Published November 09, 2007 by with 0 comment

Invasi Bangsa Mongol

A. Asal Mula Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan yang mempunyai dua putera kembar, Tartar dan Mongol. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.
Dalam rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain, menggembala kambing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional dengan mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik di antara sesama mereka maupun dengan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka. Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani meng-hadang maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya.
Bangsa Mongol tidak memeluk salah satu dari ketiga agama Samawi, padahal mereka hidup dan bergaul dengan pengikut agama Yahudi, Kristen dan Islam. Mereka menyembah matahari dan bersujud kepadanya ketika terbit. Syari’at mereka tidak mengharamkan apapun kepada mereka dan mereka makan hewan apa saja yang ditemuinya meski sudah menjadi bangkai.
Bangsa Mongol mencapai kemajuan secara besar-besaran pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. Ia berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, putranya, Timujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. Pada 1206 M ia mendapat gelar “Jengis Khan”, Raja Yang Perkasa. Untuk mengatur rakyatnya, ia menetapkan suatu undang-undang yang terangkum dalam sebuah kitab yang disebut “Ilyasa”.
Dari sekian hukum yang termuat dalam kitab tersebut, pem-bunuhan merupakan satu-satunya sangsi bagi yang melanggar (seolah-olah tidak ada sangsi hukum lainnya). Hal itu menjadi bukti kehausan Jengis Khan dan hobinya melihat darah mengalir di depan mata dan di bawah telapak kakinya. Kesimpulan ini dikuatkan dengan pembunuhan besar-besaran dalam perang melawan musuh-musuhnya. Ahli sejarah mensinyalir bahwa Jengis Khan pernah membunuh tujuh ratus ribu jiwa hanya dalam tempo satu hari.

B.Permulaan Perang Melawan Kaum Muslimin

Bangsa Mongol tergolong bangsa yang pemberani dan tegar dalam peperangan. Perang melawan kaum muslimin bermula dari kasus pembunuhan delegasi para pengusaha yang dikirim oleh Jengis Khan pada 616 H/1219 M. Delegasi para pengusaha itu dikirim ke negara Khawarizm Syah Muhammad untuk membeli baju produk negara Khawarizm Syah Muhammad dengan membawa harta yang banyak. Melihat kenyataan itu, wakil Khawarizm Syah Muhammad kemudian mengirim surat kepada rajanya (Khawarizm Syah Muhammad) yang sepertinya ia merayu sang raja untuk merampas harta tersebut. Raja Khawarizm Syah Muhammad terbujuk oleh surat wakilnya lalu berambisi untuk mendapatkan harta tersebut. Sang raja lalu memerintahkan wakilnya untuk membunuh seluruh delegasi pengusaha itu dan merampas hartanya. Perintah tersebut dilaksanakan oleh wakilnya. Peristiwa itu terdengar oleh Jengis Khan lalu ia mengirim wakil untuk menemui Khawarizm Syah Muhammad dengan membawa surat.
Surat Jengis Khan tersebut tidak digubris oleh Khawarizm Syah, ia malah bertindak lebih konyol. Ia memerintahkan agar utusan Jengis Khan itu dipenggal kepalanya. Kesalahan fatal yang dilakukan raja Khawarizm Syah itu mengakibatkan penderitaan bagi kaum muslimin, sebab kesalahannya tidak hanya seperti itu, ia ternyata menyiapkan pasukan kemudian menyerang negara Jengis Khan yang ketika itu sedang sibuk berperang melawan negara tetangga (Kasyla Khan). Khawarizm Syah merampas kekayaan negara Jengis Khan, menawan kaum wanita dan anak-anak. Tindakan konyol Khawarizm Syah itu memancing emosi bangsa Mongol. Jengis Khan tidak tinggal diam. ia menyiapkan pasukan gagah berani kemudian menyeberang sungai Jihun dengan tujuan Khawarizm. Kedua pasukan bertemu dan perang sengit pun meledak yang berlangsung maraton selama empat hari. Akibatnya, korban berjatuhan dari kedua belah pihak hingga kuda ter-gelincir di lautan darah para korban. Jumlah korban kaum muslimin kurang lebih dua puluh ribu jiwa dan korban dari pihak Mongol lebih besar beberapa kali lipat dari jumlah korban kaum muslimin.

C. Invasi Mongol Terhadap Negeri-negeri Islam
Setelah pasukan Mongol terlibat terlibat pertempuran sengit dengan kaum Muslimin selama empat hari, kedua belah pihak memilih mundur. Khawarizm Syah bertolak menuju Bukhara dan Samarkand lalu membangun benteng pertahanan di dalamnya dan dijaga oleh pasukan dalam jumlah besar yang mencapai dua puluh ribu personil. Setelah itu, Khawarizm Syah kembali ke negerinya (Iran) untuk menyiapkan pasukan lain dalam rangka menghadapi pasukan Mongol.
Sementara itu, Jengis Khan juga telah siap dengan tentaranya yang kemudian bertolak menuju Bukhara. Warga Bukhara terdesak dengan pengepungan pasukan itu lalu meminta jaminan keamanan kepada Jengis Khan. Jengis Khan bersedia memberikan jaminan keamanan kepada mereka, kemudian ia dan pasukannya memasuki Bukhara. Namun, jaminan keamanan yang ia janjikan hanya tipuan belaka. Langkah pasukan Jengis Khan untuk menerobos jauh ke dalam kota terhadang oleh benteng petahanan yang telah dibangun oleh Khawarizm Syah. Mereka mengepung dengan ketat benteng tersebut dengan menyertakan warga kota Bukhara untuk menghancurkan parit yang melindungi kota Bukhara. Pasukan itu melemparkan mimbar-mimbar masjid, al-Qur’an dan buku-buku ke dalam parit agar bisa menyeberang ke benteng pertahanan tersebut. Setelah dikepung selama sepuluh hari berturut-turut, benteng itupun jebol. Pasukan Mongol membunuh semua orang yang ada di Bukhara, menawan para wanita dan anak-anak, dan memperkosa para wanita di depan keluarganya. Di antara mereka ada yang melawan untuk mempertahankan istrinya hingga terbunuh dan ada pula yang menjadi tawanan perang kemudian disiksa dengan bebagai macam bentuk penyiksaan. Perumahan, masjid dan sekolah dibakar hingga ludes.
Dari Bukhara, Jengis Khan berjalan menuju Samarkand yang dijaga oleh lima puluh ribu personil pasukan Islam. Kekalahan pasukan Islam di Bukhara meruntuhkan semangat tempur pasukan Islam di Samarkand hingga akhirnya mereka tidak mampu menghadang gerak laju pasukan Mongol. Kaum Muslimin di Samarkand mendapatkan tambahan pasukan yang berkekuatan tujuh puluh ribu personil yang terdiri dari rakyat sipil. Jumlah pasukan yang banyak tersebut juga behasil dikalahkan pasukan Mongol. Kekalahan tersebut sangat wajar karena mereka tidak terlatih dan tidak mempunyai persenjataan yang memadai untuk meng-hadapi pasukan setangguh pasukan Mongol. Pasukan Mongol menawan, merampas dan merampok semua senjata mereka dan apa saja yang dapat mereka gunakan untuk membela harga diri dan tanah airnya, lalu mereka dibunuh. Itulah kebiasaan pasukan Mongol ketika berhasil menaklukkan suatu negeri.
Kekalahan beruntun pasukan Islam didengar oleh Khawarizm Syah, lalu ia berlari ke wilayah sekitar sungai Jihun. Ia berusaha menyusun kembali pasukannya untuk menantang pasukan Mongol dan melindungi wilayahnya. Jengis Khan bukanlah orang bodoh, ia mengirim pasukan rahasia yang berkekuatan dua puluh ribu personil untuk mencari Khawarizm Syah. Ia berkata kepada mereka: “Carilah Khawarizm Syah, kejar dia meskipun bergantung di langit!”. Pasukan rahasia tersebut kemudian melacak Khawarizm Syah dan berhasil menemukan tempat persembunyiannya, namun mereka terhalang oleh sungai dan tidak mendapatkan perahu untuk menyeberangi sungai tersebut. Mereka tidak kehabisan akal. Mereka kemudian membuat kotak dan memenuhinya dengan seluruh senjatanya. Setiap orang dari mereka melepaskan kudanya ke sungai dan ia memegang ekor kudanya itu dengan salah satu tangannya dan tangan yang satunya lagi memegang kotak yang berisi senjata. Begitulah kuda-kuda mereka menyeberangi sungai dan mereka berada di belakang kuda-kuda terebut.
Mengetahui bahwa pasukan Mongol memburunya, Khawarizm syah kaget. Ia berlari ke Naisabur dan pasukan itu terus memburunya. Setiap kali ia berlari ke suatu tempat dan berusaha menyusun kekuatan, pasti diketahui pasukan Mongol. Ia terus berlari sementara pasukan Mongol sendiri tidak henti-henti mengejarnya hingga ia menyeberangi laut Tibristan. Ia memanjat benteng pertahanan pulau tersebut dan di tempat itulah ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah berhasil menaklukkan Samarkand dengan mudah, Jengis Khan mendirikan kemah dan bermarkaz di sana. Dari kemah tesebut, ia mengirim pasukan ke Khurasan, Ray dan berbagai penjuru lainnya. Pasukan Jengis Khan kemudian berhasil memasuki kota Ray tanpa sepengetahuan warganya. Mereka membunuh warga kota itu, merampok dan menawan warga yang masih hidup. Dari Ray, mereka bertolak menuju kota Hamdan kemudian Qazwin. Di sana pasukan Jengis Khan merampok kekayaan warga Qazwin serta membantai mereka yang jumlahnya kurang lebih empat puluh ribu jiwa. Dari Qazwin, pasukan Mongol menuju Azerbaijan yang ketika itu diperintah oleh Azbek bin Bahlawan. Jauh-jauh hari sebelumnya, Azbek siap berdamai dengan pasukan Mongol. Ia menemui mereka dengan membawa upeti dan hadiah-hadiah lainnya dan pasukan Mongol menerima upeti itu. Dari Azerbaijan mereka menuju Mauqan. Kedatangan mereka dihadang oleh warga Mauqan yang berkekuatan sekitar sepuluh ribu personil, namun mereka mampu bertahan hanya sekejap mata. Pasukan Mongol kemudian menuju Tibriz. Di sana mereka berdamai dengan warga kota Tibriz dengan kompensasi warga Tibriz menyerahkan sejumlah uang.
Memasuki tahun 617 H/1220 M pasukan Mongol berhasil menguasai seluruh kerajaan Islam kecuali Mesir, Syam, AL-Jazair dan Irak. Mereka menghancurkan setiap ras yang mencoba menghadang gerak lajunya. Mereka bantai kaum muslimin dan non muslim di wilayah yang mereka taklukkan dalam jumlah yang tak terduga. Ibnu Katsir berkata – sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Sayyid al-Wakil – bahwa bisa dikatakan setiap kali mereka memasuki suatu negeri, mereka pasti membunuh siapa saja yang mereka temui tidak terkecuali tentara, rakyat sipil, wanita dan anak-anak. Mereka merusak dan membakar apa saja yang ada di negeri tersebut. Bahkan dikisahkan bahwa mereka mengumpulkan sutra yang sangat banyak hingga mereka tidak sanggup mengangkutnya kemudian mereka membakarnya. Mereka menonton adegan pembakaran itu dengan terkekeh-kekeh. Rumah-rumah juga mereka sama ratakan dengan tanah. Apa saja yang tidak mampu mereka hancurkan, maka mereka bakar hingga ludes. Yang banyak mereka bakar adalah masjid dan sekolah. Mereka jadikan kaum muslimin sebagai tawanan perang dan berperang dengannya. Jika tawanan itu menolak perintahnya, mereka langsung membunuhnya.
Memasuki tahun 618 H/1221 M, pasukan Mongol memasuki negara Kurj dan menaklukkan negara Qabjan yang sebelumnya sempat meminta perlindungan Rusia yang menganut agama Kristen. Mereka kemudian bersepakat bekerjasama dalam menghadapi pasukan Mongol, lalu terjadilah perang. Namun, pasukan Mongol berhasil mengalahkan pasukan koalisi tersebut.
Pada tahun 620 H/1222 M, pasukan Mongol bermaksud menuju Bulgaria, kemudian kembali ke markaz rajanya, Jengis Khan. Sebelumnya, Jengis Khan mengirim ekspedisi yang lain ke Farghanan. Keduanya berhasil menguasai kedua negara tersebut. Jengis Khan juga menyiapkan pasukan dan mengirimkannya ke Khurasan kemudian mengepung kota Balkh dan berdamai dengan penduduknya. Selain itu, mereka juga mengepung negara-negara yang lain hingga tiba di Thalqan, namun mereka gagal menaklukkannya. Kegagalan mereka itu dilaporkan kepada Jengis Khan. Jengis Khan kemudian datang langsung ke lokasi dan mengepung-nya selama empat bulan. Mereka akhirnya berhasil menguasai Thalqan secara paksa serta membunuh seluruh penduduknya.
Pada tahun 624 H/1227 Jengis Khan berhasil menguasai Asia Utara dari timur dan barat dalam jangka waktu tujuh tahun. Kemenangan-kemenangannya meruntuhkan sendi-sendi kehidupan negara yang ia serang. Hampir tidak ada satu negara, kota ataupun perkampungan yang selamat dari kekejamannya. Jengis Khan hidup relatif lama. Ia lahir pada tahun 509 H/1115 M dan menjadi raja pada tahun 599 H/1202 M dalam usia 90 tahun. Invasinya ke wilayah-wilayah Islam berlangsung dari tahun 616 H/1219 M hingga tahun 624 H/1227 M. Ia meninggal dunia pada tahun itu juga dalam usia 112 tahun.
Pada saat kondisi fisiknya mulai lemah, Jengis Khan membagi wilayah kekuasaannya menjai empat bagian kepada empat orang putranya, yaitu Juchi, chagatai, Ogotai dan Tuli. Chagatai berusaha menguasai kembali daerah-daerah Islam yang pernah ditaklukkan dan berhasil merebut Ferghana, Ray dan Azerbaijan. Sementara Tuli menguasai Khurasan. Karena kerajaan-kerajaan Islam sudah terpecah-belah dan kekuatannya ssudah lemah, Tuli dengan mudah dapat menguasai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan digantikan oleh putranya Hulagu Khan.
Ketika Hulagu Khan resmi berkuasa, ia berambisi menggabung-kan Baghdad, markaz negara Islam ke dalam pemerintahannya. Keinginan-nya itu kemudian tercapai tatkala Ibnu Alqami, perdana menteri dari aliran Syi’ah Rafadh berkompromi dengan pasukan Mongol. Sikap Ibnu Alqami itu didasari oleh ambisinya untuk merampas tahta khilafah dari tangan Bani Abbasiyah – lalu menyerahkan kepada dinasti Fatimiyah – dan kesempatan emas untuk tujuan itu bisa ia dapatkan pada saat pasukan Mongol menyerbu wilayah Islam. Karena itu, ia aktif mengadakan kontak dan korespondensi dengan pasukan Mongol dan mendukung mereka menyerang Baghdad.
D. Penyerbuan dan Penaklukan Baghdad
Perdana menteri Rafadh – Ibnu Alqami – berhasil merayu pasukan Mongol untuk menyerang Baghdad. Ia sarankan khalifah Mu’tashim mengirim hadiah-hadiah yang berharga kepada Hulagu Khan agar ia membatalkan rencananya menyerbu Baghdad. Beberapa pembantu dekat khalifah Mu’tashim mengusulkan agar hadiah-hadiah tersebut tidak perlu mewah dan tidak perlu berlebih-lebihan dalam menanggapi ancaman Hulagu Khan.
Khalifah Mu’tashim sependapat dengan usulan tersebut, kemudian ia mengirim hadiah-hadiah yang tidak ada harganya dalam pandangan Hulagu Khan. Nampaknya Ibnu Alqami telah menginformasi-kan kepada Hulagu Khan perdebatan antara khalifah Mu’tashim dengan pembantu dekatnya. Lalu Hulagu Khan berkirim surat kepada khalifah Mu’tashim yang isinya meminta khalifah Mu’tashim mengirimkan pembantu dekatnya yang mengusulkan pemberian hadiah yang murahan tersebut. Khalifah Mu’tashim tidak membalas surat Hulagu Khan dan tidak menanggapinya dengan serius. Ini menambah kegaraman Hulagu Khan terhadap khalifah Mu’tashim dan kaum muslimin.
Pada tanggal 2 Januari 1258 M Hulagu Khan mengirimkan passukan ke Baghdad di bawah pimpinan dua amirnya sebagai pasukan awal sebelum kedatangannya. Tiba ke daerah perbatasan kota Baghdad, di sini mereka dibantu oleh pasukan Mongol dari Asia Kecil. Dengan menggunakan kelompok-kelompok tawanan, bangsa Mongol itu segera mengepung kota dan segera menghujani dengan peluru-peluru batu, panah dan sebagainya. Pada tanggal 30 Januari serangan ditingkatkan dan beberapa hari kemudian pertahanan kota Baghdad hancur. Wazir Ibnu al-Alqami dengan ditemani oleh seorang Katolik Nestorian menawarkan untuk berunding, tetapi Hulagu tidak bersedia menerima mereka.
Pada tanggal 10 Pebruari 1258 M khalifah al-Mu’tashim bertemu dengan Hulagu Khan, ia diperintahkan untuk menginstruksikan seluruh penduduk kota Baghdad berkumpul bersama tentaranya di luar kota. Di sini mereka dibunuh tanpa mengenal belas kasihan dan tidak membedakan umur dan jenis kelamin. Pada 13 Pebruari 1258 M bangsa Mongol memasuki kota Baghdad dan membumihanguskannya. Menurut catatan, 800.000 ribu orang terbunuh termasuk khalifah sendiri yang meninggal di bawah telapak kaki kuda-kuda bangsa mongol itu. Akibatnya air ber-campur darah mengalir ke lorong-lorong kota. Untuk 500 tahun lamanya Baghdad telah dibangun sebagai suatu kota yang penuh dengan istana yang megah dan masjid yang agung, demikian pula rumah sakit yang tidak kalah dengan rumah sakit zaman modern. Semua itu lenyap dalam waktu yang sangat singkat.
Sementara itu, akibat pembunuhan massal, Baghdad tak ubahnya seperti timbunan mayat. Timbunan mayat itu kemudian diguyur hujan dari langit sehingga warnanya berubah dan mengeluarkan bau busuk ke seantero kota Baghdad. Akibatnya, timbul wabah penyakit yang menyebar ke mana-mana karena tiupan angin sampai ke negara Syam.


D. Pengaruh Penyerbuan dan Penaklukan Bangsa Mongol
Jatuhnya Kota Baghdad ke tangan Mongol bukan saja menandai berakhirnya khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan berupa buku-buku yang terdapat di perpustakaan-perpustakaan ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol. Semua aktifitas masjid, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga ke-ilmuan berhenti dengan sendirinya akibat penyerbuan tersebut.
Penaklukan Baghdad sangat menyedihkan bagi umat Islam sedunia, sebab kehancuran politik Baghdad sama dengan hancurnya politik Islam kala itu, dan apalagi pengaruhnya di bidang lain sangatlah besar, yaitu psikis, pendidikan, ekonomi dan perkembangan kebudayaan Islam.
Namun, di samping dikejutkan oleh bencana yang dibawa bangsa Mongol, umat Islam yang dikalahkan ternyata mengagumi para pemimpin Mongol. Struktur politik mereka yang dikelola dengan baik mampu bertahan dalam jangka panjang dan sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan Muslim pada masa sesudahnya.

Download selengkapnya dalam file ms.word...
Read More
Published November 08, 2007 by with 1 comment

DINASTI IDRISIYAH DAN AGLABIYAH (Pembentukan, Kemajuan, dan Kemunduran)

DINASTI IDRISIYAH (788-922)
1. Sejarah Terbentuknya
Dinasti Idrisiyah merupakan dinasti pertama yang beraliran Syi’ah, terutama di daerah Magrib (Maroko) dan Afrika Utara. Sebelum Dinasti Idrisiyah berkuasa, daerah tersebut selalu didominasi oleh aliran Khawarij.
Nama Dinasti Idrisiyah adalah diambil dari nama pendirinya, Idris bin Abdullah bin al-Hasan, seorang pengikut golongan Syi’ah yang Alawiy, cucu al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, didirikan pada tahun 172 H/789 M.
Seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas (‘a¡abiyyah) dari berbagai kalangan yang merasakan diri senasib dalam ketertindasan melawan Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan bani Abbas dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka, bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal. Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha melakukan pemberontakan.
Idris telah ikut dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi, khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu. Dalam suatu pertempuran, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh saudara sepupu Idris, al-Husain bin Ali al-Hasan, dikalahkan oleh tentara Abbasiyah dan terbunuh di suatu tempat di dekat Mekah, pada tanggal 3 Zulhijjah 169 H/11 Juni 786 M.
Setelah peristiwa tersebut, Idris menghilang beberapa saat, dan pada akhirnya muncul di Mesir, kemudian dari sana berhasil melarikan diri ke Maroko. Di Maroko ia disambut oleh Ishaq bin Muhammad, pemimpin salah satu suku dari bangsa Barbar, yaitu suku Aurabah. Pada bulan Ramadan 172 H, atas kehendak Ishaq, Idris dipilih menjadi pemimpin suku Aurabah, kemudian diikuti oleh kabilah-kabilah lain yang menghuni kawasan yang sekarang dikenal dengan Marakisy.
Nampaknya kesediaan kalangan Barbar menerima Idris bin Abdullah – yang beraliran Syi’ah (Alawiyah) – adalah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dibanding faktor agama (aliran), karena terbukti bahwa suku-suku tersebut dulunya adalah penganut aliran Khawarij. Akan tetapi karena kondisi intern Barbar terjadi perpecahan, artinya tidak ada orang yang berhasil mempersatukan mereka. Masing-masing suku ingin tampil sebagai pemimpin, sehingga mereka menerimanya sebagai pemersatu.
Selain faktor tersebut, yang sangat menentukan adalah kemampuan Idris meyakinkan orang-orang Barbar bahwa dirinya merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib.
Setelah terpilih jadi pemimpin bangsa Barbar, Idris kemudian melakukan penyerangan terahadap kabilah-kabilah Yahudi, Nasrani, dan paganisme yang mendiami daerah Tamisna, dan berhasil mengalahkan kabilah-kabilah tersebut dengan mudah. Kemudian sekitar tahun 173 atau 174 H (789 atau 790 M) dia melakukan invasi ke arah timur, dimana berhasil menundukkan kota Tilmisan (Agadir) yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad bin Khayir. Idris kemudian menetap beberapa waktu di Tilmisan, dan pada bulan Safar 174 H, ia membangun sebuah masjid, dimana mimbar masjid tersebut yang di atasnya terukir namanya masih ada hingga zaman Ibn Khaldun.
Namun ketika ia kembali ke ibu kota, Walily (Volubilis), ia diracuni oleh seorang yang bernama Sulaiman al-Syammakh. Konon peristiwa itu atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid, pada awal Rabi‘ al-¤±niy 177 H/16 Juli 793 M.
Dengan berdirinya Dinasti Idrisiyah di Afrika Utara, maka pusat kekuasaan Islam telah terbagi kepada tiga kawasan: 1. Bani Umaiyyah di Spanyol, 2. Syi’ah di Magrib (Maroko), dan 3. Abbasiyah di daerah sisanya di Timur Tengah.
2. Masa Kemajuannya
Kurang lebih satu setengah abad Dinasti Idrisiyah berkuasa di Maroko, dan telah dipimpin oleh sembilan orang raja, yaitu Idris I (788-793), Idris II (793-828), Muhammad al-Muntasir (828-836), Ali I (836-849), Yahya I, Yahya II, Ali II, dan Yahya III (849-904), Yahya IV (904-922).
Masa kemajuan Dinasti Idrisiyah mulai tercapai pada masa pemerintahan Idris I dan Idris II. Keberhasilan yang dicapai pada masa itu adalah penyebaran Islam ke seluruh masyarakat dengan mudah. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Setelah Idris II meninggal pada tahun 828, ia meninggalkan pemerintahan yang stabil dan telah menguasai sebagian besar muslim Barbar. Tiga raja berikutnya, Muhammad, Ali I, dan Yahya I adalah penguasa-penguasa yang kuat, yang lebih memapankan pemerintahan Idrisiyah. Sepanjang pemerintahan Yahya I, Fez telah mencapai puncak kemakmurannya dengan menjadi salah satu pusat perdagangan yang menghubungkan antara Afrika dan Eropa. Selama pemerintahan Yahya yang damai, banyak imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya berdatangan ke Fez. Kota ini lalu berkembang dengan pesat, baik dari segi penduduk maupun pembangunan gedung-gedungnya. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah dua masjid, Qarawiyyin dan Andalusia, yang didirikan pada tahun 859 M. Kota Fez kemudian dianggap sebagai kota suci, tempat tinggal kaum syorfah (kaum syurafa’ atau orang-orang mulia) keturunan istimewa Nabi.
Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama, dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
Yahya I bin Muhammad meninggal pada tahun 863 M, ia kemudian digantikan oleh putranya, Yahya II, yang pemerintahannya kurang sukses. Pada masanya mulai terjadi disintegrasi dengan terjadinya pemberontakan dari bangsa Barbar yang memaksanya untuk lari bersembunyi. Dari sinilah awal kemunduran Dinasti Idrisiyah.
Kemajuan yang pernah dicapai oleh Dinasti Idrisiyah dapat mengangkat citra umat Islam pada umumnya, dan Afrika khususnya, dan telah memperlihatkan bahwa manajemen pemerintahan sangat penting untuk mengatur negara dan wilayah kekuasaan. Hal itulah yang dilakukan oleh Idris I sampai pada Yahya I, sehingga kemajuan itu dapat dicapai.
Namun setelah itu, saat kepemimpinan beralih, maka kondisinya berbeda akibat tipe pemimpin berikutnya tidak belajar dari sejarah pendahulunya, sehingga dalam sejarah dicatat bahwa setelah Yahya I, Dinasti Idrisiyah mengalami kemunduran.
3. Kemundurannya
Salah satu penyebab kemunduran Dinasti Idrisiyah adalah karena kelemahan pemerintahnya yang tidak dapat dipungkiri. Kelemahan itu kelihatan pada ketidakmampuan mengontrol daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Akibat dari kelemahan itu, Dinasti Idrisiyah sama sekali tidak mampu, baik secara geografis maupun ideologis untuk memperlebar wilayah perbatasan yang telah dirintis dan dikoordinasi oleh Idris I.
Seperti telah dijelaskan, bahwa Yahya II tidak mampu melanjutkan kesuksesan para pendahulunya. Pemberontak Barbar telah memaksanya untuk melarikan diri ke Andalusia sampai akhir hayatnya. Setelah kematian Yahya II, keadaan pemerintahan cenderung anarki dengan terjadinya perebutan kekuasaan antara anak cucu Idris. Kondisi chaos ini diperparah dengan terjadinya pemberontakan kaum Khawarij melawan pemerintahan Idrisiyah yang Syi’ah. Perdagangan menjadi berkurang, kemakmuran mengalami decline, kemelaratan merajalela di mana-mana. Selanjutnya, pada tahun 881 sebuah gempa bumi yang dahsyat melanda negara, menghancurkan bangunan-bangunan dan mengubur banyak penduduk di bawah puing-puing bangunan, sementara itu ketakutan dan penyakit melanda desa-desa. Saat itu sungguh menjadi era miring bagi pemerintahan Dinasti Idrisiyah, yang mana kondisi politik sangat membingungkan, sehingga para sejarahwan pun sulit menentukan tahun yang pasti pada pemerintahan Idrisiyah antara Yahya I dan Yahya IV.
Pada tahun 904, Yahya IV memproklamirkan diri sebagai raja dan imam yang secara berangsur-angsur memulihkan kekuasaan (rezim) Idrisiyah. Selama masa pemerintahannya, keadaan relatif stabil dan keamanan berhasil dipulihkan di Afrika Utara, perdagangan kembali maju dan kemakmuran mulai tumbuh kembali di Fez. Namun demikian kemakmuran tersebut hanya berlangsung singkat, dengan kemunculan Dinasti Fatimiyah, gerakan Syi’ah (keturunan Ali) yang lain, di pusat Afrika Utara, di bawah pimpinan Ubaydillah al-Mahdi. Pada tahun 919, hanya lima belas tahun setelah pelantikannya sebagai pemimpin rezim Idrisiyah, Yahya IV harus berperang melawan tetangganya, Dinasti Fatimiyah. Menyadari posisinya yang lemah, Yahya IV memilih untuk mengadakan perundingan damai dengan Fatimiyah, yang telah menyetujui dirinya untuk melanjutkan pemerintahannya di Fez, tapi dengan catatan harus membayar upeti kepada khalifah Fatimiyah. Pada tahun 922, tiba-tiba Fatimiyah memutuskan untuk memecat Yahya IV dan memasukkan wilayah Magrib kedalam kekuasaannya, yang mengakhiri masa kekuasaan Dinasti Idrisiyah yang telah memerintah di Afrika Utara selama sekitar seratus empat puluh tahun.
Juga di antara faktor yang membawa kepada surutnya kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah setelah Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aglab (800-811) – pendiri bani Taglib (Dinasti Aglabiyah) – sebagai gubernur Afrika Utara yang beraliran Sunni. Ibrahim bin Aglab sengaja diangkat oleh Khalifah Harun al-Rasyid untuk membendung bahaya Dinasti Idrisiyah dan kaum Khawarij, dan selanjutnya akan dibahas pada bab berikutnya.

DINASTI AGLABIYAH (BANI TAGLIB) (800-909)
1. Sejarah Terbentuknya
Dinasti Aglabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aglab yang diberi otonomi wilayah di Ifriqiyyah (yang sekarang disebut Tunisia dan propinsi Tripoli – Libiya), oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Tujuan didirikannya ialah antara lain untuk meredam meluasnya kekuasaan Rustamiyah yang Khawarij agar tidak meluas ke Timur. Karena jauhnya wilayah Aglab dari pusat Abbasiyah, maka kekuatannya betambah besar sehingga tidak terkontrol lagi oleh pusat. Para penguasanya adalah keturunan al-Aglab atau bani Taglib, seorang Khurasan yang menjadi perwira dalam tentara Dinasti Abbasiyah.
Ketika Bagdad diperintah oleh Khalifah Harun al-Rasyid, di bagian barat Afrika Utara terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama, dari Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syi’ah, dan kedua dari golongan Khawarij. Adanya kedua ancaman tersebut telah mendorong al-Rasyid menempatkan balatentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin al-Aglab.
Wilson menyebutkan, bahwa ketika Idris II dari Maroko masih kecil dan didukung oleh bangsa Barbar, Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan untuk mengangkat seorang perwira ulung, Ibrahim bin Aglab, sebagai gubernur di Afrika Utara, dan memberikan kepadanya kebebasan dalam mengambil tindakan terhadap setiap pemberontakan Barbar yang berkobar. Konon, al-Aglab menyetujui perintah Khalifah al-Rasyid hanya setelah khalifah memberikan jaminan hak hereditary (warisan kekuasaan pada keturunannya) terhadap Afrika Utara. Demikian, dengan dukungan kuasa otonomi yang diberikan kepadanya, Ibrahim al-Aglab berangkat ke Qayrawan untuk membangun dinasti baru, Dinasti Aglabiyah, dan menjadikan Tunis sebagai pusat pemerintahannya.
Selama masa kekuasaannya, Dinasti Aglabiyah telah diperintah oleh sebelas raja, sebagai berikut:
1. Ibrahim I 800 – 811
2. Abdullah I 811 – 816
3. Ziyadatullah I 816 – 837
4. Abu Iqal 837 – 840
5. Muhammad I 840 – 856
6. Ahmad 856 – 863
7. Ziyadatullah II 863 – 864
8. Muhammad II 864 – 874
9. Ibrahim II 874 – 902
10. Abdullah II 902 – 903
11. Ziyadatullah III 903 – 909
2. Masa Perkembangan dan Kemajuannya
Meskipun tujuan utama pengangkatan Ibrahim al-Aglab di Afrika Utara adalah untuk memadamkan pemberontakan Dinasti Idrisiyah di Maroko, namun pada kenyataannya, baik Ibrahim I sendiri maupun anak cucunya tidak seorang pun di antara mereka yang sempat berkonfrontasi langsung dengan kubu Idrisiyah di bagian barat. Karena baru saja Ibrahim I menginjakkan kakinya di Qayrawan, tiba-tiba meletus pemberontakan pendudk Tripoli (Libiya) terhadap gubernur mereka. Pada tahun 804 Ibrahim berangkat untuk memadamkan pemberontakan orang-orang Libiya tersebut. Dan tidak lama berselang, timbul lagi kekacauan baru dengan meletusnya pemberontakan bangsa Barbar secara meluas di berbagai daerah di Afrika Utara. Kekuatan Ibrahim I terpaksa lebih banyak dipusatkan untuk menumpas mereka, dan tidak sempat mencoba menggulingkan pemerintahan Idrisiyah. Pada akhirnya, hanya beberapa waktu sebelum dia wafat, Ibrahim I berhasil membuat Tripoli dan sebagian besar masyarakat Barbar untuk tunduk di bawah kontrolnya. Pada tahun 811, ketika ia berada di puncak kekuatan dan prestasinya, ia wafat setelah berkuasa hanya sebelas tahun.
Ia kemudian digantikan oleh putranya, Abdullah I (811-816), namun Abdullah tidaklah sekuat dan seadil bapaknya. Dia telah mengambil tindakan keras dalam pengumpulan pajak, tidak mengindahkan nasehat para penasehat hukumnya dan para ulama. Dia kemudian terbunuh secara misterius setelah hanya memerintah selama lima tahun.
Ziyadatullah I (816-837) mewarisi saudaranya, Abdullah I, sebagai penguasa Afrika Utara. Dia orangnya lebih cenderung memperhatikan nasehat para penasehatnya sebagaimana leluhurnya, dan karakteristik pemerintahannya relatif lebih stabil. Pada tahun 825 sebuah pemberontakan terjadi dipelopori oleh Mansur yang berhasil menghimpun beberapa pengikut dan mengancam Qayrawan. Namun, pada tahun berikutnya Ziyadatullah I berhasil mengalahkan Mansur, yang kemudian meninggal tidak lama setelah di penjara.
Kemakmuran yang dicapai oleh rakyat di bawah pemerintahan Ziyadatullah I, ditambah dengan tidak adanya perbedaan antara orang-orang Arab dan orang-orang Barbar, telah mendorong mereka untuk mencari tanah baru. Faktor ini turut membangkitkan semangat Bani Aglab untuk menduduki Sicilia dan sebagian besar Italia Selatan selama abad ke-9.
Pada tahun 827 Ziyadatullah menyerang Sicilia, di mana dia berhasil melumpuhkan pasukan Bizantium di awal 828 di Syracuse, dan selanjutnya tahun 830 di Palermo. Meskipun dengan berbagai kemenangan yang diraihnya di kota-kota tersebut, namun Aglabiyah tidak mampu mempertahankan jalur suplai mereka dengan Qayrawan, dan secara berangsur-angsur dengan terpaksa mereka melepaskan pendudukan mereka atas kota-kota tersebut.
Penaklukan dan pendudukan Aglabiyah terhadap Sicilia telah membentuk suatu pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa-Kristen. Bahkan renaisans di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini. Para penguasa Dinasti Aglabiyah juga merupakan pembangun-pembangun yang antusias. Misalnya Ziyadatullah I membangun kembali Masjid Raya Qayrawan dan Ahmad membangun Masjid Raya Tunis. Di samping itu, berbagai pekerjaan di bidang pertanian dan irigasi juga dilakukan, terutama di daerah-daerah selatan yang kurang subur.
Setelah Ziyadatullah I wafat pada tahun 837, lima penguasa Aglabiyah berikutnya secara berturut-turut berganti dengan cepat. Perselisihan internal dan pemberontakan lokal terus terjadi sampai pada masa Ibrahim I yang memangku jabatan pada tahun 874. Dia punya karakter yang lebih tegas dan murah hati, meluangkan banyak waktunya untuk mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya dan berusaha meringankan penderitaan mereka. Dia dengan murah hati memberikan sumbangan-sumbangan dan bantuan finansial yang tidak terikat kepada yang memerlukan. Oleh karena itu, masyarakat umum senantiasa berlomba-lomba memberi dukungan kepadanya selama dalam masa kritis.
Sepanjang pemerintahan Ibrahim II, seorang putra Ibn Tulun dari Mesir yang bernama al-Abbas berusaha mengambil alih kekuasaan bapaknya dan membangun kerajaan untuk dirinya sendiri di Afrika Utara. Konon, al-Abbas telah mengirim pesan kepada Ibrahim II pada tahun 880, memberitahukan kepada Ibrahim bahwa dirinya telah ditunjuk sebagai gubernur di Afrika Utara dan meminta Ibrahim II untuk mengosongkan posisinya dengan cepat. Setelah mendengar pesan tersebut, Ibrahim II mengirim pasukan untuk melawan al-Abbas ibn Tulun, di mana dalam waktu yang sama al-Abbas juga telah maju mendekati Qayrawan. Dalam pertempuran tersebut, al-Abbas berhasil dikalahkannya dan dipaksa untuk mundur ke Barqa. Kemenangan Aglabiyah ini semakin memperkokoh wibawa Ibrahim II di mata rakyatnya, dan terus memerintah Qayrawan sampai pada tahun 902.
3. Masa Kemunduran Dinasti Aglabiyah
Posisi Dinasti Aglabiyah di Ifriqiyah semakin menurun di akhir abad ke-9, disusul dengan semakin menguatnya propaganda Syi’af Fatimiyah.
Ibrahim II lalu digantikan oleh putranya, Abdullah II, yang telah dikhianati oleh para pembantunya sendiri setelah hanya memerintah selama enam bulan. Abdullah II kemudian digantikan oleh Ziyadatullah III, penguasa terakhir Dinasti Aglabiyah, untuk memerintah Qayrawan. Sepanjang masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah telah memulai propagandanya, yang mana pengaruhnya telah meluas ke mana-mana meliputi semua penduduk di Afrika Utara. Memasuki tahun 904, Abu Abdullah, seorang pelopor pergerakan Dinasti Fatimiyah di Afrika, berhasil menghimpun pengikut dalam jumlah besar – yang cukup untuk merebut sebagian besar kota-kota yang berada di bawah kekuasaan Aglabiyah. Berawal dari sini, dia terus maju ke arah Qayrawan pada tahun 909, dan memaksa Ziyadatullah III untuk melarikan diri dari kota.
Tidak lama setelah pendudukan Qayrawan, pemimpin gerakan Fatimiyah, Ubaydullah al-Mahdi, tiba di ibu kota dan memproklamirkan awal berdirinya Kekhalifahan Syi’ah, yang juga menandakan akhir keruntuhan dari Dinasti Aglabiyah.
Sejak itu, Ifriqiyah dikuasai oleh orang-orang Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiyah.

Download makalah lengkapnya...
Read More
Published November 05, 2007 by with 0 comment

DINASTI IBNU THULUN (Pembentukan, Kemajuan, dan Kemunduran)

DINASTI THULUNIYAH
1. Riwayat singkat Thuluniyah
Thuluniyah adalah sebuah dinasti yang muncul dan berkuasa di Mesir pada abad ke-9 (3 H), yakni dari 868 M (254 H) sampai 905 M (292 H). Sejak 877 M (263 H) dinasti ini melepaskan dirinya dari khilafah Bani Abbas dan dengan demikian Mesir pertama kalinya setelah berlalu masa sembilan abad, menjadi negara merdeka (tidak menjadi profinsi atau bagian dari imperium Romawi (30 SM-642 M/21 H), khilafah Khulafa al-Rasyidin (642 M/21 H- 665 M/40 H), khilafah Bani Umayyah (665 M/40 H-750 M/132 H), dan khilafah Bani Abbas (750/132 H), sampai dinasti Thuluniyah melepaskan diri dari khilafah Bini Abbas pada 877 M/263 H.

2. Pembentukan dinasti Ibnu Thulun
Pembentuk/pendiri dinasti Thuluniyah adalah Ahmad bin Thulun, seorang berdarah Turki. Ayahnya dikirim bersama dengan pemuda-pemuda yang lain oleh gubernur Bukhara di Transoxsiana sebagai hadiah untuk khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun dan dia menjadi orang terkemuka di istana. Anaknya, Ahmad, gubernur Mesir yang akan datang, diajari bahasa Arab, Alquran dan hukum Islam secara mendalam. Dia mengunjungi perbatasa profinsi Tarsus beberapa kali untuk belajar di bawah seorang sarjana special hingga dia sendiri menjadi ahli dalam studi Islam, juga melebih dalam seni militer yang diajarkan kepada anak-anak muda Turki pada masa itu. Pada mulanya ia dikiraim dari Baghdad ke Mesir pad 686 M (254 H) untuk menjadi wakil gubernur Mesir. Pada 873 M (259 H) ia melepaskan diri dari khilafah Bani Abbas , dan menaklukkan Damaskus, Homs, Homat, Aleppo, dan Antiokia (semuanya di Syam dan Syiria). Dengan demikian ia bukan saja membuat Mesir merdeka (berdiri sendiri) tetapi bahkan berkuasa atas tanah Syam, suatu keadaan yang tidak pernah terjadi setelah setelah Mesir ditaklukan Persia pada 340 SM. Untuk memudahkan usaha kontrol atas tanah Syam ia membangun armada laut yang kuat dan pangkalan angkatan laut di Akka (Syam).
Sejak melepaskan diri dari Bani Abbas, Ahmad bin Thulun tidak pernah lagi mengirim sepeser uang cukai negeri Mesir ke Baghdad. Kekayaan Mesir dimanfaatkan untuk Mesir sendiri. ia bangun kota Qota’i di sebelah utara Fustat, sebagai ibukota baru, meniru model kota Samarra yang berada di utara Baghdad . Ia bangun rumah sakit besar. Rimah sakit yang pertama muncul di Mesir dan ia bangun Mesjid Agung yang dikenal dengan nama Jami’ Ibnu Thulun yang pada bagian dalamnya terukir lebih kurang sepertujuh belas dari seluruh ayat-ayat Alquran dengan huruf Arab Kufi. Banyak bangunan-bangunan megah ia dirikan untuk menambah semaraknya kota yang menjadi tandingan bagi kota Samarra itu.
3. Kemajuan Dinasti Thuluniyah
Perhatian Ahmad bin Thulun kepada bidang perekonomian cukup besar. Tempat ukuran air sungai Nil (nilometer) di pulau Raudah diperbaiki, bendungan dan seluruh irigasi ditambah, sehingga areal pertanian menjadilebih luas, dan kegiatan industri mendapat motivasi kuat darinya. Di masa itu terdapat industri senjata, sabun, gula, kain, dan lain-lain. Jembatan, terusan, dan armada perhubungan darat, sungai, dan laut diperbesar demi ramai dan lancarnya lalu lintas perdagangan dalam seluruh wilayah yang dikuasainya. Pada mesjid agung itu disediakan dokter-dokter khusus setiap hari jum’at untuk mengobati orang-orang sakit dengan cuma-cuma. Begitupun ia membangun sekian banyak mustasyfa yakni rumah sakit umum untuk menampung para pasien dari segala agama dan aliran dan memperoleh perawatan dengan cuma-cuma sampai sehat. Pendeknya, Ahmad ibn Thulun setelah melalui kerja keras berhasil mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pada 904 M (270 H) ia wafat dengan meninggalkan nama yang harum sebagai seorang hafiz, negarawan pemberani, pemurah serta dekat dengan ulama dan rakyat.
Selanjutnya dinasti Thuluniyah dipimpin oleh putranya, Khumarawaih yang baru berusia 20 tahun. Segera amir yang baru ini mendapat tantangan berat. Damaskus diserang oleh pasukan gabungan (terdiri dari pasukan al-Muwaffiq, saudara khalifah Baghdad, pasukan Ibnu Kindag, gubernur Mosul dan pasukan Muhammad bin Abi Sibag, gubernur Armenia). Amir Khumarawaih maju memimpin sendiri pasukannya untuk merebut kembali Damaskus pada 907 M (273 H), dan berhasil memaksa al-Muwaffiq dan khalifah Mu’tamid untuk mengakui kedaulatan dinasti Thuluniyah di Mesir dan Syam. Kekuasaan Khumarawaih semakin mantap dan luas setelah musuh-musuh utamanya meninggal (al-Muwaffiq dan Ibnu Kindag pada 912 m (278 H) dan khalifah Mu’tamid pada tahun berikutnya).
Dengan kekayaan yang melimpah, Khumarawaih mendirikan lagi gedung-gedung megah dan taman-taman yang indah. Ia gunakan uang antara lain 900.000 dinar pertahun untuk pembiayaan pasukan dan 23.000 dinar perbulan untuk menyediakan makanan gratis bagi para fakir dan orang-orang lemah melalui dapur-dapur umum. Dalam istananya yang megah terdapat Golden Hall, aula dengan dinding yang berlapis emas dan dihiasi dengan gambar para istrinya dan gambar para penyanyi istana. Istananya terletak di tengah taman yang penuh dengan aneka bunga yang tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk ungkapan-ungkapan berbahasa Arab. Sebuah kolam renang berlapis perak di halaman istana, kebun binatang dan istana burung ikut melengkapi semaraknya istana dinasti Thuluniyah.
4. Kemunduran dinasti Thuluniyah
kematian Khumarawaih pada tahun 895 M (282 H) merupakan awal kemunduran dinasti itu. Persaingan yang hebat antara unsur-unsur pembesar dinasti telah memecah persatuan dalam dinasti. Amir yang ketiga, Abu al-Asakir bin Khumarawaih dilawan oleh sebagian pasukannya dan dapat disingkirkan (896 M/283 H). Adiknya yang baru berusia 14 tahun, Harun bin Khumarawaih diangkat sebagai Amir yang keempat. Akan tetapi, kelemahan sudah sedemikian rupa sehingga wilayah Syam dapat direbut oleh pasukan Qaramitah. Amirnya yang kelima, Syaiban bin Ahmad bin Thulun, hanya 12 hari saja memerintah, karena ia menyerah ke tangan pasukan Bani Abbas yang menyerang Mesir pada tahun 905 M (292 H), dan dengan demikian berakhirlah riwayat dinasti Thuluniah.
DINASTI IKHSYIDI
1. Pembentukan dinasti Ikhsyidi
Ikhsyidiyah adalah dinasti kedua yang muncul di Mesir dan berhasil melepaskan diri dari kekuasaan khalifah Bani Abbas (yang pertama adalah dinasti Thuluniyah). Dinasti Ikhsyidiyah ini berdiri dari tahun 935 M (323 H) sampai 969 M (358 H), dan mempunyai lima orang amir, yaitu;
1. Muhammad bin Tugj al-Ikhsyidi (935-946 M / 323 -334 H)
2. Abu al-Qasim Unughur bin Muhammad (946-960 M / 334-349 H)
3. Abu al-hasan Ali bin Muhammad (960-966 M / 349-355 H0
4. Kafur (966-968 M / 355-357 H)
5. Abu al-Fawaris Ahmad bin Ali (968-969 M / 357-358 H)
Pendiri dinasti ini Muhammad bin Tugj adalah seorang yang berdarah Turki dari Fargana. Pada mulanya ia menjadi bawahan gubernur Mesir, Ibnu Bistam (sampai 910 M / 297 H), kemudian Abi al-Qasim Ali; dan ikut bertempur di bawah komando Tiskim melawan pasukan Fatimiyah yang menyerbu berulang-ulang ke Mesir. Banyak prestasi gemilang yang dapat diperbuat Muhammad bin Tugj sehingga pantas ia sejak 935 M (323 H) menjadi penguasa tertingg (gubernur/amir) atas wilaya Mesir, Syam, dan Hejaz. Pada tahun 939 M (327 H) ia digelari “al-Ikhsyidi” (gelar raja-raja Farghana dulunya) oleh khalifah Bani Abbas, Radi. Dia kemudian turut andil dalam menagkis serbuan Fatimiyah di Nesir dan ia diangkat sebagai gubernur Iskandariah sehingga ia dipercaya dengan kegubernuran Mesir pada tahun 323 H / 934 M, sebagai hadiah untuk kemenangannya terhadap Fatimiyah di Afrika Utara. Pada tahun 324 H, khalifah Abbasiyah menganugerahkan gelar “al-ikhsyid” kepadanya yang disisipkan dalam khutbah jum’at dan ditulis dalam mata uang.
2. Kemajuan dinasti Ikhsyidiyah
Selama pemerintahan Ikhsyidi Mesir sangat kuat, kesentosaan dan ketertiban seluruhnya ditegakkan di bawah pasukan perang al-Ikhsyidi sejumlah 400.000 orang, 8000 orang dijadikan pasukan pengawalnya. Pembayaran dan hadiah (gaji) mereka dibekali secara teratur dari sumber kekayaan yang berlimpah-limpah.
Dia memberi beberapa sistem irigasi dan memberi gambaran tentang peta-peta banjir sungai Nil pada tanggal 14 November, dan konklusi / kesimpulan mereka di delta sungai Nil pada bulan Januari. Beberapa ahli sejarah juga menerangkan bahwa Ikhsyid memberi izin kepada rakyat untuk menggali harta kekayaan terpendam dari apa yang mereka katakan, mereka sudah mendapatkan petunjuk tentang barang yang mereka inginkan dalam manuskrip kuno tetapi mereka hanya menemukan gua-gua dari ruang bawah tanah, penuh dengan patung terbuat dari tulang dan debu yang disebut dengan mummi. Tampaknya yang dapat dibangun oleh dinasti Ikhsyidiyah di Mesir adalah istana baru di pulau Raudah, yang terkenal dengan “al-Mukhtar”. Selain itu dibangun juga “Taman Kafur” dan “Medan Ikhsyidiyah.” Ikhsyid meninggal dunia pada tahun 334 H / 946 M dan digantikan oleh anak tertuanya Anujur.
Dia memadamkan kerusakan dengan suatu kebijaksanaan, di mana kebijaksanaan itu dihormati dengan penuh konsiderasi oleh seluruh pegawai-pegawai resmi umum. Segera setelah itu berita tiba bahwa Hamdaniyah, Sayf al-Dawlah sudah menduduki Damaskus dan sedang berjalan menuju Raudah. Kafur berhasil mengecek perkembangan Sayf al-Dawlah. Hal ini menambah reputasinya dan walupun dia tidak memegang kekuasaan konstitusional, dia mampu mengauasai seluruh masalah di negaranya. Dia diakui dengan gelar “Uztadz” (tutor) dan sebagian besar penduduk yang dipengaruhinya. Dengan gelar ini namanya disebutkan di dalam khutbah jum’at dan dia berhasil dalam membujuk pimpinan pegawai-pegawai dengan mengusahakan mereka bantuan-bantuan yang berwujud.
Karena Anujur tumbuh lebih tua atau dewasa, sekalipun demikian, permusuhan timbul antara Kafur dan dia sendiri. Setiap hari keduamya didukung oleh golongannya dan setiap orang menjaganya melawan yang lain. Permusuhan mereka tumbuh lebih sengit dan pasukan perang pecah menjadi dua golongan yaitu;
1. Golongan Kufuriyah yaitu Mamluk (hamba-hambanya) Kafur yang sudah diangkat olehnya di tempat kekuasaan yang tertinggi.
2. Golongan Ikhsyidiyah yaitu hamba-hamba (Mamluk) dan pengikut keluarga Ikhsyidiyah. Pada tahun 349 H / 960 M Anujur meninggal dunia, mayatnya dibawa ke Jerusalem dan dikubur dekat makam ayahnya. Kafur sekarang sudah cukup kuat untuk mengontro pengangkatan seorang pengganti dan putra Ikhsyidiyah kedua, Ali menggantikannya dengan uang pensiun tahunan sebesar 400.000 dinar. Seluruh administrasi Mesir dan Syiria ditahan di bawah kekuasaan Kafur.
Gubernur baru walaupun berusia 23 tahun, dijaga di istananya dan tidak diizinkan untuk menemui seorangpun. Perasaan saling memusuhi sama berlangsung sampai gubernur meninggal pada tahun 355 H / 966 M. Untuk beberapa waktu Mesir tinggal tanpa pemerintahan yang tetap / teratur, seluruh kekuasaan terserah kepada Kafur, yang ketika ia dinasehati untuk memproklamirkan anak Ali, menjawab bahwa anak yang masih sangat muda tidak cocok untuk menguasai pemerintahan.
3. Kemunduran dinasti Ikhsyidiyah
Pada tanggal 4 Muharram 355 H, kira-kira satu bulan setelah Ali meninggal dunia. Kafur memperlihatkan mantel panjang kehormatan dikirim dari Baghdad dan Chapter / piagam mengangkatnya sebagai gubernur dengan gelar “Uztadz”. Pada tanggal 10 Shafar di tahun yang sama dia mulai memakai mantel kehormatan di depan umum.
Selama periode ini Mesir menderita / menahan kesengsaraan yang sangat dalam. Mesir buruk (bencana) yang paling dahsyat ialah bahwa sungai Nil sangat rendah dan kekurangan air dan penyakit pes menyebabkan kematian beribu-ribu penduduk. Ialah suatu kemungkinan yang sangat kecil untuk mengubur mereka dan mayat-mayat mereka harus dibuang ke sungai Nil. Sebagian keperluan-keperluan untuk kehidupan tidak bisa dipertahankan, jagung sangat sulit untuk di dapatkan dan pertanian-pertanian dirampas.
Untuk menambah duka cita negeri ini, Kafur sudah tidak bisa untuk menghalangi-halanginya Qarmatians yang mengadakan penyerangan ke Syiria pada tahun 352 H / 963 M, penangkapan atau perampasan terhadap kafilah haji orang-orang Mesir dalam perjalanan mereka menuju Makkah pada tahun 355 H / 965-966 M, dia juga tidak bisa mempertahankan negara dari orang-orang Nubia yang merampas daerah-daerah di wilayah selatan. Lebih lagi pembayaran terhadap pasukan pengawal Kafur diturunkan tunjangan-tunjangan / hadiah biasa mereka dalam tunggakan. Dan mereka penyebab terjadinya pemberontakan.
Keadaan atau kondisi Mesir yang semacam inilah menyebabkan kematian Kafur pada tahun 358 M. Saudara Ikhsyid bertanggung jawab atas kekuasaan yang agung. Pemerintah / kekuasan Ikhsyidiyah atau paling tidak kekuasaan nominal mereka berlangsung selama lima bulan tidak beraturan dan negara tidak bisa mempersembahkan pertahanan yang efektif terhadap serangan yang dilancarkan oleh khalifah Fatimiyah di Afrika Utara.

Makalah di atas belum lengkap, silahkan download lengkapnya...
Read More
Published November 03, 2007 by with 0 comment

PEMBAHASAN DINASTI GHAZNAWIH (Sejarah Pembentukan, Kemajuan, dan Kemunduran)

A. Sejarah Pembentukan Dinasti Ghaznawih
Cikal bakal eksistensi dinasti Ghaznawih didirikan pada tahun 351 H / 962 M oleh Alpatikin, seorang budak belia berbangsa Turki yang dibeli oleh Amir Abd al-Malik bin Nuh (342-350 H / 954-961 M), salah seorang penguasa dinasti Samaniyah. Oleh Abd al-Malik bin Nuh mengangkatnya sebagai anggota pengawal istana dinasti Samaniyah. Karena keberanian dan jasa-jasanya yang banyak Alpatikin diangkat sebagai kepala pengawal dan selanjutnya diangkat sebagai gubernur di Khurasan pada tahun 961 M, salah satu daerah di bawah kekuasaan dinasti Samaniyah.
Setelah satu tahun menjabat sebagai gubernur, Alpatakin bersama tentaranya bergerak menuju Ghazna untuk dikuasainya dan akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan, dan berhasil menguasai wilayah tersebut dari penguasa aslinya yang bernama Padshah, sekutu dari Hindu Shashis, Kabul. Ghazna adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah selatan kota Kabul, Afghanistan. Alasan Alpatakin untuk menguasai kota tersebut sebagai sasaran awal penaklukan adalah karena letak geografis wilayah tersebut yang cukup strategis sebagai pusat perdagangan dengan India, sehingga akan menguntungkan pemerintahan baik dari segi ekonomi, politik, maupun keperluan militer.
Alpatakin meninggal pada tahun 963 M, kemudian kekuasaan dinasti Ghaznawih digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ishak bin Alpatakin di kota Ghazna tersebut. Abu Ishak berkuasa selama 13 tahun. Baik pada masa Alpatakin maupun pada masa Abu Ishak bin Alpatakin dinasti itu belum mengalami kemajuan yang berarti. Setelah Abu Ishak meninggal pada tahun 976 M, kekuasaan pemerintahan digantikan oleh menantunya yang bernama Sabaktikin (977-997 M), (juga bekas budak berbangsa Turki) yang memegang kendali kekuasaan di Ghazna sebagai penerus Abu Ishak. Sabaktikin memprakarsai penguasaan jalan-jalan lalu lintas ke India.
Sabaktikin inilah yang dianggap sebagai pendiri dinasti Ghaznawih, sebagai pemimpin yang handal dan berpengaruh, serta telah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan dinasti Ghaznawih selanjutnya. Namum ia masih menganggap dirinya sebagai gubernur bawahan dinasti Samaniyah. Dengan demikian ia masih mengakui hak Dipertuan dinasti Samaniyah tersebut. Hal ini terlihat pada mata uang yang dikeluarkannya atas nama Nuh bin Mansur dan namanya sendiri.
Pada tahun 997 M, Sabaktikin meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Ismail bin Sabaktikin. Ia memerintah hanya sekitar 7 bulan, karena kurang cakap dalam mengendalikan pemerintahan, akhirnya kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh saudaranya yang bernama Mahmud bin sabaktikin yang memerintah dari tahun 997-1030 M.
Pada masa inilah dinasti Ghaznawih mencapai puncak kejayaannya, sehingga disebut dengan Mahmud al-Ghazni atau Mahmud dari Ghazni. Ia seorang tokoh yang masyhur, administrator, pemberani, dan menguasai sebagian besar benua India.
Mahmud al-Ghazni telah membuktikan dirinya sebagai penguasa yang cakap, bijaksana, dan besar baik dalam perang maupun damai. Ia adalah penakluk yang tak terkalahkan, seorang administrator ulung serta pembangun yang besar. Khalifah Abbasiah dari Baghdad dan al-Kadir Billah mengakui Mahmud sebagai penguasa Ghazni dan Khurasan, serta menganugrahkan gelar kepadanya “Yamen al-Dawala” dan “Yamin al-Milal”.

B. Kemajuan Dinasti Ghaznawih
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Sabaktikin sebagi pendiri dinasti Ghaznawih yang berkuasa selama kurang lebih 20 tahun telah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan dalam pemerintahan, yang kemudian mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan sesudahnya yaitu pada masa Mahmud al-Ghaznawih. Kemajuan-kemajuan yang dicapai meliputi bidang politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.
1. Bidang Politik
Langkah awal yang dilakukan Mahmud adalah memperkuat daerah Khurasan (tempat kakeknya Alpatakin dipecat dari jabatannya sebagai Gubernur), Transoxsania sampai sungai Oxus (999 M). Kemudian meluaskan kekuasaan sebagai lanjutan dari Sabaktikin ke India bagian utara, sehingga berhasil menguasai Punjab, termasuk Multan dan Lahore serta sebagian daerah Sind. Kalau Sebaktian hanya cenderung mengadakan semacam penjarahan kekuasaan tersebut, maka Mahmud berhasil memperkuat dan mengokohkan kekuasaannya.
Di samping wilayah-wilayah tersebut, ia juga berhasil menguasai wilayah-wilayah bagian India lain seperti Pashawar, Kashmir, Bathinda, Delhi, Buluchistan, Mathura, Kanauj, Kalinjar, Makran, Kirman, Gujarat, Surat, dan Newahand. Untuk mengendalikan kekuasaan di India yang hampir seluruhnya dikuasai, Mahmud mengangkat seorang Gubernur yang berkedudukan di Lahore.
Dalam hal ini, Heig mengatakan bahwa Mahmud al-Ghaznawi adalah seorang raja India yang pada masa hidup beliau telah menduduki Punjab dan daerah sekitarnya.
Mahmud berhasil menaklukkan wilayah Afghanistan yang bernama Gur, dan Syamsabani sebagai penguasa daerah yang berada di bawah naungannya. Pengangkatan ini merupakan langkah politik yang tepat, yang tampaknya lebih dimaksudkan untuk efektifitas pengawasan wilayah tersebut di masa selanjutnya.
Ketika kekuasaan Samani yang terus menurun dan akhirnya secara formal diakhiri oleh kelompok Turki Karluk pada tahun 999 M memberi kesempatan kepada Mahmud untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa independen. Ia berhasil menguasai Iran termasuk Rayy dari kekuasaan Buwaihi (1026 M), Isfahan, Khwarazm, dan Jibal, sehingga di satu pihak membendung ekspansi Karluk dan di pihak lain menekan orang-orang Buwaihi. Sebelum ini terjadi pada tahun 1025 M Mahmud menaklukkan Gujarat yang merupakan penaklukan terakhir di bagian wilayah India.
Dengan demikian sampai akhir hayatnya wilayah teritorial dinasti Ghaznawih telah meliputi daerah-daerah di India, Persia, Khurasan, Turkhirstan, sebagian Transoxiana, dan Afghanistan.
Adapun faktor-faktor pendukung yang menyebabkan Mahmud al-Ghaznawi dalam memperluas wilayah teritorialnya antara lain:
a. Letak Ghazna yang strategis di puncak dataran tinggi, hal ini memudahkan Mahmud mengadakan ekspansi militer.
b. Semangat agama dan jihad yang tinggi pada diri Mahmud dan pasukan militernya.
c. Keinginan memperoleh harta ghanimah yang akan digunakan untuk keperluan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
d. Keadaan laskar Mahmud yang mahir dan memiliki strategi perang dan didukung oleh semangat yang tinggi, peralatan perang yang lengkap. di samping itu karena adanya perpecahan di kalangan raja-raja India.
2. Bidang kebudayaan
Mahmud al-Ghazni menjadikan kota Ghazni sebagai kota yang hebat dan megah dalam pembangunan. Bahkan ia dijuluki dengan “Permaisuri Timur”. Masjid agung Ghazni dikenal sebagai “Pengantin Surga” dan merupakan keajaibaan dunia timur pada saat itu. Di samping itu ia juga menghiasi kota Ghazni dengan museum, sebuah perpustakaan dan sebuah universitas serta masjid-masjid yang indah, pendopo-pendopo, air mancur, waduk, talang-talang air dan tempat-tempat penampungan air yang membuat orang takjub, semua dibangun dalam bentuk yang megah.
Mahmud dalam mensejahterakan rakyat, dibangunnya parit-parit untuk keperluan pertanian hal ini dapat membangkitkan semangat rakyat dalam usaha pertanian tersebut. Daerah kekuasaannya yang jauh dihubungkan dengan jalan-jalan yang bagus dan indah yang bagian-bagiannya terlihat tempat-tempat penginapan para pembesar . Hal ini menjadikan perkembangan pesat terhadap perkembangan di dalam kerajaan. Di sisi lain Mahmud al-Ghazni juga membangun sebuah kandang besar berkapasitas kurang lebih 1000 ekor binatang dan bangunan tempat tinggal para pelayannya.
Sebagai bukti keberhasilan Mahmud terdapat pekerjaan umum yaitu parit-parit yang masih ada dan dipergunakan dampai sekarang. Parit tersebut dibangun di mulut sebuah celah 18 mil jauhnya dari Ghazni, 25 kaki di atas permukaan air sungai Nawar sepanjang 200 yard. Di sisi lain banyak gedung-gedung megah dibangun, sehingga membuat orang terpesona melihatnya.
3. Bidang ilmu pengetahuan dan kesusasteraan
Di samping memberi perhatian besar kepada upaya perluasan dan pembangunan wilayah, Mahmud juga mempunyai kepedulian yang cukup besar kepada upaya pengembangan dan pembinaan ilmu pengetahuan serta kesusastraan, sehingga pada masa itu tercatat nama-nama seperti Farukhi, Usri, Manukheri, Asjudi, dan Firdausi yang terkenal dengan karya sastranya berjudul Shah-Nama, yaitu syair-syair kepahlawanan yang merupakan epik tentang raja-raja Iran Kuno di Persia. karya sastrawan tersebut di kemudian hari dipandang sebagai cikal bakal perkembangan kesusastraan di Iran khususnya dan di dunia Islam pada umumnya.
Di sisi lain tercatat pula nama al-Biruni dengan hasil karyanya tentang astronom yang masyhur adalah al-Qanun al-Mas’udi fi al-Hay’ah wa al-Nujum. Buku tersebut merupakan ensiklopedi terlengkap tentang astronomi, geografi, dan sebagainya. Buku lain yang ditulisnya adalah al-Atsar al-Baqiyah (bekas-bekas peninggalan) ditulis dengan berbahasa Arab. Setelah al-Biruni tercatat pula al-Utbiy, dia adalah sejarahwan dengan karya monumentalnya al-Yamin, dan masih banyak lagi buku-buku yang ditulis yang mungkin tidak semua sampai ke tangan kita.
Mahmud sangat menaruh perhatian besar terhadap para ilmuwan, ulama dan sastrawan. Hal ini terlihat bahwa ia tak tertandingi mungkin hingga saat ini dalam kedermawanannya demi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Di antaranya universitas yang dibangun dilengkapi dengan koleksi terbesar buku-buku dalam aneka bidang dan bahasa. Kemudian sebuah museum keajaiban alam termegah ketika itu dan keraton-keraton yang dipenuhi oleh orang-orang jenius dalam segala bidang serta penyair-penyair yang terdiri dari 400 orang.
Di antara tokoh-tokoh intelektual yang menerangi keraton-keraton di samping terdapat ahli astronomi dan metafisika al-Biruni juga terdapat filosof dan ahli teori musik al-Farabi, filosof dan ahli bahasa al-Anshari, penyair jenaka Manuchecri, penyair besar Asjadi dan lain-lain.
Tercatat dalam sejarah bahwa kisah mengenai bagaimana ia (Mahmud) membayar 60.000 keping perak kepada Firdausi seperti yang telah disetujuinya, dan demikian pula kepada para ilmuwan lainnya.
Tercatat pula pada masa Mahmud dan putranya Mas’ud para ilmuwan lain seperti Ibnu al-Arraq dan Ibnu al-Khammar, al-Baihaqi seorang sejarahwan, dan pada masa ini pula dalam masalah menerologi al-Biruni menulis buku berjudul al-Jamahir fi al-Ma’rifat al-Jawahir (buku kumpulan pengertahuan tentang batu permata).
Mahmud al-Ghaznawi sendiri selain ahli dalam bidang peperangan dan bidang pembangunan termasyhur juga dalam bidang ilmu pengetahuan. Ia sangat menghormati para sarjana, sebagai bukti terlihat pada uraian di atas, bahwa kota Ghazna tidak saja dijadikan sebagai tempat pertahanan perang tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para ulama, ilmuwan yang ahli dalam segala bidang baik dalam persoalan keduniawian maupun agama. Hasjmy mengatakan dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam bahwa Mahmud menjadikan istananya sebagai majlis ilmu pengetahuan.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download lengkapnya...
Read More
Published Oktober 30, 2007 by with 0 comment

Dinasti fatimiyah di mesir pembentukan, Kemajuan dan kemunduran

A. Asal usul dan Pembentukan Dinasti Fatimiyah
Mesir merupakan salah satu provinsi di Timur Tengah yang berada di bawah kekuasaan khilafah Islam, yang ditaklukkan pada tahun 641 M. Pada awalnya Mesir merupakan kota yang tidak penting bagi imperium Islam. Akan tetapi pada pertengahan abad kesembilan belas, Mesir sudah menampakkan tanda-tanda awal untuk menjadi suatu wilayah yang indepeden.
Dinasti ini bermula dari gerakan Isma’iliyah yang membentuk sebuah organisasi misionari yang ekstensif dan yang mengilhami kerusuhan yang hebat di Syiria, Iraq, Arabia, dan Afrika Utara. Dengan menklaim diri mereka sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad saw. Melalui garis Ali dan Fatimah. Mereka mulai melancarkan organisasi mereka yang berpusat di Salamiyah di Syiria pada tahun 860 M.
Gerakan politik keagamaan Syi’ah Isma’iliyah muncul ketika Abdullah bin Ma’mun menjadi pemimpinnya. Ia berjuang mengorganisir proganda Syi’ah Isma’iliyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Gerakan Abdullah bin Ma’mun ini dilanjutkan oleh pengikutnya yang setia dan paling bersemangat, yaitu Abu Abdillah bin Husain. Ia adalah orang Yaman asli dan sampai abad kesembilan belas ia mengklaim diri sebagai wakil al-Mahdi. Ia melakukan ekspansi ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat itu berhasil menarik simpati Barber Khitamiyah yang kemudian menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara , Abu Abdullah al-Husayn menuli surat kepada Imam Isma’iliyah, yakni Sa’id bin al-Husain al-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Isma’iliyah. Sa’id mengabulkan undangan tersebut dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad al-Habib, seorang cucu Imam Isma’il. Setelah merebut kekuasaan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Isma’iliyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti Aghlabiy pada tahun 909 M. Dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiy yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaydillah al-Mahdi”. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fatimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai Khalifah pertamanya.
B. Kehidupan Sosial pada Masa Dinasti Fatimiyah
Kehidupan berbangsa sebagai suatu negara yang berdaulat dengan konsep persamaan hak dan dan sikap moderat dalam berfikir merupakan ciri khas dari daulah dinasti Faitimiyah di Mesir. Asimilasi dan toleransi terhadap penganut agama non-Islam khusunya Kristen Katotik dan Aramenia mendapat posisinya sejajar dengan penganut agama Islam. Bahkan tidak jarang antara mereka diangkat oleh para Khalifah sebagai pejabat-pejabat tinggi istana.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai Al-Muntasir, misalnya mendirikan semacam pavilion di istananya, sebagai tempat memuaskan minum arak bersama dengan sejumlah penari yang menawan.
Pada masa dinasti Fatimiyah berkuasa di Mesir ( antara tahun 1064-1049), kota Kairo adalah kota yang sangat makmur dan sentosa. Toko-toko perhiasan dan pusat-pusat penukaran uang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa dikunci, rakyat menaruh kepercayaan penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya diterangi beberapa lampu penerangan. Penjaga toko menjual barang dengan harga jual yang telah dipusatkan dan jika seorang terbukti melanggar ketentuan harga jual akan diarak di atas unta sepanjang jalan dengan diiringi bunyi-bunyian.
Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit dan perkampungan kafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai di berbagai penjuru kota, baik permandian khusus untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Pasar-pasar yang memuat 20.000 pertokoan pada dengan produk-produk dunia
Dalam bidang lainnya yang berhubungan dengan kehidupan sosial ini, khalifah Fatimiyah melakukan tiga kebijaksanaan besar, yaitu : pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi dan toleransi beragama. Dalam bidang ekonomi ia memberi gaji khusus kepada tentara, personil istana dan pejabat pemerintah lainnya.
Dalam bidang administarsi, diangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kegenaraan. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni.
C. Kemajuan-Kemajuan Pada Masa Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah telah memberikan konstribusi besar terhadap perkembangan dan kemajuan dalam hirarki sejarah Islam. Sumbangsih tersebut dapat dilihat dari berbagai karya-karyanya yang monumental, baik dalam bentuk fisik material seperti bangunan-bagunan, ornamen-ornamen, tata kota dan lain sebagainya maupun dalam bentuk berbagai bidang yang tertuang dalam bentuk buku.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapapa kemajuan yang pernah dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah terutama ketika dinasti ini menguasai Mesir dengan ibu kotanya Kairo, yaitu :
- Filsafat, pada masa dinasti Fatimiyah perhatian pada filsafat Yunani sangat diperhatikan, terutama yang berhubungan dengan pendapat Plato dan muridnya Aristoteles. Pengadopsian pendapat filosof Yunani tersebut dilakukan dalam rangka pengembangan pengetahuan dan peradaban, disamping untuk memperkuat propaganda Syi’ah.
- Ilmu pengetahuan, masa Fatimiyah ini kurang produktif dalam mengahsilkan karya tulis dan ulama besar kecuali dalam jumlah kecil, sekalipun banyak di antara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan penghormatan terhadap para ilmuan. Ibnu Killis merupakan salah seorang wazir yang sangat getol dalam memperjuangkan ilmu pengetahuan dan pengajaran. Ia mendirikan akademi dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibnu Killis ini terdapat seorang fisikawan besar yang bernama Muhammad al-Tamimi. Al-Kindi sejarawan dan tofografer terbesar yang hidup di Fustat dan meninggal di tahun 961 M.
Pada masa pemerintahan al-Hakim (996-1001 M) didirkan Dar al-Hikmah, terinsipirasi dari lembaga yang sana yang didirikan oleh al-Mu’mun (Khalifah Abbasiyah) di Bagdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku, tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Quran berhiaskan emas dan perak disimpan di ruang terpisah. Lembaga ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran dan ajaran-ajaran Islam terutama Syi’ah. Menurut Cyril Elgood :
“Buku-buku lainnya- tentang ilmu-ilmu hukum (fighi), tua bahasa, retoriuka, sejarah, bigrafi, astronomi dan ilmu kimia tersimpan dalam rak (peti) buku yang luas di sekitar (sepanjang) dinding, yang terbagi dalam susunan di atas rak–rak buku, masing-masing memiliki satu pintu dengan sebuah kunci. Di atas pintu masing-masing bagian, tergantung satu daftar buku-buku yang ada di dalamnya, demikian pula peringatan (keterangan) buku–buku yang tidak ada dari masing-masing cabang ilmu pengetahuan.
Kekayaan dan kemakmuran Dinasti Fatimiyah dan besarnya perhatian para khalifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuan untuk berpindah ke Kairo. Istana al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus, pakar terbesar dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali al-Hasan ibn al-Haytami seorang fisikawan Muslim terbesar dan juga ahli di bidang optik. selain mereka berdua terdapat sejumlah sastrawan dan ilmuwan yang berkarya di istana Fatimiyah.
Khalifah Fatimiyah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan, dan lembaga ilmu pengetahuan. Lembaga ilmu pengetahuan yang sangat menonjol pada saat itu adalah perguruan tinggi al-Azhar, yang manfaatnya dirasakan sampai saat sekarang.
Dar al-Hikmah merupakan prakarsa terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini dimaksudkan sebagai sarana penyebaran ajaran Syi’ah Isma’iliyah. Lembaga ini didirikan oleh khalifah al-Hakim pada tahun 1005 M. Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian astronomi. Untuk itu ia mendirikan lembaga observatori di Bukit al-Mukattam. Lembaga observatori ini juga didirikan di tempat lain.
- Arsitektur, kemajuan terpenting pada masa Dinasti Fatimiyah adalah arsitektur megah. Beberapa kasau yang terbuat dari emas menyangga langit-langit (plafon), gambar burung dan binatang yang aneh-aneh menghiasi dinding dan furniture, beberapa pancuran air terjun yang menyejukkan udara.
- Seni arsitektur publik Fatimiyah merupakan bentuk improvisasi dari aspek-aspek seremonial Istana kerajaan. Ibu kota Fatimiyah al-Qahira (Kairo) , yang dibangun pada tahun 969, dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung, merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan. Beberapapa masjid seperti al-Azhar dan al-Hikmah dibangun dengan sejumlah menara dan kubah yang melambangkan sifat ketinggian para imam dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah sebagai sebuah cara pemuliaan terhadap khalifah lantara kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan dan kedapa Islam.
- Nahwu dan kesusatraan, di Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah ditemukan juga kemajuan di bidang nahwu dan sastera. Dalam bidang nahwu diupayaklan suatu gerakan untuk memperkokoh sistem linguistik Arab sehingga melahirkan teori-teori yang baru dalam bidang tersebut. Di antara tokoh yang paling terkenal dalam bidang ini adalah Abu bakar al-Adfawiy yang sangat cemerlang pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Nahwu mengarang 120 jilid mengenai masalah ulama al-Qur’an.
Tokoh yang lain adalah Ibnu Bansyads, beliau sangat mahir dalam sastra Arab dan pengungkapan kata yang mengekspresikan jiwa seni. Beliau mencetuskan koreksi terjadap kesalahan yang terjadi dalam pengejaan dan pemakaian gramatikal yang tidak ada sebelumnya. Di antara karangannya adalah syarah kitab Al-Jumal, al-Muhatsib fi al-Nahwi dan al-Ta’liq fi al-Nahwi yang menghampiri 15 jilid.
Sya’ir mengalami kemajuannya pada masa ini dengan ditemukannya nilai-nilai dasar tentang syair yang mana sebelumnya belum pernah dikenal oleh orang Mesir. Di antara tokoh yang terkenal dalam bidang sya’ir adalah Ibnu Haniy.
Hal yang menarik dari perkembangan sya’ir ini adalah upaya untuk memasukkannya dalam wilayah politis yang mendukung dakwah Sya’ir Isma’iliyah. Sehingga sya’ir bukan hanya terpenjara dalam dimensi indera yang statis, tapi lebih sebagai suatu refleksi kebudayaan yang memiliki nilai urgensi yang dinamis dalam membentuk peradaban Fatimiyah.
D. Kemuduruan Dinasti Fatimiyah
Irama sejarah Fatimiyah tidak berbeda dengan apa yang berlangsung pada dinasti Abbasiyah. Periode antara tahun 969 sampai 1021 merupakan periode konsolidasi keagamaan dan politik. Periode kedua antara tahun 1021 sampai 1073 memperlihatkan kemunduran tantanan politik, yakni periode peperangan antara faksi-faksi militer, dan pembagian wilayah negeri ini menjadi sejumlah iqta, yang dikuasai oleh pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Kemunduran ini dihentikan oleh pemerintah badr al-Jamali dan puteranya, al-Afdhal, dari tahun 1073 sampai 1121, di mana kepala-kepala militer menggantikan para khalifah sebagai pimpinan pemerintah yang efektif.
Di samping itu kemunduran internal juga terjadi di kalangan Syi’ar Isma’iliyah, dengan membagi lagi identis kesejahteraan imam yang sebenarnya. Di Libanon dibentuk sekte Druze yang menyakini bahwasanya khalifah al-Hakim (w.1021) sebagai imam terakhir dan bahkan sebagai Tuhan. Pada kematian khalifah al-Mustansir pada tahun 1036, puteranya yang bernama al-Musta’li menggantikannya, tetapi gerakan misionari di Syiria, Mesopotamia dan Iran melepaskan diri dari Fatimiyah di Mesir, melepaskan hubungan rezim dengan induknya, mengakui al-Mustansir putera Nizar sebagai imam yang sebenarnya dan mendirikan sebuah cabang Isma’ilisme.
Sekalipun dengan kondisi internal yang seperti di atas, penyelidikan yang seksema mengenai sebab-sebab runtuhnya dinasti Fatimiyah dapat dikonklusikan bahwa alasan utamnya adalah campur tangan Nur al-Din dan orang-orang Salib di dalam permasalahan-permasalahan di Mesir. Akibat serangan-serangan mereka, kebijaksanaan mentri Shawar yang tidak beres, perbuatan penggatinya yang bukan-bukan melapaui batas, adalah merupakan hal ihwal, yang mendorong runtuhnya Dinasti Fatimiyah.
Ketika Fatimiyah berada dalam kemerosotan total, Nur al-Din mengirim seorang jenderalnya yang bernama Shrikuh dan memenangkan Shirkuh yang bernama Saladin (Shalah al-Din) dengan pasukan bersenjata Muslim yang berjumlah tiga ekspedisi militer untuk merebut kekuasaaan atas Mesir pada tahuna 1169.
Kekuatan Saladin segera berdiri dengan kokoh di mesir . maka dari itu, merupakan suatu hal yang sangat lazim bagi seorang Sunni yang bersemangat seperti Nur al-Din akan menginginkan agar nama khalifah Abbasiyah menggantikan khalifah Fatimiyah di dalam khutbah jum’at. Keragu-raguan Saladin untuk menempati perintah Nur al-Din disadari dengan perasaan takut bahwa tindakan semacam ini akan menimbulkan pemberontakan di antara rakyat Mesir, yang pengikatan mereka terhadap Fatimiyah bisa dikuatkan sekarang. Namun demikian Nur al-Din tidak memperdulikan dalil semacam ini, dan mengirim kembali perintah-perintah yang positif kepada Saladin sehingga gubernur-gubernurnya tidak bisa untuk menolak lebih lama.

Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 25, 2007 by with 0 comment

DINASTI Salajikah/Saljuk ( Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran)

A. Pembentukan dinasti Salajikah
Dinasti Salajikah (Saljuk) berasal dari kabilah kecil keturunan Turki yaitu kabilah Auruq bersama kabilah-kabilah lainnya membentuk suatu rumpun yang bernama Ghuzz (Ogush) di Turkistan dan berimigrasi ke barat di bawah Saljuk ibnu Tuqaq, mereka menempati pegunungan di dekat laut Khawarisan dan selanjutnya menetap di Transokiana.
Di Transokiana mereka merintis suatu tatanan kehidupan yang penuh persahabatan dengan dinasti Samaniyah dan sama-sama memerangi bangsa Turki dan Kafir ketika dinasti Samaniyah runtuh pada tahun (384 H) Sultan Mahmud al-Ghaznawi mengijinkan orang Saljuk menyeberang ke Khurasan.
Pada tahun (429 H) pemimpin Salajikah, yakni Tughril Beg berhasil memasuki Nisapur dan menduduki singgasan dinasti Ghaznawi dengan memakai gelar sultan. Setelah menguasai seluruh wilayah Khurasan Tughril Beg memproklamirkan bedirinya dinasti Saljuk dan ternyata usaha itu mendapat pengakuan dari Khalifah al-Qaim bin Amr Allah di Baghdad dan hampir seluruh daerah-daerah Irak dikuasai oleh Tughril Beg.
Sasaran utama agresi yang dilancarkan Tughril Beg adalah kota Baghdad yang secara praktis dikuasai oleh jenderal Arselan Bassaseri dari dinasti Buwaihi, dimana Tughril Beg memanfaatkan suasana chaos yang terjadi dalam dinasti Buwaihi dengan kekuatan tentara Tughril Beg berhasil menduduki Baghdad dan membebaskan Khalifah al-Qa’im dan sebagai penghargaan, maka khalifah menobatkannya sebagai penguasa Baghdad dengan gelar Rukn ad-Daulah Yamin Amir al-Mukminin.
Dinasti ini terbentuk pada tahun (429 H/1038 M), dan berlangsung hingga tahun (582 H/1194 M). Mengenai terbentuknya, terdapat dua versi; partama, ketika raja Turki yang bernama Baighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Dukak menentangnya dan akhirnya dia memisahkan diri dengan pengikutnya dan membentuk suatu komunitas yang terpisah dengan kerajaan. Kedua, adalah sejak Ibnu Dukak memisahkan diri dari kerajaan bersama pengikutnya dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di mulut sungai Jaihun. Saljuk yang berfaham Sunni berhasil memasuki Baghdad pada tahun 1055 M, dan menggantikan Buwaihiyah Syi’ah yang lebih dahulu menguasai wilayah kekuasaan Abbasiyah bagian timur. Pada ekspansi ke Barat, saljuk harus menghadapi kekaisaran Bizantium dan ini merupakan salah satu sebab terjadinya perang salib.
Periode Saljuk merupakan periode yang mempunyai arti yang istimewa dalam panggung sejarah, karena sultan sultan Saljuk menjadi pelindung kepercayaan dan memainkan peranan utama dalam peperangan-peperangan melawan orang-orang salib. Mereka juga sangat terkenal karena perlindungan mereka terhadap kebudayaan Islam.
Pertumbuhan kekuatan Saljuk, perselisihan dan kelemahan yang merupakan karakteristik pemerintahan pemimpin terakhir, dari bani Abbasiyah seakan memberi isyarat bagi kaum Saljuk untuk melakukan aktivitas-aktivitas misionaris guna menancapkan kekuasaan di Irak dan Persia membawa kepada berdirinya pemerintahan Saljuk di Baghdad.
B. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dinasti Salajikah
Sejak berdirinya dinasti Salajikah di bawah kekuasaan Tughril Beg sampai ke Malik Syah sungguh terdapat kemajuan dan puncak keemasan dari dinasti Salajikah. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai antara lain adalah :
1. Bidang politik
Kemajuan di bidang politik terlihat pada terkendalinya stabilitas politik dalam negeri. Di samping itu juga adanya akspansi ke beberapa daerah kekaisaran Bizantium yang dapat di porak-porandakan oleh Alp Arselan pada tahun 1871 M sehingga membuka peluang bagi Saljuk untuk dapat menguasai Asia kecil yang pada waktu sebelumnya (bangsa Arab) selalu gagal menguasainya.
Kala itu, dinasti Saljuk semakin besar dan meluas wilayahnya hingga daerah Nur Bukhara (sekarang Nur Ata) dan sekitar Samarkand. Hal itu karena koalisinya dengan dinasti Samaniyyah ketika terjadi persaingan politik dengaan dinasti Khainiyyah, keberpihakan ini dilakukan dengan alasan dinasti Samaniyyah membawa paham yang sama (Sunni) dan dengan niat untuk memperoleh wilayah di mulut sungai Jaihan sebagai pemukiman dan menjadikan kota Jand sebagai pusat kegiatan sosial politik mereka.
Setelah kematian Malik Syah, dinasti Saljuk mengalami perpecahan dan kemunduran drastis. Hal ini membuka peluang bagi dinasti lainnya seperti Khawarijan Shakis yang semula merupakan gubernur Saljuk dan akhirnya memberikan peluang kepada pasukan Mongol untuk mengadakan penyerbuan sehingga akhirnya adminstrasi pemerintahan dinasti Saljuk diambil alih oleh para gubernur dan jenderal Mongol dan para pegawai dan tentara Saljuk dibubarkan, dan kondisi ini diperburuk lagi dengan beban pajak yang terlalu tinggi bagi masyarakat Turki, yang pada gilirannya nampaklah gejala kemiskinan dalam kehidupan sosial.
2. Bidang sosial dan fisik keagamaan
Reputasi Malik Syah dan wazir Nizam al-Malik ternyata tidak hanya pada keberhasilan memancangkan kekuasaan dinasti Salajikah sebagai suatu kekuatan yang besar dalam wilayah yang luas. Tetapi keduanya juga berhasil membangun negara dan masyarakat, jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, irigasi, rumah sakit, perdagangan dan industri.
Kemajuan dalam bidang fisik keagamaan seperti terlihat pada pembangunan sarana-sarana peribadatan, misalnya masjid al-Jami di Isfahan, masjid Mahmud Syahdi Garyaikan, masjid Burjian, masjid Industan dibangun pada tahun 1158, dan masih banyak lagi masjid-masjid yang lainnya. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari faktor stabilitas politik dan ekonomi yang mantap.
3. Bidang ilmu pengetahuan
Seperti yang dikemukakan terdahulu, Malik Syah adalah seorang cendikiawan yang sangat cerdik dan pelindung pengetahuan. Nizam Malik adalah seorang wazir yang berasal dari keturunan Persia yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Ia adalah tokoh yang sangat cemerlang pada masa pemerintahan Alp Arselan dan Malik Syah. Pada tahun 1065-1067 Nizam al-Malik mendirikan sebuah lembaga perguruan tinggi Islam yang dikenal dengan nama al-Madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad dan menjadi model bagi lembaga-lembaga perguruan Islam masa itu.
c. Penyebab kemunduran dinasti Salajikah
Berbagai faktor penyebab kemunduran dinasti Salajikah yaitu :
1. Faktor internal
Kebesaran dan persatuan dinasti Salajikah berakhir dengan kematian sultan Malik Syah. Sultan-sultan sesudahnya tidak ada lagi yang mampu mempersatukan rakyatnya, bahkan muncul perang saudara di antara kalangan keluarga istana untuk saling memperebutkan kekuasaan sehinggga dalam kondisi seperti itu Saljuk yang dulunya kuat dan terkenal di panggung sejarah beralih menjadi sebuah kerajaan yang lambat laun menjadi lemah. Dalam kondisi seperti inilah terbuka peluang bagi kelompok lain untuk melancarkan siasat dalam rangka menghancurkan dinasti Salajikah.
2. Faktor eksternal
Dinasti Salajikah mengalami disintegrasi yang ditandai dengan terjadinya perang salib yang pecah pada tahun 1097 M, dan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Hasassiyyin yang mendapat dukungan dari Bani Fatimiyah di Mesir yang telah berhasil membunuh Nizam al-Malik seeorang pedana menteri pada masa kekuasaan Alp Arselan dan Sultan Malik Syah. Dan ditambah dengan datangnya pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan yang menyerbu dan menguasai daerah kekuasaan Islam yang pernah dikuasai oleh dinasti Saljuk dan pada saat dikuasai oleh Halagu Khan, maka inilah akhir dari segala dinamika yang pernah diraih dan dicapai oleh dinasti Selajikah di pentas sejarah kebudayaan Islam kala itu.

Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 23, 2007 by with 0 comment

DINASTI MAMALIK DI MESIR (Pembentukan, Perkembangan Politik, Kemunduran dan Kehancurannya)

A. Pembentukan Dinasti Mamalik
Periode kerajaan Mamalik dianggap sebagai zaman yang termasuk cemerlang dan makmur dalam sejarah Islam. Menurut Hassan Ibrahim Hassan zaman tersebut paling cemerlang dan paling makmur, namun pendapat tersebut masih perlu dianalisa dan dikritisi lebih jauh mengingat kejayaan dan keemasan Islam dan pada setiap dinasti.
Kaum Mamluk menguasai Mesir dan Syiria tahun 648-922/1250-1517. Kata Mamluk dalam bahasa Arab berarti hamba yang dimiliki. Mereka adalah orang-orang Turki yang direkrut oleh Ayyubiyah di masa al-Malik al-Shalih Najamuddin. Mereka terdiri dari dua kelompok, yakni Mamluk Bahri dan Mamluk Buruj. Yang pertama adalah karena tempat tinggal mereka di pulau al-Raudah yang terletak seakan di laut (Arab, bahr). Yang ada di sungai Nil, dan yang kedua adalah karena mereka menempati benteng (Arab, Burj), di Kairo. Kaum Bahri berasal dari Qipchaq, Rusia Selatan, yang merupakan percampuran antara Mongol dan Kurdi, sedangkan Buruj adalah orang-orang Circassia dari Caucasus.
Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, al-Malik al-Shalih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa penguasa ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karir ketentaraan maupun dalam imbalan material. Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan laut Kaspia. Saingan mereka dalam hal ketetntaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.
Menjelang Bagdad hancur dan perang Salib angkatan ke-7 pada tahun 1248-1254 dipimpin oleh Louis IX berusaha untuk menggempur Mesir dan mulai menduduki Dimyat pada tahun 1249 M, Sultan yang berkuasa di Mesir masa itu adalah Malikus Shaleh Ayyubiyah yang sedang sakit, kemudian meninggal tahun 1249 M. Oleh karena itu, kekuasaan sementara dipegang oleh permaisurinya yaitu Sajaratud Dur yang asal usulnya budak sahaya Armenia, yang kemudian dimerdekakan dan diangkat menjadi permaisurinya. Pemerintahannya di Mesir yang bertahan selama 80 hari menunjukkan pengalaman dan kecakapannya yang luar biasa dan membuktikan bahwa seorang wanita bias memikul tanggung jawab negara, walaupun tradisi-tradisi Islam tidak mendukung prinsip semacam ini. Kemudian dipanggillah putra suaminya, Tauron Syah untuk menduduki tahta. Namun Tauron Syah tidak menghargai usaha ibu tirinya dan berusaha untuk menyingkirkannya. Oleh karena itu, Sajaratud Dur meminta bantuan kaum Mamluk dan terjadilah kudeta yang berakhir dengan terbunuhnya Tauron Syah . Di lain alas an Tauron Syah dibunuh karena adanya rasa kekhawatiran golongan Mamluk terhadap kecendrungan Tauron Syah kepada tentara asal Kurdi yang bisa mengacaukan eksistensinya.
Sajaratud Dur dinobatkan menjadi Sultan Mesir yang memerintahkan negeri Mesir, Afrika Utara dan Syam, sekalipun merupakan penguasa peralihan dari Ayyubiyah kepada penguasa baru, daulah Mamluk. Sebabnya adalah sesudah dimintakan persetujuan pusat Abbasiyah di Bagdad atas pengangkatan Sajaratud Dur menjadi Sultan, khalifah Abbasiyah menolaknya. Untuk memenuhi permintaan khalifah bahwa seorang Sultan harus seorang laki-laki, Sajaratud Dur mengawini Aybag pemimpin Mamluk yang dilimpahi menjadi raja antara tahun 1250-1257. Dengan mendampingi suami barunya itu Sajaratud Dur tetap memegang kekuasaan dari belakang layar. Dengan berkuasanya Aybag mulailah daulah Mamluk al-Bahriyah (1250-1383 M).
B. Perkembangan Politik
Aybag berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya Ali yang masih berusia muda, sedang Amir Saifuddin Qathaz menjadi Atabek (menteri) baginya. Dua tahun memegang tampuk kesultanan tepatnya pada tahun 1259 beliau digantikan oleh Saifuddin Qathaz. Tidak ada sumber yang menjelaskan secara rinci tentang proses peralihan kekuasaan tersebut dari Sultan Ali ke Saifuddin Qathaz. Namun dalam hal ini ada keterangan singkat yang ditemukan tentang proses peralihan tersebut dimana Ali mengundurkan didri lalu digantikan oleh Qutuz, akan tetapi kemudian proses tersebut dibantah oleh keadaan Ali yang masih muda dan masih kuat dalam memimpin suatu kerajaan, yang tidak begitu saja akan diserahkan kepada orang lain apalagi bukan keturunan sendiri. Kecuali kalau keadaan tersebut diawali oleh revolusi berdarah.
Dinasti Mamluk membangun dua kali dinasti yang berjalan sampai 265 tahun lamanya, Mamluk Bahriyah berkuasa pada 648 H; 1250 M. s/d 784 H- 1382 M. Dalam masa 136 tahun dengan 29 orang penguasa dan Mamluk Jarkisah (Buruj) berkuasa pada 784 H; 1382 M s/d 923 H; 1517 M. dalam masa 139 tahun dengan 26 orang penguasa. Dari sekian banyak penguasa, tidak ada seorang pun yang berkuasa begitu lama kecuali Baybars yang berkuasa selama 17 tahun dan Nasir Muhammad III yang berkuasa selama 31 tahun.
Periode Mamluk menjadi terkenal lantaran penyempurnaan sistem militer budak pasca Abbasiyah. Sebelum periode Mamluk, beberapa resimen budak telah digunakan 81 dalam sebuah lapisan militer Timur Tengah, namun Mamluk merupakan rezim yang pertama yang didasarkan pada mesin militer budak. Mereka didatangkan dari luar pada usia sepuluh atau dua belas tahun, mereka berpindah ke agama Islam, dan dibesarkan di barak-barak, mereka tidak hanya belajar teknik kemiliteran tetapi juga dijejali dengan loyalitas terhadap tuan-tuan mereka dan terhadap sesama militer. Seorang Mamluk yang telah terlatih sempurna bekerja sebagai resimen Sultan Mamluk, atau sebagai tentara yang bekerja pada seorang pejabat tinggi militer lainnya. Para pejabat memiliki tentara budak sendiri, yang terlepas dari resimen militer Sultan. Angkatan bersenjata Mamluk, selanjutnya dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan dari beberapa resimen budak, terdiri dari pasukan tentara Sultan dan sejumlah resimen yang setia kepada pejabat-pejabat secara individual. Yang pada ujung-ujungnya juga setia kepada pribadi sang Sultan. Angkatan bersenjata ini tidak banyak diorganisir dengan tingkat hirarki melainkan diorganisir dengan kesetiaan personal.
Diawal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamluk dibawah pimpinan Qutuz dan panglima Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamluk. Semenjak demikian, tamatlah riwayat Tartar Mongol yang dipimpin oleh panglimanya Kithbugha, yang beragama Kristen Nestorian, mengacau dunia Islam, dan terbebaslah Mesir dan Syam dari kehancuran.
Philip K. Hitti mengambarkan kemenangan Islam yang bersejarah ini:

The Mongolian leader wak kitugha. A Nestorian, whose advance quard had penetraten palastina down to ghazzah. This victory is memorable for the history of civilization; if the Mongols had taken cairo they would have probably destroyed its treasures and manuscripts.
Pemimpin Tartar-Mongol Kitbugha adalah seorang Kristen Nestorian yang maju melalui Palestina untuk merebut Gazzah. Kemenangan Islam ini adalah harus diperingati untuk sejarah peradaban. Kalau tentara Tartar-Mo0ngol dapat merebut kota Kairo, kemungkinan besar mereka akan menghancurkan semua kekayaan dan buku-buku yang ada.
Tidak lama setelah itu Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260-1277). Ia adalah Sultan terbesar dan termasyur di antara 55 Sultan Mamluk. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamluk.
Setelah Sultan Baybars memegang pimpinan negara, dia mengumumkan cita-citanya hendak mengikuti langkah Sulatan Saladin akan mengikis habis kaum Salabiyah, seperti yang dikutip dari bukunya K. Hitti:

Baybar’s ambition was to be a second Salah al-Din in the holg war against crusader towas. Especially provoked was he when he found those towns makin common couse with the Holaquid II. Khan of Persia, now favourably disposed toward the Christian religion, gfrom 1263 to 1271 he conducted almost annual raids against them.
Hasrat besar-besar dari Baybars adalah menjadi Sultan Saladin yang kedua di dalam perang suci melawan kota-kota Salibiyah terutama dia dirangsang oleh terjadinya segala kota yang terjadinya menjadi kasus kejahatan oleh orang Hulagu Khan di Persia ialah II-Khans, sekarang disiapkan untuk agama Kristen. Dari tahun 1263 sampai 1271, dia dorong hampir setiap tahun menyerbu daerah-daerah itu.
Sultan Baybars, setelah kemenangan di Ain-Jalut itu, mulai memalingkan perhatiannya bagi mereka kembali kota-kota benteng yang masih di kuasai pasukan Salib itu. Ia pun melancarkan serangan yang teratur setiap tahunnya untuk merebut kota-benteng demi kota-benteng.
Demikian pula perjuangan Sultan Baybars dalam menghidupkan kembali khalifah Abbasiyah di Kairo meskipun hanya sekedar nama saja, dengan mengundang keluarga Abbasiyah yang selamat dari penyembelihan Tartar di Bagdad yaitu Abul Abbas Ahmad yang waktu itu 1261 M supaya datang ke Kairo namun yang datang adalah Abdul Qasim Ahmad.
Sejarah mencatat rangkaian peristiwa sebagai berikut: merebut kota-benteng Arsuf (1263 M) dan menghancurkan ordo hospitallers yang mempertahankan kota-benteng tersebut. Merebut kota-benteng Safad (1264 M) dan menghancurkan ordo Templars yang mempertahankan kota-benteng tersebut, merebut kota-benteng Arkad (1265 M).
Pendeknya, Baybars selama memerintah, telah mempertunjukkan keangungannya di medan juang dan pemerintahan. Kebijaksanaannya yang sungguh mengagumkan, usahanya yang mati-matian untuk menghidupkan kembali khalifah Abbasiyah di Mesir, telah menjadi bukti sejarah kejayaan Islam pada masanya.
Setelah Sultan Baybars meninggal dunia dalam usia 51 tahun pada 1277 M, sebelum meninggal beliau memproklamirkan anaknya al-Said sebagai putra mahkota dengan tujuan untuk membuat pemerintahan bersifat hereditary, namun tindakan tersebut tidak disenangi oleh orang-orang Mamluk karena mereka berkeyakinan bahwa tidak ada seseorang yang mempunyai prioritas di atas yang lainnya kecuali dengan kecakapan militernya dan jumlah anggota pengikut-pengikutnya. Dengan demikian kesultanan dipindahkan dari keluarga Baybars ke keluarga Qalawun.
Qalawun dilantik pada tahun 1279 M dan melanjutkan perjuangan Baybars dalam memburu orang-orang Salib keluar dari Syria, yang telah menanam kekuasaan selama dua abad lamanya. Lebih-lebih dalam mempersatukan teritorial orang-orang Arab, Syria dan Mesir. Orang-orang Mamluk berhasil melindungi Muslim dari dua bahaya besar, yaitu bahaya dari orang-orang salib dan bangsa Mongol.
Keturunan yang terakhir dari Mamluk Bahriyah ialah Haji as-Salih Zainuddin Ibn Asyraf yang masih berusia 6 tahun. Karena usianya yang masih belia maka al-Malik Zahir Saefuddin Barquq diangkat sebagai pemangku raja. Semenjak itu mulailah dinasti Mamlik Burji berkuasa.
C. Kemunduran dan Kehancuran
Kemajuan-kemajuan dinasti Mamluk tercapai berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabillitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika factor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamluk sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Awing-awang kemunduran mulai nampak ketika Mamluk Burji berkuasa. Hal itu terbukti setelah meninggalnya Barbays pada tahun 1438 M, negara besar Mamluk masih terus diperintah oleh Sultan-sultan yagn lemah sampai Kuskadam menaiki tahta pada tahun 1461 M. Selama masa pemerintahannya konflik antara orang-orang Mamluk dan Turki Ottoman di mulai. Peperangan pecah selama masa pemerintahan Qayatbay, yang digantikan oleh beberapa Sultan, sampai Qayatbay, yang digantikan oleh beberapa Sultan, sampai Qansuh memikul tanggung jawab pemerintahan pda tahun 1501 M. menuju masa berakhirnya, pemerintahan Mamluk banyak yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan di perparah dengan adanya kegoncangan dalam negeri, korupsi dan keadaan keuangan/ekonomi negara yang tidak memuaskan. Qansuh membebani rakyat dengan pajak-pajak, memeras yang dari mereka, menyebarkanmata uang palsu, dan mengenakan penggunaannya dengan harga nominal. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak strabil. Di samping itu, ditemukannya tanjung harapan oleh Eropa 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui Mesir menurun fungsinya.
Dipihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamluk, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk di Mesir. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan diluar kota Kairo tahun 1517 M oleh Sultan Salim, sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan kerajaan usmani sebagai salah satu propinsinya.

Download makalah lengkapnya...
Read More