Manusia hidup dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Orang yang baik adalah orang yang pandai mengambil pelajaran dari masa lalu untuk menentukan sikap hari ini dan merencanakan masa depan, sehingga hari ini bisa lebih baik dari hari kemaren dan besok bisa lebih di atas tingkat prestasi yang dicapai dari pada hari ini.
Dalam konteks itulah Isra’ Mi’raj yang merupakan peristiwa masa lampau tetap relevan diambil sebagai pelajaran untuk kita jadikan acuan hidup di zaman sekarang agar masa depan kita jauh lebih berkualitas dari pada hari ini atau pun kemaren.
Sangat istimewa sekali, bahwa untuk mengisahkan peristiwa Isra’
Mi’raj, Allah memulai ayat-Nya dengan kalimat tasbih. Allah berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا
حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Dalam ayat ini Allah memulainya dengan kalimat “
سُبْحَانَ”
(Maha Suci Allah). Banyak peristiwa yang diceritakan Al-Qur’an, tetapi
jarang sekali diawali dengan kalimat Tasbih. Ketika al-Qur’an
menceritakan bagaimana fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di
Laut Merah, itu peristiwa hebat, tapi tidak dimulai dengan kalimat
Tasbih.
Kalau untuk memaparkan peristiwa Isra’ Mi’raj Allah memakai kalimat Tasbih, tentulah bukan suatu kebetulan. “
سُبْحَانَ الَّذِي”
(Maha Suci Allah). Maha Suci dari segala kelemahan. Maha Suci dari
segala sifat kekurangan. Maha Suci dari segala kesia-siaan. Allah
mempertaruhkan kesucian-Nya untuk menjamin kebenaran peristiwa Isra’ dan
Mi’raj. Pertanda bahwa Isra’ Mi’raj bukan peristiwa biasa.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Kalimat selanjutnya: “
أَسْرَى” berasal dari kalimat “
سَرَى – يَسْرِي ” (artinya berjalan), yang kemudian dibentuk menjadi muta’addi dengan menambahkan Hamzah di awalnya: “
أَسْرَى – يُسْرِي – إِسْرَاءً” (artinya memperjalankan).
Dari kalimat itu tampak bahwa dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang aktif
sebenarnya Allah. Karenanya tidak heran jika nabi berangkat dari Mekkah
menuju Masjidil Aqsha di Palestina, lalu naik ke langit ke tujuh, naik
lagi ke Baitul Makmur setelah itu ke Shidratul Muntaha, hingga tiba di
bawah ‘Arsy menerima perintah shalat, melakukan kunjungan ke Syurga dan
Neraka, kemudian kembali lagi ke Mekkah, hanya memakan waktu tidak lebih
dari sepertiga malam. Kenapa tidak? Allah-lah yang memperjalankan. Nabi
sendiri pasif, sekedar diperjalankan dan terima beres. Andai kata Rasul
berjalan sendiri, jelas beliau tidak akan sanggup menempuh jarak yang
demikian jauh dalam waktu sesingkat itu. Oleh karena itu, dalam memahami
peristiwa Isra’ Mi’raj jangan memakai logika manusia, tetapi harus
menggunakan logika ke-MahaKuasa-an Allah.
Dahulu Abu Jahal, Abu Lahab dan kawan-kawannya memahami peristiwa
Isra’ Mi’raj ini dengan logika berfikir manusia, terang saja mereka
tidak bisa mencerna. Padahal kalau sedikit saja mau merenungi ayatnya,
orang tidak akan kesulitan memahami Isra’ Mi’raj. Peristiwa Isra’ Mi’raj
itu kehendak Allah, bukan kehendak Rasulullah SAW.
Kemudian lanjutan ayat terdapat kalimat: “
عَبْدِهِ” (hamba-Nya). Kenapa Allah tidak menggunakan kalimat lain, misalnya langsung saja disebut nama Nabi:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِمُحَمَّدٍ (Maha Suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad)?
Ada dua pengertian yang dikandung kata “
عَبْدِهِ” (hamba-Nya) dalam ayat tersebut:
Pertama: Kata “hamba” itu menjelaskan bahwa Nabi Isra’ Mi’raj dengan
ruh dan jasad. Sebab, orang hanya akan dipanggil hamba kalau punya jasad
dan ruh sekaligus.
Kedua: Kalimat “
عَبْدِهِ” juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
itu oleh Allah benar-benar telah diakui sebagai hamba-Nya. Mungkin kita
bertanya, “Apakah kita bukan hamba Allah?” Tentu kita ini hamba Allah,
tapi kata siapa? Kalau kata kita, itu namanya pengakuan. Kita mengaku
sebagai hamba Allah. Boleh-boleh saja. Tetapi apakah pengakuan kita itu
juga diakui oleh Allah, ini yang jadi masalah. Mengaku sebagai hamba
Allah masih menyimpan tanda tanya besar tentang bukti empiris dari
pengakuan tersebut, sementara panggilan “hamba” dari Allah merupakan
penilaian tersendiri dari Allah atas realitas ke-hamba-an kita. Nabi
Muhammad, Allah-lah yang mengakuinya benar-benar sebagai hamba-Nya.
Kalimat selanjutnya “
لَيْلاً” (pada suatu malam). Kata ini
memakai bentuk mufrad (tunggal) untuk menunjukkan satu. Ayat ini
mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dalam
peristiwa Isra’ Mi’raj ini pada malam hari dan waktunya hanya satu malam
(bahkan hanya sepertiga malam). Kenapa Nabi diperjalankan pada malam
hari? Karena menurut kebiasaan kabilah Arab yang mayoritasnya berprofesi
sebagai pedagang, mereka melakukan perjalanan jauh pada malam hari agar
tidak merasakan panas teriknya matahari di tengah gurun sahara pada
siang hari. Begitu juga Nabi Isra’ Mi’raj ini adalah untuk menghadap
bertemu dengan Allah SWT. Waktu terbaik untuk menghadap bermunajat
kepada Allah juga adalah pada malam hari.
Hakikat dan tujuan Isra’ Mi’raj hanya Allah yang Maha Tahu. Tetapi di penghujung ayat itu kita menjumpai kalimat: “
لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا” (Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebenaran Kami).
Seluruh pemandangan dan peristiwa yang dilihat dan dijumpai Nabi
sepanjang perjalanan merupakan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran
Allah. Dan itu merupakan tamsil, contoh, dan pelajaran bagi kita yang
hidup di zaman sekarang. Misalnya ketika Nabi melihat orang yang
mencakar-cakar mukanya dengan kukunya sendiri. Beliau bertanya, “Ya
Jibril, itu orang macam apa?” Jibril yang pada perjalanan Isra’ Mi’raj
bertugas sebagai pendamping menjelaskan, “Muhammad, itulah contoh dari
ummatmu yang suka menjelek-jelekkan saudaranya sendiri”.