat, antar suku bangsa, dan antarsesama manusia seluruhnya. Marilah kita wujudkan masyarakat dan negara yang tertib, aman, dan damai, yang membuat bahagia seluruh warga negara. Marilah kita wujudkan itu semua dengan iman, amal kebajikan, bebas dari syirik pemujaan kepada harta dan kekuasaan.
Dari khutbah yang sengaja penulis kutip mengandung pesan bahwa semua manusia sama yang membedakan hanya budi pekerti dan taqwa. Jangan mengedepankan perbedaan tetapi persamaan karena perbedaan itu tidak hakiki. Yang menarik, Nurcholish menyebut syirik itu pada harta dan kekuasaan.
Lalu? Bagaimana kiprah Nurcholish di dunia politik? Nurcholish di tahun 1971 saat rezim orde baru berkuasa dengan militernya, muncul pernyataan yang mengundang polemik dan kontroversi “Islam Yes, Partai Islam No”. Apakah Nurcholish tidak senang dengan partai Islam (yang ketika itu PPP dengan lambang Ka’bah)? Dalam bukunya Islam Substantif, Prof. Azyumardi Azra menyatakan bahwa oleh Partai Masyumi Baru dengan ketuanya Ridwan (tokoh PPP yang hijrah ke Golkar) mencalonkan Nurcholish Madjid jadi Presiden pasca Habibie. Semua orang tahu bahwa waktu itu terjadi gejolak antara kubu Habibie dan Megawati. Ditampilkannya Cak Nur sebagai calon alternatif kalau-kalau Gusdur mundur dari pencalonan oleh poros tengah. Belakangan Nurcholish mengeluarkan pernyataan bahwa kalau dia maju sebagai presiden maka kemunduran bagi demokrasi kita dan tidak sehat bagi proses demokrasi. Bagi Cak Nur, yang pantas jadi calon Presiden adalah orang-orang partai politik, kecuali dalam situasi darurat yang benar-benar gawat.

Masalah sekulerisasi (dasar kata sekuler) yang juga menjadi tema pokok gagasan Cak Nur yang diwacanakan, mendapat tanggapan keras dari tokoh-tokoh lain. Seorang Doktor hadits (UIN Jakarta) bahkan dengan keras dan tegas telah mengecam pernyataan Cak Nur tersebut. Sekuler yang bermakna duniawi , sepintas memang sangat mengganggu masyarakat Indonesia yang beragama. Karena tentu dengan sendirinya istilah itu bertentangan dengan ajaran dan keyakinan. Jika nasionalisme sekuler diperhadapkan dengan nasionalisme sekuler maka penjelasan singkatnya adalah bahwa negara sekuler adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan politik ( sesuai semangat ungkapan Islam Yes, Partai Islam No). Sedangkan nasionalisme religius adalah suatu bentuk antitesis nasionalisme sekuler, dimana nasionalisme bersumber dari agama, bersumber dari keyakinan bahwa agama tidak hanya mengurus pasal ibadah, tetapi juga peduli terhadap masalah-masalah politik.

Inikah yang dimaksud Nurcholish Madjid tentang sekulerisasi? Menurut bacaan penulis dari berbagai sumber, tidak demikian. Gagasan ini muncul ketika banyak simbol-simbol agama yang sakral justru dibawa ke kehidupan dunia (diduniawikan), dan sebaliknya hal-hal yang sifatnya duniawi dikultuskan, disakralkan sehingga menuju pada pemusrikan (seperti pada pemujaan harta dan kekuasaan). Jadi, menurut penulis, gerakan sekulerisasi Nurcholish justru gerakan pemurnian ajaran Islam dalam bentuk dan versi yang berbeda dengan Muhammad Abduh atau Kyai Ahmad Dahlan.

------------
BAB III
PENUTUP

Menutup tulisan ini penulis mengajukan beberapa kesimpulan dari gagasan Nurcholish Madjid di atas. Kesimpulan itu tidaklah mewakili kesimpulan tentang gagasan dan pemikiran Nurcholish, tetapi kesimpulan dari hasil penilaian atau bacaan penulis tentang tokoh yang dibahas:
1. Nurcholish memandang bahwa semua manusia sama, termasuk kitab suci dan nabi pembawa risalah (ajaran) bersumber dari sumber yang sama yakni Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana dengan agama? Apakah semua agama sama? Biarlah jadi bahan perdebatan dalam diskusi!
2. Karena semua manusia sama, maka yang membedakan di sisi Allah Swt hanya budi pekerti dan ketaqwaannya.
3. Gagasan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi sebenarnya dalam rangka semangat membangkitkan umat Islam dari sakralisasi dan bangkit dari nilai-nilai bukan bangit dengan simbol-simbol keagamaan.


------------------
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Nur dan M. Ridhwan. Pesan Damai Idul Fitri. Jakarta: Kompas, 2003
Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000
Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung: Teraju (Mizan), 2004
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999
Madjid, Nurcholish, et.al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Mediacita, 2000
M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2003
Nata, Abuddin. Problematika Politik Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo dan UIN Jakarta, 2002
Pribadi, Airlangga dan M.Yudhie R. Haryono. Post Islam Liberal. Jawa Barat: PT Gugus Press, 2002
Sidi, Indra Djati. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina, 2001

Read More
Published Februari 10, 2012 by with 0 comment

Muhammad ‘Abduh (Anti Jumud, Rasional dan Pembaruan Pendidikan)

Muhammad ‘Abduh 
(Anti Jumud, Rasional dan Pembaruan Pendidikan)

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Salah satu agenda permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslim di berbagai belahan dunia Islam setelah berabad-abad lamanya adalah Islam dan modernitas.
Dengan munculnya tokoh-tokoh pembaharu Islam dengan pola pemikirannya masing-masing agak memberikan solusi terhadap kaum muslimin yang ditimpa musibah kejumudan fikiran.
Muhammad Abduh adalah salah satu dari pembaharu Islam Mesir juga sebagai seorang ulama besar, penulis kenamaan, dan pendidik yang berhasil, pembaharu Mesir modern, seorang pembela Islam, seorang wartawan yang tajam penahnya, seorang hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung, dan akhirnya menjadi seorang mufti suatu jabatan keagamaan yang tertinggi di Mesir.
Dengan demikian dia dikenal sebagai seorang pembaharu dalam Islam melalui ide-idenya. Ia menentang jumud, menekankan penggunaan akal manusia serta memberikan sumbangsih terhadap pengembangan sistem pendidikan baru di Mesir dan negara-negara Islam lainnya. Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menguraikan dalam bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sebenarnya riwayat hidup Muhammad Abduh ?
2. Bagaimana ide-ide atau konsep-konsep pembaruan Muhammad Abduh dalam hal anti jumud, rasional dan pembaruan pendidikan ?

C. Tujuan dan Sasaran Pembahasan
Pembahasan ini bertujuan untuk memberi informasi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh dan konsep pembaruannya dalam hal anti jumud, rasional dan pembaruan pendidikan, agar terbangun pemahaman yang benar dan komperehensif tentang hal ini, sehingga membangkitkan kesadaran umat Islam untuk berjuang terus melawan kebodohan, kelemahan, ketertinggalan dan kejumudan dengan kembali kepada Islam yang sebenarnya sesuai dengan Alquran dan al-Hadis, dan dapat menfungsikan akal yang diberikan Tuhan untuk berfikir kritis, bebas, nyata dan rasional agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan bersaing dengan negara-negara maju namun tetap menjaga norma-norma Islam dalam berpikir.

--------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

1. Kelahiran dan masa kecilnya
Para ahli dan penulis sejarah memang tidak sependapat tentang kelahiran Muhammad Abduh. Sekurang-kurangnya ada 3 pendapat mengenai hal ini :
  • Ia lahir pada tahun 1845/1266 H di desa Mahillah Nasr provinsi Buhaerah di daerah Subrakhit.
  • Ia lahir pada tahun 1849/1265 H di sebuah dusun Delta Sungai Nil di Mesir Hilir.
  • Dan ada pula yang mengatakan, bahwa ia lahir pada tahun 1842 M.
Ketidakpastian ini disebabkan karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Selain itu juga karena suasana kacau yang terjadi di akhir zaman pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849). Tetapi yang jelas, secara umum pendapat para ahli yang mengatakan bahwa Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M. Situasi rumit yang menghimpit kehidupan masyarakat Mesir ketika itu, sehingga ayahnya terpaksa hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain tidak berkediaman, telah ikut pula membesarkan Abduh. Yang menguntungkan bagi diri Abduh adalah, meskipun kehidupan rakyat di bawah standar namun orang tuanya tergolong pada penduduk yang berbudi luhur dan kuat beragama, meskipun sama sekali tidak berpendidikan sekolah.

Dengan demikian, Muhammad Abduh besar dan didewasakan dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu dan ayah yang tidak ada hubungan dengan pendidikan sekolah, tetapi jiwa mereka penuh dengan didikan agama yang kuat, serta budi pekerti yang tinggi. Beberapa tahun kemudian, setelah kawin dengan Junainah, ayah Abduh kawin lagi dengan wanita lain. Hal ini berarti ia bertempat tinggal di sebuah rumah yang dihuni beberapa orang isteri dan mempunyai beberapa orang anak pula. Kondisi itu membawa pengaruh besar terhadap pikiran Abduh tentang perbaikan-perbaikan masyarakat Mesir.

Dilatar belakangi kondisi hidup di masa kecilnya, ketika ia biasa mendengar cerita-cerita masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya yang waktu itu masih hidup dalam ingatan orang tua-tua, Muhammad Abduh menjadi mengertia dan tertanam di dalam hati minat melayani keperluan rakyat banyak. Hal inilah yang dapat mengangkat derajat (martabat) seluruh bangsanya.

Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Perhatian mereka terhadap pendidikan anaknya nampak besar. Seperti terlihat dalam usahanya mendatangkan guru ke rumahnya untuk mengajar Abduh menulis dan membaca. Suatu bekal bagi Abduh di kelas pada masa-masa selanjutnya, baik di Tanta maupun di al-Azhar. Mereka menginginkan supaya anaknya kelak banyak mempunyai pengetahuan, sehingga dapat berguna bagi bangsanya. Keinginan ini pulalah yang menjadi suatu keistimewaan keluarga Muhammad Abduh, suatu hal yang belum lazim di waktu ini, bagi orang-orang di desanya.

Oleh karena itu secara singkat dapat digambarkan bahwa sosok pribadi Muhammad Abduh waktu kecil itu adalah sebagai seorang yang mempunyai kecerdasan dan sikap percaya diri, serta sifat-sifat utama yang diterimanya dari kedua orang tuanya.

2. Pendidikan dan Perjuangannya
Berbicara mengenai pendidikannya, tidak terlepas dari pada perjuangan Abduh dan merupakan rangkaian peristiwa yang mengukir sejarah hidupnya. Dimulai dari pendidikan yang diterimanya di rumah dari guru privatnya, segera ayahnya mengirim Abduh kepada seorang hafiz Alquran untuk belajar Alquran dengan hafalan, waktu itu tahun 1861 M. berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu 2 tahun, ia telah hafal kitab suci Alquran secara keseluruhan. Pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun. Kemudian, ia meneruskan pelajaran pada perguruan agama di Mesjid “Ahmadi” yang terletak di desa Tanta. Mesjid ini kedudukannya dianggap nomor 2 setelah Universitas al-Azhar, dari segi tempat belajar Alquran dan menghafalnya. Pengalaman pertamanya dengan membaca di luar kepala, menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum, yang tidak memberinya sarana untuk memahami, ikut membentuk komitmennya di kemudian hari kepada pembaruan menyeluruh atas sistem pendidikan di Mesir.

Muhammad Abduh merasa bosan di Tanta, dan lari bersembunyi di rumah salah seorang paman ayahnya, yang membujuknya untuk belajar kembali. Syekh Darwis Khadr, paman dari ayah Abduh yang ahli tasawuf, sehingga ia membimbingnya belajar agama dengan sabar, akhirnya Abduh mau belajar lagi di Tanta dan setelah tamat di sana ia meneruskan perjalanannya ke al-Azhar di Kairo, di sanalah ia bertemu dengan al-Afghani yang sedang banyak dikunjungi oleh para mahasiswa. Semenjak pertemuan itu Muhammad Abduh merasa tertarik kepada al-Afghani dan pertemuan itu telah meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh.

Pertemuan tersebut terulang kembali, pada saat Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir untuk menetap di sana. Maka pada waktu itulah Muhammad Abduh dan kawan-kawannya kembali belajar kepada Jamaluddin al-Afghani. Pada al-Afghanilah ia belajar tentang pengetahuan-pengetahuan modern seperti filsafat, sejarah, hukum ketatanegaraan dan lain-lain. Dan dia juga telah terjun ke lapangan pers atau media massa.

Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877 M, atas usaha perdana menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas “Darul Ulum” dan menjadi dosen pula di al-Azhar. Tetapi sayangnya, setelah kurang lebih 2 tahun ia melaksanakan tugasnya sebagai dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat penuh, maka pada tahun 1879 M, pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner, yaitu turunnya Khedive Ismail dari singgasana, digantikan oleh putranya Taufik Pasya. Pemerintahan yang baru ini segera memecat Abduh dari jabatannya dan mengusir Jamaluddin al-Afghani dari Mesir.

Akan tetapi pada tahun selanjutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh pemerintah menjadi pemimpin majalah “al-Waka’l al-Mishriyah” dan sebagai pembantunya diangkat Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah inilah, sehingga Abduh mendapat kesempatan untuk mengkritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir. Kemudian pada tahun 1882 terjadi pemberontakan “Urabi Pasya”.

Tiga setengah tahun lamanya Muhammad Abduh berdiam di Beirut, dan kemudian Abduh diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir dan tidak lama setelah pulang ke Kairo, dia diangkat menjadi hakim pada Tribunanx Indigine (pengadilan untuk pribumi), dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasehat pada Cour d' Appel (Mahkamah Banding). Pada tahun 1899 M kepadanya dipercayakan menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. Abduh diangkat sebagai Mufti Negara.
Kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada Islam yang sebenarnya, mendorongnya untuk mengkaji kembali masalah-masalah keagamaan dan menuliskannya, sehingga karenanya terangkatlah namanya sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam.

3. Karya-karyanya
Suatu hal yang penting dalam membicarakan riwayat hidup Muhammad Abduh, ialah tentang buah karyanya semasa hidupnya, bahkan ada juga usahanya yang masih terbengkalai dan dilanjutkan oleh salah seorang murid dan pengikut setianya, Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Adapun karya-karya Muhammad Abduh, baik berupa bahan ceramah, bahan kuliah yaitu :
  • Al-Waridat, yang menerangkan ilmu tauhid menurut pola tasawuf yang dijiwai oleh pokok pikiran Jamaluddin al-Afghani.
  • Wahdat al-Wujud, menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang kesatuan antara Tuhan dan makhluk, yakni bahwa alam ini adalah pengejawantahan Tuhan
  • Syarh Nahj al-Balaghah, menurut kesusasteraan bahasa Arab yang berisi tauhid dan kebesaran agama Islam
  • Falsafat al-Ijtima’l wa al-Tarikh, yang menguraikan filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat
  • Syarh Basair al-Nazariyah, uraian ringkas tentang ilmu mantiq (logika) yang telah dikuliahkan di al-Azhar dan diakui sebagai kitab terbaik dalam ilmu ini.
  • Risalat al-Tauhid, uraian tentang tauhid yang mendapat sambutan terbaik dari kalangan ulama muslim dan dari kalangan agama lain
  • Al-Islam wa al-Nasaraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah
  • Tafsir Surat al-‘Asr, tafsir yang mula-mula dikuliahkan di al-Azhar kemudian diceramahkan kepada kaum muslimin dan mahasiswa di al-Jazair.
  • Tafsir Juz ‘Amma, tafsir Alquran juz 30 ini diajarkan oleh ‘Abduh di Madrasah al-Khairiyah, isinya antara lain menghilangkan segala macam tahayul dan syirik yang mungkin menghinggapi kaum muslimin
  • Tafsir Muhammad Abduh, tafsir ini disusun oleh Muhammad Rasyid Ridha dari kuliah yang diberikan ‘Abduh di al-Azhar dan baru sampai juz ke 10. Setelah ‘Abduh wafat, Rasyid Ridhalah yang meneruskan penafsiran tersebut hingga juz ke-12, yang dimuat dalam majalah al-Manar.
  • Al-Takrir fi al-Islah al-Muhakkimin al-Syar’iyah, buku ini ditulis sewaktu ia menjabat Ketua Mahkamah Tinggi di Kairo, ia memberikan sugesti terhadap perubahan-perubahan penting dalam undang-undang syariat.

B. Ide-Ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
1. Anti Jumud
Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan dan hanya berpegang teguh pada tradisi. Hal inilah yang membawa umat Islam kepada kemunduran.
Muhammad ‘Abduh, mengungkapkan bahwa Alquran mengajarkan dinamika bukan kejumudan. Ia juga sangat menentang sikap taklid umat kepada ulama masa lampau. Alquran menurutnya sangat mencela taklid umat masa-masa lampau kepada peninggalan nenek moyang mereka. Dan ia juga secara tegas mengatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan untuk kemajuan umat Islam zaman modern perlu diadakan ijtihad terhadap naskah Alquran. Kalau nash mengenai ibadah bersifat tegas, maka nash mengenai muamalah dan hidup kemasyarakatan mengandung hanya prinsip-prinsip umum. Lagi pula nash itu jumlahnya sedikit. Interpretasi prinsip-prinsip umum ini melalui ijtihad dapat disesuaikan dengan perkembangan modern. Jadi dapat dipahami bahwa yang boleh dikenakan ijtihad adalah mengenai masalah muamalah, bukan masalah ibadah yang sudah tegas dan terperinci dari Nabi saw. Sedangkan masalah muamalah masih umum sifatnya hanya merupakan dasar-dasar saja sehingga perlu ijtihad.

Sebab lain kemunduran umat Islam, menurut Muhammad Abduh, karena umat Islam tidak kenal ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kepada kemajuan. Mereka berlebihan dalam memuja syekh dan wali, kepatuhan buta kepada ulama, dan taklid kepada ulama terdahulu, serta tawakkal secara bulat tanpa adanya usaha pada qada’ dan qadar, dan juga menganut faham fatalisme (Jabariah).
Dengan sendirinya taklid kepada ulama lama tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tak dapat maju. Dalam bukunya tersebut di atas, Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, kata Muhammad Abduh membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka berkarat. Taklid ini menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, Syari’at, sistem pendidikan dan sebagainya. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang Muhammad Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Alquran dan Hadis, katanya melarang umat Islam bersifat taklid.

Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasar atas kepercayaannya pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Alquran berbicara, bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukkan perintah-perintah dan laranganNya kepada akal. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat :
Dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Dalam Islamlah, katanya, agama dan akal buat pertama kali mengikat tali persaudaraan. Bagi Muhammad Abduh akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal.

Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban sesuatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar pada hukum alam (natural laws = سنة الله) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam atau سنةاللهadalah ciptaan Tuhan dan wahyu juga berasal dari Tuhan. Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang berdasar pada wahyu, tak bisa dan tak mungkin bertentangan. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern.

2. Pemikiran Rasional
Pembukaan ijtihad diakui atau tidak, tentu saja memerlukan akal pikiran. Karena akal harus dibangun dari tidur lelapnya. Mengingat Allah menciptakan manusia dengan fasilitas akalnya untuk digunakan menerima petunjuk ilmu pengetahuan dan bukti-bukti dari peristiwa yang terjadi.
Muhammad Abduh menekankan tingkat kekuatan akal dalam Alquran. Ia menegaskan bahwa dalam Alquranlah wahyu untuk pertama kali berbicara kepada akal manusia. Makanya ia tidak tertarik kepada teologi Asy’ariyah yang memberi kedudukan rendah kepada akal. Ia lebih tertarik kepada teologi rasional Mu’tazilah. Makanya dalam karangan-karangannya ia banyak mengeluarkan pendapat yang sejalan dengan faham-faham Mu’tazilah. Oleh karena itu metode berfikir yang dibawanya adalah pemikiran rasional Mu’tazilah.

Baginya, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan kuat. Islam menurutnya hendaknya berada dalam timbangan akal manusia yang telah diberikan Tuhan karena akal merupakan penolak terhadap penyimpangan dari kebenaran dan mampu memperkecil kebingungan dan kepicikan. Bahkan Islam baginya menetapkan bahwa manusia sanggup sampai kepada pengenalan kepada Allah (ma’rifah Allah) dengan akal dan inilah akar pertama dari keyakinan dalam Islam. Jadi, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu saja tetapi juga akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu, turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat diketahui akalnya.

Jalan untuk memperoleh pengetahuan menurut Muhammad Abduh memang dua, akal dan wahyu. Wahyu ia artikan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu berasal dari Allah, baik dengan perantara maupun tidak. Sehingga apabila terjadi pertentangan antara akal atau nalar dan wahyu, maka beliau lebih memilih apa yang ditunjuk dan masuk dalam akal manusia, sehingga tidak segan-segan meninggalkan harfiah ayat-ayat Alquran. Jadi Muhammad Abduh sebenarnya tidak meninggalkan ayat-ayat yang merupakan wahyu dan kebenaran Ilahi. Menurutnya, kalau terjadi pertentangan hasil rumusan akal dengan zhahir ayat (arti harfiah ayat), maka Abduh tidak segan-segan melakukan ta’wil, yakni sebuah upaya mengalihkan pengertian ayat kepada pengertian yang jauh sehingga dapat diterima akal sehat. Baginya, wahyu tidak dapat bertentangan dengan akal manusia. Kalau saja Abduh amat mengedepankan akal dalam masalah akidah, maka sudah pasti ia mengedepankan akal dalam arti ijtihad untuk tajdid dalam urusan mu’amalah. Jadi dapat dipahami bahwa sebenarnya Muhammad Abduh tidak lagi memberi peluang pembaharuan dalam hal ibadah, khususnya yang sudah jelas dan tegas dalam Alquran tetapi memberi peluang dalam hal prinsip-prinsip umum yaitu dalam hal muamalah dan hidup kemasyarakatan.

Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Kepercayaan pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah). Bahwa ia mempunyai faham ini dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan manusia dalam Risalah al-Tauhid. Disitu ia sebut bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi.

Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek yaitu :
1. Aspek kebebasan berpikir
2. Aspek kemasyarakatan seperti pendapatnya mengenai poligami dan monogamy
3. Aspek keagamaan seperti; tidak menghendaki taqlid dan membuka pintu ijtihad
4. Aspek pendidikan antara lain al-Azhar mendapat perhatian dan perbaikan metode dan kurikulum dan lembaga-lembaga pendidikan yang lain.

Corak pemikiran rasional Muhammad Abduh sangat nampak pada persoalan teologi bahkan lebih rasional dari Mu’tazilah sebagaimana 8 ajarannya yang popular :
1. Konsep iman
2. Sifat-sifat Tuhan
3. Perbuatan Tuhan
4. Keadilan Tuhan
5. Kekuasaan Tuhan dan kehendaknya
6. Perbuatan manusia
7. Kekuatan akal
8. Fungsi wahyu.

Bagi Muhammad Abduh, agama hampir saja bertindak sebagai pelengkap dan pembantu akal. Akal menduduki posisi yang menentukan. Di atas segala-galanya, Islam adalah agama akal dan seluruh doktrin-doktrinnya dapat dibuktikan secara logis dan rasional.

3. Bidang Pendidikan
Seperti halnya dengan al-Afghani, Muhammad Abduh melihat bahwa salah satu sebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan itu adalah hilangnya tradisi intelektual, yang intinya adalah kebebasan berfikir. Tapi berbeda dengan gurunya, Abduh melihat bidang pendidikan dan keilmuan lebih menentukan dari pada bidang politik. Keterlibatan Muhammad Abduh pada pemberontakan Urabi Pasya yang gagal itu disebabkan karena ia ingin mereformis intelektual dan pendidikan.
Yang pertama-tama yang harus ia usahakan adalah merombak dan mereformasi almamaternya sendiri. Hal yang terpenting ia lakukan adalah memperjuangkan agar para mahasiswa al-Azhar juga diajarkan mata kuliah Filsafat, demi menghidupkan kembali dan mengembangkan intelektualisme Islam yang padam itu. Usahanya ini mengalami kegagalan karena ditolak oleh dewan guru besar al-Azhar. Tetapi meskipun demikian “liberalisme Islam” telah ditanamkan dan terus berkembang sehingga mempengaruhi jalan pikiran generasi-generasi muslim yang terpelajar. Baginya, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Karena itu perhatiannya adalah mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sendiri di sekolah agama Mesir, yang tercermin dengan baik sekali dalam pendidikannya di al-Azhar.

Adapun program yang diajukan Muhammad Abduh sebagai salah satu pondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing, dan juga mengkritik sekolah modern yang didirikan pemerintah, disebabkan karena di sekolah misionaris, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajarkan agama sama sekali. Inilah yang menjadi pemikiran Muhammad Abduh dalam memperbaharui pendidikan, dengan melihat adanya dualisme ini. Dalam sistem pendidikan yaitu dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.

Kemudian mengenai isi dan lama pendidikan, menurutnya haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan lain sebagainya, haruslah mendapat pendidikan minimum. Kurikulum sekolah ini haruslah meliputi buku-buku ikhtisar doktrin Islam dengan memaparkan secara garis besar pondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan yang benar dan salah dan tentang sejarah hidup Nabi dan para sahabat serta tentang kejayaan Islam.
Pada sekolah menengah, siswa harus mempelajari syarat, militer, kedokteran atau ingin bekerja pada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran, dan protocol berdebat. Kemudian pada pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup tafsir Alquran, ilmu bahasa, studi moralitas, prinsip-prinsip fikih, historiografi, seni bicara dan meyakinkan teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kurikulum yang dikenakan oleh Muhammad Abduh mengharapkan lahirnya tiga kelompok masyarakat yaitu masyarakat awam, golongan pejabat sipil dan militer serta golongan pendidik dan ilmuan.
Dalam metode pengajaran, sistem menghafal di luar kepala perlu diganti karena metode tersebut dapat merusak daya nalar dan diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari dengan menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam.
Namun dari beberapa pemikiran Muhammad Abduh dibidang Teologi Muhammad Said (pemakalah) tidak sependapat Muhammad Abduh membagi iman pada dua bagian yaitu iman orang khawash yang disebut iman hakiki dan iman orang awam yang disebut iman taklidi yakni yang cukup dengan tasdiqi. dan iman orang khawash bukan sekedar tasdiqi, tapi dibarengi dengan amaliyah. Menurut Muhammad Said iman tak dapat di bagi, tetapi kualitas iman dapat diukur tinggi rendahnya iman seseorang melalui amal perbuatannya.
Muhammad Said juga tidak sependapat Muhammad Abduh tentang sifat-sifat Tuhan di mana Muhammad Abduh lebih cenderung kepada peniadaan sifat Tuhan walaupun dia mengkritik Hasan al-Asy’ari yang menganut faham bahwa sifat Allah berdiri sendiri di luar esensi Allah itu sendiri dan juga Muhammad Abduh tidak menganut faham bahwa sifat Allah adalah esensi Allah sedangkan Muhammad Said menganut faham bahwa sifat Allah esensi Allah.

Dan faham Muhammad Abduh tentang keadilan Tuhan tidak sependapat dengan Muhammad Said, karena Muhammad Abduh memahami keadilan Tuhan itu adalah memasukkan Surga bagi orang yang melakukan kebaikan dan memasukkan neraka bagi orang yang melakukan dosa. Sedangkan menurut Muhammad Said bahwa keadilan Tuhan tergantung kepada sifatnya. Jadi apapun yang dilakukan oleh Tuhan maka itulah keadilan-Nya. Sebagaimana Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak dalam berbuat. Lebih lanjut Muhammad Said menjelaskan bahwa jika konsep keadilan menurut manusia yaitu menghukum yang bersalah dan membebaskan yang tidak salah maka sangatlah rendah Allah ketika Muhammad Abduh menginginkan konsep keadilannya yang dipakai oleh Allah dalam menghukum manusia.

-------------
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pembaru Islam di Mesir yang muncul pada abad ke-19 yang lahir pada tahun 1849 M/1265 H, pada saat situasi rumit yang menghimpit kehidupan masyarakat Mesir, ketika itu sehingga orang tuanya hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengingat perhatian orang tuanya sangat besar dalam hal pendidikan anaknya, sehingga Muhammad Abduh dapat berguna bagi bangsanya.
  2. Konsep pembaruan Muhammad Abduh adalah dalam hal anti jumud ; ia mengungkapkan bahwa salah satu faktor kemunduran umat Islam adalah tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan dan hanya berpegang pada tradisi, sehingga menurutnya pintu ijtihad harus tetap dibuka. Kemudian dalam hal pemikiran rasional, menurutnya bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan kuat. Jadi menurutnya untuk mengetahui Tuhan bukan hanya wahyu saja tetapi juga dengan akal. Wahyu turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tidak dapat diketahui akalnya. Kemudian tentang pembaruan pendidikan, ia melihat adanya dualisme sistem pendidikan sehingga menurutnya sekolah-sekolah umum haruslah diajarkan tentang agama, begitu pula sebaliknya sekolah agama haruslah diajarkan pengetahuan modern.



-----------------
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syekh Muhammad. Risalatut Tauhid diterjemahkan oleh Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid. Cet. VII; Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Amin, Husayn Ahmad. Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam diterjemahkan Bahruddin Fannani dalam Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.
Asmuni, H.M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Cet. II; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Donohue John J. dan John L. Esposito, Islam in Transition : Muslim Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-masalah. Cet. II; Jakarta: 1989.
Jameelah, Maryam. Islam and Modernism diterjemahkan oleh A. Jainuri dan Syafiq A Mughal dalam Islam dan Modernisme : Kritik terhadap Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia Islam. Surabaya : Usaha Nasional, t.t.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta : Logos, 1977.
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
_______., Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. VIII; Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
_______., Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Cet. I; Jakarta : UI-Press, 1987.
Rahman, Jalaluddin. Metodologi Pembaruan Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam Studi Beberapa Orang Tokoh Pembaru. Makassar : Berkah Utami, 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Edisi 5. Jakarta : UI-Press, 1993.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.


Read More