Published Oktober 18, 2007 by with 0 comment

Pembentukan Dinasti Abbasyiah, Perkembangan Politik, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban

A. Latar Belakang
Jatuhnya Daulat Bani Umayyah pada tahun 750 M dan bangkitnya Daulat Bani Abbasyiah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam klasik. Para sejarawan melihat kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian sturuktur sosial dan ideologi. Maka, atas dasar itu, mereka menilai bahwa kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul The Abbasid Consfiracy and Modern Revolutionary Teory yang dikutip oleh Atho Mudzhar menyatakan bahwa ciri-ciri yang menyertai kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah ketika itu sama ciri yang menyertai revolusi di berbagai negara di dunia modern sekarang ini. Dengan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya yaitu Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada masa sebelum revolusi, ideologi yang sedang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa. Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien, lalai dalam menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik; The dissertion of the intellectuals. Keempat, bahwa revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan sistem yang ada. Secara berangsur-angsur mereka ini menarik kembali dukungan mereka atas sistem yang berlaku sehingga tinggal sebagian kecil saja yang masih mendukung sistem lama sampai saat keruntuhannya. Maka pukulan terakhir atas sistem lama sebenarnya bukanlah karena kuatnya sistem baru yang akan muncul, melainkan karena semakin melemah sistem lama, disebabkan oleh berbagai internal crisis yang terjadi. Keempat ciri ini, ternyata didapati pada kebangkitan Daulat Bani Abbsyiah.
Demikianlah pentingnya kebangkitan Daulat Bani Abbsyiah dalam pandangan para sejarawan, sebagaimana juga dipahami oleh umat Islam bahwa zaman itu memang dicatat sebagai zaman keemasan Islam. Pada masa itu perkembangan pemikiran ke-Islaman mencapai puncaknya, para filosof Islam, ahli-ahli ilmu kalam, imam mazhab lahir dan berbagai kemajuan lainnya.

B. Teori-Teori tentang Kebangkitan Bani Abbasyiah
Pemahaman tentang sebab-sebab kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah oleh para sejarawan telah ditawarkan beberapa teori. Teori-teori itu umumnya menekankan pada salah satu aspek sebagai poros utama dari kebangkitan itu. Jika disederhanakan, sedikitnya empat teori tentang hal ini, dan masing-masing teori menekankan aspek tertentu dalam penjelasannya. Pertama, teori faksionalisme rasial, pengelompokan kebangsaan. Teori ini menyatakan Daulat Bani Umayyah itu pada dasarnya adalah Kerajaan Arab yang mementingkan kepentingan orang-orang Arab dan melalaikan kepentingan orang-orang non-Arab meskipun yang disebut terakhir ini sudah memeluk Islam seperti orang-orang Mawali dari Iran; daerah sebelah timur yang baru saja ditaklukkan oleh Islam ketika itu. Atas perlakuan diskriminatif itu oleh pihak penguasa, maka orang-orang Mawali Iran itu merasa kecewa dan kemudian menggalang kekuatan di wilayah Islam di sebelah timur yaitu Khurasan untuk menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Atas dasar itu menurut teori ini, jatuhnya Daulat Bani Umayyah adalah jatuhnya kerajaan Arab dan bangkitnya Daulat Abbasyiah adalah kemenangan orang-orang Iran atas orang-orang Arab. Kedua, teori faksionalisme sektarian; pengelompokan atas dasar paham keagamaan. Teori ini menerangkan bahwa kaum Syiah selamanya menjadi lawan dari Bani Umayyah yang dianggapnya telah merampas kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana diketahui bahwa Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah setelah kemenagannya atas Ali bin Abi Thalib atas siasat yang licik. Padahal menurut Syi’ah, orang yang berhak memegang pemerintahan setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Keberhasilan Bani Abbsyiah dalam menggulingkan Daulat Bani Umayyah, menurut teori ini terletak pada koalisi mereka dengan kelompok Syi’ah yang oposan. Bahkan untuk kadar tertentu Bani Abbasyiah juga menyerap ajaran-ajaran Khawarij. Atas dasar ini, maka teori ini menyatakan bahwa kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah akan dapat dipahami jika dilihat dari golongan-golongan penganut paham keagamaan tersebut di atas. Ketiga, teori faksionalisme kesukuan. Banyak sejarawan berpendapat bahwa persaingan antara suku Arab ala jahiliah sebenarnya masih terus berlangsung atau hidup kembali pasa masa Daulat Bani Umayyah. Antara suku atau qabilah yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan seperti suku Mudhariah bagi orang-orang Arab yang datang dari sebelah utara dan suku Yamaniah bagi orang-orang Arab yang datang dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap Khalifah dari Bani Umayyah didukung oleh salah satu dari kedua suku besar ini. Jika yang satu mendukung satu khalifah maka yang lainnya menjadi oposisi, demikianlah pertentangan ini berkepanjangan dan menyebar keseluruh wilayah kekuasaan Islam termasuk wilayah sebelah timur yaitu Khurasan. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Daulat Bani Abbasyiah di Khurasan; daerah teritorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat dari hasil pertentangan kedua suku tersebut di wilayah itu. Dengan kata lain menurut teori ini, Kebangkitan Daulat Bani Abbasyiah akan dapat dipahami dengan lebih baik jika dilihat dalam bingkai pertentangan kedua kelompok ini. Keempat, teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiriah mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Daulat Bani Umayyah dengan keringanan pajak dan hak mengelola tanah pada wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, sedangkan orang-orang Arab dari sebelah timur khususnya Irak yang tinggal di wilayah Khurasan tidak memperoleh perlakuan seperti itu. Bahkan mereka harus membayar pajak yang tinggi yang administrasinya masih diatur oleh kaum ningrat Iran pra-Islam yang disebut Dihqan yang umumnya belum memeluk Islam. Dengan demikian, kekecewaan dikalangan Arab ini pun muncul dan mengkristal dari waktu-kewaktu, yang akhirnya berkeinginan menungbangkan Daulat Bani Umayyah itu sendiri-sendiri karena alasan-alasan diskriminasi ekonomi tersebut. Oleh karena itu menurut teori ini kebangkitan Bani Abbasyiah akan dapat dipahami dengan baik bila ditinjau dari sudut diskriminasi ekonomi ini.
C. Bani Abbasyiah dan Syi’ah
Khalifah Bani Abbasyiah yang pertama adalah Abdullah Abu al-Abbas, memerintah tahun 750-754 M. Namun usaha dan klaim untuk menduduki jabatan khalifah jauh sebelum masa hidup al-Safah. Sebagian sejarawan menilai bahwa klaim itu dimulai sejak masa hidup kakeknya bernama Ali bin Abdullah bin al-Abbas bin Abdul Mutthalib, cucu dari al-Abbas bin Abdul Mutthalib, salah seorang dari paman Nabi Saw.
Sejarawan mencatat bahwa al-Abbas yang hidup pada masa Nabi tidak pernah menunjukkan sikap dan ambisi politiknya. Ia juga tidak termasuk kelompok al-Sabiqun al-Awwalun karena ia baru memeluk Islam beberapa saat sebelum penaklukan Mekkah pada tahun 8 H/630 M, karena itu ia tidak memainkan peranan penting dalam sejarah Islam periode Mekkah kecuali hak shiqaya yaitu hak untuk membagikan dan menyuplai air kepada para jemaah haji. Gejala-gejala yang menunjukkan ambisi politik pada anak al-Abbas; Abdullah bin Abbas juga tidak terlihat. Ia malah menyibukkan dirinya untuk mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis sehingga beliau dikenal sebagai salah seorang memiliki otoritas dalam bidang tafsir dan hadis di Hijaz pada saat itu.
Keturunan Bani Abbas yang pertama kali menunjukkan ambisi politiknya adalah Ali bin Abdullah bin Abbas(w. 118 H/736 M). Ia sering berkunjung ke istana Bani Umayyah di Damaskus terutama dimasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (685-705M). Ketika masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik(705-715 M), ambisi politik Ali bin Abdullah mulai tercium oleh kalangan Bani Umayyah sehingga Walid menindak Ali bin Abdullah hingga beliau mendapatkan tiga kali hukuman. Pertama, Ketika Ali bin Abdullah menikahi Lubaba bint Abdullah bin Ja’far; jandanya ayahnya. Hal ini dianggapnya sebagai sebuah penghinaan atas ayahnya. Kedua, Beliau dicurigai melakukan kegiatan politik anti Umayyah. Ketiga, dituduh membunuh saudaranya bernama Salit bin Abdullah. Untuk yang ketiga ini beliau dipukul, dipenjarakan dan kemudian diusir dari Damaskus hingga beliau tinggal dan wafat di Humaimah. Pendek kata Ali bin Abdullah oleh pemerintahan Umayyah dianggap sebagai figur yang dapat membahayakan kelangsungan kekuasaan politik mereka.
Setelah Ali bin Abdullah meninggal dunia, cita-cita politiknya dilanjutkan oleh anaknya bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah. Pada masa hidup Muhammad inilah Bani Abbasyiah secara resmi berkoalisi dengan Syi’ah atau bahkan memklaim dirinya sebagai imam dari kelompok itu; garis keturunan non-Fatimah, setelah sebelumnya Abu Hasyim yang merupakan pewaris imamah dari ayahnya Muhammad bin Hanafiyyah mewariskan posisi tersebut sebelum beliau meninggal dan memerintahkan kepada para pengikutnya untuk mengikuti perintah Ibn Ali. Inilah langkah jitu dari Bani Abbasyiah yang melakukan koalisi dengan Syi’ah dalam rangka menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Bani Umayyah.
Menyatunya kepemimpinan pada satu orang; Muhammad bin Ali merupakan suatu bentuk keberuntungan bagi Bani Abbasyiah untuk selanjutnya meluaskan pengaruh ke basis-basis Syi’ah. Ibn Jarir al-Thabary menyatakan bahwa tiga tahun setelah menjabat sebagai imam (100 H), Muhammad mengirim Maisara ke Iraq dalam rangka menjajaki perekrutan pengikut baru dalam gerakannya. Dukungan dari orang-orang Kufah di Iraq dengan mudah dapat diperoleh oleh Maisara. Dan selanjutnya mengirim tiga orang Kufah ke Khurasan untuk meluaskan pengaruh gerakan Abbasyiah. Di Khurasan mereka bertiga membentuk suatu komite yang terdiri dari 12 orang yang dikenal dengan nama Nuqabaa. Komite 12 ini kemudian membentuk komite yang lebih besar lagi yang terdiri atas 70 orang .
Kiranya patut dicatat di sini bahwa sampai tahap ini gerakan Bani Abbasyiah masih bersifat di bawah tanah dan menjadikan ahl al-Bait, al-rida Muhammad sebagai dasar gerakan.
D. Bani Abbasyiah dan Khurasan
Khurasan adalah suatu wilayah yang terletak di Iran timur dan ketika itu merupakan wilayah Islam yang paling timur. Sumber sejarah menyebutkan bahwa penaklukan Khurasan oleh Islam dimulai pada masa pemerintahan Usman bin Affan dibawah komando seorang Jenderal bernama Abdullah bin Amir yang juga merangkap gubernur Bashrah dari tahun 29-35 H/ 649-655 M. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa penaklukan itu dimulai pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Srdangkam Ibn Jarir sendiri mencatat bahwa penaklukan itu terjadi pada tahun 22H/643 M.
Penduduk Khurasan sebagian besar merupakan keturunan-keturunan yang berasal dari suku-suku Arab kecuali sekitar 1000 orang yang merupakan bekas rakyat kerajaan Sassanian Iran yang telah takluk kepada Islam. Mereka yang berasal dari keturunan Arab ini merupakan bekas-bekas tentara yang ditinggalkan di Khurasan oleh Abdullah bin Amir dalam rangka menjaga keamanan wilayah tersebut akibat kekaucauan yang sering terjadi oleh rakyat setempat.
Wilayah Khurasan dari sejak awal hanya merupakan bagian dari wilayah Basrah hingga pada masa kekhalifaan Ziyad dimana beliau menjadikan Khurasan sebagai sebuah provinsi yang berdiri sendiri dan sebagai gubernurnya adalah anaknya yang bernama Ubaidillah. Pada masa selanjutnya, gebernur berganti gubernur sampai akhirnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H) Khurasan digabungkan kembali menjadi bagian dari provinsi Iraq yang gubernurnya ketika itu adalah al-Hallaj. Salah satu alasan pokok penggabungan tersebut adalah karena Khurasan selalu menjadi tempat yang subur bagi huru-hara dan rasa tidak puas dari orang-orang Arab yang menetap disana atas kebijakan pemerintahan pusat di Damaskus.

Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 12, 2007 by with 0 comment

Dakwah Islam di Filipina

A. Kondisi Geografis Filipina
Filipina adalah sebuah negara Republik dengan luas wilayah 114.830 mil dengan jumlah penduduk 49.139. 350 jiwa. Dilihat dari luas wilayahnya, maka Filipina tidaklah termasuk negara padat penduduk. Mayoritas penduduknya beragama Katolik yaitu, 85,8% dari keseluruhan jumlah penduduk. Islam 4%, Protestan 3,1%, Iglesiani Kristo 1,3%, Budhis 0,08%, dan lain-lain 20%. Iklim daerah Filipina adalah tropis yang hampir sama dengan semua yang terjadi di Asia Tenggara, namun Filipina mempunyai temperatur panas yang tinggi dan kurang berawan.
Kedaulatan Filipina di peroleh pada tanggal 4 Juli 1946 didasarkan Undang-Undang 1935. Bahasa Nasional Filipina adalah “Philipino” yang pada dasarnya diambil dari bahasa “Tagalog” yang banyak digunakan oleh masyarakat di Manila dan sekitarnya. Ada 87 banyaknya dialek bahasa, hal ini mencerminkan banyaknya suku dan etnis. Mata uangnya adalah Peso terdiri dari kertas dan logam.

B. Asal-Usul Dakwah Islam di Filipina

Sejarah masuknya Islam di Filipina dimulai pada abad ke-14 melalui kepulauan Sulu. Disebutkan bahwa orang yang sangat berjasa dalam penyebaran Islam pertama di kepulaan tersebut adalah Syarif Karim al-Makhdum, ia adalah orang Arab yang datang ke Malaka dan mengislamkan Sultan Muhammad Syah dan rakyat Malaka. Setelah beberapa lama menetap, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Timur dan tiba di Sulu sekitar tahun 1380 dan menetap di Bwansa, ibu kota Sulu yang lama, di sana al-Makhdum bersama penduduk setempat membangun sebuah masjid sebagai sentral kegiatan dakwah, hasil dari usaha tersebut cukup menggembirakan karena banyak pemimpin-pemimpin lokal yang tertarik menerima ajarannya. Muballigh lainnya yang patut disebutkan kerena jasanya dalam penyebaran Islam di Filipina yakni Abu Bakar, ia juga seorang Arab yang memulai tugas dakwahnya di Malaka, Palembang, Brunei dan akhirnya sampai di Sulu sekitar tahun 1450. Setelah tiba di Kepulaun tersebut dan merasa telah cukup pengikutnyanya ia pun mendirikan masjid sebagaimana pendahulunya sehingga kegitan dakwahnya berkembang, puncak kesuksesannya ketika Raja Bwansa, Raja Baginda menjadikannya menantu dan ahli waris kerajaan. Abu Bakar pun kemudian menjadi Sultan dengan gelar Sharif al-Hashim, ia dianggap peletak dasar kesultanan Sulu dan cikal bakal dari sultan-sultan dan datu-datu di kepulauan tersebut. Bersamaan dengan datangnya Abu Bakar ke Sulu, di tempat lain juga telah datang para muballigh yang berdarah Arab ke Mangindanao, merekalah yang mula-mula yang membuntuk tatanan masyarakat Islam di sana. Sementara abad ke-16, datang Syarif Muhammad Kabungsuan yang konon adalah seorang pangeran dari Johor bersama pengikutnya, seperti halnya Abu Bakar, Kabungsuan tidak hanya melanjutkan proses Islamisasi, tetapi lebih penting adalah meletakkan dasar kesultanan Maguindanao. Ia sering disebut dalam silsilah raja-raja sebagai orang satu-satunya yang bertanggungjawab dalam Islamisasi Mindanao.
Data historis tersebut di atas, menunjukkan kuatnya pendapat yang mengatakan bahwa Islam datang ke Asia Tenggara langsung dari Arab termasuk wilayah Filipina, atau tepatnya dari Hadramaut. Dari seluruh tokoh yang berjasa dalam penyebaran Islam di Filipina, mereka adalah berasal dari Arab dengan gelar Syarif atau Sayyid. Alasan lain yang memperkuat tesis yang mengatakan Islam datang ke Asia Tenggara berasal dari Hadramaut walau sifatnya lebih umum yaitu adanya kesamaan mazhab yang dianut pada semua tempat di Asia Tenggara yakni mazhab Syafi’i.
Dakwah Islam terus berlangsung sampai tersebar ke hampir keseluruh Filipina termasuk di kota Manila, hanya saja penyebarannya terhenti ketika orang-orang Spanyol datang dibawah Agustin de Lagasapi sekitar 1565, maka sejak itu pula Filipina dijajah sekaligus dijadikan lahan penyebarkan agama Kristen Katolik. Namun penguasaan penjajah tersebut tidak berhasil menduduki semua daerah dalam wilayah Filipina, kesultanan Islam di Mindanau dan Sulu berhasil mempertahankan diri dari serangan Portugis dari arah Selatan. Tahun 1898, karena sesuatu hal Spanyol harus menyerahkan kekuasaan kepada Amerika, Selama pendudukan tersebut kesultanan Mindanao dan Sulu dapat disatukan pada tahun 1903. Sedangkan secara administratif kedua wilyah itu baru diakui oleh pemerintahan Filipina tahun 1914-1920. Suatu hal yang menarik disimak, masyarakat muslim Filipina tidak banyak terpengaruh dengan penetrasi kolonialisme, meskipun ia termasuk negara di Asia Tenggara yang paling lama dijajah, bahwa umat Islam Filipina tetap tidak pernah mengikuti keinginan penjajah, dalam artian bahwa masyarakat muslim Filipina sangat kuat memegang tradisinya, ulet dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebebasannya (terkontekstualisasi pemikiran keagamaannya).

C. Perkembangan Dakwah Islam di Filipina
Proses Islamisasi di seluruh Filipina secara tiba-tiba terhenti akibat datangnya bangsa Spanyol dari Utara sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, akibatnya Islam tidak dapat memiliki kesempatan untuk berkembang secara penuh dan mendapatkan akarnya di bagian-bagian lain negara kecuali Filipina Selatan dan beberapa daerah pantai. Keadaan ini terus berlanjut sampai Filipina merdeka, kekuasaan baik secara politik, ekonomi dan sosial didominasi oleh kalangan Non-Muslim yang membuat warga muslim Filipina merasa terancam di negara sendiri dengan kebijakan pemerintah yang mengecilkan arti kelompok-kelompok minoritas.
Kondisi ini tidak membuat warga muslim Filipina tinggal berdiam diri, mereka menyadari keberadaannya sebagai bagian dari warga bangsa yang mempunyai hak yang sama, maka mereka melakukan kegiatan atau aktifitas yang dapat menyadarkan kaum muslim.
Seorang ilmuan Muslim, Asiri Abu Bakar, menunjukkan faktor-faktor bangkitnya warga muslim Filipina: 1. Bertambahnya hubungan ulama dan para pendatang dengan muslim yang terpelajar dari dunia Arab; 2. bertambahnya jumlah warga Moro yang pergi naik haji; 3. bertambahnya kesempatan kesempatan melakukan studi di berbagai pusat Islam di seluruh dunia; 4. partisipasi aktif dalam berbagai pertemuan; 5. kembalinya ratusan pelajar Muslim dari luar negeri; 6. Semakin banyaknya didirikan madrasah-madrasah di daerah; 7. kedatanagan para pejabat dari dunia Islam ke Moro; 8. banyaknya konferensi pers internasional dan peliputan perang yang berlangsung di Mindanao serta kekejaman beberapa personel meliter di wilayah tersebut.
Kebangkitan tersebut dapat dilihat pula dari, 1.dibayarkannya tunggakan perang Dunia II kepada beberapa Muslim yang memungkinkan mereka naik haji dan kemudian membangkitkan kesadaran Islam mereka; 2. bertambahnya perkumpulan dan organisasi Islam yang didukung oleh warga lokal maupun luar negeri; 3. didirikannya sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas swasta dan negeri di negara ini yang memberikan kuliah-kuliah dan gelar-gelar dalam studi Islam; 4. pemberontakan Moro, yang telah mengakibatkan peningkatan kesadaran dan kewaspadaan Muslim. Kebangkitan Islam terus digaungkan oleh dua kelompok yang sama-sama mengatasnamakan umat Islam Filipina. Kelompok pertama yang berpandagan radikal, dipegang oleh para anggota Moro National Liberation Front (MNLF) yang merupakan minoritas di kalangan penduduk muslim, sedangkan kedua yang berpandagan moderat, dipegang oleh warga Muslim yang ingin memprakarsai berbagai perubahan dalam masyarakat yang lebih luas. Kelompok moderat yang didukung oleh mayoritas penduduk berusaha mempertahankan diri sebagai masyarakat Muslim. Mereka mau masuk ke dalam sistem politik Filipina demi mencapai tujuan-tujuan mereka, dengan menggunakan semua cara-cara legal dan konstitusional yang ada, termasuk penyebarluasan ide-ide pemikiran, mengorganisir kelompok-kelompok penekan dan berpartisipasi dalam usaha-usaha pemerintah untuk menemukan suatu penyelesaian yang damai adil terhadap Moro. Sedangkan Moro National Liberation Front (MNLF) menggunakan dua strategi yakni menarik perhatian internasional, khususnya negara-negara Islam – tentang nasib mereka yang tertindas; menjalankan perang gerilya untuk melemahkan Pemerintah Filipina.
Suasana dan posisi umat Islam yang sedemikian tersebut di atas mempengaruhi strategi dan keberlangsungan kegiatan dakwah. Sebuah organisasi Islam yang berskala Filipina adalah CONVISLAM atau “Converst to Islam”, didirikan pada 1954 secara aktif bergerak untuk kegiatan dakwah. Pada tahun 1981, Convislam mempelopori sebuah organisasi dakwah yang berskala nasional yang disebut Islamic Da’wah Council of the Philippines, Inc (Majlis al-Da’wah al-Islamiyyah al-Philipiniyyah) untuk menjadi payung semua gerakan dan kegiatan dakwah. Kegiatan-kegiatannya antara lain penerbitan buku-buku Islam, kunjungan ke cabang-cabang provinsi, menyelenggarakan serangkaian kuliah umum, membangun masjid, menghadiri konferensi-konferensi internasional dan program-program pelatihan untuk usaha dakwah Islam, menyelenggarakan sekolah minggu dan kursus-kursus bahasa Arab, dan banyak lagi yang lainnya. Di samping itu, terdapat banyak sekolah madrasah yang didirikan oleh organisasi-organisasi Muslim terutama di provinsi-provinsi bagian selatan.
Kemudian seorang tokoh terkenal Muslim Filipina, Peter Gordon Gowing, juga menyebutkan kelompok dakwah seperti tableegh Marawi City. Mereka ini adalah Shubba’anol Muslimeen Tableegh of Philippenes, Jama’at Tableegh, dan Islamic Tableegh of the Philippines. Organisasi-organisasi ini sedikit yang dapat diketahui karena kurangnya informasi yang lebih jauh mengenai eksistensi dan kegiatannya, kendati dari sisi distribusi keanggotaannya cukup luas. Hal yang tidak dapat dilewatkan mengenai organisasi-organisasi yang erat kaitannya dengan kebangkitan Islam di Filipina walaupun sangat terkait dengan posisi tawar –menawar antara umat Islam secara umum dengan pemerintah antara lain lahirnya Peranan Kementerian Urusan Muslim, yang di antara lain-lainnya, bertugas menyelenggarakan ibadat haji. Demikian pula Bank Amanah, sebuah bank Muslim yang berhubungan dengan kementerian, dan secra khusus didirikan untuk melaksanakan ketentuan Islam mengenai larangan riba. Didirikannya bank semacam ini sungguh merupakan suatu prestasi.

Catatan:
Makalah di atas belum lengkap, maka silahkan download selengkapnya...
Read More
Published Oktober 10, 2007 by with 0 comment

DINASTI BUWAIHI (Pembentukan, Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran)

Dinasti Buwaihi muncul dalam panggung kekuasaan Islam pada permulaan abad ke-10 M, atau tepatnya pada tahun 945-1055 M, di bagian Barat Laut Iran. Dinasti ini dibangun melalui usaha-usaha bersama tiga bersaudara yaitu, Ali bin Buwaihi (yang tertua), Hasan bin Buwaihi, dan Ahmad bin Buwaihi (yang termuda). Putra seorang pencari ikan (nelayan) miskin yang bernama Abu Syuja’ Buwaih. Mereka berasal dari negeri Dailam, wilayah yang terletak di barat daya laut Kaspia. Negeri ini telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa khalifah Umar bin Khattab.
Agar dapat keluar dari tekanan kemiskinan, ketiga bersaudara itu memasuki dinas militer yang dipandang banyak mendatangkan rezki pada masa itu. Awalnya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang Dailam. Namun setelah mereka mengalami kekalahan, mereka bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy. Akan tetapi sebelum mengambil tindakan tersebut mereka terlebih dahulu meminta izan kepada Makan ibn Kali dengan alasan untuk meringankan beban Makan dan berjanji akan menyokongnya kembali apabila kelak kekuatannya telah pulih. Mengawali kariernya di wilayah Iran, mereka giat menyebarkan Syi’ah di kalangan penduduk setempat dan mendapat dukungan dari Iran. Atas prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali sebagai gubernur di Karaj, sedangkan Ahmad dan Hasan diberi kedudukan penting pula, semenjak itulah kekuatan Buwaihi tampak.
Ketika kekuatan mereka bertambah besar, Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Selanjutnya ketika Mardawij meninggal, mereka berhasil pula menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Raj, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapatkan legalisasi dari khalifah Abbasiyah al-Radi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Setelah berhasil mendapatkannya, ia melanjutkan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Saat itu Baghdad tengah dilanda kekisruhan politik akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara Wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan Ahmad yang berkedudukan di Ahwaz, maka pada tanggal 11 Jumadil Awal tahun 334 H Bani Buwaihi tiba di Baghdad dan disambut oleh penduduk dengan gembira yang berharap segera akan dilepaskan dari tekanan-tekan Turki dan budak-budak yang menguasai istana. Bahkan tak ketinggalan khalifah ikut pula menyambut secara kehormatan. Diadakanlah perjanjian untuk mengakui keturunan Buwaihi sebagai Sultan dan sebaliknya Bani Buwaihi mengakui pula kedudukan khalfah. segera memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke Baghdad. Sejak saat itu, para khalifah Abbasiyah tunduk kepada Bani Buwaihiyyah, seperti ketundukan mereka kepada militer Turki. Mu’izz al-Daulah (Ahmad) semakin besar pengaruhnya dan dengan jabatan Sultan di Baghdad. Nama mereka disebutkan bersama-sama dengan nama khalifah dalam khutbah jum’at, dan tertulis dalam mata uang Baghdad.
Secara sepintas, Bini Buwaihi memang telah membangun kekuasaan di luar Baghdad sejak 320 H (932 M). Namun secara formal baru dapat mengendalikan kekuasaan politik, ekonomi, dan militer dinasti Abbasiyah pada tahun 334 H (945 M). Pada tahun inilah boleh dikatakan sebagai awal berkuasanya dinasti Buwaihi. Adapun para penguasanya secara berurutan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Mu’izzu al-Daulah (334-356 H)
2. Izzu al-Daulah (356-367 H)
3. Idhadu al-Daulah(367-372 H)
4. Shamsan al-Daulah (372-375 H)
5. Syaraf al-Daulah (375-379 H)
6. Baha’u al-Daulah (379-403 H)
7. Sulthan al-Daulah (403-411 H)
8. Musrif al-Daulah (411-416 H)
9. Jalal al-Daulah (416-435 H)
10. Imadu al-Daulah (435-440 H)
11. Abu Nasirah Malik al-Rahim (440-447 H)

Catatan:
Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 07, 2007 by with 0 comment

BANI ABBAS (Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran)

Berdirinya kekuasaan dinasti Bani Abbas menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah yang telah berkuasa kurang lebih 90 tahun. Babak baru sejarah peradaban Islam diawali dengan hadirnya kekuasaan dinasti Abbas yang didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdillah ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang relatif panjang dari tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
Proses peralihan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah mempunyai arti yang lebih tinggi daripada sekedar perubahan dinasti semata. Bahkan realitas sejarah ini merupakan revolusi sejarah dalam Islam, sebuah titik balik yang sama pentingnya dengan revolusi Prancis atau Rusia dalam sejarah Barat. Revolusi ini menunjukkan bukan hanya sekedar penggulingan kekuasaan, melainkan pula bahwa makna yang terkandung pada kudeta yang terinspirasi atau terilhami oleh penyimpangan kekuasaan, yang mencerminkan dan mengungkapkan ketidakpuasaan terhadap pemerintahan sebelumnya.

Pemerintahan daulah Abbasiyah menurut Ahmad Syalabi dibagi menjadi tiga periode : periode pertama tahun 132-232 H (750-847 M); periode kedua tahun 232- 590 H (847-1194 M); periode ketiga tahun 590-656 H (1194-1258 M). Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada masa kekuasaan. Pada periode pertama kekuasaan para khalifah Abbasiyah berkuasa penuh, yaitu pengaruh Persia. Periode kedua kekuasaan berada pada pihak orang lain, yaitu adanya pengaruh Turki (dinasti Bani Seljuk). Pada periode ketiga kekuasaan kembali ke Abbasiyah tetapi hanya sekitar Bagdad saja.
Pada pemerintahan Harun ar-Rasyid tahun 170-193 H (786-809 M), dan pada masa pemerintahan Abu Ja’far Abdullah al-Makmun tahun 198-218 H (813-833 M). Bani Abbasiyah mengalami kemajuan dan mencapai masa keemasannya. Secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan ilmu agama, filsafat, pendidikan dan sains dalam Islam.
Dalam perkembangan daulah Bani Abbasiyah yang cukup panjang, akhirnya pada pemerintahan khalifah Abu Ahmad Abdullah al-Musta’shim (218-227 H/833-842 M) mengalami kemunduran dan kehancuran sehingga berakhir pulalah pemerintahan Bani Abbasiyah.

Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 04, 2007 by with 0 comment

DINASTI AYYUBIYAH

Dinasti Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berasal dari keturunan Kurdi yang tinggal di utara Iraq. Didirikan oleh Shalah al-Din, dan dinisbatkan kepada nama bapaknya Ayyub bin Syazi. Popularitas keluarga ini berawal ketika dua orang bersaudara, Ayyub dan Syirkuh, masuk mengabdi kepada Atabek masing-masing di Syria dan Iraq. Pada saat pengepungan kota Damaskus oleh tentara Salib pada tahun 1146, Ayyub dipromosikan untuk menduduki jabatan gubernur di Damaskus oleh Nur al-Din, yang telah menggantikan ayahnya, Zanki, sebagai Atabek di Syria.
Pada tahun 1160, Nur al-Din mengutus Syirkuh untuk memimpin pasukan ke Mesir, yang mana pada saat itu diperintah oleh khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, al-Adid (1160-1171). Karena perseteruan yang terjadi antara Khalifah Fatimiyah dan perdana menterinya, Syamar, maka khalifah meminta Syirkuh untuk menjadi panglima pasukan Mesir dan untuk memadamkan pemberontakan Syamar. Syamar kemudian meminta dan mendapat bantuan dari pasukan Salib yang dipimpin oleh Amalric I, membuat Syirkuh harus berperang melawan pasukan Kristiani yang melancarkan serangan terhadap Mesir. Syirkuh, secara meyakinkan, dapat mengalahkan serbuan tentara Eropa, dan memaksa mereka untuk meninggalkan Mesir pada tahun 1169. Setelah itu, Khalifah al-Adid melantik Syirkuh sebagai perdana menterinya, dan memintanya untuk mengamankan kembali kerajaan yang memeranginya. Namun dua bulan kemudian, Syirkuh meninggal dunia, dan digantikan oleh kemenakannya, Shalah al-Din, putra Ayyub, menjabat sebagai perdana menteri Khalifah al-Adid sampai kemudian khalifah wafat pada tahun 1171. Sebagai seorang pengikut Atabek Nur al-Din dari Syria, Shalah al-Din menolak untuk mengizinkan khalifah Fatimiyah yang lain untuk menggantikan al-Adid, dan dia mengangkat dirinya sebagai penguasa penuh terhadap bekas rezim Fatimiyah tersebut dan meletakkan batu pertama pendirian Disnasti Ayyubiyah, yang selanjutnya dinasti ini berkuasa di Mesir dan Syria sampai pada tahun 1260.
Dengan demikian, dinasti ini merupakan kelanjutan dari Dinasti Atabek di Syria dan al-Jazirah (Yaman), serta pengganti Dinasti Fatimiyah di Mesir.

Catatan:
Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 02, 2007 by with 0 comment

Pembentukan dinasti bani umayyah serta Perkembangan politik, sastra, dan ilmu pengetahuan

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Ali ibn Abi Thalib dilematis dlam mengambil sikap untuk mengatasi kemelut yang terjadi di dalam negerinya. Antara lain adalah tuntutan yang diajukan oleh tokoh-tokoh senior dari sahabat semisal Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Umm al-Mukminin Aisyah ra. dan Muawiah ibn Abi Sufyan. Mereka semua meminta agar kaum pemberontak diseret ke meja hijau.
Tuntutan ini semakin gencar mendesak khalifah Ali ibn Abi Thalib untuk segera menjatuhkan hukuman qishas kepada mereka yang terlibat dalam pembunuhan mantan khalifah Usman ibn Affan. Namun Ali ibn Abi Thalib sulit menerima tuntutan tersebut untuk dilaksanakan seketika karena ibarat orang yang menutup lubang dengan membuka lubang baru yang lebih lebar dan lebih berbahaya terhadap stabilitas keamanan. Akan tetapi beliau tetap berjanji untuk memenuhi tuntutan tersebut yang dipelopori oleh Muawiah ibn Abi Sufyan jika stabilitas keamanan sudah kondusif.
Janji khalifah tersebut tidak mampu membendung tuntutan Muawiah yang menghendaki sesegera mungkin. Hingga konflik tersebut berakhir dengan perang saudara dari kedua belah kubu yang berseteru. Perang ini dalam sejarah Islam dikenal dengan “Perang Shiffin”.
Pada perang Shiffin ini, kemenangan sudah di hadapan kubu Ali ibn Abi Thalib, namun secara tiba-tiba seruan perdamaian itu terlihat ketika ada di antara kubu Muawiah yang mengayunkan mushaf Alquran, sehingga pasukan Ali mendesak kepada khalifah Ali ibn Abi Thalib agar beliau menerima seruan tersebut. Pada mulanya beliau enggan menerimanya sebab beliau tahu jika yang mereka lakukan itu semata-mata adalah bentuk kelicikan. Akan tetapi dari pasukannya sendiri tidak bisa lagi diimbangi sehingga beliau pro terhadap kehendak mereka. Peristiwa tersebut dikenal dengan tahkim (arbitrase) yang mengutus dua orang diplomat dari dua kubu untuk berdiplomasi. Ternyata hasil arbitrase kembali ditempuh lagi dengan cara yang licik di hadapan jumhur muslimin oleh diplomat Muawiah dan merugikan pihak Ali ibn Abi Thalib.
Berangkat dari perjalanan historis tersebut, dapat dipahami bahwa pasca arbitrase merupakan awal keruntuhan khilafah rezim Ali ibn Abi Thalib sekaligus merupakan cikal bakal terbentuknya dinasti Bani Umayyah.

B. Biografi Singkat Muawiah ibn Abi Sufyan Selaku Pendiri Dinasti Bani Umayyah.
Muawiah adalah pendiri sekaligus khalifah pertama pada dinasti Bani Umayyah (661-680 M). Nama lengkapnya adalah Muawiah ibn Abi Sufyan bin Harb ibn Umayyah al-Akbar. Beliau terlahir dari pasangan suami-isteri Abu Sufyan ibn Harb ibn Umayyah al-Akbar ibn Abd Syams dengan Hindun binti Utbah. Mengenai usia hidup beliau terdapat perselisihan pendapat para ulama tarikh, yakni ada yang menyebutkan 73, 75, 78, 80, atau 85 tahun. Ayahnya adalah tokoh termasyhur di kalangan Quraisy dan seorang pedagang besar yang berpengaruh sejak masa sebelum datangnya Islam. Sebenarnya beliau termasuk penentang Islam, akan tetapi setelah Fathu Makkah beliau masuk Islam pada tahun 630 M.
Muawiah diakui kecerdasannya oleh Nabi Muhammad Saw. sehingga beliau pernah diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang penulis ayat-ayat Alquran. Pada masa ekspansi Islam ke Syiria, Muawiah turut mengambil bahagian lalu belaiu diangkat oleh Umar ra. (khalifah kedua) sebagai gubernur di sana dan sempat menjabat selama kurang lebih 20 tahun. Jabatan gubernur beliau terakhir pada masa rezim Ali ibn Abi Thalib yang melengserkan beberapa petinggi-petinggi khalifah yang tercium berbau nepotisme pada rezim Usman ibn Affan ra.
Muawiah adalah salah satu di antara putra Abu Sufyan yang pernah memimpin orang-orang Makkah untuk menentang Islam. Namun setelah beliau masuk Islam, beliau menampakkan potensi besarnya dalam memperjuangkan Islam bersama para sahabat yang lain sehingga beliau tercatat sebagai khalifah keenam dari Nabi Saw. yang memimpin khilafah kaum muslimin pada masa dinasti Bani Umayyah. Belaiu mengangkat putranya yaitu Yazid sebagai putra mahkota serta pewaris tahta kekhalifahannya. Ahli sejarawan umumnya melihat negatif terhadap Muawiah dengan melihat latar belakang kekhalifahannya. Beliau berhasil meraih legalitas khalifah pada peristiwa perang Shiffin melalui kesepakatan Tahkim yang licik dan menghasilkan keputusan yang curang. Bahkan beliau dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, sebab beliaulah yang pertama kali merubah corak pemerintahan kaum muslimin yang demokratis menjadi monarkis.
Akan tetapi, jiak kita melirik kepada perkembangan dinasti Bani Umayyah dan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh beliau serta gebrakan baru yang dirintisnya dan diteruskan oleh khalifah sesudahnya, ternyata beliau adalah pemimpin besar yang berbakat dan memiliki pribadi yang paripurna. Beliau seorang politikus, administrator, serta terkumpul dalam dirinya sifat-sifat seorang penguasa yang berkarir. Muawiah akhirnya wafat pada tahun 60 Hijriyah di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya yang bernama Yazid ibn Muawiah yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai putra mahkota.

catatan:
Download makalah lengkapnya...
Read More