Published Maret 16, 2012 by with 0 comment

MUNAWIR SJADZALI - REAKTUALISASI HUKUM ISLAM (Waris, Budak dan Bunga Bank)

MUNAWIR SJADZALI
REAKTUALISASI HUKUM ISLAM
(Waris, Budak dan Bunga Bank)

I. Pendahuluan
Kehidupan di alam raya ini ditandai dengan adanya gerak dan dinamika. Dari gerak dan dinamika inilah timbul perubahan dan perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lain dari satu warna ke warna yang lain dalam dimensi ruang dan waktu secara terus menerus tanpa henti. Suatu agama dapat berfungsi dan terasa dibutuhkan dalam kehidupan yang demikian, jika di dalam agama itu terdapat ruang bagi gerak dan dinamika kehidupan yang digambarkan itu.
Demikian halnya dengan agama Islam. Sekalipun ia terbangun di atas fondasi-fondasi yang tertanam kukuh dan tetap merupakan hakikat kebenaran abadi, namun di dalamnya terdapat dinamika yang menjadikannya mampu membimbing kehidupan manusia yang bergerak dan berubah terus dari masa ke masa, serta berkembang dari suatu keadaan ke keadaan yang lain sepanjang perjalanan sejarah, yang sampai sekarang sudah melewati rentang waktu kurang lebih 14 tahun.
Tampilnya para pembaharu secara berkesinambungan menandai adanya dinamika yang besar dalam agama Islam. Sekaligus hal itu menggambarkan pula banyaknya tantangan yang silih berganti yang dihadapi Islam dari waktu ke waktu. Makalah ini secara umum menguraikan biografi dan pemikiran Munawir Sjadzali salah seorang penggagas pembaharuan hukum di Indonesia.

II. Pembahasan
A. Biografi Singkat Munawir Sjadzali
Munawir Sjadzali adalah tokoh intelektual dan agama serta diplomat, yang menjabat sebagai menteri agama di masa Orde baru sejak kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga kabinet Pembangunan V (1988-1993). Meskipun ia hanya sempat menjadi menteri Agama dalam dua kali masa jabatan saja, belum ada yang bisa memecahkan rekor menjadi menteri agama selama sepuluh tahun.
Munawir Sjadzali lahir di Klaten, 7 November 1925. Munawir adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas'iyah (putri Badruddin). Setelah menikah, sesuai dengan tradisi di desa Karanganom, ayah Munawir mendapat nama tua Mughaffir. Tokoh pembaharu di Indonesia ini Wafat pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2004.

Dari segi ekonomi, keluarga Mughaffir memang jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah keluarga santri. Mughaffir sendiri memang tipe seorang santri pada masanya. Hal ini antara lain dicirikan oleh pengembaraannya untuk mencari ilmu ke berbagai daerah yang cukup terkenal pada masa itu antara lain, pesantren Jamsaren (Solo), pesantren Tebuireng (Jombang), dan pesantren Termas (Pacitan).
Kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan madrasah. Bukan saja karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan ini relatif murah, tetapi juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional Islam, meskipun harus ditegaskan bahwa pertimbangan pertama lebih dominan daripada yang kedua. Karena alasan ini pula setelah menamatkan madrasah Ibtidaiyah di Kampungnya Munawir melanjutkan ke Mamba al-Ulum, kurang lebih 30 Kilometer dari desa Karanganom.
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama/tinggi Islam "Mambaul Ulum" di Solo, selanjutnya menjadi guru di Ungaran, Semarang. Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia ikut menyumbangkan tenaga antara lain sebagai penghubung antara markas pertempuran Jawa Tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam.

Kariernya di lingkungan departemen luar negeri dirintisnya sejak tahun 1950 ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, beliau menjalankan tugas berturut di Washington DC (1956-1959) dan Kolombo (1963-1968), kemudian menjabat sebagai Minister/wakil kepala perwakilan RI di London (1971-1974), dan selanjutnya diangkat menjadi duta besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980).
Adapun tugas-tugas dalam negeri yang pernah dijabatnya adalah Kepala Bagian Amerika Utara (1959-1963), Kepala Biro Tata Usaha Pimpinan Deplu (1969-1970) Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri, dan Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri sejak 1980. Pendidikan universitasnya di luar negeri pada University of Exeter, Inggris (1953-1954) dan Georgetown University, Washington DC. Serta memperoleh gelar M. A dengan Tesis Indonesia's Muslim Parties and Their Political Concepts (1950).

B. Reaktualisasi Hukum Islam
Dalam percaturan intelektual Islam Indonesia, Munawir sebenarnya datng belakangan. Keterlibatan Munawir dalam gerakan wacana gerakan reaktualisasi hukum Islam di Indonesia bahkan tidak bisa dipisahkan dari posisinya sebagai Menteri Agama. Meskipun demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak mengikuti perkembangan Islam di Indonesia, baik dari segi perjuangan politik maupun segi perkembangan pemikiran. Perhatiannya yang besar terhadap diskusi tentang hubungan antara Islam dan negara, bukan hanya merupakan indikasi yang sulit dibantah, tetapi juga menjadi semacam dorongan dalam dirinya untuk terlibat dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia.

Munawir tidak hanya dikenal kritis terhadap para pemimpin dan aktivis Islam yang mengajukan aspirasi mendirikan negara Islam. Lebih dari itu, secara intensif ia melakukan studi, dengan bersumber pada kitab-kitab klasik Islam, tentang konsep politik Islam. Tak heran jika dua tahun setelah diangkat menjadi menteri Agama, tepatnya akhir 1985, Munawir melontarkan gagasan perlunya reaktualisasi hukum Islam.
Dengan lontaran gagasan ini Munawir kemudian terlibat aktif di dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, bahkan dapat dikatakan salah satu eksponen gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kontribusinya terhadap isi dan bentuk gerakan pembaharuan Islam Indonesia, terutama dalam lingkungan intelektualisme Islam baru, jelas tidak dapat diabaikan.
Titik sentral pesan Munawir adalah mendorong komunitas Islam untuk melakukan ijtihad secara berani dan jujur. Hanya dengan cara inilah, menurutnya Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan-keperluan lokal dan temporal Indonesia.

Landasan hukum gagasan reaktualisasi Munawir ialah dalam AlQuran dan Hadis Nabi terdapat naskh. Menurutnya dalam kitab suci ini terdapat ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh nabi Muhammad saw, pada waktu-waktu sebelumnya. Ringkasnya jika hanya dalam waktu kurang 22 tahun terdapat pembaharuan maka mustahil selama 14 abad tidak terdapat hal itu.
Gagasan reaktulisasi Munawir didasari pula pada tindakan Umar bin Khattab. Menurutnya selama Umar menjabat, beliau telah mengambil banyak kebijakan dalam hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat AlQuran. Kasus yang paling terkenal adalah ketika beliau menempuh kebijaksanaan dalam pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk AlQuran (Q.S. al-Anfal, 41). Kebijaksanaan ini menurutnya, mendapat dukungan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat senior Nabi yang kemudian bergiliran menggantikan Umar sebagai khalifah dan pengelola urusan kenegaraan.

Contoh lain dari kebijaksanaan Umar bin Khattab, dalam AlQur'an ayat 60 surah at-Taubah, dengan jelas dinyatakan bahwa diantara mereka yang berhak menerima pembagian zakat adalah al-Muallafah qulubuhum, dan petunjuk itu dahulu dilaksanakan baik oleh Nabi sendiri maupun oleh khalifah Abu Bakar. Tetapi sewaktu Umar menjabat sebagai khalifah dua setengah tahun setelah Nabi wafat, beliau menghentikan pemberian bagian zakat kepada muallaf, bukan karena keadaan darurat, tetapi karena situasi telah berubah, dan pemberian bagian zakat kepada muallaf sudah tidak dianggap perlu lagi.
Reaktualisasi hukum Islam, Munawir menyentuh pada persoalan kewarisan, budak dan bunga bank. Berikut uraian umum mengenai ketiga hal tersebut, dan alasan mengapa Munawir melakukan reaktualisasi.
1. Kewarisan
Dalam pembagian harta warisan, AlQuran an-Nisa’; 11, dengan jelas mengatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan.
يو صيكم الله في اولاد كم للذكر مثل حظ الانثيين.
Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung. Hal itu diketahui oleh Munawir ketika mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai menteri agama.
Ketika menjadi menteri agama, lanjut Munawir, saya mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan Alquran tersebut. Para hakim agama menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli warisnya meminta fatwa kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai dengan waris atau faraid. Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh masyarakat tetapi meminta kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang tidak sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga tokoh organisasi Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman.

Sementara itu, banyak kepala keluarga mengambil kebijaksanaan pre-emptive, mereka tidak memberlakukan 2:1, tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya sama rata sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin, dengan alasan sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan habis sama sekali. Harta yang sedikit itu dapat dibagi sesuai dengan hukum faraid, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Namun yang menjadi masalah apakah perbuatan tersebut sudah melaksanakan ajaran agama yang sah betul ? atau bahkan merupakan perbuatan yang main-main terhadap agama.
Oleh karenanya, Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh masyarakat Islam tersebut, baik terpelajar maupun awam. Beliau mengemukakan bahwa Alquran menganut nasakh (pembatalan). Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau dibatalkan hukumnya. Hal ini didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat, maka hukum tersebut dapat digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu terakhir (adat baru). Seperti yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah mampu bekerja sendiri (menjadi mitra).

Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar di sekolah kejuruan yang jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama.
Ulama tersebut tidak dapat memberikan fatwa. Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau membegi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya sebelum meninggal sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa sedikit yang harus dibagi menurut faraid.

Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung sebentar lalu bertanya apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada putra-putrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia. Dengan demikian ulama tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam dewasa ini.
Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Di satu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi hukum waris tersebut.

2. Budak
Menurut Munawir dalam AlQuran terdapat beberapa ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun demikian, secara tidak langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil tersebut adalah nash sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak memungkinkan lagi dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai musuh kemanusiaan, maka perbudakan tersebut harus dihapuskan.
Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum menerima wahyu untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi Muhammad Saw selalu menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali.

Beliau juga mengemukakan bahwa benar Nabi belum menerima wahyu yang menghapuskan perbudakan yang sangat berakar di masyarakat sehingga tidak dapat dihapuskan sama sekali. Artinya, adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat serta tempat. Dengan munculnya adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan, maka soal budak ini dengan sendirinya menjadi hilang pula.
Apabila alur pendapat itu kita terima bahwa sedangkan hal-hal yang mendasar seperti perbudakan, nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat, maka apakah sebagai umatnya kita tidak seharusnya belajar dari kebijaksanaan panutan agung kita itu ?
Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak yang masih menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara tekstual, sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran Islam. Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai manusia merdeka.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin menghapuskan perbudakan, sebab perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya Nabi tidak khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya perbudakan, maka beliau sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan.

3. Bunga Bank
Salah satu masalah yang diperdebatkan oleh pakar-pakar hukum dewasa ini adalah maslah bunga bank. Dari hasil perdebatan tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang menganggapnya subhat, dan adapula yang menganggapnya mubah. Selain pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal.
Di antara ulama yang mangatakan bahwa bunga bank itu halal adalah Munawir, beliau mengatakan bahwa di kalangan umat Islam dewasa ini, masih banyak yang berpendirian bahwa bunga bank adalah interest dalam bank termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Mereka yang berpendirian demikian tidak hanya hidup dari bunga deposito (termasuk bunga tabungan), hanya menggunakan jasa bank dan tidak sedikit mendirikan bank dengan sistem bunga, alasan yang dikemukakannya adalah darurah (terpaksa). Alasan ini tidak sejalan dengan QS. al-Baqarah (2): 173 yang memberi kelonggaran karena tidak terpenuhinya kriteria, yakni tidak sengaja dan sekedar memenuhi kebutuhan esensial.

Ketika Munawir menyampaikan sambutannya dalam peringatan ulang tahun Muhammadiyah di Jogyakarta, beliau mengatakan bahwa dalam rangka tajdid yang menjadi salah satu ciri gerakan pembaharuan oleh Muhammadiyah apakah persoalan bank dalam Islam masih perlu di-tawaqquf-kan atau ditangguhkan pembahasannya oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah ? kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya bahwa kita setiap hari dalam kegiatan ekonomi dan untuk menyetor ongkos naik haji selalu melakukannya sekarang ini melalui bank. Apakah kebolehan penggunaan bank itu hanya dengan alasan darurah ?
Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini. Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangna melakukan riba. Di antara ulama yang dapat amenerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangna pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i.
Terkait dengan hal tersebut, apabila diperhatikan perndapat Munawir, maka ia lebih condong ke arah penerimaan bank biasa dengna alasan hajat tadi, namun beliau tetap akomodatif terhadap pembentukan bank Mu’amalah dan bank BPR Syariah dengan prinsip kongsi dagang (syirkah atau mudharabah) seraya mengindahkan peraturan perbankan yang berlaku.

III. Kesimpulan
Perhatian utama Munawir Sjadzali terletak pada premis bahwa terdapat sejumlah ayat al-Qur'an khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, bukan ritual yang tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini, seperti hukum waris, budak. Dalam soal ini Munawir antara lain merujuk pada semangat pengalaman khalifah Umar bin Khattab.
Pola ijtihad Umar bin Khattab yang berani dan jujur ini telah memberi inspirasi bagi Munawir untuk berpendapat bahwa hendaknya komunitas muslim jujur dan berani dalam berhubungan dengan hukum Islam. Percaya akan dinamika dan vitalitas syari'ah, ia menganjurkan kalangan Islam untuk melakukan reaktualisasi hukum Islam.


-------------------------------
Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998.

Mursyid, Hasbullah. "Menelusuri Faktor Sosial yang Mungkin Berpengaruh", [ed.], M. Wahyuni, et. al., Kontekstulisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Cet. I; Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.

Syihab, Umar. Hukum Islam dan Tranformasi Pemikiran, Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1996.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Wahyuni, M. et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Cet. I; Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.

Yafie, Ali. "Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia", [ed], M. Wahyuni, et. al. Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Cet. I; Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.


Read More
Published Maret 16, 2012 by with 0 comment

ABUL KALAM AZAD (Nasionalisme India)

ABUL KALAM AZAD 
(Nasionalisme India)

BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah

Pada abad kesembilan belas,umat Islam India dapat dikatakan masih hidup dengan tradisi kebesaran dan kemegahan masa lalu. Tetapi pada abad kedua puluh,sebagian dari rakyat muslim India telah bangkit dengan visi yang bercampur aduk antara kebesaran masa lalu yang telah hilang dan impian kebesaran yang akan datang.
Jika kita membahas tentang pergolakan pemikiran Islam di India dan Pakistan juga di dunia Islam lainnya maka kita mengetahuai bahwa gerakan pemikiran itu tidaklah terjadi dalam kekosongan dorongan dari luar,kuat ataupun lemah,adalah erathubungannya dengan kebiasaan berpikir dan system ide yang ada dalam pikiran musim itu sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan untuk dapat memahami pemikiran moderen dalam Islam,baik di India dan Pakistan maupun lainnya, kecuali kita harus memahami latar belakang dari ide-ide Islam yang ada. Untuk mengetahui pemikiran Islam moderen di India dan Pakistan, latar belakang yang paling memberi petunjuk adalah keadaan Islam pada abad kesembilan belas atau paling awal pada abad kedelapan belas. Tetapi itulah soal-soal yang menjadikan pengetahuan kta sangat terbatas karena kurangnya literatur. Para penulis memusatkan pembahasanya pada abad-abad pertama dari perkembangan ilmu kalam dan fiqhi dan timbulnya tasawuf dan tarikat. Setelah abad ketiga belas atau sekitar itu orang menduga bahwa dari seg agama ,Islam mengalami kemandekan yaitu tetap berada dalam bentuk yang dicetak oleh ulama-ulama dari abad-abad pembentukan sebelumnya, bahkan sering kali mereka beranggapan kalaupun ada perubahan,maka perubahan iyu berisi kemunduran.

Para pemimpin muslim India pada pertengahan abad kesembilan belas hidup dengan kehidupan yang baru ,berpikir dengan pikiran yang baru lain dari kehidupa dan pemikiran rang-orang tua dan nenek-moyang mereka. Sejarah ide Islam India pada waktu penjajaan inggris menggambarkan beberapa aspek yang stiap aspek berada sejajar dengan perkembangan baru dalam lingkungan social negeri itu .
Di antara sekian banyak tokoh pembaharu muslim di India Nama Abul Kalam Azad juga merupakan salah satunya, Beliau berusaha memperjuangkan Nasionalisme India meskipun hasilnya tidak semaksimal yang beliau harapkan.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis dapat memberikan rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah Abul Kalam Azad itu ?
2. Sejauh manakah peran Abul Kalam Azad dalam memperjuangkan Nasinalisme India ?

--------------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abul Kalam Azad
Waktu kecilnya Abul Kalam Azad adalah anak yang penuh dengan misteri,pengagum-pengagumnya telah berusaha dengan segala kekuatan untuk menjadikannya seorang leendaris, yang kemngkinan agak berlebihan dalam usahanya tersebut. Umpamanya ,tidak jelas siapa nama dia yang sebenarnya, kadang-kadang ia dipanggil Ahmad dan kadang-kadang Muhyiddin. Tetapi dalam surat pertamanya ditemukan ia menandatanganinya dengan nama “ Ghulam Muhyiddin”. Dari sedikit informasi yang tersingkap ke khalayak umum,mungkin untuk mengambil kesimpulan bahwa ayahnya seorang ulama juga seorang pir ( Syaikh tarikat ),meninggalkan Bombay pada abad ke-19 kemudian menetap di mekkah. Dan di sana Abdul Kalam Azad dilahirkan pada tahun 1888. sepuluh tahun kemudian ayahnya kembali ke India dan menetap di Calcutta karena ia mempunyai banyak tarekat di Bengali Timur.Azad dibesarkan dalam suasana agama dan dididik pada pendidikan Islam kuno .
Didikan pertama diperolehnya di Mekkah dan didikan selanjutnya di Al-Azhar di Cairo. Setelah orang tuannya meninggal ia pergi k India dan menetap di sana untu selama-lamanya.Dari perguruan-perguruan di Mekkah dan Cairo ia hanya memperoleh pengetahuan bahasa arab dan agama. Kepada pengetahuan ini ia tambahkan pengetahuan bahasa Inggris dan ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat,yang dipelajarinya atas usaha sendiri setelah belarada di India. Ia idak ingin menjadi ulama seperti orang tuanya,tetapi bercita-cita menjadi pengarang da politikus.
Ayah Azad adalah salah seorang Syaikh tarekat yang brpengaruh, yang dalam dunia spiritual sejajar dengan aristocrat dalam hal-hal duniawi. Apabila mau,ia bisa hidup dengan nyaman dari hadiah-hadiah dan kebaktian-kebaktian dari muri-murid ayahnya. Tetapi anak muda yang percaya diri ini menyimpang dari jalan ayahnya. Pada usia yang muda ia sudah berketetapan hati untuk berjuang dengan penanya. Dalam segala hal,ia merupakan anak yang cerdas. Ia ingin menulis riwayat hidup Al-Gazali pada waktu ia berumur dua belas tahun. Dua tahun kemudian ia menulis artikel-artikel ilmiah di Makhzan, majalah sastra yang paling baik pada waktu itu. Salah satu artikel-artikel itu (dan ini adalah khas sekali) adalah mengenai kekuatan dan pengaruh surat kabar dan tulisannya yang lain adalah artikel bersambung yang ia sanggupi tenang sejarah puisi persia. Ia juga mulai menghadiri pertemuan-pertemuan nasional,dan orang-orang yang hadir di situ heran melihat anak muda ajaib yang masih ingusan itu, melihat pembahasan sastranya yang serius mereka menyangka bahwa pasti orang itu adalah orang dewasa, tapi nyatanya mereka berhadapan dengan anak yang baru berumur enam belas tahun

B. Abul Kalam Azad Dan Nasionalisme India.
Di Zaman kekuasaan Inggris muncul sejumlah pemikir muslim yang memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui pemurnian, pembaharuan pemikiran dan berbagai gagasan untuk melepas diri dari belenggu penjajahan dari sejumlah pemikir Abul Kalam Azad adalah salah satunya.
Peranannya dalam lapangan pemikiran pembaharuan dalam Islam kurag menonjol jika diperbandingkan dengan kegiatnnya dalam bidang politik. Penilis-penulis menyebut bahwa dimasa mudanya ia adalah seorang pan-Islamis dan kemudian berobah menjadi nasonalis India yang berpengaruh kepada golongan intelegensia Islam India adalah Abul Kalam di masa mudanya. Pemikirannya dalam bidang agama tidak seliberal pemikira Ahmad Khan, sebagai murid Sibli ,Pembaharuannya kelihatan bersifat moderat, tujuannya seperti tersebut dalam Al-Hilal ialah melepaskan umat Islam dari pemikiran-pemikiran abad pertengahan dan taklid. Ia menganjurkan kembali kepada al-Qur`an dan untuk keperluan ini ia terjemahkan al-Qur`an kedalam bahasa urdu dengan diberi tafsiran. Al-Qur`an harus dipahami sebagaimana ia terlepas dari pemikiran ahli hukum,sufi,teolog,filosof dan sebagainya.
Kemunduran umat Islam selain disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid tersebut juga disebabkan oleh keadaan umat Islam tidak lagi seluruhnya menjalankan ajaran-ajaran Islam. Kebangkitan umat Islam dapat diwujudkan selain dengan melepaskan diri dari faham-faham usang,juga dengan melaksanakan ajaran Islam dalam segala bidang kehidupan umat dan kekuatan umat Islam akan timbul kembalidengan memperkuat tali persaudaraan dan pesatuan umat Islam seluruh dunia.
Sebagai nasionals India ia mempunyai pengaruh terutama dikalangan umat Hindu. Ia diharapkan akan dapat menarik golongan Islam India ke pihak partai kongres. Ia memang tidak segan-segan mengkritik Gerakan Algarh. Pendidikan moderan yang dibawah Sayyed Ahmad Khan hanya menghasilkan orang-orang yang berjiwa pegawai dan tunduk serta patuh pada Inggis. Sikap anti nasionalisme India tidak ada pertentangan. Semua umat manusia bersaudara dan darah seorang Islam.Rasa umat Islam terhadap mayoritas Hindu, menurut pendapatnya tidak mempunyai dasar. Jika umat Islam ingin tetep hidup dan tinggal di India ,mereka harus memeluk orang hindu sebagai tetangga dan saudara.dan jika umat Islam masih curiga dan takut pada merdeka ,Umat Islam haruslah tahan dijajah oleh bagsa dari luar. Tetapi ajaran Islam demikian menjelaskan lebih lanjut sekali-kali tidak membolehkan umat Islam mengorbankan kemerdekaan, untuk kesenangan hidup. Umat Islam harus bekerja sama dengan saudara-saudaranya dari golongan Hindu,Sikh, Parsi dan Kristen untuk membebaskan tabnah air dari perbudakan. Umat Islam harus berjuang untuk memperoleh hak dan kemerdekaan mereka. Kemerdekaan tanah air India sudah menjadi tujuan nasional dan Abul Kalam akan hidup untuk mencapai tujuan nasional itu. Jalan untuk mncapai tujuan itu, menurut pendapatnya bukanlah meminta-minta dengan mengirim petisi dan delegasi. Lawan yang dihadapi mempunyai kedudukan dan peralatan yang kuat. Terhadap lawan yang demikian sikap lembut tidak berarti dan haruslah dipakai sikap tekanan dan kekerasan. Pernah dikatakan bahwa tujuan Al-Hilal antara lain ialah menggerakkan umat Islam India untuk bangkit melepaskan diri dari kekuasaan asing.
Tulisan-tulisan Abul Kalam mempunyai pengaruh yang langsung pada kehidupan agama uamt muslim India. Sudah barangtentu sebagian besar dari mereka itu tidak pernah bersikap masa bodoh terhadap agama. Dan beberapa tahun sebelum terbitn Al- Hilal.Viqarun Mulk tela mulai dari Aligarh suatu era kehidupan agama yang ortodoks(Sunni) dan kekerasan dalam melaksanakan ajaran agama yang pengaruhnya tidak kecil terhadap sikap generasi muda. Tetapi Abul Kalam mendekati masalah ini dengan semangat baru,dan membawa kepada pendapatnya untuk menjadikan agama sebagai dasar bagi semua hal dengan bantuan pena yang sangat kuat. Ini membawa kepada kebangkitan agamis dan dalam suasana iman dan antusiasme yang baru,sikap apologetik Sayyid Ahmad Khan terhadap beberapa aspek dalam Islam dan usahanya untuk mnysuaikan Islam dengan sains moderen,kehilangan daya tariknya.
Abul Kalam menekankan bahwa “Politik” dan “Agama” adalah kembar dan sudah tentu hal ini membawa kepada para pemimpin agama untuk menaruh perhatian lebih besar kepada politik kebaikan pengaruh perkembangan inin baik agama maupun politik ditantang bahkan dalam kolom-kolom Al-Hilal sendiri. Ditekankan oleh seorang koresponden yang berpengauh bahwa ketekunan para pemimpin agama dan politik akan mempunyai pengaru jelek terhadap kegiatan-kegiatan agama. Dari pengalaman menunjukkan bahwa dalam politik ulama cenderung hanya mengikut dari para ahli politik dalam masalah-masalah politik itu lebih hidup bagi massa pada umumnya dan Azad menerima dukungan yang sangat kuat dari bagian komunitas yang berpengaru.

Dalam masalah politik dalam negeri, Abul Kalam Azad tidak langsung menentang pendapat Vikarul Mulk, bahwa umat Muslim harus meneruskan untuk mempunyai tempat berpijak tersendiri.Ia jarang sekali menulis tentang masalah ini, dan orang akan kehilangan jejak jika meneliti jilid-jilid yang besar dari Al-Hilal untuk menemukan satu artikel pun tentang “ Hubungan Hindu - Muslim”atau subyek seperti “Hari depan umat muslin India”. Editor Al-Hilal tampak tidak tertarik untuk membicarakan masalah umat muslim India, tapi salah satu artikel tentang kontroversi kontemporer menunjukan catatan-catatan yang kuat tentang masalah hindu-muslim yang menjadi penting pada akhir sejarah kehidupan Maulana Abul Kalam Azad. Dalam satu artikel yang membahas tentang pindah agamanya (conversi) orang-orang Hindu menjadi Muslim,ia menulis:
“ Tidak ada perlunya untuk takut kepada oranorang Hindu . engkau harus takut hanya kepada Allah, engkau adalah tentara Allah,tetapi engau melepaskan baju seragam yang diberikan oleh Allah kepadamu, pakailah baju seragam itu dan seluruh dunia akan takut kepadamu. Apabila engkau ingin tetap di India dan tetap ingin hidup,maka kau harus memeluk tetangga-tetanggamu. Engkau telah melihat hasil dari sikap menjauhkan diri dari mereka,sekarang ini kau harus bekerja sama dengan mereka. Apabila ada gangguan dari pihak mereka ,jangan dihiraukan. Kau harus melihat kedudukanmu dalam bangsa-bangsa di dunia. Engkau adalah wakil Tuhan di bumi. Begitulah maka seperti tuhan kau harus melihat segala sesuatu dari atas ,sekalipun bansa-bangsa lain tidak bersikap manis terhadap kau, kau harus bersikap baik terhadap mereka. Yang tua memberikan maaf kepada kesalahan akan muda. Mereka tidak akan melawan dan tidak menerit sekalipun mereka disiksa oleh anak-anak muda itu!”

Telah dilihat bahwa banyak di antara umat Islam yang tidak sepaham dengan Abul Kalam tentang ide nasionalisme India dan politik bersatu dengan mayoritas umat hindu dalam satu negara. Untuk menghadapi umat Islam dan organisasi tersebut, Abul Kalam melihat perlunya kekuatan Islam yang ada di partai Kongres di satukan. Untuk itu dibentuklah di tahun 1929 Kelompok Nasionalis Islam da partai Kongres, yang diketahui oleh Abul Kalam sendiri. Tujuan kelompok ialah membangkitkan jiwa patriotisme dikalangan umat Islam India dan mencari penyelesaian tentang perbedaan faham dan tujuan antara umat Islam dan Umat Hindu.

Usaha yang dijalankan Abul Kalam Azad itu tidak membawa hasil .Umat Islam tidak bisa menghilangkan kecurigaa mereka terhadap Hindu, apalagi setelah ternyata bahwa orang-orang partai kongreslah ,sebagai hasil pemilihan tahun 1937, yang berkuasa di daerah-daerah. Liga muslimin tidak dihargai dan Umat Islam erasa kedudukan mereka menjadi tedesak. Di kalangan nasionalis Islam yang bergabung dengan partai kongres ada yang sudah kurang tertarik pada ide nasionalisme India. Sungguhpun demikian Abul Kalam tetap pada pendirian dan peruangannya untuk mencapai kemerdekaan India ,Ia yakin bahwa problem Islam –Hindu akan dapat diselesaikan setelah tercapainya kemerdekaan.
Perkembangan selanjutnya dari pembaharuan dan politik India ,tidak membawa kepada apa yang dicita-citakan Abul Kalam Azad. Yang tercapai bukanlah kemerdekaan India yang utuh tetapi pecahnya India menjadi dua negara, negara unat Islam dan negara umay Hindu.
Dari apa yang telah di paparkan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap pembaharuan yang dilakukan tidaklah serta merta dapat diterima oleh orang-orag setempat hal ini disebabkan berbedanya dalam memehami ajaran Islam, Oleh karenanya Umat Islam harus kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, Segala bid`ah yang tidak sesuai dengan Islam dan yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan Umat Islam harus dibuang.

-----------------
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka. Penulis dapat menarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Abul Kalam Azad dapat dikatakan sebagai seorang tokoh pembaharuan Islam di India yang memperjuangkan Nasionalisme masyarakat India.
2. Peranan Abul Kalam Azad dalam menyatukan antara umat Islam Dan umat Hindu Tidaklah berjalan sesuai apa yang diharapkannya hal ini di sebabkan adanya faktor kecurigaan dari masing-masing pihak serta kebanyakan dari mereka telah meninggalkan ajaran murni setiap agama.

B. Saran

Makalah yang ada ditangan para audiens saat ini masih sangat jauh dari arti kesempurnaan olehnya itu, penulis mengharapkan masukan serta arahan dari rekan-rekan khususnya kepada dosen pemandu mata kuliah,demi kesempurnaan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

Ali,Mukti, Aliran Pemkiran Modern dalam di India dan Pakistan, Bandung: Mizan,1993
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houeve, 1997
Nasution Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerak,Jakarta: Bulan Bintang,1982
Encylopedia Of Islam and The Muslim World, Thompson Gale,2004

Read More
Published Maret 15, 2012 by with 0 comment

Harun Nasution ( Islam Rasional )

Harun Nasution ( Islam Rasional )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakan

Dalam sejarah perkembangan suatu Negara sangatlah dipengaruhi oleh para pembaharu dalam memberi warna baru untuk mencapai tujuan yang maksimal dengan nuansa yang berbeda-beda.
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik untuk ditelusuri , dimana minimal ada manfaat yang dapat diperoleh yakni bila kesimpulan sejarah menunjikkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya inovasi pengembangan dan kemajuan baik pada system pemerintahan, pertahanan, social ekonomi, politik, bahkan pemgembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandang suatu fakta atau kejadian tentang peradaban suatu bangsa. Secara umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan umat manusia.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menguak tentang ide-ide,gagasan atau pun pemikiran yang dituangkan oleh Harun Nasution,adalah sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang terbayang adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan cenderung liberal. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indinesia.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka penulis berusaha memberi rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Harun Nasution seorang tokoh pembaharu ?
2. Sejauh manakah pengaruh ide,gagasan ataupun pemikiran Harun Nasution di Indonesia ?

---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.

Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsh School (HIS), yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berumur 14 tahun.Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool ( MIK), selama 3 tahun. Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini. Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam , kerena Islam tampak sangat modern di tangan pengajar MIK. Di sinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan dengan pemikiran moderen Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek lebih lanjut Harun Nasution berkomentar tentang MIK sebagai berikut :

” Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi kesolo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam d Mekkah agar lebih lurus pemikirannya.

Senada dengan itu sumber lain mengimpormasikan, bahwa pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir, karena sebelumnya ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim Indonesia tamatan mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A.Ghani, dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai tokoh agama terkemuka. Selepas dari mesir Harun Nasution pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo.

B. Harun Nasution : Islam Rasional
Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia, ia berpendapat bahwa masyarakat muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah harus bertanggung jawab atas kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, konsep manusia yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam masyarakat terdapat konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan rasa adalah kalbu, Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak tujuan membina manusia seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada antara ulama agama dan ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan terjadi kehancuran masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada konsep Barat bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja, tanpa adanya unsur ruh.

Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio. Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar, oleh karena itu ajaran-ajaran agama diyakini brsifat absolut dan mutlak benaryang harus diterima begitu saja oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan tidak bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.

Sayangnya pandangan luas, pikiran terbuka serta rasional dan sikap dinamis umat yang berkembang pada Zaman Klasik, hilang bahkan lenyap pada Zaman Pertengahan Islam yang dimulai pada tahun 1250 dan berakhir pada tahun 1800 M. Sebagai gantinya timbul pemikiran taradisional dengan pandangan yang sempit , pemikirannya yang tertutup, serta sikapnya yang statis. Kalau pada Zaman Klasik hanya ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur`an dan hadis yang diyakini merupakan dogma, pada Zaman Pertengahan Islam, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada Zaman Klasik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah dan lain-lain, juga diyakini sebagai dogma. Maka yang mengikat pemikiran pada Zaman Pertengahan bukan ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang banyak bertumpuk-tumpuk dengan perkembangan zaman.sehingga kebebasan berpikir dan bergerak amat terikat. Setiap mau berpikir dan bergerak dijumpai banyak larangan dan hambatan, pemikiran membeku dan umat menjadi statis.

Dunia Islam terjaga dari tidurnya yang nyenyak dan muncul kesadaran bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan pemikir-pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat. Dania Islam pun memasuki Zaman Modernnya.

Di Indonesia aliran Mu`tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu`tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada kekuatan akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran teologi mereka banyak ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan di kalangan sebagian umat, ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum mu`tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar, bahkan tidak sedikit umat Islam yang menganggap mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.

Pemikiran rasional memeng banyak mempengaruhi kaum mu`tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu al-Huzhail yang pertama memberi penjelasan sejau mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan, menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama, Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Megetahui adanya Tuhan
2. Mengetahi kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
3. Mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannyamengetahui perbuatan jahat

Kita di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini, masih dingaruhi oleh filsafat hidup corak tradisional tersebut. Penghargahan pada akal sebagai anugrah Tuhan itu belum cukup tinggi, paham qadha dan qadar dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan, rasa tanggung jawab belum tinggi dan masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib.

Pembaharuan di Indonesia masih terbatas pada permasalahan Furu sementara itu pemikiran di Indonesia muncul terlambat lima puluh tahun dari India dan seratuh tahun dari Mesir dan Turki. Latar belakang ide pembaharuan di Indonesia jauh berbeda dengan latar belakang yang ada di Mesir, Turki dan India. Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga negara tersebut. Indonesia tak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai abad ketiga belas. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam Zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran tradisional dan corak tarekat dan fiqihnya.

Di kalangan para pembaharu Indonesia yang timbul kira-kira tujuh puluh tahun lalu, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional serta pemikiran ilmiah demikian, tak dijumpai. Semua ini karena, sebagainama mereka katakan, dalam ushul mereka sepaham dan yang mereka pertentangkan adalah masalah furu`. Perlu diperhatikan bahwa ushul yang disepakati itu adalah teologi Asy`ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan qadar. Itulah sebabnya kenapa dibukakan intu ijtihad dengan kembali kepada Al-Qur`an dan hadis, yang di anut oleh para pembaru itu, tidak berkembang di Indonesia. Pembaru-pembaru permulaan abad kedua puluh ini pada hakikatnya masih terikat kepada hasil ijtihad ulama masi silam.

Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain. Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.

Selanjutnya Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran mu`tazilah di abad klasik telah pula diperktekan oleh para ilmuan di abad sembilan belas. Beliau juga ingin engatakan bahwa pemikiran mu`tazilah ternyata telah dianut oleh kalangan ilmuan di berbagai negara. Timbulnya gerakan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki dan sebagainya antara lain karena pengaruh pemikiran Mu`tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaharu tersebut

Dari pemaparan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa Harun Nasution hadir sebagai tokoh kontroversial yang bercorak rasinal, hal ini dpengaruhi dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Misalnya ayahnya yang menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kerendahan melanggar aturan adat tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dilihat dari tugas utamanya Harun Nasution sebagai pmbaru dan sekaligus pendidik. Dengan kata lain ia adalah seorang pembaru yang menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan yang ditekuninya. Ia ingin memperkenalkan sikap moderen yang dapat menimbulkan kemajuan bagi umat Islam. Serta ngin mengubah pola pikir dan tingkah laku umat yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola pikir yang rasional dan tingkah laku modern.

-------------------
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab terdahulu yang membahas tentang Islam Rasional
( Harun Nasution) maka, penulis dapat menyimpulka sebagai berikut:

  1. Harun Nasution adalah seorang ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikiranya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pmikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat itu, yakni corak pemikiran yang tradisional dan terikat pada mazhab tertentu. Sifat dan corak pemikiran Harun Nasution yang demikian itu menyebabkan ia dianggap sebagai ilmuan yang sekular.
  2. Pengaruh ide-ide dan gagasan Harun Nasution begitu terlihat jelas dalam bidang pendidikan karena merupakan alat untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan pendidikan. Yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai medianya yang paling efektif dan signifikan.

----------------
DAFRAT PUSTAKA
Nata Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafifindo Persada, 2005
......................., Problematika Politik Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Grasindo dan UIN Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Mizan, 1998
.....................Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1975.
Yatim Badri dan Hamid Nasushi, Membangu Pusat Keungulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pemimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: IAIN Jakarta Press,2002

Read More
Published Maret 12, 2012 by with 0 comment

Sayyid Ahmad Khan (Ide – Ide Pembaharuan)

Sayyid Ahmad Khan 
(Ide – Ide Pembaharuan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ide pembaharuan Islam yang tercetus sejak awal abad ke – 13 H (19 M), semakin mendapatkan tempatnya di era ini. Era pasca modernisme sebagai lanjutan dari fase modern banyak memberikan peluang bagi setiap pemikiran untuk berkembang. Termasuk diantaranya adalah ide pembaruan Islam, yang menyuarakan gagasan – gagasan yang cukup memberikan suasana baru di dunia Islam, termasuk India yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini. Berbagai fenomena pascamodernisme terus melaju mengisi setiap sisi kehidupan. Warna relatifisme dan pluralisme menciptakan ruang – ruang yang lebar bagi berkembangnya ide – ide pembaharuan. Ide yang cukup relevan karena dianggap bersifat kritis dan korektif terhadap konsep apapun termasuk teks – teks keagamaan yang telah mapan.

Para pemimpin Muslim India pada pertengahan abad ke – 19 hidup dalam kehidupan baru, berfikir dengan fikiran baru, lain dari kehidupan dan pemikiran orang – orang tua dan nenek – moyang mereka. Sejarah ide Islam India pada waktu penjajahan Inggris menggambarkan beberapa aspek, yang setiap aspek berada sejajar dengan perkembangan baru dalam lingkungan sosial negeri itu. Dua aspek merupakan reaksi, dalam beberapa hal sangat keras, terhadap perkembangan baru itu. Sedangkan aspek – aspek yang lain merupakan adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial.

Di dunia Islam khususnya di India, sebagian kalangan menganggap ide tersebut perlu mendapat dukungan kuat. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai bahaya besar bagi perjuangan kebangkitan umat Islam. Para orientalis dengan penuh optimistis menggantungkan harapan besar pada gerakan – gerakan pembaharuan ini. Bahkan mereka menyusun langkah – langkah khusus untuk mendorong kaum Muslimin agar berinisiatif dan aktif dalam upaya pembaharuan tersebut. Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke – 13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaharuan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata – mata selaras dengan isi kandungan nash – nash. Di saat kaum Muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya – upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaharu memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum – hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah – kaidah umum dan hukum – hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat perspektif wahyu (al – Qur’an dan Hadits).

Sebagai langkah untuk membangkitkan kembali umat Islam khususnya di India, Sir Sayyid Ahmad Khan mengemukakan tiga langkah yang harus ditempuh, yaitu : bekerjasama dalam bidang politik, mengambil ilmu – ilmu kebudayaan Barat, dan menafsir ulang Islam dalam bidang pemikiran.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
a. Siapakah Sir Sayyid Ahmad Khan?
b. Apa saja ide – ide pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan?
2. Batasan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam membahas masalah pokok yang menjadi inti permasalahan pada pembahasan ini, maka penulis terlebih dahulu akan membatasi permasalahan yang akan dibahas. Adapun batasan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Pada dasarnya, sangat banyak tokoh – tokoh pembaharuan yang ada di India. Namun yang menjadi pembahasan dalam makalah ini hanya terbatas pada seorang tokoh yang sangat terkenal di India, yaitu Sir Sayyid Ahmad Khan.
b. Adapun ide – ide pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan dalam pembahasan ini adalah ide pembaharuannya dalam bidang politik, pendidikan dan bidang sosial keagamaan.

---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Sir Sayyid Ahmad Khan
Sir Syed Ahmed Khan , also Sayyid Ahmad Khan lahir tanggal 6 Dzulhijjah 1232 Hijriyah atau 17 Oktober 1817 Masehi di kota Delhi. Ia dilahirkan dari keluarga terhormat di kota Delhi yang melalui garis kedua orang tuanya berhubungan dengan pemerintahan Mughal. Pada masa anak – anak ia mempunyai kesempatan mengikuti nasib istana Mughal berangsur – angsur runtuh . Ia biasa dipanggil dengan Sir Sayyid. Sebutan Sir ia dapatkan dari bangsa Inggris atas jasa – jasanya terhadap Inggris. Sedangkan sebutan Sayyid karena ia masih keturunan langsung nabi Muhammad SAW. Ia merupakan keturunan dari Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah . Ayahnya bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama, tetapi karena keturunan Sayyid maka ia juga memperoleh pengaruh besar dan juga sangat dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II.

Pada waktu Sayyid Ahmad lahir, bapaknya membawa dia kepada Syaikh Ghulam Ali, sahabat kental ayahnya yang pada waktu itu sebagai syaikh dari tarikat Mujaddidi. Syaikh itu kemudian memberikan nama Ahmad. Pada waktu anak itu mulai besar sampai kepada umur pergi ke sekolah, pertama – tama ia dibawa kepada Syaikh Ghulam Ali, yang mengajarnya huruf Arab . Ahmad Khan mendapat pendidikan formal pertama kali disebuah maktab (mungkin kalau di Indonesia semacam madrasah diniyah), yaitu lembaga pendidikan Islam tradisional yang khusus mengajarkan ilmu agama.

Di Maktab ini ia belajar bahasa Parsi, bahasa “beradab” bagi muslim India pada waktu itu, dan juga berhitung . Boleh dibilang pendidikan formal yang diperolehnya pada waktu ia kecil tidaklah demikian mendalam dan sistematis. Ia lebih banyak mendapat bimbingan dari ibunya, seorang wanita yang bijaksana, yang mengasuhnya dengan sungguh – sunguh, sehingga ia memperoleh pengetahuan yang cukup tentang beberapa ilmu pengatahuan yang biasa diajarkan di madrasah – madarasah muslim pada waktu itu . Selain itu, ia seorang anak yang sangat rajin membaca berbagai ilmu pengetahuan. Dan ditambah pengetahuannya tentang masalah – masalah kenegaraan (ilmu pemerintahan). Pengenalannya dengan kebudayaan barat diperolenya dari sang kakek dari pihak ibu, Khawaja Fariduddin, yang pernah menjadi Perdana Menteri di Istana Mughal masa Sultan Akbar II selama delapan tahun . Pada awalnya ia bekerja di The East India Company, kemudian dipindahkan ke bagian Criminal Departmen di bagian New Delhi. Pada tahun 1846, setelah lima tahun bekerja sebagai musnif di Fatihpur Sikri distrik Agra, ia dipindahkan ke Delhi, kota kelahirannya. Pada tanggal 10 Mei 1857, ketika terjadi pemberontakan terhadap kolonial Inggris, saat itu ia berada di daerah Bignapur, sebagai seorang pegawai peradilan. Ia tidak ikut memberontak, bahkan ia banyak membantu melepaskan orang – orang Inggris yang teraniaya dalam pemberontakan tersebut.

Karena jasa – jasanya itulah ia di beri gelar Sir oleh Inggris . Sir Sayyid Ahmad Khan sakit pada tanggal 24 Maret 1898, dan dua hari kemudian dengan berkomat – kamit membaca ayat – ayat al - Qur’an ia meninggal dunia . Ahmad Khan telah tiada, namun sampai kini gagasan – gagasannya masih banyak diualas oleh akademisi dan para ilmuan. Pandangan yang sangat mendasar dari Ahmad Khan adalah tentang keterbelakangan masayarakat muslim India. Menurut analisanya umat Islam di India sangat terbelakang bila dibandingkan dengan peradaban Barat karena ia tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi diakibatkan oleh kejumudan pemikiran umat Islam pasca abad pertengahan, sehingga untuk melawan keterbelakangan maka yang harus dilakukan umat Islam adalah menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran rasional agama zaman klasik, dengan perhatian yang besar pada sains dan tehnologi.

B. Ide – Ide Pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan
1. Ide – pembaharuannya dalam Bidang Politik
Pada tahun 1857 ketika Sayyid Ahmad Khan genap berusia 40 tahun, terjadi satu fase baru dari kepribadiannya yang serba – segi itu terungkap. Pada waktu itu terjadi kekacauan politik besar terjadi yang dimulai dengan pemberontakan Angkatan Darat India terhadap pemerintahan Inggris di India yang kemudian merambah pada penduduk sipil. Menurut Sayyid Ahmad Khan, sebab pokok yang akhirnya membawa kepada pemberontakan besar tersebut adalah tidak adanya orang India yang mewakili pandangan India pada tingkat atas badan – badan yang memerintah negeri tersebut. Ia menyatakan:
“Sebagian orang setuju… adalah sangat sesuai bagi kebahagian dan kemakmuran pemerintah jika rakyat harus mempunyai suara dalam Badan – badan Perwakilannya” .

Ia membuka dengan jelas segala kejelekan yang disebabkan karena tidak adanya orang India di Dewan Legslatif, tidak mengertinya Dewan tersebut tentang pandangan yang sebenarnya mengenai orang – orang India. Selanjutnya ia menunjuk kepada campur tangan pemerintah dalam soal agama: “Tidak ada kebimbangan sedikitpun pada semua orang, baik bodoh maupun pandai tinggi atau rendah pangkatnya mempunyai keyakinan yang kukuh bahwa pemerintah Inggris condong untuk campur tangan dengan agama mereka dan adat kebiasaan mereka yang telah ada sejak lama ”. Ia juga mengeluh mengenai tidak adanya pergaulan dan komunikasi antara orang Inggris dan sebagian orang India . Ia merenungkan tragedi yang menimpa negerinya, dan mendapatkan kesimpulan bahwa hal tersebut disebabkan karena kebodohan. Oleh karena itu ia bertekad untuk mulai mendidik orang yang memerintah dan yang diperintah, dan menghilangkan sebab – sebab yang memungkinkan pertentangan dan salah paham.

Tugas pertama ia mulai dengan bukunya Causes of the Indian Revolt, dan ia teruskan sepanjang hidupnya dengan mengajukan pikiran – pikiran rakyatnya dengan berani. Untuk tujuan inilah maka pda tahun 1866, ia mendirikan British Indian Association” di Aligahr yang digambarkan sebagai pendahulu Kongres Nasional India, dan meskipun baru saja berdiri telah dapat melahirkan pelbagai macam pandangan yang berguna dan efektif bagi Parlemen Inggris dan Pemerintah di India mengenai kesulitan – kesulitan yang dihadapi rakyat India. Sayyid Ahmad Khan juga mengetahui bahwa pemberontakan tersebut dikatakan sebagai pemberontakan Muslim, dan umat Muslim ditindas dengan kekerasan. Ia berusaha untuk membetulkan kesan yang salah dari pejabat – pejabat Inggris… Namun secara politis, ia tetap melayani Inggris, dan pernah menjadi anggota Dewan Gubernur Jenderal, beberapa kali menjadi anggota komisi pemerintah dan terus mengembangkan loyalitas dari umat Islam kelas menengah di India Utara. Lebih dari itu, ia kemudian mendirikan Muhammadan Educational Conference yang segera berkembang menjadi organisasi yang sangat baik dan memperoleh dukungan dari banyak pihak, dan cabang – cabangnya segera tumbuh di kalangan masyarakat Islam India. Konferensi ini menjadi alat penyiaran ide – ide Sir Sayyid Ahmad Khan dalam bidang sosial dan agama . Selain itu, Ahmad Khan juga mendirikan organisasi yang bersifat politik, yaitu Muhammadan Defence Association, yang tujuannya adalah melindungi anggota – anggotanya dari saingan golongan yang kuat dan lebih maju .

Dalam keseluruhannya tidak diragukan lagi bahwa Sir Sayyid Ahmad Khan adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk kesejahteraan masyarakat Muslim India dengan membina agama dan moralitas, serta loyal kepada bangsa yang memerintah mereka, yaitu Inggris.

2. Ide – pembaharuannya dalam Bidang Pendidikan
Di India pendidikan modern yang dibawa oleh Inggris pada awal abad ke – 19 telah menimbulkan dualisme sikap masyarakat Muslim. Yaitu sikap antagonis (menolak) dan sikap akomodatif (menerima) . Sikap penolakan ditunjukkan oleh sebagian besar umat Islam India, terutama para pengelola lembaga pendidikan Islam tradisional yang khusus mengajarkan ilmu – ilmu agama. Penolakan tersebut, karena meraka beranggapan apa yang dibawa oleh Inggris tidak cocok diikuti umat Islam, sebab pendidikan modern Inggris mengabaikan bidang studi dan tradisi keilmuan Islam.

Sebagian lain masyarakat Islam dapat menerima dengan lapang dada sistem pendidikan modern Inggris tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan tehnologi modern yang dibawa oleh Inggris dan diajarkan pada lembaga – lembaga pendidikan Inggris tersebut merupakan sarana yang dapat membawa kemajuan umat Islam India. Sebab mereka menyadari India sangat ketinggalan jauh dengan Inggris dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Salah satu tokoh yang mendukung sikap ini adalah Ahmad Khan. Ia berpandangan bahwa saat ini umat Islam harus kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah seperti pada zaman Islam klasik. Ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat di Barat perlu dikuasai oleh umat Islam. Sebab ilmu pengetahuanlah yang akan mampu menghidupkan kembali orientasi keduniaan umat yang telah hilang sejak zaman pertengahan. Untuk mengusai pengetahuan dari Barat tiada lain jalan yang ditempuh adalah dengan mengakomodasi pikiran – pikiran modern termasuk pendidikan yang dibawa oleh Inggris. Pada tahun 1869, bersamaan dengan kepergian anaknya ke Inggris untuk melanjutkan studinya, ia juga pergi ke Inggris. Kepergiannya ini adalah semata – mata untuk memenuhi keingintahuannya yang sudah lama yaitu mempelajari sendiri sumber – sumber kekuatan Inggris, dengan harapan dapat mewujudkan cita – citanya menciptakan negara India yang kuat dan makmur, dapat mengikuti perkembangan zaman modern serta dapat menduduki tempat mulia dalam masyarakat dunia . Ia sadar bahwa jika rakyat tidak menerima pendidikan modern yang cukup maka keadaan mereka tidak akan tambah baik, dan tidak bisa menduduki kedudukan – kedudukan terhormat di antara bangsa – bangsa di dunia . Sekembalinya dari Inggris, ia merasa mendapat kekuatan baru yang lebih meyakinkan anggapannya bahwa selama ini ketertinggalan India dari bangsa Barat adalah karena faktor mental, Inggris memiliki mental yang kuat dalam segala hal. Dan untuk merubah mental masyarakat India harus dilakukan revolusi pemikiran dengan meninggalkan ide – ide dan kebiasaan – kebiasaan lama dan menerima tuntutan zaman modern. Bersamaan dengan itu ia mulai merintis berdirinya perguruan tinggi Islam modern. Perlu diterangkan di sini bahwa ada beberapa kelompok yang menentang pikiran – pikirannya. Yang pertama adalah jelas bahwa dia tidak memperoleh dukungan dari petani yang sebenarnya merupakan sembilan persepuluh dari penduduk India. Penduduk pedesaan sama sekali tidak mengerti tentang ide yang dilancarkan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan. Kedua, ia ditentang oleh tingkatan yang lebih atas dari masyarakat kuno India yang mereka itu bebas, tetapi tidak mengabaikan Sir Sayyid Ahmad Khan juga tidak bebas mendukungnya. Kelompok ini adalah kelompok kecil dari penduduk kota, dan terutama para ulama yang biasa mengajarkan agama dengan bahasa Parsi. Mereka menganggap bahwa pembaharuan yang dilakukan Sir Sayyid Ahmad Khan dan terutama bahasa Inggrisnya, mengancam kedudukan mereka, baik secara idologis maupun ekonomis .

Usaha pokok Sayyid Ahmad bagi penyiaran ilmu (sebelum ia mendirikan perguruan tinggi Aligarh) adalah berdirinya The Scientific Society yang asalnya terkenal sebagai The Translation Society yang dimulai di Ghazipur pada bulan Januari 1864. Pada waktu mulai membuka sekolahan dan menentukan kurikulumnya, ia menyadari bahwa bahasa – bahasa India kurang mempunyai literatur yang berguna mengenai ilmu – ilmu yang dibahas dengan bahasa – bahasa Barat. Cita – cita Ahmad Khan untuk mendirikan Perguruan Tingi akhirnya terwujud dengan diletakkannya batu pertama pembangunan gedung perguruan tinggi tersebut oleh Gubernur Jenderal Lord Lotion (raja muda waktu itu) pada tanggal 8 Januari 1877 di kota Aligarh. Perguruan tinggi tersebut diberi nama Muhammadan Anglo Oriental College, yang lebih dikenal dengan Aligarh College . Perguruan tinggi ini adalah proontoh – Inggris. Ia mencontoh perguruan tinggi Oxford dan Cambridge, bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, kurikulumnya adalah kurikulum Barat dengan ditambah mata kuliah Agama Islam, dan dekan serta banyak dosennya adalah orang – orang inggris . Aligahr College adalah Karya besar Ahmad Khan dalam bidang pendidikan. Aligarh merupakan lembaga pendidikan Islam modern yang dikembangkan olehnya dari hasil studi panjangnya di Inggris. Sistem pendidikannya berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada waktu itu. Perbedaan tersebut nampak dalam hal materi dan tujuan pendidikan . Dari segi materi Aligarh memasukkan pengetahuan umum (ilmu pengetahuan umum dan tehnologi) dalam pembelajarannya, padahal pada era tersebut India sama sekali tidak memiliki satu lembaga pendidikan Islam yang memasukkan ilmu – ilmu umum dalam daftar mata pelajarannya . Sayyid Ahmad Khan tahu kebencian umat Islam terhadap orang – orang Kristen, tetapi bagaimanapun juga mereka harus memperoleh pendidikan Barat. Dalam prospektus perguruan Aligarh itu dengan jelas dinyatakan “ Untuk mendirikan Perguruan Tinggi yang di dalamnya umat Islam bisa memperoleh pendidikan Inggris tanpa merugikan agama mereka” .

Dengan memberikan pelajaran umum ini Ahmad Khan menginginkan hilangnya dikotomi ilmu yang ada pada benak dan pikiran masyarakat Islam India. Terlihat dari penyusunan cabang ilmu pegetahuan yang diajarkan di Aligarh. Dalam susunan itu ilmu – ilmu agama dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, bukan menjadi cabang tersendiri yang terpisah dari ilmu pengetahuan yang lain. Ahmad Khan tidak menginginkan adanya keterpisahan ilmu pengetahuan dalam pandangan umat Islam India. Dari sudut tujuan, Aligarh College memiliki tujuan yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam mainstrem. Ia memiliki tujuan membentuk ulama intelek, yaitu orang yang memiliki keahlian dalam bidang pengetahuan agama dan juga mahir dalam ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian diharapkan lulusan Aligarh College memiliki intelegensia yang tinggi dan adaptif dengan perkembangan zaman dan peradaban modern dengan kepribadian Muslim.

3. Ide – pembaharuannya dalam Bidang Sosial Keagamaan
Secara agamis, pandangan Sayyid Ahmad Khan sebagian dapat dilihat dari tulisan – tulisannya. Bukunya Essay on the Life of Mohammed, juga berisi jawaban – jawaban terhadap kritik Barat. Buku itu ditulis untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama terhormat dinilai dari ukuran – ukuran Barat Modern. Ia sendiri menyerap jiwa kebudayaan Barat terutama rasionalismenya. Pikirannya tidak mau terbelenggu oleh otoritas hadits dan fiqhi. Semua itu diukur dengan kritik rasional. Akibatnya ia menolak semua hal yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Dengan begitu ia sudah barang tentu menolak otoritas lama (taqlid).
Dalam lapangan agama, ia berusaha untuk menunjukkan persamaan dasar antara Islam dan Kristen, dan dengan itu menganjurkan kerukunan hidup antara kedua pemeluk agama tersebut. Ia menulis uraian untuk mempertahankan pendapat dibolehkannya hubungan antar orang Islam dan orang Kristen dari segi agama.

Pada waktu perguruan tinggi Aligarh didirikan, ia menyetujui untuk menyerahkan semua masalah agama tersebut kepada Komite Ulama – ulama Muslim Ortodoks dan berjanji tidak campur tangan dalam urusan tersebut. Dengan pembagian kerja seperti itu, maka segi – segi kerohanian Perguruan Tinggi tersebut memperoleh dukungan dari pribadi yang dinamis, tetapi Sayyid Ahmad tetap melaksanakan pembagian kerja tersebut. Ia bukan hanya menyerahkan urusan agama dari Perguruan Tinggi tersebut berjalan sendiri, tetapi juga tidak membolehkan karangan – karangannya yang kontroversial jatuh ke tangan mahasiswa – mahasiswanya. Tetapi di luar Perguruan Tinggi ia tetap meneruskan kegiatan – kegiatannya.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa al-Quran merupakan satu – satunya asas untuk memahami Islam.

Hal ini ia dasarkan pada perkataan Umar Ibnu Khathab, "Cukuplah bagi kita kitabullah". Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka untuk memahami al-Qur’an tidak mungkin bersandar pada al-Qur’an menggunakan penafsiran kontemporer. Ia berpendapat bahwa ayat – ayat muhkamat bersifat asasi atau mengandung dasar – dasar aqidah, sedangkan ayat – ayat mutasyabihat menerima lebih dari satu penafsiran yakni mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Perubahan terjadi setiap saat, ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia bertambah. Oleh karena itu untuk menghadapi perubahan tersebut harus terjadi perubahan pemahaman manusia terhadap ayat – ayat mutasyabihat. Karena boleh jadi akan ada penafsiran lain yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan alam manusia masa kini .

Menurut Ahmad Khan, hanya al-Quran yang menjadi asas dalam memahami agama, sedangkan hadits yang dapat dijadikan sebagai sandaran hanyalah hadits – hadits yang sesuai dengan nash dan ruh al-Quran, yang sesuai dengan akal dan pengalaman manusia dan yang tidak bertentangan dengan hakekat sejarah. Bahkan setiap hadits yang bertalian dengan masalah dunia hanya berlaku khusus bagi kondisi dan keadaan bangsa Arab pada masa nubuwah, dan tidak mengikat bagi seluruh kaum muslimin .

Tampaknya poin terpenting yang dinafikan Ahmad Khan adalah dalam menerima hadits. Ia berpendapat perkara – perkara agama bersifat tetap, sedangkan perkara – perkara dunia berubah – ubah. Sampai disini dapat disimpulkan bahwa menurut Ahmad Khan, hadits – hadits tidak diterima sebagai sumber hukum diera setelah masa kenabian. Ia pun akhirnya menyangsikan kelayakan pendapat – pendapat fuqaha dahulu untuk diterapkan pada masa sekarang. Maka pintu ijtihad terbuka untuk seluruh masalah. Menurutnya perbedaan fisi dan kebebasan yang luas merupakan satu – satunya jalan untuk memajukan umat. Salah satu pendapatnya yang cukup mendapat tanggapan keras dari beberapa kalangan adalah bahwa Allah telah menciptakan dan membuat hukum – hukum, akan tetapi Allah tidak turut campur dalam hukum alam. Dari sini cukup memperlihatkan bahwa ia menggunakan sistem nilai dari pemikiran Barat untuk memahami agama dan menafsirkan al-Qur’an.

Sayyid Ahmad menjelajah hampir semua literatur Islam untuk menggali pendapat – pendapat yang memiliki otoritas yang mendukung tesisnya, bahwa dalam al-Qur’an tidak ada sesuatupun yang tidak sesuai dengan sains modern. Cocok dengan alam adalah ukuran untuk menilai pelbagai macam agama, dan agama Islam adalah agama yang benar karena sesuai dengan alam. “Kalimat Allah (al-Qur’an )”, ia menyatakan harus sesuai dengan perbuatan Allah (alam)”. Ia mengikuti metode Mu’tazilah dalam mencocokkan agama dengan sains, dan ia dianggap sebagai Mu’tazilah modern .
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama yang dipahami oleh Sir Sayyid Ahmad Khan adalah suatu paham agama yang secara eksplisit sesuai dengan kemajuan dan khususnya dengan kebudayaan Inggris pada abad ke – 19 dengan ilmu, moralitas liberal, humanisme, dan rasionalisme ilmiahnya.


----------------
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
  1. Sir Sayyid Ahmad Khan adalah salah seorang tokoh pembaharu di India pada abad ke – 19. Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu yang ide – idenya dinilai oleh masyarakat banyak membawa kontroversial khususnya oleh masyarakat konservatif.
  2. Ide – ide pembaharuan Sir Sayyid Ahmad Khan secara rinci dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Bidang Politik
Dalam keseluruhannya Sir Sayyid Ahmad Khan adalah orang yang menghabiskan waktunya untuk kesejahteraan masyarakat Muslim India dengan membina agama, moralitas, serta loyal kepada bangsa yang memerintahnya.
b. Bidang Pendidikan
Ia berpandangan bahwa umat Islam harus kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah seperti pada zaman Islam klasik, dari pada itu ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat di Barat perlu dikuasai oleh umat Islam. Sebab ilmu pengetahuanlah yang akan mampu menghidupkan kembali orientasi keduniaan umat yang telah hilang sejak zaman pertengahan. Untuk mengusai pengetahuan dari Barat tiada lain jalan yang ditempuh adalah dengan mengakomodasi pikiran – pikiran modern termasuk pendidikan yang dibawa oleh Inggris.
c. Bidang Sosial – Keagamaan
Agama yang dipahami oleh Sir Sayyid Ahmad Khan adalah suatu paham agama yang secara eksplisit sesuai dengan kemajuan dan khususnya dengan kebudayaan Inggris pada abad ke-19 dengan ilmu, moralitas liberal, humanisme, dan rasionalisme ilmiahnya.

B. Saran – saran 
Secara umum makalah yang ada dihadapan bapak – bapak dan ibu – ibu peserta seminar kelas masih banyak memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan lebih lanjut.

-----------------------
DAFTAR PUSTAKA
Ali, HA. Mukti , Aliran Pemikiran Modern dalam Islam di India dan Pakistan, Bandung: Mizan,1993
---------------------, Alam Pikiran Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995.
Baljon, J.M.S. Sayyid Akhmad Khan Seorang Islam Modern dan Pembaharu Sosial, Terjemahan Amal Hamzah, Jakarta: Djaur Gatan, 1950
Engineer, ALI, Asghar Rational Approach to Islam, Delhi: Gyan Publishing House, 2001
Encyclopedia of Islam and the Muslim World, Thompson Gale 2004
Glasse, Cyril, The New Encyclopedia of Islam, Altamira Press, 2001
Sir Syed Ahmad Khan- Chronology “Sir Syed University of Engineering and Technology.http://www.Ssuet .edu.pk/Chronology.htm. Retrieved, 14 Januari 2010
"Sir Syed Ahmad Khan". Story of Pakistan. http // www. Story of Pakistan. Com / person. asp? perid= P001. 14 Pebruari 2010

Read More
Published Maret 09, 2012 by with 0 comment

Surprise Pengantin Baru

Sepasang suami istri baru menikah, sang suami ingin memberikan surprise pada istrinya, suatu hari suami berkata kepada istrinya:

Suami: Sayang... kita pergi yuk, tapi mata kamu harus ditutup yah....!
Istri: Kok harus ditutup si pa..?
Suami: Ya sayang, pokoknya ada surprise buat kamu say......

Merekapun berangkat naik taxi, begitu sampai mereka turun, kemudian suami mengajak istrinya masuk ke rumah baru yang dijadikan surprise. Karena penasaran, istri jadi resah dan gelisah sehingga perut jadi mules, tapi suami belum mengijinkan membuka mata.

Si istri gak kuat ingin buang angin, tapi istri masih malu sama suaminya, istri-pun berpura-pura minta tolong dibikinin minuman.

Istri: Pa bikinin minuman dong, buruan.....!
Suami: Iya sayang...

Kemudian suami pergi ke dapur membikin minuman, ketika ke dapur si istri buang angin "tuuuuuthhhh......"
begitu suami datang membawa minuman, ternyata istri masih ingin buang angin, akhirnya dia bilang ke suami.....:
Istri: Pa, minumannya kurang manis, tambahin gula dong...!
Suami: Iya sayang, bentar ya....
SI suami pergi lagi untuk menambahkan gula pada minuman istrinya, ketika suami ke dapur, si istri kentut lagi, kali ini yang dibuang makin kencang "dhuuuuuuhhhdddd........"
Kemudian suami datang lagi bawa minuman, tapi ternyata istri masih ingin buang angin lagi,akhirnya dengan berat hati istri minta ditambahin gula lagi,saat si suami ke daputr, istri buang angin dan untuk ke-3 kali-nya, gas lebih serem dan lebih panjang dari yang kedua
"Dhhhrrrruuuootttttt....dhoooddd.....dhuoddddd.... .dhoddd.....dhodd"

Akhirnya istri lega karena selesai buang anginnya, suami tiba dan menyerahkan minuman, dan membuka tutup mata sang istri, istrinya terketjut, ternyata di ruangan itu sudah banyak orang, ada mertua, saudara-saudara ipar, sambil malu-malu si istri bertanya kepada mertuanya:

I: Oh bapak, eh ibu.. kapan datang...?
Mertua menjawab, sejak nak kentut pertama...
------------
@http://www.kaskus.us
Read More
Published Maret 02, 2012 by with 0 comment

Mengidap Hydrocephalus - Harus dibantu


Sosok ini adalah ibu dan anaknya yang telah berusia 12 tahun, mengidap penyakit pembesaran kepala (Hydrocephalus). Jepretan setelah shalat jum'at di Mesjid Al-Markaz Al-Islamy Makassar, yang menjadi pemandangan mengharukan di tengah lalu lalang para jamaah shalat Jum'at. Semoga dengan gambar atau photo ini dapat tersentuh hati nurani kita, untuk memberikan dukungan terhadapnya. Baik moril, dana ataupun do'a. 
Read More
Published Februari 25, 2012 by with 0 comment

KH. Abdur Rahman Wahid (Hubungan Agama dan Negara)

KH. Abdur Rahman Wahid 
(Hubungan Agama dan Negara)

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sangat boleh jadi semua orang sepakat tentang Gus Dur hanya satu hal, yaitu bahwa dia adalah tokoh kontraversial tulen. Dan memang semua orang boleh menjuluki apa saja tentang tokoh yang satu ini mulai dari yang baik-baik sampai kepada yang buruk-buruk. Toh selama ini Gus Dur cuek saja dengan kalimat yang sekaligus menjadi ciri khasnya “gitu aja kok repot”.
Sampai saat ini, belum atau taakan perna ada yang akan bisa menandingi Gus Dur dalam banyak mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat berperan dalam mengumpulkan julukan itu. Mereka yang melihatnya begitu taat dan gigihnya mengikuti orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air mungkin akan mejlukunya Nasionalis. Mereka yang melihatnya berkiprah dibidang kesenian dan budaya mungkin akan menjulukinya budayawan atau seniman. Mereka yang sering menyaksikan dalam mengisi seminar-seminar dan menuliskan pemikiranpemikirannya mungkin akan mejulukinya cendekiawan atau pemikir dan seterusnya.

Sangat boleh jadi “Wallahu a’lam” Gus Dur memang merupakan “pelajaran” atau “pengajaran” yang sangat keras bagi bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil ini. Mulai dari zaman kerajaan hingga zaman raja Suharto bangsa ini boleh dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu didikkan oleh para penguasanya terutama penguasa orde baru dulu adalah penyeragaman. Sehingga tanpa terasa di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang sebagai hal yang angker. Orang yang berbeda diidientikkan dengan musuh. Dan pada gilirannya orangpun sulis bersikap adil dan obyektif.
Oleh karena itu jangan heran bila demokrasi disini masih terus menjadi infian dan slogan. Barangkali dan mudah-mudahan karena sayangnya Allah kepada bangsa ini, iapun terus mengingatkan dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena kontraversial yang betapapun kita ingin menyeragamkan tak akan pernah kita dapat menyatukan pandangan kita, sebagai contoh berulangkalinya terjadi perbedaan penentuan hari raya baik “idiel fitry” maupun “idiel adha”. Betapapun hebatnya argument masing-masing pihak, tetapun pihak lain tidak akan mampu sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri.
Boleh jadi karena berkali-kalinya kita tidak bisa mencermati pelajaran-pelajaran Allah yang diberikan dengan cara seperti itu, maka iapun memberikan pelajaran puncak dalam bentuk seorang imam yang paling kontraversial yang pernah dimiliki Republik ini yang sedikitpun tidak pernah merasa takut terhadap perbedaan, yaitu Gus Dur !

Terpilihnya Gusdur sebagai presiden bukanlah pemberian poros tengah, bukan Amin Rais, bukan NU apalag PKB partai yang dideklarasikan oleh Gus Dur sendiri dan kalau seandainya boleh ditanyakan pada Poros Tengah yang mengusungnya waktu itu atau kepada fraksi-fraksi yang ada di MPR, termasuk Amin Rais sendiri,apakah Gus Dur pada saat itu menjadi pilihan mereka untuk menjadi presiden ? Asal mereka mau jujur pada diri mereka sendiri, pasti mereka akan menjawab bukan.

Dari sekian orang yang segar bugar, sekian ribu politisi,sekian ribu ahli politik,sekian ribu tokoh masyarakat, sekian ribu pakar tata negara, tetapi aneh Gus Dur yang bukan tokoh partai politik, bukan pemerintah yang sedang berkuasa dan buka pula milioner, dipilih secara demokratis bahkan paling demokratis dalam sejarah Republik ini oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana setiap orang bisa menyampaikan anspirasinya sebesar-besarnya.
Jadi minimal menurut keyakinan saya sendiri, Gus Dur adalah tokoh kontraversial sejati yang suka berbeda memang dipilih oleh Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita, bangsa yang selama ini terus menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak menghargai keadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas melalui makalah ini penulis akan mengambil secuil pemikiran dan pandangan seorang Gus Dur (K.H.ABD.RAHMAN WAHID ) melalui topic “K.H.Abd.Rahman Wahid Hubungan Agama dan Negara”dengan rumusan dan batasan masalah seperti berikut.

B. Rumusan dan Batasn Masaalah.
Dalam pembahasan makalah ini penlis membatasi rumusan dan permasalahan sebagai berikut :
1. Siapakah sebenarnya K.H.Abd. Rahman Wahiud ?
2. Bagaimana pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid tentang hubungan agama dan negara ?
3. Apa alasan-alasan K.H.Abd.Rahman Wahid dalam memisahkan antara urusan agama dan negara ?


---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi K.H.Abd.Rahman Wahid
1. Gus Dur Kecil
K.H.Abd.Rashman Wahid atau yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan didunia melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang .
Ibunya, Ny. Hj Sholehah juga putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Rois ‘Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah, dengan demikian secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru. Gus Dur adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa Indonesia.
Lebih dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Sukarno Presiden pertama Republik Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus “Piagam Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam keudukannya sebagai keturunan kiyai paling terkemuka dan bangsawan di Indonesia.

Meskipun demikian kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di Pondok Pesantren. Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al Qur’an, gurunya waktu itu adalah kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari .
Pada saat bocah tidak seperti anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dia diajari mengaji dan membaca al Qur’an oleh kakenya sendiri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Disaat serumah dengan kakenya itulah Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.

2. Proses menjadi Gus Dur.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berhasil menamatkan bebrap kitab standar mu’tabarah Pondok Pesantren. Sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim. Dalam usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun 1964 Gus Dur melanjutkan study di Al Azhar Islamic University Mesir, mengambil konsentrasi Departemen of Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah tiba di Mesir Gus Dur menemui kendala karena ijazahnya tertolak, sehingga praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk mengurus Ijazah tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas Al Azhar,namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia terima disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk menghilangkan rasa bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan lengkap di Kairo.
Selama kuliah di Kairo ia lebih aktif ke perpustakaan, nonton film dan selebihnya diisi dengan kegiatan organisasi, akibatnya Gus Dur tidak naik tiungkat dalam kuliahnya di Al Azhar. Mendengar kegagalan kuliyah Gus Dur
di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim surat dari tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur, “Kamu harus berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan perasaan dalam hatiku,” tulis Nuriyah .
Meski begitu bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh faham “Sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang Arab kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya, hal itu dilakukan karena mereka tidak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. Dan inilah yang ikut mempengaruhi pemikiran-pemikiran Gus Dur yang membias dalam derap langkahnya di Indonesia.
Merasa tak akan berkembang Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas Al Azhar mesir dan pindah ke Bagdad, dan pada tahun 1966, dalam usia 26 tahun Gus Dur secara resmi masuk ke Departemen of Relegion, di Universitas Baghdad Irak. Di Baghdad Gus Dur memperoleh gelar Lc-setinggkat S1 di Indonesia-Sastra Arab. Kemudian melanjutkan S2 (Setingkat MA). Judul thesisnya sudah diajukan, tapi sial sipembimbing meninggal dunia dan untuk mencari gantinya setengah mati, akhirnya ia memutuskan pulang ke Indonesia3.

3. Eksperimentasi menjadi Gus Dur.
Dengan berbekal ijazah S1 Universitas Baghdad, Gus Dur kembali ke IndonesiaPada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga tahun 1974. Ketika itu pula ia menekuni kembali bakatnya menulis dan menjadi kolumnis. Tulisannya yang anatik dan kritis, tajam dan reflektif tentang pesasntren, toleransi beragama, pluralism, demokratisasi dam filsafat tersebar keberbagai media massa, terutama majalah Tempo,Surat Kabar Kompas,pelita dan jurnal prisma .
Hal inilah yang kemudian mengantar seorang Gus Dus semakin mencuat kepermukaan karena gagasan-gagasannya yang menarik perhatian banyak orang dan tidak sedikit yang mengundang kontraversi.

B. Agama da Negara dalam Pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid
Pada dekade l980an beberapa cendekiawan muslim termasuk K.H.Abd. Raman Wahid memberikan kalaripakasi tentang hubungan anatar agama dan negara, hal ini mereka anggap perlu karena pada dekade tersebut banyak ummat Islam yang ragu-ragu dan hawatir tentang posisi Islam dan negara, keraguan tersebut dapat dimengerti karena pada dekade tersebut pemerintah Indonesia intens melakukan pembedahan idiologis yang mempunyai dampak luas terhadap kekuatan politik Islam. Sementara dipihak lain pemerintah Orde Baru meskipun kedengarannya agak berlebihan, juga meragukan kestiaan golongan Islam terhadap Pancasila. Hal ini terutama setelah terjadinya berbagai rentetan kejadian yang dinilai mengganggu stabilitas nasional.

Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan Muslim melontarkan pemikiran kreatif dan kritis, termasuk K.H.ABD. Rahman Wahid beliau berpendapat bahwa dalam Islam, negara itu adalah hukum (alhukmu) dan Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang ada pada Islam adalah etik kemasyarakatan dan komunitas, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif. Dalam persoalan yang paling pokok saja kata beliau seperti suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten, terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlulhalli wal aqdi (sistem formateur). Padahal menurut K.H.Abd. Rahman Wahid, soal suksesi adalah masaalah yang cukup urgen dalam masaalah kenegaraan, kalau memang Islam punya konsep tentu tidak terjadi demikian.

Dalam prespektif Ahl-u ‘l-sunnah wa’l-jama’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsinya, bukan dari norma formal eksistensinya, atau negara
itu Islam apa bukan, selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh maka konteks pemerintahannya tidak laigi menjadi pusat pemikirannya. Kitab suci al Qur’an pun mengatakan dengan tegas bahwa : waja’alna kum syu’ub-an waqaba’ila lita’arafu. Syu’ub itu artinya nation (bangsa) kata beliau, sedangkan qaba’il artinya suku, namun yang penting adalah lita’arafu, untuk saling berhubungan bukan untuk saling unggul-unggulan, tandasnya.

Yang ditenatang oleh Islam bukanlah nasionalisme, tetapi fasisme seperti yang terjadi pada Jerman, Italia dan sebagainya. Namun demikian kata beliau lebih lanjut, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis, ayat tersebut sudah ekplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian tidak perlu muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan. Tetapi beliau mengakui bahwa pengertian bangsa dalam rumusan al Qur’an diatas terbatas hanya pada bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami territorial bersama. Sementara wawasan kebangsaan dimasa modern ini pengertiannya sudah lain, ya’ni satuan politis yang didukung oleh idiologi nasional. Penjelmaan pengertian ini kata beliau adalah konsep negara bangsa (nation state). Diabad modern ini mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global yang merupakan nation state. Tulis Abdurrahman Wahid .
Tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk mencernakan kearusan historis dalam berintraksi dengan fenomena global itu. Kesulitan besar dalm mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan, terletak pada Islam yang seolah-olah “supra nasional” sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Maka ada kesulitan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konstruksi idiologis yang bersifat nasional. Salah satu cara untuk meneropongi kaitan antara wawasan
Islam yang universal dan supra nasional dengan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa ialah dengan mengambil sudut pandang fungsional antara keduanya.
Dengan jalan fikiran seperti ini Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahtraan warga masyarakat apapun bentuk masyarakat yang digunakan. Dan pada akhirnya Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan.
K.H.Abd.Rahman Wahid juga melihat pancasila sebagai “aturan permainan” yang menghubungkan semua agama dan faham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi kalau pancasila berfungsi membenarkan satu agama saja, mnisalnya UIslam saja maka ia akan berhenti sebagai “aturan permainan” yang disepakati bersama. Dalam kaitannya dengan klaim bahwa setiap gama benar, pancasila harus memberikan rumusan interperetatif yang memenuhi kepentingan semua pihak, dan bukan satu pihak saja. Dalam konteks ini dapat dirimuskan bahwa Pancasila memperlakukan bahwa semua agama sama dan semuja sama dimuka hukum dan dalam pergaulan masyarakat.

Tetapi dalam hubungan penerimaan NU terhadap pancasila sebagai satu-satunya asas. Abdurrahman Wahid menjelaskannya dari sudut Fiqhi kum ahl-u’l-sunnah wa’l jama’ah. Bagi NU pancasila sebagai idiologi bangsa memiliki posisi netral. Pandangan ini sejalan dengan visi imam Syafi’i tentang tiga jenis negara ya’ni dar Islam (negara Islam), dar harb (negara perang), dan dar sulh
(negara damai). Pemerintahan kita yang beridiologi pancasila termasuk dalam “negara damai” yang harus dipertahankan.
Kalau syari’ah dalam bentu hukum/fiqhi atau etika masyarakat masih dilakukan oleh kaum muslimin didalamnya sekalipun itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, bila etika masyarakat Islam sudah dijalankan maka tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah, ujarnya.


C. Alasan-Alasan K.H.Abd.Rahman Wahid memisahkan antara hubungan agama dan negara.
Diantara sekian banyak intlektual Indonesia K.H.Abd Rahman Wahid adalah salah seorang intelektual yang jelas menolak hubungan agama dengan negara dengan beberapa alasan sebagai berikut :
  1. Dipilihnya agama sebagai suplementer dalam kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak asasi manusia dan tidak akan mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak dari kiebebasan berbicara dan berpendapat.
  2. Dalam posisinya yang suplementer hubungan agama dan negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.
  3. K.H.Abd. Rahman Wahid juga menolak sebagai idiologi alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik menjadikan Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan.
  4. Dalam sebuah negara pluralistik negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurut Abdurrahman Wahid, Islam seharusnya diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam harus berfungsi komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai idiologi negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti terlihat hampir selama lima dekade sejak tahun 1930-an .
  5. Bagi Abdurrahman Wahid agama sebagai etika sosial yang berfungsi koplementer dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
BAB III
P E N T U P

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. K.H.Abd Rahman Wahid berasl dari keluarga santri sunni namun memiliki sikap dan pemikiran yang liberal, progresif dan inklusif, kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada ditempuh di Barat secara intlektual, jauh lebih siap berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat.
  2. Bahwa nilai-nilai agama dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
  3. Nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.

--------------
DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Rahman Wahid, Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunanpercikan pemikiran Gusdur.(Cet. I Jakarta Gelora Aksara Pratama, 1999).

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Akasi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,(Penerbit Paramadina Jakrta. 1995).

M. Saleh Isre, Tabayn Gus Dur, Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, (Cet.II LKIS Yogyakarta,1998).

K.H.A.Mustafa Bisri, Pasca Wacana Sinta Nuriyah Rahman,JejakAntropologis Pemikiran Dan Gerakan GUS DUR, (Cet. I PT.Remaja Rosdakarya, Bandung 2000).


Read More