Published Desember 10, 2007 by with 0 comment

MU’AWIYAH IBN ABI SUFYAN (Pembentukan Dinasti dan Perkembangan Politik)

Pembentukan Dinasti
Mu’awiyah mendirikan dinasti Umayyah pada tahun 41 H / 661 M. Proses pengangkatannya sebagai penguasa telah melalui proses panjang yang dapat dikatakan sebagai bagian integral dari akar rumput lahirnya Fitnah al-Kubra dalam dunia Islam masa itu. Berawal dari masa kematian Utsman bin Affan, Mu’awiyah memang telah berambisi untuk menduduki jabatan kekhalifahan, namun telah didahului oleh Ali bin Abi Thalib yang di bai’at oleh masyarakat Madinah serta didukung oleh sebagian besar sahabat kecuali Thalhah, Zubair, dan Aisyah, ra.

Penolakannya atas kebijakan dan kekhalifahan Ali, ra. kemudian berkembang dalam bentuk tuntutan atas kematian Utsman bin Affan yang berakhir dengan timbulnya perang Shiffin (37 H / 657 M) dan melahirkan the Siffin Arbitration Agreement (Perjanjian Shiffin / Tahkim) meskipun dari pihak Ali, ra. menolak mentah-mentah hasil keputusan itu karena dinilai sebagai penipuan dan kecurangan.
Kecerdikan dan keberhasilan Amr bin Ash sebagai duta Mu’awiyah dalam mengalahkan Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi duta dari pihak Ali dalam proses tahkim diakui telah mengangkat Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada masa itu. Hasil tahkim saat itu merupakan awal kemenangan Mu’awiyah atas Ali bin Abi Thalib meskipun tidak diakui oleh kelompok Ali maupun dari kalangan Khawarij. Pada kasus ini, Konfrontasi antara Ali dan Muawiyah dalam perspektif Ibn Khaldun adalah konfrontasi antara kubu “idealistis” dan kubu “realistis”. Kubu orang-orang saleh untuk sementara memperoleh kemenangan dengan terpilihnya Ali sebagai pengganti Usman menjadi khalifah. Pemerintahan Ali yang idealistis ditakdirkan berakhir dalam waktu sangat singkat. Kelas bawah yang mendukung Ali dalam pemilihannya sebagai khalifah terlalu lemah untuk dapat menghadapi arus pemikiran “realistik”. Muawiyah memimpin kelompok oposisi melawan Ali, yang akhirnya mengalahkannya.
Pengukuhan Mu’awiyah sebagai khalifah baru dipertegas kemudian setelah Hasan ibn Ali bin Abi Thalib bersedia mundur dari kekhalifahan dengan beberapa syarat. Pembai’atan Mu’awiyah oleh Hasan dan rakyat Kufah kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai “am or sanat al-Djama’a”, “the year of (unification of) the community” atau “tahun persatuan”.

Pada dasarnya Mu’awiyah dapat saja mengalahkan dan menghancurkan Hasan dengan kekuasaan dan kekuatannya, terlebih setelah penduduk Kufah plin-plan dalam dukungannya terhadap Hasan. Namun Mu’awiyah tidak menghendaki pengakuan kekhalifahannya diperoleh melalui jalan perang dengan Hasan, melainkan harus dilegitimasi oleh Hasan sendiri. Segera setelah wafatnya Hasan, Mu’awiyah mulai aktif menjalankan rencana untuk memenuhi hasratnya melanggengkan pemerintahan keluarganya (Sufyanid rule). Hal ini tidak dapat dilakukan selama Hasan masih hidup karena merupakan bagian dari perjanjian. Hal ini juga bukanlah tugas yang mudah dan Mu’awiyah harus dengan sangat teliti dan hati-hati untuk menggunakan seluruh muslihat yang merupakan ciri kepemimpinannya; diplomasi, hadiah-hadiah mewah, penyogokan serta ancaman dan penindasan.
Bai’at Hasan dan penduduk Kufah terhadap Mu’awiyah merupakan bagian dari tahapan kemenangannya. Namun, masih ada satu kelompok lagi yang perlu diatasi, yaitu kelompok Khawarij yang juga hampir membunuhnya. Kelompok ini tergolong sangat fundamental dalam bersikap karena sebagian besar mereka adalah masyarakat nomad yang hidup di pedalaman-pedalaman jazirah Arab.
Di sisi lain, sifat-sifat yang dimiliki Mu’awiyah mendatarkan jalan baginya untuk meraih kesuksesan dalam mengendalikan jabatan maha penting yang telah dicapainya. Kedudukannya sebagai pemerintah sewaktu-waktu memerlukan sifat tegas dan keras, dan kadang-kadang memerlukan sifat toleransi dan lapang hati. Ibnu Thabathabai berkata tentang Mu’awiyah sebagaimana dikutip oleh A. Syalabi:

“Mu’awiyah bagus siasatnya, pandai mengatur urusan duniawi, cerdas, bijaksana, fasih, baligh, di mana ia perlu dapat berlapang hati dan dapat pula bersikap tegas atau keras, tetapi lebih sering berlapang dada. Lagipula ia dermawan, rela mengorbankan harta, amat suka memegang pimpinan, kedermawanannya melebihi para bangsawan dalam kalangan rakyatnya”.

Bagi Ibn Khaldun, pemerintah khalifah telah berakhir pada masa Mu’awiyah, saat pendiri dinasti Umayyah itu naik tahta. Ibn Khaldun mengakui bahwa Muawiyah lebih merupakan seorang raja daripada khalifah, dan tidak ada salahnya yang demikian itu. Menurut istilahnya, “kerajaan adalah sesuatu yang relatif” dan karena itu tidak bisa disebut jelek. Seperti semua sifat manusia, jelek manakala digunakan untuk tujuan yang jelek, dan baik manakala digunakan untuk tujuan yang baik. Nabi tidak melarang atau mengutuk kerajaan semacam itu, beliau lebih melarang kebiasaan membiarkan ketidakadilan, kemewahan, dan semacamnya. Dengan kata lain, apabila kerajaan dipergunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi agama, dan membantu pelaksanaan upacara agama, kerajaan justru menguntungkan. Mengutuk kerajaan sama saja dengan mengutuk rasa marah atau keinginan seksual. Dorongan-dorongan ini pada dasarnya tidaklah jelek, dan dimaksud untuk memelihara ras manusia dan melindunginya dari serangan agresor. Dorongan-dorongan jelek manakala digunakan secara tidak baik dan dengan tujuan yang tidak benar.
Konfrontasi antara Ali dan Muawiyah dalam perspektif Ibn Khaldun adalah konfrontasi antara kubu “idealistis” dan kubu “realistis”. Kubu orang-orang saleh untuk sementara memperoleh kemenangan dengan terpilihnya Ali sebagai pengganti Usman menjadi khalifah. Pemerintahan Ali yang idealistis ditakdirkan berakhir dalam waktu sangat singkat. Kelas bawah yang mendukung Ali dalam pemilihannya sebagai khalifah terlalu lemah untuk dapat menghadapi arus pemikiran “realistik”. Muawiyah dalam memimpin kelompok oposisi melawan Ali, yang akhirnya mengalahkannya. Muawiyah sendiri pernah memproklamirkan dari mimbar mesjid, bahwa kemenangannya atas Ali merupakan suatu bukti dari “kebenarannya” di hadapan Tuhan.
Dalam upaya perluasan wilayah kekuasaannya, Mu’awiyah membangun kekuatan armada yang tak terkalahkan pada waktu itu dengan kekuatan 855 buah kapal untuk menyerang daerah Laut Tengah, yaitu Cyprus, Rhodes, Sisilia dan Kreta. Daerah-daerah penting yang ditaklukkan oleh Mu’awiyah antara lain Turki dan Armenia, kedua daerah ini berada di bawah kekuasaan Byzantium. Sebelumnya operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna, Balkh, dan Kandahar. Pada tahun 676 M Bukhara direbut dan dua tahun kemudian tentara muslim lainnya terus melaju hingga ke tepi sungai Indus.
Tidak puas dengan penyerbuan ke wilayah Timur, pasukan Mu’awiyah mengalihkan penaklukkannya ke arah barat dan berhasil menguasai Afrika Utara, Andalusia, dan bahkan sampai ke Perancis pada masa-masa berikutnya. Peristiwa paling menyolok pada masa kekuasaannya adalah pengepungan Konstantinopel melalui kesatuan ekspedisi di bawah kepemimpinan Yazid selama enam tahun meskipun pada akhirnya pengepungan itu dihentikan dan Mu’awiyah memerintahkan penarikan pasukan dari pengepungan itu.

Perkembangan Politik
Mu’awiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisir dengan baik. Kesulitan awal kepemimpinannya banyak disebabkan oleh munculnya anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral yang berimbas pada ketidakstabilan di mana-mana dan kehilangan kesatuan. ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan sebelumnya tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh perang saudara serta pemindahan ibu kota dari Madinah ke Kufah di masa Ali, oleh karena itu pula Mu’awiyah memindahkan pusat kekuasaan ke Damaskus melalui proses yang panjang.
Oleh Ibn Khaldun, Muawiyah adalah seorang muslim yang saleh dan raja yang baik. Dia hidup pada masa kehidupan sangat berbeda dari masa nabi dan masa khalifah penggantinya. Karena itu kemewahan dan kemegahan diperlukan untuk menjadi seorang raja yang terhormat. Mengenai pemberontakan Muawiyah melawan khalifah Ali yang sah dan pengambilalihan kekuasaan khalifah dengan paksaan, Ibn Khaldun menganggap hal ini sebagai tekanan sosial, yaitu karena ashabiyah (solidaritas) Muawiyah lebih kuat ketimbang Ali yang ashabiyah-nya sangat lemah, lambat atau cepat Ali pasti segera diganti oleh pimpinan yang lebih kuat. Pimpinan ini kebetulan Muawiyah. Apabila Muawiyah menolak untuk memimpin revolusi melawan Ali, pemimpin lain dari kelompoknya pasti akan melakukannya. Karena itu Muawiyah melakukan sesuatu yang tidak bisa ditolaknya.
Ketika Mu’awiyah mengambil alih Kufah setelah wafatnya Ali, para pemimpin suku dan klan yang kuat dipaksa mengabdi sebagai perantara dalam struktur kekuasaan propinsi itu. Wewenang pusat di Damaskus tetap mengawasi penggunaan kekuasaan, baik atas mereka maupun melalui mereka. Desentralisasi atau pemberian otonomi ini merupakan upaya dan kebijakan dalam membangkitkan gaya lama sukuisme dan memompa kembali peran pemimpin suku berdasarkan organisasi kesukuan yang pada gilirannya diharapkan dapat mendukung pemerintahannya.
Kebijakan politik dalam upaya hegemoni kekuasaannnya adalah dengan memberikan otonomi khusus kepada tiap-tiap suku ini disebut oleh M.A. Shaban sebagai finesse politique, atau politik farriq tasud, yaitu dengan menimbulkan ashabiyah yang kuat dimana masing-masing kabilah merasa megah dan bangga dengan unsur kesukuannya (fanatisme Arab), selain itu adalah politik “penghamburan uang”.
Semenjak berkuasa, Mu’awiyah memulai langkah-langkah rekonstruksi otoritas khilafah, dan menerapkan paham golongan bersama dengan elite pemerintah. Mu’awiyah mulai mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis. Hal yang menjadi masalah bagi Mu’awiyah adalah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium yang ia bangun. Oleh karena itulah ia mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekular, akan tetapi tidak menghilangkan unsur agama dalam pemerintah dan pemerintahannya. Ia mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejuang Islam.
Letak Damaskus yang berdekatan dengan ibu kota Byzantin, Konstantinopel, Istambul sekarang, ikut mempengaruhi pola pemerintahan Mu’awiyah. Ia banyak meminjam pola-pola pemerintahan dari kerajaan Byzantin, termasuk atribut-atribut dan pola hidup raja tetangga itu. Berbagai formalitas, peraturan protokuler mulai diberlakukan. Khalifah mulai mengambil jarak dengan rakyatnya. Jabatan Hajib (Urusan pengawalan keselamatan Khalifah) diadakan dengan tugas mengatur pertemuan atau audiensi dengan khalifah, baik bagi para pejabat tinggi negara maupun untuk anggota masyarakat biasa. Jabatan ini kemudian berkembang menjadi perangkat kerajaan yang besar pengaruhnya, oleh karena pada prakteknya Hajib-lah yang menentukan apakah seseorang dapat menghadap khalifah dan menentukan tanggalnya.
Kebijakan-kebijakan lain di bidang politik pemerintahan yaitu pembentukan Dewan Sekretariat Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengatur berbagai urusan pemerintahan dengan lima orang sekretaris;
1.Katib al-Rasail / Kahatam (Sekretaris Urusan Persuratan)
2.Katib al-Kharraj (Sekretaris Urusan Pajak/Keuangan)
3.Katib al-Jund (Sekretaris Urusan Ketentaraan)
4.Katib al-Syurthah (Sekretaris Urusan Kepolisian)
5.Katib al-Qadhi Sekretaris Urusan Kehakiman)
Di samping itu Mu’awiyah juga membentuk lembaga Barid (Organisasi Pos) dalam tata usaha negara. Al-Imarah ala al-Buldan, yaitu pembagian provinsi dan perluasan otonomi daerah. Organisasi tentara di masa Mu’awiyah banyak meniru organisasi tentara Persia serta pembentukan dinas intelijen/dinas rahasia. Mu’awiyah juga merupakan orang pertama yang memerintahkan supaya prajurit-prajurit mengangkat senjata bila merka berhadapan dengannya. Ia juga yang mula-mula memerintahkan agar dibuatkan “anjung” dalam mesjid untuk menjaga keamanan diri dari musuh-musuhnya ketika ia sedang shalat, mengingat khalifah sebelumnya ada yang dibunuh ketika sedang shalat.
Berbeda dengan khalifah sebelumnya, Mu’awiyah menggunakan pakaian dan aksesoris kebesaran Persia, menggunakan pakaian kebesaran, pemakaian mahkota, pengawalan khusus, gelar-gelar khalifah, dan menjaga jarak yang ketat terhadap rakyat biasa sehingga terkesan kurang merakyat.
Pada sisi lain, Perebutan kekuasaan oleh Mu’awiyah telah mengakibatkan terjadinya prubahan dalam peraturan syura yang menjadi dasar pemilihan Khulafa al-Rasyidin. Dengan demikian, jabatan khalifah beralih ke tangan raja dengan satu keluarga yang memerintah dengan kekuatan pedang, politik dan tipu daya/diplomasi. Penyelewengan semakin jauh setelah Mu’awiyah mengangkat anaknya (Yazid) menjadi putra mahkota (waliy al-Ahdi) yang dengan demikian berarti beralihnya organisasi khilafah yang berdiri atas dasar syura dan bersendikan agama kepada organisasi al-Mulk (kerajaan) yang tegak atas dasar keturunan serta bersandar kepada politik daripada agama.
Mu’awiyah meninggal dunia pada usia 58 tahun di Damsyik, tepatnya dalam bulan april 680 M / 60 H dengan masa pemerintahan selama 16 tahun, 3 bulan, 14 hari. Pada versi lain dikatakan selama 16 tahun, 3 bulan sejak hasil arbitrase / tahkim ketika ia diangkat oleh Amr bin Ash.

Catatan: Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Desember 08, 2007 by with 0 comment

Dinasti Mamluk (Pembentukan, Kemajuan dan Kemundurannya)

Sejarah Pembentukan Dinasti Mamluk
Kalau ada negara Islam yang selamat dari kehancuran akibat dari serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu di bawah kekuasaan dinasti Mamalik. Karena negeri ini terhindar dari kehancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif terlihat dan beberapa diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik bertahan di Mesir.
Proses berdirinya Mamalik dimulai dengan terbunuhnya Sultan Maliq al-Shaleh dari dinasti Ayyubiyah pada 14 Sya’ban 647 H/22 November 1249 M. ketika mempertahankan Kairo dari serangan tentara Salib dibawa pimpinan Lois IX (raja Prancis). Kata Mamalik adalah jamak dari Mamluk yang artinya yang dimiliki, yaitu budak atau hamba sahaya. Kaum Mamalik yang menguasai Mesir sebahagian besar berasal dari Circassia, Torkoman atau Mongol.
Dinasti ini mulai berkuasa pada tahun 1250-1517 M, yang terbagi dalam dua Mamalik yakni Mamalik Bahri yang berkuasa sampai dengan tahun 1382 M dan Mamalik Burji, sejak tahun 1382 sampai dengan tahun1517 M. Dinamakan dengan Mamalik Bahri karena semua budak-budak menjadi pengawal menempati al-Ramdat di sungai Mil (al-Bahr) dan dinamakan Mamalik Burji karena Sultan Qalamun menempatkan para budak di benteng (al-Burj) Kairo.
Ketika sultan al-Malik al-Shalih meninggal dunia pada tahun 1249 M, budak-budak asal Turki memperkuat dirinya dalam satu kesatuan yang terorganisasi. Hal ini dilakukan karena mereka menyadari bahwa pergantian sultan akan menggoyahkan kedudukan mereka. Sepeninggal sultan al-Malik al-Shalih, anaknya yang tertua, Turonsyah datang dari Mesopotania pada bulan pebruari 1250 M di Mesir, kedatangan Turonsyah di Mesir ini menimbulkan rasa takut dan iri dikalangan Mamalik dan Syajarah ad-Durr. Sehingga mereka berusaha untuk membunuh Turansyah. Pada bulan Mei 1250 M, Syajar ad-Durr dengan dibantu oleh Mamalik berhasil membunuh Turansyah. Mereka selanjutnya memproklamirkan Syajar ad-Durr sebagai penguasa baru menggantikan al-Malik al-Shalih.
Pemproklamiran Syajar al-Dur sebagai Sultanah bagi dinasti Baru Mamalik mendapat kecaman dari para bangsawan Ayyubiyah di Syiriah dan khalifah Mu’tazim di Bagdagh. Kepemimpinan Syajar al-Durr berlangsung selama tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk pimpinan kepadanya sambil berharap dapat berkuasa terus di belakang tabir. Akan tetapi, segera setelah itu Aybak membunuh Syajar al-Dur dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan “syar’i” (formal) di samping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.
Sepeninggal Aybek, ia diganti oleh putranya, Ali (1257-1259) sebelum ditetapkan Qutuz –yang pada waktu itu sebagai wakilnya- menjadi penggantinya pada tanggal 12 Zulqaiddah 657 H/12 November 1259 M. setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri ke Syiriah karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. kedua tentara bertemu di ‘Ayn Jalut dan pada tanggal 13 November 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybar berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam disekitarnya. Penguasa-penguasa di Syiriah segera menyatakan setia pada penguasa Mamalik.
Dengan kemenangan pasukan Islam yang dipimpin oleh Baybar tersebut, maka ia mengharapkan Aleppo sebagai hadiah baginya tapi ditolak oleh Qutuz, karena itulah Baybars membunuh Qutuz dan kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan dengan gelar al-Malik al-Zahir. Sebelum wafat, Baybar berwasiat agar putranya pangeran Said, dinobatkan menjadi penggantinya.
Pangeran Sa’id dikawinkan dengan putri Saifuddin Qalawun. Sementara Said dinobatkan menjadi sultan, tetapi mertuanya memaksa turun tahta kemudian menggantikannya. Ketika Saifuddin Qalawun berkuasa (1279-1290 M) Mamalik Bahri tidak lagi memiliki figur yang dapat menandinginya bakan jumlah mereka di kalangan militer semakin berkurang, karena Qalawun mengambil tenaga militer untuk memperkuat kedudukannya dari Sarasia. Budak-budak Sirkasia dibelinya dalam jumlah besar untuk dididik menjadi militer yang ditempatkan di menara-menara (Burj) atau benteng. Tempat pendidikan mereka ini akhirnya menjadi identitas dari kelompok mereka, Mamalik Burji.
Tersisihnya Mamalik bahri dan masuknya Mamalik Burji menyebabkan Qalawun berhasil mewariskan kekuasaaan kepada keturunannya empat generasi.
Pemerintahan dinasti Mamluk yang juga disebut daulah al-Atrak (Negra-negara orang Turki)adalah oligarki militer dan tidak menerapkan sistem turun-tenurun. Tokoh militer yang menonjol dan berprestasi dapat dipilih sebagai sultan. Hal tersebut bergeser ketika Qalawun berkuasa. Ia menerapkan sistem turun-temurun dengan mewariskan kekuasaan kepada keturunannya sebanyak empat generasi.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa dalam proses berdirinya Dinasti Mamalik sebagaimana dinasti-dinasti lainnya, juga mengalami hambatan dan rintangan yang tidak ringan. Namun demikian kaum Mamalik dengan keberanian dan keuletannya dapat tampil dalam panggung sejarah, bahkan dinasti ini dapat eksis selama dua setengah abad lebih.

Kemajuan-kemajuan yang dicapai dinasti Mamluk.
Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, utamanya pada masa pemerintahan Mamluk Bahri. Sistem oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena merupakan kandidat sultan. Adanya kompetisi semacam ini, memotivasi setiap amir untuk melakukan perubahan demi terjadinya suatu kemajuan di Mesir.

Adapun kemajuan-kemajuan yang dicapai dinasti Mamluk adalah sebagai berikut:
1. Bidang Militer.
Untuk menopang kalangan elit meliter, digabungkanlah antara transisi birokrasi Mesir dengan tradisi Iqta’. Pendapatan sektor-sektor pajak Mesir dan Syiria, ditetapkan untuk membiayai gaji sultan dan pejabat-pejabat meliter. Di Mesir para amir ditunjuk untuk menangani pendapatan sektor Iqta’, tetapi birokrasi pusat tetap berkuasa penuh menangani sektor pajak. Kalangan birokrasi mengadakan pengamatan untuk menetapkan sumber-sumber pendapatan yang tersedia dan untuk mencegah para Mamluk (militer budak) meraup pendapatan yang sangat besar atau meraih hak-hak lainnya di wilayah pedesaan. Paket Iqta’ harus terus diberikan secara bergiliran dan ditempuhlah setiap upaya menghalangi seorang Mamluk dari pencapaian otoritas pemerintahan atas wilayah Iqta’ mereka
Aspek kosmopolitan dan keagamaan serta kultur istana Mamluk diwarnai oleh sebuah etnis perochial dan penonjolan unsur militer. Kalangan istana Mamluk mendendangkan syair-syair Turki dan Ciraccassia, rezim Mamluk juga sangat suka terhadap pertunjukan kemiliteran, berbagai turnamen dan mementaskan seni peperangan. Demikianlah mereka berusaha meligitimasi diri mereka sendiri melalui penekanan hak mereka untuk memerintah dengan keunggulan penakluklan militer, dengan afiliasi kosmopolitan terhadap penguasa-penguasa timur tengah dan penguasa-penguasa masa silam, dan dengan pengabdian terhadap Islam.
Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer.
2. Bidang Pemerintahan.
Kemenangan dinasti Mamluk atas tentara Mongol di Ayn Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa dinasti kecil menyatakan setia pada kerajaan ini. untuk menjalankan roda pemerintahan dalam negeri Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Di samping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Muntansir sebagai khalifah. Dengan demikian, khalifah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Khulagu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini, dan Kairo sebagai pusat. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan. Seperti tentara Salib disepanjang laut tengah, Assasin di pegunungan Syiria, Chernia (tempat kekuasaan orang-orang Armenia) dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.


3. Bidang Ekonomi.
Pembangunan di bidang ekonomi dan perdagangan membawa kemakmuran. Jalur perdagangan yang dibangun sejak kekhalifaan fatimiyah diperluas dengan membuka hubungan dagang dengan Italia dan Perancis. Dalam pada itu, kedudukan Mesir menjadi penting bagi jalur perdagangan antara Asia dan Eropa melalui laut merah dan laut tengah.
Bidang perhubungan darat dan laut yang menjadi pilar utama dan penopang ekonomi negara menjadi lancar dengan menggali terusan-terusan, membuat pelabuhan-pelabuhan, dan menghubungkan Kairo dengan Damaskus. Disamping itu hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan ekonomi Mesir pada periode ini, didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota melalui laut dan darat. Oleh karena itu ketangguhan angkatan laut menjadi bagian penting dalam pengembangan perekonomiannya.
4. Bidang ilmu pengetahuan.
Dasar untuk mengukur kemajuan peradaban suatu bangsa atau dinasti biasanya diukur dari tingkat perhatian dan penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan pertanda bagi kebangkitan peradaban suatu bangsa. Banyak dinasti Islam yang sangat berprestasi dalam dunia ilmu pengetahuan sehingga menambah khazanah keintelektualan yang mewarnai corak rasionalistik masa klasik Islam. di antara dinasti Islam yang sangat mengutamakan ilmu pengetahuan adalah dinasti Mamluk.
Kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Mamluk disebabkan oleh jatuhnya Baghdad yang mengakibatkan sebagian ahli ilmu pengetahuan melarikan diri ke Mesir. Dengan demikian Mesir berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, melanjutkan kedudukan kota-kota Islam lainnya setelah dihancurkan oleh bangsa Mongol.
Di Mesir, para ilmuan tersebut memperoleh perlindungan dan kehidupan yang terjamin sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan pesat, seperti dalam bidang ilmu sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Telah tercatat sederetan nama-nama ilmuan yang terkenal ketika itu yakni: Ibn Khalikan, Ibn Taghribadri dan Ibn Khaldun dalam bidang sejarah, Nasir al-Din al-Tusi dalam bidang Astronomi, Abu al-Faraj al-‘Ibry dalam bidang matematika, Abu Hasan Abu Nafis dibidang kedokteran yang terkenal sebagai penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd al-Mun’im al-Dimyathi dalam bidang kedokteran hewan dan al-Razi sebagai perintis psycoterapi.
Ketika para ulama Baghdad kehilangan semangat pintu ijtihad dan lari ke dunia tasawuf dan tarekat dan umat hidup dalam taqlid, maka di wilayah Mesir yang dikuasai dinasti Mamluk bermunculan ulama-ulama besar. Ulama-ulama tersebut antara lain Ibnu Taimiyah (1263-1328), penganjur kemurnian ajaran Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan Hadis dan membuka pintu ijtihad; Jalaluddin al-Suyuti, seorang ulama yang produktif menulis, baik di bidang tafsir maupun sejarah.
5. Bidang Seni dan Budaya.
Pergantian Sultan yang dialami oleh dinasti Mamluk, khususnya pada masa dinasti Mamluk Bahri memberikan corak tersendiri bagi perkembangan arsitektur setiap sultan. Kondisi persaingan di bidang arsitektur ini memberikan gambaran tersendiri bagi kewibawaan dan kemajuan bagi diri sultan. Olehnya itu perhatian terhadap kondisi arsitektur melambangkan kejayaan kerajaan. Hal tersebut dapat dilihat dari setiap sultan berusaha lebih berhasil dari pendahulunya meskipun semuanya tidak terpenuhi, sehingga ada keinginan mengabadikan sesuatu yang bersifat monumental dari kepemimpinannya sebagai warisan sejarah.
Pengembangan arsitektur yang sangat tinggi tersebut ditopang oleh datangnya beberapa insinyur tehnik yang melarikan diri ke Mesir untuk mencari perlindungan kepada sultan akibat kejaran tentara Mongol. Kedatangan arsitek tersebut membawa Mesir mengalami perkembangan seni dan budaya secara cepat, dengan prestasi-prestasi tersendiri seperti arsitektur, keramik, dan karya arsitek dalam logam.
Desain arsitektural yang khas muncul sebagai seni arsitektur keagamaan pada periode ini. beberapa mesjid dan madrasah biasanya dibangun dengan sebuah ruang tengah yang terbuka yang dikelilingi empat serambi pada setiap sisi utama dari ruang tengah tersebut, dengan beberapa ruang yang berhubungan dilengkapi dengan kamar-kamar untuk para pelajar. Bangunan makam biasanya diberi atap dengan sebuah kubah. Bangunan-bangunan yang lain yang didirikan pada masa ini adalah rumah sakit umum, perpustakaan, vila-vila, kubah dan menara mesjid.
Kondisi kejayaan arsitektur Mamluk masa klasik digambarkan oleh beberapa ahli sejarah sebagai kota yang kaya akan pertunjukan visual ala kota klasik yang sangat luas, membentuk tatanan fisik kota dan melambangkan hubungan integral antara negara-negara Islam dan masyarakat urban.

Kemunduran dan Kehancuran dinasti Mamalik.
Dinasti Mamluk telah menorehkan tinta sejarah keemasan Islam dan memberikan sumbangsih terhadap peradaban Islam dengan berbagai kejayaan yang pernah diraihnya. Namun demikian, sejarah mencatat pula bahwa banyak kerajaan-kerajaan yang telah mencapai puncaknya akhirnya mengalami kemunduran. Hal itulah yang dialami oleh dinasti Mamluk, kejayaan yang diraihnya tertoreh sebagai warisan sejarah kejayaan Islam. sekaligus pengalaman pahit yang pernah terjadi dalam sejarah dinasti Islam akibat kehancuran yang dialami oleh dinasti ini.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa dinasti Mamluk Bahri, Mamluk mengalami berbagai puncak kejayaan utamanya pada masa Baybar memegang tampuk kepemerintahan. Setelah pemerintahan Mamluk beralih kepada kelompok Mamluk Burji, dinasti Mamluk mengalami banyak kemunduran. Kemunduran itu disebabkan berbagai faktor internal dan eksternal.
Para Sultan dari Mamluk Burji tidak memiliki pengetahuan cara mengatur roda pemerintahan kecuali latihan militer. Kenyataan menunjukkan situasi kelemahan yang dialami oleh dinasti ini. Barbesi misalnya melarang megimpor rempah-rempah dari India. Akibatnya, harga rempah-rempah menjadi mahal, apalagi komoditi ini dimonopoli oleh Sultan. Ia juga memonopoli pabrik gula dan melarang kaum wanita keluar rumah, memecat orang-orang non Muslim dari pegawi pemerintah. Dalam suasana stabilitas dalam negeri yang begitu rapuh, masyarakat juga dijangkiti berbagai macam penyakit epidemi yang meminta korban banyak.
Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai pengetahuan. Kebiasaan hidup berpoya-poya dan hidup mewah menyebabkan harga pajak melambung tinggi, sehingga menyengsarakan rakyat dan membuat mereka putus asa dan hilang kepercayaan terhadap sultan. Pajaklah satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang yang banyak untuk membiayai pemerintahan, membayar pegawai, melengkapi istana-istana dengan berbagai kemewahan. Sultan yang memerintah dari tahun 1412-1421 M adalah seorang pemabuk, yang dibeli dari seorang pedagang Circassia. Sultan inilah yang melakukan berbagi perbuatan yang melampaui batas. Kondisi yang melanda dinasti Mamalik ini, meluas dari tingkat amir ke bentuk gangguan dalam masyarakat. Keadaan itu diperparah dengan adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan pertanian tidak berproduksi.
Disamping kondisi internal tersebut di atas, kondisi yang tak kalah pentingnya yang mewarnai kemunduran dan kehancuran dinasti Mamluk adalah faktor eksternal. Pada tahun 1498 Vasco Da Gama, seorang navigator yang berkebangsaan Portugis, mendapat jalan ke Timur melalui Tanjung Pengharapan di Afrika Selatan. Dengan penemuan ini, orang Portugis dan Eropa lainnya bersatu untuk mendatangi daerah-daerah penghasil rempah-rempah di Timur. Akibatnya adalah kapal-kapal yang biasanya melintas di daerah Mesir dan Syiria kini baralih ke Tanjung Pengharapan, sehingga penghasilan Mamluk menjadi berkurang. Dengan ditemukannya Tanjung Harapan sistem perdagangan dinasti Mamalik mulai runtuh secara berangsur-angsur.
Di pihak lain suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi dinasti Mamalik, yakni kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Datangnya kekuatan baru tersebut diperparah dengan bergolaknya daerah kekuasaan Mamluk di Syiria. Selain karena penyerbuan tentara Mongol, juga karena ulah penguasa-penguasa setempat yang ingin melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Kekuatan Turki Usmani yang masuk Syiria itu berasal dari Anatolia yang memberikan perlawanan yang berarti terhadap pasukan Mamluk.
Dari Syiria, tentara Usmaniyah melaju ke Mesir. Pada waktu itu yang menjadi sultan di Mesir adalah Tumam Bey, bekas budak Qunshawh. Kedua belah pihak berhadapan di kota Kairo pada tanggal 28 Zulhijjah923 H/ 22 Januari 1417M,. kondisi pasukan Mamalik tidak dapat mengimbangi pasukan Turki Usmaniyah. Sehari setelah itu, sultan Salim dengan mudah memasuki Kairo. Orang-orang Mamalik menyerah kalah. Tumam Bey, sultan terakhir Mamalik akhirnya terbunuh pada bulan rabiul Awal 923 H/April 1517M.
Dengan demikian, berakhirlah masa pemerintahan dinasti Mamalik, Kairo yang sebelumnya menjadi ibu kota kerajaan, sekarang tidak lebih dari sebuah kota propinsi dari kesultanan Turki Usmaniyah.

None: Download selengkapnya...
Read More
Published Desember 05, 2007 by with 0 comment

TANZIMAT (Piagam Gulhane dan Humayun)

Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya Tanzimat
1. Pengertian Tanzimat
Kata Tanzimat adalah berasal dari bahasa Arab, yakni bentuk masdar dari kata nazzama yang mengandung arti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Dalam bahasa Turki, kata Tanzimat tersebut dikenal dengan nama Tanzimat-i Khairiyah yang dipahami oleh Dr. Syafiq A Mugni sebagai gerakan pembaharuan di Turki yang diperkenalkan kedalam sistim birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Sultan Abdul al-Majid pada tahun 1839 –1861, putrah sultan Mahmud II, dan Sultan Adul al-Aziz (1861-1876). Gerakan ini langsung ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharu dalam bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan, dan sebagainya.

2. Latar Belakang Timbulnya Tanzimat.
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaruan yang memiliki keunikan dan riwayat tersendiri dalam sejarah Turki Usmani. Sebenarnya, terdapat beberapa faktor yang merupakan latar belakang munculnya Tanzimat: Pertama: desakan Eropa kepada kerajaan Usmani untuk mengayomi warga Eropa yang ada di bawa kekuasaan Turki Usmani, Kedua, Di berlakukannya hukum fiqih yang menetapkan hukuman mati bagi orang Eropa yang berada dalam kekuasaan Turki Usmani yang murtad setelah masuk Islam, Ketiga, Para Tokoh Tanzimat ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut karena mereka telah dipengaruhi oleh revolusi Prancis ketika belajar di Barat.

Tokoh-Tokoh Tanzimat dan Pemikiran Mereka
1. Mustafa Rasyd Pasya (1800-1858 M)
Mustafa Rasyid Pasya adalah pemuka utama pembaruan di zaman Tanzimat. Dalam banyak hal, ia sering disebut sebagai arsitek pembaruan abad ke 19 di Turki. Tokoh ini lahir di Istambul pada tahun 1800 M. Ia berpendidikan madrasah dan berhasil menjadi pegawai pemerintah. Karirnya sebagai pegawai pemerintah, dapat dikatkan sangat baik dan meningkat terus. Buktinya, pada tahun 1834 M, ia telah diangkat sebagai duta besar Turki Usmani di Paris (Parancis) dan juga dibeberapa negara lain, lima tahun kemudian pada tahun 1839, dia diangkat menjadi menteri luar negeri dan selanjutnya menjadi perdana menteri. Diantara pokok-pokok pikiran yang dilontarkan adalah yang menyatakan bahwa kemajuan Eropa sebenarnya disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan di junjung tingginya toleransi umat beragama, terlepasnya sekat-sekat agama dalam kehidupan, dan adanya pendidikan yang universal antara pria dan wanita.

2. Mahmed Sadiq Rifat Pasya. (1807-1856M)

Mahmed Sadiq Rifat Pasya telah menyelesaikan pendidikan tradisionalnya, stadinya dilanjutkan dengan memasuki sekolah sastra yang dihususkan bagi para calon birokrat istana. Pada tahun 1834, ia telah ditunjuk menjadi asisten mentri luar negeri, tiga tahun berikutnya ia telah diangkat menjadi duta besar di Wina. Harun Nasution telah mengatakan, bahwa Mahmed Sadiq Rifat Pasya merupakan pemikir pembaruan yang banyak berpengaruh pada golongan pemerintah, ide-ide pembaharuannya banyak dipengaruhi oleh Egalite (persamaan), fraternite (persaudaraan), dan Liberte (kebebasan) yang ditimbulkan oleh revolusi Prancis. Ide pembaruan yang dimilikinya diperoleh ketika ia berada di Wina sebagai duta besar. Dan menurutnya kekuasaan absolut Sultan perlu dibatasi agar ia tidak sekehendak hatinya saja mengadakan perang, memaksa rakyat untuk masuk dinas militer, dan menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh rakyat.

3. Mustafa Sami.
Tokoh Tanzimat yang satu ini, meskipun tidak diketahui secara jelas tentang riwayat hidupnya, namun menurut Harun Nasution, bahwa sebagaimana halnya Mustafa Rasyid Pasya, ia juga berkunjung ke Eropa dan mempunyai pengaruh pada pembaruan di zaman Tanzimat.
Menurut Mustafa Sami, Eropa dapat maju disebabkan perhatiannya yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, mempunyai toleransi beragama, tidak terputusnya kebudayaan baru dengan kebudayaan lama, dan adanya pendidikan bagi pria dan wanita.dan tanpaknya beliau sangat yakin, bahwa apabila Turki ingin maju, maka ia harus meniru sebagaimana apa yang terjadi di Eropa. Dan kelihatannya Mustafa Sami juga mempunyai ide pembaharuan yang dipengaruhi oleh Barat seperti tokoh-tokoh Tanzimat lainnya.

4. Muhammad Ali Pasya (1815-1817 M) dan Fuad Pasya (1815-1869M).
Muhammad Ali Pasya dan Fuad Pasya, keduanya adalah murid dari Mustafa Rasyd Pasya. Mereka berdua dikenal sebagai tokoh pembaruan dizaman Tanzimat pasca piagam Humayun. Menurut Ira M Lapidus, Ali Pasya adalah anak dari seorang penjaga tokoh di Istambul, sedangkan Fuad Pasya adalah seorang mahasiswa kedokteran. Tokoh Tanzimat yang disebut pertama, rupanya cepat menjadi pegawai istana dan karena kecakapannya, maka acap kali ia menjadi staf perwakilan kerajaan Turki Usmani diberbagai negara di Eropa. Seperti halnya Ali Pasya, Fuad Pasya sebagai tokoh Tanzimat, sebelum ia diangkat menjadi menteri luar negeri pada tahun 1852 ia juga selalu dikirim ke Eropa untuk bekerja pada perwakilan kerajan Turkim Usmani yang ada disana. Karena itu bersama temannya Ali Pasya dalam upaya pembaruan yang dilakukan, terutama dibidang hukum yang meliputi hukum pidana, hukum dagang, dan hukum Maritim, mereka memakai hukum Prancis sebagai rujukan. Pada tahun 1867 mereka mengeluarkan undang-undang yang memberikan hak kepada orang asing untuk memiliki tanah di kerajaan Turki Usmani dan mendirikan mahkamah Agung. Kemudian pada tahun berikutnya 1868, mereka membuka sekolah Galatasaray yang di dalamnya diajarkan bahasa Prancis dan ilmu pengetahuan umum.

Piagam Gulhane dan Humayun
1. Piagam Gulhane
Ide pembaruan yang dilontarkan oleh kalangan tokoh Tanzimat, seperti dari Mustafa Rasyid Pasya dan Mehmed Sadiq Rifad Pasya, rupanya mendapat tanggapan positif dari penguasa. Hal ini dapat ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit oleh Sultan Abd al-Majid yang dikenal dengan nama Hatt-i Syerif Gulhane atau piagam Gulhane.
Piagam Gulhane ini dihubungkan dengan nama sebuah pavelium khusus dalam sebuah istana yang terletak di atas laut Marmarah dipinggir kota Istambul, karena ditempat inilah dekrit tersebut diumumkan. Piagam Gulhane diumumkan oleh sultan Abd al-majid pada tanggal 3 Nopember 1839 M. bertepatan dengan tanggal 26 Sya’ban 1255 H . Sultan Abdul al-Majid mengumumkan piagam Gulhane ini dalam satu pertemuan yang dihadirii oleh para pejabat tinggi kerajaan Turki Usmani, sejumlah duta besar asing, sejumlah perwakilan Turki Usmani, dan sejumlah perwakilan warga penduduk yang terlibat.
Piagam Gulhane tersebut berisi, antara lain:
1. Orang tertuduh akan diadili secara terbuka dan seblum ada keputusan pengadilan, pelaksanaan hukuman mati dengan racun atau jalan lain tidak dibolehkan.
2. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang tidak diperkenangkan dan hak milik terhadap harta dijamin, serta setiap orang mempunyai kebebesan terhadap harta yang dimilikinya.
3. Ahli waris dari yang kena hukum pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi dan demikian pula harta yang kena hukum pidana tidak boleh disita.
4. Semua pegawai kerajaan akan menerima gaji sepadan dengan tugasnya dan oleh karena itu akan dikeluarkan undang-undang keras terhadap korupsi.
5. Semua pungutan di luar pajak (iltizam) akan segera dihapus, dan sistem rekrutmen dalam tubuh angkatan bersenjata akan diperbaharui.
6. Seluruh umat beragama, baik Muslim maupun non Muslim akan berada dalam kedudukan yang sama dihadapan hukum dan segala bentuk pelanggaran hukum harus diumumkan secara transparan.
7. Keanggotaan majelis Ahkam-i Adliye yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum akan ditambah.
2. Piagam Humayun
Selain piagam Gulhane yang berhasil diumumkan pada masa Tanzimat sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, ada pula yang disebut piagam Humayun. Piagam yang disebut terakhir ini diumumkan pada tanggal 18 Pebrari 1856 M bertepatan dengan tanggal 11 Jumadil Akhir 1272 H. Menurut Harun Nasution, piagam Humayun ini lebih banyak mengandung pembaruan terhadap kedudukan orang Eropa yang berada dibawa kekuasaan kerajaan Turki Usmani. Tanpaknya piagam Humayun ini diadakan adalah atas desakan negara-negara Eropa pada kerajaan Turki Usmani yang saat itu dalam posisi lemah. Negara-negara Eropa nampaknya menghendaki Turki Usmani agar rakyatnya mempunyai kedudukan dan hak yang sama, tanpa membedakan antara mereka yang beragama Islam dan yang bukan beragama Islam, terutama yang berasal dari bangsa Eropa.
Tujuan piagam Humayun adalah untuk memperkuat jaminan-jaminan yang tercantum dalam Gulhane. Isi piagam Humayun tersebut, antara lain :
1. Masyarakat kristen dan non Islam lainnya dibolehkan mengadakan pembaruan-pembaruan yang mereka perlukan, misalnya mendirikan rumah peribadatan masing-masing, sekolah-sekolah, rumah sakit dan memiliki tanah pemakaman.
2. Semua pewrbedaan yang timbul karena berlainan agama, bahasa, dan bangsa harus dihapuskan dan seluruh rakyat dapat menjadi pegawai kerajaan Turki Usmani, tanpa pilih bulu.
3. Kebebasan beragama dijamin dan paksaan untuk merubah agama dilarang.
4. Perkara yang timbul antara rakyat yang berbeda agama akan diselesaikan oleh mahkamah campuran dan undang-undang yang akan dipakai dalam mahkamah ini segera akan dibahas.
5. Rakyat yang beragama kristen dan non Islam lainnya diperbolehkan masuk dinas militer.
6. Orang asing diberi hak untuk memiliki tanah dalam wilayah kerajaan Turki Usmani.
7. Perbedaan besarnya pajak yang dipungut dari rakyat dihapuskan, karena itu pajak bagi rakyat Islam dan bukan Islam akan sama besarnya.
8. Bagi kerajaan Turki Usmani akan diadakan anggaran belanja tahunan, pembukaan bank-bank asing, pemasukan kapital Eropa, pengadaan undang-undang perdagangan, penghapusan hukum bunuh terhadap orang-orang yang keluar dari Islam, dan pemasukan anggota-anggota bukan Islam kedalam Dewan Hukum.
D. Pembaruan di Zaman Tanzimat
Adapun pembaruan pada zaman Tanzimat meliputi, antara lain:
1. Pembaruan di bidang Hukum.
Pembaruan dibidang hukum ini, rupanya sudah mulai dilakukan sejak tahun 1940 M yang ditandai dengan diterbitkannya hukum pidana baru. Dan kemudian pada tahun 1947 mulai pula didirikan Mahkamah baru untuk urusan pidana dan sipil. Tiga tahun berikutnya, tahun 1850 diterbitkan pula hukum dagang baru, kemudian pada tahun 1967 M telah diterbitkan undang-undang kepada orang asing untuk memiliki tanah dikerajaan Turki Usmani.
2. Pembaruan di bidang Pemerintahan.
Pembaruan di bidang Pemerintahan ini dalam urusan negara dan administrasi pemerintahan, mulai diterapkan sistim musyawarah. Pada tahun 1845 M wakil-wakil rakyat dari daerah diundang ke Istambul untuk bermusyawarah menyangkut urusan kenegaraan. Akan tetapi, karena cara seperti ini tanpanya kurng berjalan dengan baik, maka Sultan menggantinya dengan cara lain. Dalam hal ini Sultan mengirim utusan kedaerah-daerah untuk meninjau keadaan dan menampung pendapat yang berkembang di daerah tentang usaha pembaruan yang sedang dijalankan, kemudian hasil laporan dari utusan itulah yang dijadikan pemerintah pusat sebagai pegangan dalam upaya pembaruan selanjutnya
3. Pembaruan di bidang Pendidikan.
Pembaruan di bidang Pendidikan yakni adanya kegiatan pembentukan kementerian pendidikan pada tahun 1847 M yang menangani masalah pendidikan umum. Kemudian pada tahun 1868 M, sekolah Galatasaray mulai dibuka. Disekolah ini pendidikan umum diberikan dalam bahasa Prancis dan siswa yang belajar didalamnya terdiri dari berbagai penganut agama, baik Islam maupun non Islam duduk berdampingan, yang mana hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan sekolah Galatasaray mempunyai peranan dalam menghasilkan tokoh-tokoh pembaruan di Turki untuk pada masa selanjutnya.
4. Pembaruan di bidang Administrasi
Pembaruan di bidang Administrasi ini juga ditertibkan, pada tahun 1846 M telah dibuat undang-undang perkantoran. Dalam mengatur masalah perdagangan, telah diterbitkan himpunan undang-undang perdagangan pada tahun 1850 M dan Himpunan undang-undang perdagangan maritim secara khusus telah dikeluarkan pada tahun 1863 M. Untuk mengatasi silang sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan, sebenarnya sejak tahun 1840 M telah dibentuk sebuah Mahkamah Perdagangan dalam kementerian urusan perdagangan.
Type rest of the post here
Read More
Published November 28, 2007 by with 0 comment

Kerajaan Islam di Sulawesi-Selatan

Berdirinya Kerajaan Islam di Sulawesi Selatan.
Sumber-sumber sejarah mengungkapkan bahwa masuKnya Islam di Sulawesi adalah dibawa oleh saudagar dan ulama dari Arab dan Melayu dan tiga orang dari Sumatera yang sangat berperan mengislamkan sulawesi. Mereka pertama kali mengislamkan raja Makassar (raja Tallo dan Gowa) sehingga secara formal agama Islam diterima pada tahun 1603 atau pada awal abad 17 M. ketiga ulama itu adalah:
1.Abdul Makmur Khatib Tunggal yang dikenal dengan gelar "Datuk Ribandang"
2.Khatib Sulung Sulaiman dengan gelar "Datuk Ripattimang"
3.Maula Abdul Jawad Khatib Bungsu yang bergelar "Datuk Ritiro"
Ketiga datuk tersebut dikenal ulama atau muballigh yang sangat berjasa dan gigih mengembangkan agama Islam di Sulawesi. Dari perkembangan Islam tersebut, maka pada awal 17 ini juga yakni tahun 1036 H/1626 M. lahir seorang ulama terkenal dari suku Makassar yaitu Syekh Yusuf Tajul Khalwati.
Peranan keempat ulama tersebut tampak sangat besar dalam proses islamisasi atau prnyebaran Islam di daratan Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan, karena di waktu yang singkat diawal abad XVII. Masyarakat dapat menerima ajaran Islam dengan baik dan ikhlas dan tanpa kekerasan, sebab metode yang ditempuh oleh mereka adalah metode pendekatan.

Baik di Indonesia maupun di Sulawesi-Selatan, semua sumber mengakui bahwa ajaran Islam dibawa atau disebarkan pertama kali adalah saudagar-saudagar Islam yang datang dari negara Arab, Iran, Persia dan India maupun saudagar Muslim dari Melayu.
Dengan penjelasan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dimulai dari daerah-daerah pantai atau pelabuhan, maka dapat dipahami bahwa transportasi lautlah yang sangat dominan dalam penyebaran Islam di Sulawesi-Selatan.

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI-SELATAN
Kerajaan di Sulawesi-Selatan berdiri pada abad ke-15 di mana Islam masuk ke Sulawesi dibawa oleh saudagar dari Timur Tengah. Kerajaan-kerajaan tersebut, di antaranya adalah:
A. Dari Suku Bangsa Makassar yaitu Gowa dan Tallo
Kerajaan Gowa semula terdiri dari sembilan kerajaan kecil yaitu Tombolo, Lakiung, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Saumat, Bissei, Sero dan Kalli. Ketika Gowa diperintah Tomapparisi-Kollonna, Gowa disatukan dengan kerajaan Tallo yang pada saat itu diperintah oleh Tuna Pasuruk pada pertengahan abad ke-15. di mana kedua kerajaan ini saling melengkapi kelebihan masing-masing untuk membesarkan kerajaan. Gowa memeberikan handil dengan kehebatan militernya, sedangkan Tallo memberikan sumbangsi penguasaan administrasi pemerintahan dan kemampuan berhubungan dengan pedagang-pedagang asing. Kedua kerajaan kembar itu memilih Somba Upu sebagai ibu kotanya.
Kerajaan Gowa-Tallo kemudian melancarkan ekspansinya ke wilayah sekitarnya. Akibat ekspansi itu, Kerajaan Siang, Bone, Suppa, Sawitto dan lain-lain dapat ditaklukkan. Namun kerajaan Bone bangkit kembali menentang kekuasaan Gowa-Tallo, kemudian pada Tahun 1528 membuat persekutuan bersama kerajaan (tiga kekuasaan) Wajo, Soppeng dengan nama “Tallumpocco” yang diikrarkan di Desa Bone dengan tujuan untuk menghadang perluasan kekuasaan yang dilakukan kerajaan Gowa-Tallo.
Sejak abad ke-16. para pedagang muslim telah berdatangan ke Sulawesi-Selatan dan beberapa ulama dari Sumatera Barat seperti Datok Ribandang, Datok Sulaiman dan Datok Ritiro, tiba juga di Sulawesi Selatan menyebarkan agama Islam. Akhirnya pada tahun 1605 penguasa kerajaan Gowa-Tallo memeluk agama Islam. Setelah masuk Islam, Daeng Marabbia (raja Gowa) mendapat grlar Sultan Alauddin, sedangkan karaeng matoanya (raja Tallo) mendapat gelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Kemudian dalam perkembangan berikutnaya, kesultanan Gowa-Tallo berusaha menyebarkan Islam ke kerajaan lain.

Upaya kesultanan Gowa-Tallo ternyata ditentang oleh Tellumpocco, persekutuan ini berusaha menentang cita-cita Gowa-Tallo untuk meluaskan pengaruh Islam. Namun pada akhirnya kerajaan-kerajaan suku Bugis itu, ikut menganut agama Islam. Di mana Soppeng tunduk pada tahun 1609. Wajo pada tahun 1610, dan Bone pada tahun 1611. Walaupun ketiga kerajaan tersebut telah dikalahkan, namun kesultanan Gowa-Tallo memberikan keleluasan kepada mereka untuk mempertahankan keberadaan persekutuan tellumpocco.

B. Dari Suku Bangsa Bugis yaitu Bone, Soppeng, Wajo dan Luwu
Penyebaran Islam berlangsung ke kerajaan Bone, Soppeng, Wajo dan Luwu sesuai dengan tradisi yang sudah lama telah diterima oleh para raja yaitu mengharuskan seorang raja memberitahukan “hal baik” kepada yang lain. Oleh karena itu, kerajaan Gowa-Tallo menyampaikan “pesan Islam” ke kerajaan lain seperti Luwu sebagai kerajaan yang tertua dengan raja pertamanya yang masuk Islam yaitu raja Luwu ke-XV, Datu Patiware pada tahun 1603, kemudian Wajo pada tahu 1610 (Arung Matoa Lasangkuru Mulajaji), Soppeng pada tahun 1609, dan Bone pada tahun 1611.
Dalam perebutan hegemoni antara Tellumpocco (tiga kerajaan) denga Gowa-Tallo Islam, kemudian melalui peperangan di mana Bone merupakan saingan politik Gowa-Tallo sejak pertengahan abad ke-16, tanggal 23 Nopember 1611, dan raja Bone yang pertama masuk Islam, dikenal dengan gelar Sultan Adam.

C. Masa Puncak Kejayaan
Setelah mengalahkan Telumpocco, kesultanan Gowa-Tallo (kesultanan Makassar) memperoleh kemajuan yang sangat pesat, terutama di bidang perdagangan, disebabkan oleh:
1.Banyaknya pedagang hijrah ke Makassar setelah Malaka jatuh ke tangan bangsa Potugis tahun 1511.
2.Orang-orang Bugis dan Makassar terkenal dengan pelaut ulung yang dapat mengamankan wilyah lautnya.
3.Tersediahnya rempah-rempah yang banyak didatangkan dari Maluku.

Kesultanan Makassar juga memiliki letak yang strategis di jalur lalulintas Malaka ke Maluku untuk menjamin dan mengatur perdagangan dan pelayaran di wilayahnya.
Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaan pada masa kesultanan Muhammad Said (1639-1653) dan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Kedua raja ini, membawa Makassar sebagai daerah dagang yang maju pesat. Selanjutnya Makassar telah mencapai ke pulau Solor di Nusantara Tenggara.

D. Masa Kemunduran
Kemunduran yang dialami oleh kerajaan Islam di Sulawesi, terjadi karena melemahnya kepemimpinan Sultan Alauddin dan dalam peperangan melawan VOC, Makassar mengalami kekalahan dan kemudian mengadakan gencatan senjata pada tanggal 6 Nopember 1667.

Download lengkapnya makalah ini...
Read More
Published November 24, 2007 by with 0 comment

Kehancuran Dunia Islam oleh Timur Lenk

Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai kejayaan, khususnya pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Tingkat kemakmuran umat Islam yang paling tinggi terwujud pada zaman ini, kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma'mun (813-833 M ), kedua khalifah ini banyak membangun peradaban Islam.
Kota Baghdad merupakan pusat kekuasaan (pemerintahan) dan pusat administrasi Daulah Bani Abbasiyah sejak masa pemerintahan al-Mansur, dari kota inilah memancar syi'ar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia.
Namun, semua kehebatan kota Baghdad yang dibangun oleh khalifah masa Bani Abbasiyah sekarang hanya tinggal kenangan setelah kota ini dibumihanguskan oleh tentara Mongol, semua bangunan kota termasuk istana emas dihancurkan. Mereka juga meruntuhkan kepustakaan yang merupakan gudang ilmu pengetahuan dan membakar buku-buku yang terdapat di dalamnya.

Pada masa Dinasti Ilkhan sebagai sebuah kerajaan besar mulai memudar, karena terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil, perpecahan itu terjadi akibat dari kemelut dalam negeri. Kemelut itu sendiri terjadi, pertama, adanya perebutan kekuasaan antara raja dan wazir, kedua, adanya beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh para amir yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat sendiri dalam keadaan lemah. Keadaan seperti itu berlangsung sampai datangnya Timur Lenk dari Transoxania, membantai habis kerajaan kecil dan meletakkannya di bawah kekuasaannya.
Timur Lenk tampil di panggung sejarah dengan tabiat yang sangat bengis, ganas dan kejam. Ia membantai penduduk banyak tanpa perikemanusiaan. Kedatangannya ke daerah-daerah pasti membawa kehancuran.

Catatan: download makalah lengkapnya...
Read More
Published November 21, 2007 by with 0 comment

Kebudayaan Islam pada Masa Klasik (650-1250 M)

Pada waktu Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaum jahiliyah. Hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian lain. Hidup mereka mengikuti hawa nafsu, berpecah-belah, saling memerangi satu dengan yang lain, dan sebagainya. Menghadapi kenyataan itu Nabi Muhammad diutus Allah dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Dalam masalah ilmu pengetahuan perhatian Rasulullah sangat besar. Hal ini dapat dilihat Nabi membuat tradisi baru, yaitu mencatat dan menulis, selain kekuatan hafalan para sahabat. Semua sahabat yang pandai membaca dan menulis diangkat menjadi juru tulis untuk mencatat semua wahyu yang turun pada benda-benda yang dapat ditulisi seperti kulit, tulang, pelepah kurma dan lain-lain. Oleh karena adanya kesungguhan umat Islam ketika itu, maka atas dorongan dan bimbingan Nabi saw. telah tumbuh tempat untuk belajar menulis, membaca dan menghafal Alquran, mula-mula bernama Dar al-Arqam, dan setelah Nabi Hijrah dibangun Kuttab di emperan Masjid Nabawi.

Ketika Rasulullah hijrah dan diangkat menjadi kepala negara, Rasul melaksanakan:
A.Proklamasi berdirinya sebuah negara dengan cara mengumumkan nama Madinah al-Munawarah bagi kota Yatsrib.
B.Mendirikan Masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan ummat Islam.
C.Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, persaudaraan berdasarkan agama sebagai basis warga negara.
D.Membuat undang-undang dan peraturan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang terkenal dengan istilah Traktat Madinah.
E.Membuat batas wilayah sebagai basis teritorial dengan membuat parit pada waktu perang Khandaq.
F.Membuat lembaga-lembaga pelengkap sebuah pemerintahan, semisal angkatan perang, pengadilan, lembaga pendidikan, bait al-mal, lembaga yang mengatur administrasi negara, serta menyusun ahli-ahli yang cakap yang bertindak sebagai pendamping Nabi.
Melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Nabi tersebut menjadikan kebudayaan Islam berkembang di wilayah jazirah Arab, yang kemudian setelah Rasulullah wafat dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya.
Sebelum Nabi Muhammad saw. wafat, beliau tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin politik umat Islam. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Olehnya itu dalam pertemuan di balai kota Bani Sa’idah, diputuskan Abu Bakar terpilih menjadi pemimpin.

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar (632-634 M) disebut Khalifah Rasulillah. Abu Bakar menjadi khalifah hanya berkisar 2 tahun, akan tetapi beliau dalam memimpin umat Islam menghasilkan beberapa kemajuan, antara lain:
1.Perbaikan sosial (kemasyarakatan)
Perbaikan sosial yang dilakukan Abu Bakar ialah usaha menciptakan stabilitas wilayah Islam dengan berhasilnya mengamankan tanah Arab dari para penyeleweng (orang-orang murtad, Nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat).
2.Perluasan dan pengembangan wilayah Islam
Adapun perluasan dan pengembangan wilayah Islam telah mencapai daerah Irak dan Syiria. Daerah-daerah Islam tersebut dibagi menjadi beberapa wilayah dan pada setiap wilayah diangkat seorang wali (gubernur). Gubernur tersebut sekaligus menjabat sebagai hakim dan imam shalat.
3.Pengumpulan ayat-ayat Alquran
Pada masa khalifah Abu Bakar, ada usul dari Umar bin Khattab yang meminta agar ayat-ayat Alquran dikumpulkan menjadi satu naskah. Usul tersebut diterima, kemudian diperintahkanlah Zaid bin ¤abit untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf.
Itulah beberapa kemajuan yang dicapai khalifah Abu Bakar selama 2 tahun beliau memimpin umat Islam, dan selanjutnya tampuk pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khattab.
Pada masa pemerintahan Umar (634-644 M), Islam mengalami perkembangan begitu besar, seperti pada aspek teritorial yang telah dirintis oleh khalifah Abu Bakar, yaitu ekspansi wilayah di luar Arabia, di mana ekspansi pertama dilancarkan ke ibukota Syria, Damaskus, Ardan dan Hins yang berhasil dikuasai hingga pada 635 M.
Selain perluasan daerah, beliau juga meletakkan dasar-dasar kehidupan sebuah negara, seperti memperkenalkan sistem administrasi pemerintahan yang diatur menjadi 8 wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir; membentuk anggota dewan dan memisahkan lembaga pengadilan. Untuk masing-masing propinsi diangkat seorang Gubernur, gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi perpajakan juga dibenahi.
Di bidang pertahanan dan keamanan, didirikan Korps Militer dan digaji sesuai dengan tugasnya masing-masing, didirikan pos-pos militer di tempat-tempat strategis. Di bidang peradilan diletakkan prinsip-prinsip keadilan dengan menyusun sebuah Risalah yang kemudian dikirim kepada Abu Musa al-Asy’ari yang disebut Dustur Umar atau Risalah al-Qada.
Bidang keilmuan tidak luput dari pantauan Umar, seperti ide penulisan Alquran pada masa Abu Bakar as. dan ijtihad beliau tentang pembagian warisan, larangan penyebutan wanita dan lirik syair, penentuan kelender hijriah. Sementara di bidang kesejahteraan sosial, beliau memberi gaji kepada imam dan mua©in, pengadaan penerangan (lampu) dalam masjid-masjid, pengorganisasian khotbah-khotbah, pembentukan bait al-mal, menempa mata uang, penghapusan pembagian tanah rampasan perang, dan pembangunan madrasah-madrasah.
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa periode Umar adalah periode kepemimpinan yang gemilang, periode berdirinya imperium Islam yang sukses di berbagai aspek, mulai dari aspek teritorial, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, sosial budaya, sampai pada aspek agama dan hankam.
Setelah Umar bin Khattab wafat, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman bin Affan (644-656 M). Dalam masa pemerintahannya yang cukup lama sekitar 12 tahun, keberhasilannya dibuktikan dimana beliau mampu meneruskan kegiatan ekspansi wilayah hingga berhasil ditaklukkan, seperti Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhades, Transoxania, Tabaristan, serta sebagian wilayah yang tersisa dari Persia. Di samping itu, beliau berhasil membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian suplai air ke kota-kota, membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, termasuk memperluas masjid Nabawi di Madinah. Beliau juga memprakarsai pengumpulan dan penulisan mushaf Alquran yang dikenal dengan nama Mushaf Usmani.
Setelah wafatnya Usman, maka tampuk pemerintahan umat Islam mengalami kekacauan, di mana antara pihak Ali dan Muawiyah saling menghendaki untuk menduduki jabatan khalifah setelah wafatnya Usman, sehingga walaupun Ali bin Abi Thalib dapat berkuasa kurang lebih 6 tahun (656-661 M) tidak banyak yang dapat dilakukan untuk perkembangan kebudayaan Islam pada saat itu. Namun berangkat dari masa inilah, maka pada masa-masa pemerintahan selanjutnya timbullah faham-faham keagamaan, seperti khawarij, syiah, dan sebagainya, yang memberikan dampak terbukanya dunia cakrawala pemikiran umat Islam.

Kebudayaan Islam pada Masa Bani Umayyah (661-750 M)
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, dunia Islam banyak mencapai kemajuan-kemajuan. Selain berupa perluasan daerah Islam, yaitu ekspansi ke daerah Timur, seperti Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afghanistan sampai ke Kabul. Begitu pula ekspansi ke Barat, seperti Afrika Utara, benua Eropa pada tahun 711, Spanyol, Prancis, dan sebagainya.

Selain berupa perluasan daerah Islam, banyak juga kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang penyiaran agama, bidang pemerintahan, ekonomi dan kebudayaan. Kemajuan-kemajuan tersebut terutama dipersembahkan pada pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdui Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Azis (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kemajuan pada masa Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M)
Berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya, khususnya Muawiyah sebagai pendiri Bani Umayyah, lebih memasukkan unsur-unsur sistem pemerintahan dan administrasi dari Persia. Sebagai contoh: diterapkannya sistem pemerintahan monarkhi absolut dan sistem administrasi pembagian departemen-departemen.
Juga dalam hal berpakaian, Muawiyah menggunakan pakaian dan asoseries khalifah seperti kaisar-kaisar Persia. Misalnya menggunakan pakaian kebesaran, di atas kepala diberi mahkota, jika berjalan didampingi penjaga-penjaga khusus, gelar-gelar khalifah diberikan.
2. Kemajuan pada masa Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M)
Khalifah Abd al-Malik berusaha untuk menciptakan keamanan di semua wilayah Islam. Setelah keamanan stabil, maka Abd Malik berusaha untuk mengadakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemajuan yang dimaksud sesuai dengan masa itu, adalah rangka mengimbangi kebudayaan Nasrani di daratan Eropa. Hasil pembangunan pada masa Abd Malik meliputi:
a. Membentuk mahkamah tinggi
b. Pergantian bahasa resmi (bahasa Persi dan Romawi) menjadi bahasa Arab.
c. Penggantian mata uang.
d. Pembangunan pos.
e. Mendirikan bangunan-bangunan, seperti pabrik Darus Sina’ah, Masjid Qubatus Sakhrah (670 M), memperluas Masjid al-Haram.
3. Kemajuan pada masa Al-Walid ibn Abdui Malik (705-715 M)
Berbeda dengan Abd Malik, yang tampaknya lebih banyak menitikberatkan pada masalah-masalah pemerintahan, maka al-Walid menitikberatkan pada bidang-bidang sosial dan kebudayaan. Al-Walid berhasil mengangkat seni Islam setingkat lebih tinggi daripada seni bangunan Yunani di Konstantinopel. Usaha-usahanya antara lain:
a. Mendirikan rumah sakit, dan tempat penampungan serta pemeliharaan orang-orang buta.
b. Membangun Masjid Agung Damaskus (705 M), Masjid Madinah (713 M), melanjutkan pembangunan Masjid al-Haram.
4. Kemajuan pada masa Umar ibn Abd al-Azis (717-720 M)
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Umar, antara lain:
a. Memajukan ekonomi, dimana beliau mengurangi pajak dan membebaskan jizyah bagi penduduk yang sudah masuk Islam.
b. Menertibkan bidang hukum, membentuk peraturan pertahanan, menertibkan peraturan pertimbangan dan takaran, memberantas pemalsuan, menghapus bea cukai dan membasmi kerja paksa.
c. Memajukan pertanian dengan membangun dan mengatur saluran-saluran air secara tertib dan banyak menggali sumur-sumur untuk kepentingan pertanian.

5. Kemajuan pada masa Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M)
Di antara usaha-usaha Hasyim dalam meningkatkan pembangunan negara ialah:
a. Membangun pabrik senjata.
b. Mendirikan perusahaan kain sutera yang halus.
c. Menggali beberapa terusan untuk pengairan, terutama yang menuju sepanjang jalan ke Mekah.
d. Membangun tempat-tempat pacuan kuda.
Melihat banyaknya kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Bani Umayyah tersebut di atas merupakan suatu bentuk dari kebudayaan yang diperoleh akibat adanya perluasan daerah, karena dalam setiap menduduki daerah-daerah, mereka mengambil budaya-budaya daerah tersebut, atau dalam artian terjadi akulturasi budaya Barat dengan budaya Timur.

Kebudayaan Islam pada Masa Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Puncak kejayaan daulah Bani Abbas terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (170-193 H/786-809 M), dan anaknya al-Makmun (198-218 H/813-833 M). Ketika ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walau ada juga pemberontakan, dan luas wilayah mulai dari Afrika Utara hingga ke India.
Khalifah Harun ar-Rasyid merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada saat itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang diperintahnya, dan kekuatan pemerintahannya serta ketinggian kebudayaan dan peradaban yang berkembang di negaranya.
a. Kemajuan Pendidikan dan Sains
Dengan kebangkitan dinasti Abbasiyah, ekspansi daerah kekuasaan Arab dibarengi dengan letusan aktifitas intelektual. Seolah-olah seluruh umat Islam pada waktu itu demam intelektual dan menjadi pelindung ilmu pengetahuan. Perpustakaan umum yang ada pada masa Bani Umayyah sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa, maka pada era Abbasiyah, perpustakaan menjadi sentral pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid lahirlah sarjana-sarjana Islam yang telah berhasil menggali, mengembangkan dan memperkenalkan berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, kimia, biologi, astronomi, ilmu bumi dan sebagainya. Selanjutnya dalam bidang seni lahirlah seniman-seniman yang mengagumkan di bidang seni sastra, seni lukis, seni pahat, seni bangunan dan sebagainya. Istana-istana, masjid-masjid dan bangunan-bangunan lainnya yang megah dan indah adalah bukti betapa tinggi mutu seni yang telah dicapai pada masa itu. Dalam seni sastra terkenal hikayat 1001 malam, gubahan Mubasyir ibnu Fathiq. Dalam bidang teknologi terciptalah jam yang pertama kali di dunia, Harun ar-Rasyid pernah memberikan hadiah “jam air” kepada raja Karel Agung di Eropa, yang pada waktu belum mengenal jam, sehingga hadiah ar-Rasyid dianggap sebagai benda untuk sihir.

Selanjutnya setelah pemerintahan ar-Rasyid berakhir, kemudian digantikan oleh Abdullah al-Amin (193-198 H/809-813 M) tidak banyak mengalami perkembangan, karena hanya meneruskan apa yang telah dirintis oleh ar-Rasyid. Kemudian pada pemerintahan al-Makmun, perkembangan ilmu pengetahuan makin pesat karena dia sangat cinta kepada ilmu.
Pada masa pemerintahannya itu, buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Byzantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Buku-buku tersebut diterjemahkan dan dikembangkan, sehingga “Bait al-Hikmah” yang didirikan pada masa al-Makmun menjadi perpustakaan terbesar.
Dalam bidang pendidikan terjadi perkembangan yang sangat besar. Hal ini terlihat ketika itu lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat, yaitu :
1) Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan tingkat bawah, tempat anak-anak mengenal bacaan, perhitungan dan tulisan, juga menjadi tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqhi dan bahasa.
2) Tingkat pendalaman; para pelajar yang ingin mendalami ilmunya pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang pakar lewat jalan privat yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Mereka pada umumnya menutut ilmu-ilmu agama.

Perkembangan di dunia pendidikan ini mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini didorong oleh perkembangan bahasa Arab yang disamping sebagai bahasa administrasi juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan.
Dalam bidang sains, pencampuran atau interaksi bangsa Arab dengan bangsa lain dalam arti penduduknya membawa nuansa dan pengaruh besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan intektual. Ilmu pengetahuan yang maju ketika itu adalah astronomi, kimia, matematika dan kedokteran. Dalam bidang kimia, Jabir ibn Hayyam dari Tarsus yang di Eropa dengan nama Beber adalah merupakan ahli kimia. Dalam bidang astrologi, nama Ibn Ma’shar pada awalnya ahli hadis kini menjadi astrolog terkemuka. Khusus dalam dunia kedokteran, sederetan nama-nama seperti Baktishu, Ibn Masawih telah menjadi dokumen sejarah atas sepak terjang mereka dalam dunia kedokteran.
b. Kemajuan dalam Ilmu Agama
Zaman daulah Abbasiyah yang merupakan zaman keemasan tamaddun Islam telah melahirkan ahli-ahli dalam bidang agama (fuqaha) yang terbesar dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqhinya yang terkenal sampai sekarang. Para fuqaha yang lahir dalam zaman ini terbagi dalam dua aliran : ahlu al-hadits dan ahlu al-ra’yi.

Kemajuan-kemajuan dalam bidang agama, khususnya bidang fiqhi pada masa daulah Abbasiyah adalah :
1) Pembukuan usul fiqh, yaitu kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh para mujtahid dalam mengambil hukum.
2) Lahirnya istilah-istilah fiqh, seperti wajib, sunnat, mandub, musyahab, haram untuk memberikan pengertian kepada ayat-ayat Alquran dan sunnah.
3) Lahirnya para fuqaha ternama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad. Di samping itu ada dua mazhab Syi’ah yang lahir yaitu Syi’ah Zaidah yang membangsakan dirinya kepada Zaid bin Ali Husin bin Ali bin Abi Thalib, dan Syi’ah Imamiah.
4) Pembukuan kitab-kitab hukum; kitab-kitab hukum yang dibukukan di zaman tersebut di antaranya kitab al-Fiqh al-Akbar karangan Imam Abu Hanifah, kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik, kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i, kitab al-Masnad fi al-Hadits karangan Imam Ahmad bin Hanbal, kitab al-Jami’ al-Shagir karangan Muhammad bin Hasan al-Syaibani, dan kitab al-Mudauwanat al-Kubra karangan Abdul Rahman bin Kasim.
Pada masa berkembangnya ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan agama pun berkembang, seperti ilmu al-qur’an, qira’at, hadis, fiqhi, kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Abbasiyah ini. Imam Abu Hanifah yang meninggal di Bagdad tahun 150 H/767 M adalah pendiri mazhab Hanafi. Imam Malik ibn Anas yang banyak menulis hadis dan pendiri mazhab Maliki itu wafat di Madinah pada tahun 179 H/795 M. Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i yang meninggal di Mesir tahun 204 H/819 M adalah pendiri mazhab Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal pendiri mazhab Hanbali meninggal dunia pada tahun 241 H/855 M.
Pada masa ini lahir pula tokoh-tokoh ilmu kalam, seperti tokoh Mu’tazilah: Wasil bin Atha’, Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M); Pendiri aliran Asy’ariyah: Abu Hasan al-Asy’ari (873-935 M), dan Al-Maturidi (pendiri Ahl al-Sunnah). Sedangkan dalam bidang tasawuf muncul tokoh-tokoh, seperti Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan sebagainya.
Dengan memperhatikan kemajuan-kemajuan di atas dapat dipahami bahwa perkembangan dalam bidang agama pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat dihargai karena dengan adanya kebebasan para ulama fiqhi mengembangkan pemahaman keagamaannya dalam masyarakat.
c. Kemajuan dalam Filsafat
Kemajuan dalam bidang filsafat bermula dengan adanya penterjemahan kitab-kitab berbahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, yang dilakukan di Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah dalam siklus perubahan sejarah digantikan oleh sekolah penerjemahan di bawah bimbingan Hunain ibn Ishak, pada pertengahan abad IX. Hunain telah menerjemahkan karya-karya ilmiah dari Galen, karya-karya metafisika dan filsafat Plato dan Aristoteles. Sekolah para editor yang sangat berkompoten dalam filologis ini membentuk sebuah bahan penerjemahan dan semangat kritis yang menjadi syarat bagi studi-studi kefilsafatan yang memerlukan ketelitian dan kerja keras di zaman Islam. Karya-karya terjemahan tersebut dipersiapkan untuk menyebarkan ide-ide baru yang dianggap konstruktif.
Realitas sejarah membuktikan bahwa kultur Yunani memiliki sebuah pengaruh yang menonjol terhadap pertumbuhan peradaban Islam. Nilai kultur Yunani masuk ke dalam wilayah pemikiran Islam dengan berbagai jalur. Pengaruh Hellenistik yang paling menonjol adalah dalam bidang filsafat. Filsafat adalah sebuah gerakan dan merupakan keragaman posisi yang disatukan oleh kesamaan peristilahan melalui sebuah komitmen pada suatu program investigasi yang rasional meliputi logika, sains kealaman dan metafisika. Hal lain yang juga dialami umat Islam ketika itu adalah isu-isu teologis. Masalah-masalah teologis tersebut meliputi permasalahan zat Tuhan dan sifat-sifatnya, hubungan filsafat dengan wahyu. Dengan adanya per-kembangan filsafat tersebut melahirkan pemikir muslim seperti al-Kindi, al-Farabi.
Singkatnya berbagai bidang kehidupan mengalami kemajuan yang terilhami oleh perhatian terhadap pendidikan yang sungguh-sungguh. Ini dapat dipahami bahwa kejayaan suatu bangsa dan khususnya umat muslim kuncinya adalah memajukan pendidikan sebagai basisnya.

catatan: Download makalah lengkapnya..
Read More
Published November 19, 2007 by with 0 comment

Kebudayaan Islam di Afrika (Abad XI-XIII)

Perkembangan Islam dalam konteks budaya sesungguhnya terasimilasi secara langsung dengan budaya lokal di setiap daerah/wilayah ekspansi Islam. Asimilasi sekaligus akulturasi tersebut tentunya seirng dengan islamisasi dan arabisasi yang hampir tidak dapat dibedakan/dipisahkan satu sama lain. Secara garis besar, beberapa daerah/wilayah sentral Afrika yang menjadi bahasan pada makalah ini meliputi wilayah Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko, yang sampai saat ini masih merupakan wilayah Islam dan menjadi batu loncatan penyebaran Islam ke beberapa daerah Afrika lainnya.
Untuk lebih menspesifikkannya pada abad XI-XIII M, maka objek kebudayaan tersebut mencakup teritorial kekuasaan Fathimiyah, Mamalik, Ayyubiyah, Murabithun, dan Muwahhidun. Secara de facto, kekuasaan tersebut memiliki otoritas teritorial, namun secara yuridis masih di bawah kekuasaan khilafah Abbasiyah yang terkikis oleh serangan bangsa Mongol.
Peradaban Arab-Islam di Afrika dibentuk berdasarkan integrasi kalangan penakluk Arab dengan masyarakat Berber yang dikenal dengan nama Masmudah, Sanhaja, dan Zenatan. Komunitas tersebut memiliki ragam corak yang meliputi kelompok nomaden yang jarang sekali membentuk rezim negara. Sejumlah institusi dan elit keagamaan Islam dapat ditemukan di seluruh penjuru Afrika Utara, dan penduduk setempat secara substansial telah berpindah ke agama Islam. Proses pelembagaan rezim-rezim muslim dan asosiasi keagamaan muslim ini secara independen seiring dengan periode-periode kekhalifahan di Timur Tengah dan Spanyol.
Oleh karena itu, kebudayaan suatu daerah tentunya dipengaruhi pula oleh sejauhmana interaksinya dengan kebudayaan lain serta didukung oleh letak geografis wilayahnya. Wilayah Afrika (Utara) merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia Tengah dan Teluk Persia ke Barat (Eropa). Letak strategis ini menjadikan pesisir Afrika seperti daerah Mesir menjadi sangat penting. Meskipun pertimbangan ekonomi pada tataran teoritis tidak menjadi aspek esensial bagi variasi kultural, namun pada tataran aksidental, jalur ekonomi secara tidak langsung telah membuka pintu gerbang asimilasi dan akulturasi budaya.
Beberapa perkembangan budaya pada abad XI-XIII di Afrika dapat ditemukan sejak kekhalifahan Fatimiah berdiri. Pada masa ini, sistem administrasi dan militer yang diberlakukan lebih mengikuti sistem pemerintahan Abbasiah dengan prototipe Persia Kuno. Pada angkatan bersenjatanya memiliki tiga prinsip kepangkatan: (1) Amir, tergolong pejabat tinggi yang mengawal dan mendampingi Khalifah. (2) Staf ahli, terdiri dari ulama dan kasim. (3) sejumlah besar teknisi yang disebut dengan Hafiziyah, Juyushiyah, Sudaniyah, pasukan khusus, intelijen, hakim, inspektor pasar yang mengepalai Bayt al-Mal (Muhtashib), dan pegawai administrasi pemerintah.
Seni arsitektur pada masa Fatimiah tampak pada pembangunan sejumlah makam yang menampilkan berbagai motif artistik, seperti motif muqarnas atau dekorasi stalactik, yang pada bagian depannya terdapat pintu gerbang dan menara yang dirancang dengan indah dengan menggunakan penyajian figural yang menjadi gambaran utama seni Islam masa belakangan.
Ketika Dinasti Fatimiah digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah, beberapa perkembangan kebudayaan tampak ketika Shalah al-Din membangun Mesir dengan kekuatan militernya dengan bekerjasama dengan para ilmuan, mengembangkan studi teologis, membangun bendungan, penggalian kanal-kanal untuk pengairan, serta membangun sekolah-sekolah dan masjid, perkembangan ini dititik beratkan pada dua kota utama Akka dan Qallawun.
Dinasti terakhir yang berkuasa di Mesir adalah dinasti Mamalik, meskipun berasal dari kaum buruh, mereka tidak menafikan unsur kebudayaan bagi kemajuan Mesir. Hal ini tampak ketika penerusan kembali pembangunan kanal yang dapat mempercepat hubungan Kairo ke Damaskus hanya dengan empat hari, pelayanan pos, sekolah, perpustakaan Zahiriyah, musium Arab, rumah sakit dan seni arsitektur Masjid.
Pada masa dinasti ini, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang astronomi, matematik, kedokteran dan sejarah telah melahirkan figus-figur seperti Nasiruddin al-Tusi (1201- 1286) sebagai ahli astronomi, Abu al-Faraj (1226-1286) sebagai ahli di bidang matematika, Abu al-Hasan ibn Nafis (w. 1288) sebagai ahli di bidang ilmu kedokteran yang berhasil menemukan susunan peredaran darah dalam paru-paru manusia, dan Abd al-Mu’in al-Dimyati (w. 1306) sebagai ahli di bidang kedokteran hewan.
Begitupula di bidang farmasi, Ibn Maymun dikenal sebagai ahli di bidang pembuata obat-obat, serta dibukukannya teori farmasi (Minhaj al-Dukkan wa Dustur al-A’yan), perkembangan ilmu geneologi yang menampilkan buku-buku erotik dan sex education, dokter kejiwaan (psycho therapy), begitu pula di bidang ilmu sosial telah melahirkan tokoh sekaliber Ibn Khaldun, sejarawan terkenal (Ibn al-Athir.
Periode Ayyubiyah dan Mamalik juga mengikuti pola budaya Fatimiah dengan membangun beberapa bangunan makam untuk menghormati tokoh-tokoh muslim dan penguasa yang telah meninggal. Satu di antara proyek pertama Ayyubiyah adalah pembangunan madrasah di dekat makam al-Syafi’I, pendiri mazhab hukum utama di Mesir. Beberapa perguruan tinggi dan khanaqah dilengkapi dengan bangunan Mousoleum untuk mengenang tokoh pendirinya.
Desain arsitektur yang khas muncul pada periode ini. Beberapa masjid, madrasah, dan khbaqah biasanya dibangun dengan sebuah ruang tengah yang terbuka dan dikelilingi empat serambi pada setiap sisi utama dari ruang tengah tersebut, dengan beberapa ruangan yang menghubungkannya dengan kamar-kamar yang disiapkan untuk para pelajar. Mausoleum sendiri biasanya diberi atap dengan sebuah kubah dan seluruh bangunan tersebut dilengkapi dengan menara-menara yang menjulang tinggi. Bangunan-banguna yang berderetan di sepanjang jalan utama menciptakan pertunjukan visual yang luas dan membentuk tatanan fisik kota dan melambangkan hubungan integral antara negara, Islam dan masyarakat urban. Dengan dukungan kuat dari negara, beberapa sekolah hukum menjadi kunci penyebaran ajaran-ajaran Islam di kalangan masyarakat umum.
Selain kekuatan mazhab, mistisisme merupakan kekuatan agama yang penting di Afrika. Masyarakat umum meyakini para wali memiliki daya menyembuhkan, kekuatan mendatangkan hujan, melakukan berbagai mukjizat, berhubungan dengan kekuatan spiritual, menafsirkan mimpi, dan bahkan mampu bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Sufisme ini merupakan gerakan keagamaan yang belum terorganisir sepenuhnya sebagai sebuah sensibilitas keagamaan.
Demikianlah pada pertengahan abad tiga belas, serangkaian penaklukan bangsa Arab dan pengenalan Islam telah mengilhami gerakan pembentukan negara yang berlangsung beberapa abad dan mencapai puncaknya pada integrasi wilayah Maroko, dan Tunisia sebagai negara teritorial. Pada saat yang sama, Islam telah tersebar luas sebagai agama yang dominan. Sejumlah sekolah informal yang mengajarkan hukum, teologi, dan mistisisme muncul dan dikembangkan oleh para pengikutnya.

Download lengkapnya...
Read More