Published Februari 10, 2012 by with 0 comment

Muhammad ‘Abduh (Anti Jumud, Rasional dan Pembaruan Pendidikan)

Muhammad ‘Abduh 
(Anti Jumud, Rasional dan Pembaruan Pendidikan)

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Salah satu agenda permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslim di berbagai belahan dunia Islam setelah berabad-abad lamanya adalah Islam dan modernitas.
Dengan munculnya tokoh-tokoh pembaharu Islam dengan pola pemikirannya masing-masing agak memberikan solusi terhadap kaum muslimin yang ditimpa musibah kejumudan fikiran.
Muhammad Abduh adalah salah satu dari pembaharu Islam Mesir juga sebagai seorang ulama besar, penulis kenamaan, dan pendidik yang berhasil, pembaharu Mesir modern, seorang pembela Islam, seorang wartawan yang tajam penahnya, seorang hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung, dan akhirnya menjadi seorang mufti suatu jabatan keagamaan yang tertinggi di Mesir.
Dengan demikian dia dikenal sebagai seorang pembaharu dalam Islam melalui ide-idenya. Ia menentang jumud, menekankan penggunaan akal manusia serta memberikan sumbangsih terhadap pengembangan sistem pendidikan baru di Mesir dan negara-negara Islam lainnya. Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menguraikan dalam bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sebenarnya riwayat hidup Muhammad Abduh ?
2. Bagaimana ide-ide atau konsep-konsep pembaruan Muhammad Abduh dalam hal anti jumud, rasional dan pembaruan pendidikan ?

C. Tujuan dan Sasaran Pembahasan
Pembahasan ini bertujuan untuk memberi informasi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh dan konsep pembaruannya dalam hal anti jumud, rasional dan pembaruan pendidikan, agar terbangun pemahaman yang benar dan komperehensif tentang hal ini, sehingga membangkitkan kesadaran umat Islam untuk berjuang terus melawan kebodohan, kelemahan, ketertinggalan dan kejumudan dengan kembali kepada Islam yang sebenarnya sesuai dengan Alquran dan al-Hadis, dan dapat menfungsikan akal yang diberikan Tuhan untuk berfikir kritis, bebas, nyata dan rasional agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan bersaing dengan negara-negara maju namun tetap menjaga norma-norma Islam dalam berpikir.

--------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

1. Kelahiran dan masa kecilnya
Para ahli dan penulis sejarah memang tidak sependapat tentang kelahiran Muhammad Abduh. Sekurang-kurangnya ada 3 pendapat mengenai hal ini :
  • Ia lahir pada tahun 1845/1266 H di desa Mahillah Nasr provinsi Buhaerah di daerah Subrakhit.
  • Ia lahir pada tahun 1849/1265 H di sebuah dusun Delta Sungai Nil di Mesir Hilir.
  • Dan ada pula yang mengatakan, bahwa ia lahir pada tahun 1842 M.
Ketidakpastian ini disebabkan karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Selain itu juga karena suasana kacau yang terjadi di akhir zaman pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849). Tetapi yang jelas, secara umum pendapat para ahli yang mengatakan bahwa Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M. Situasi rumit yang menghimpit kehidupan masyarakat Mesir ketika itu, sehingga ayahnya terpaksa hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain tidak berkediaman, telah ikut pula membesarkan Abduh. Yang menguntungkan bagi diri Abduh adalah, meskipun kehidupan rakyat di bawah standar namun orang tuanya tergolong pada penduduk yang berbudi luhur dan kuat beragama, meskipun sama sekali tidak berpendidikan sekolah.

Dengan demikian, Muhammad Abduh besar dan didewasakan dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu dan ayah yang tidak ada hubungan dengan pendidikan sekolah, tetapi jiwa mereka penuh dengan didikan agama yang kuat, serta budi pekerti yang tinggi. Beberapa tahun kemudian, setelah kawin dengan Junainah, ayah Abduh kawin lagi dengan wanita lain. Hal ini berarti ia bertempat tinggal di sebuah rumah yang dihuni beberapa orang isteri dan mempunyai beberapa orang anak pula. Kondisi itu membawa pengaruh besar terhadap pikiran Abduh tentang perbaikan-perbaikan masyarakat Mesir.

Dilatar belakangi kondisi hidup di masa kecilnya, ketika ia biasa mendengar cerita-cerita masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya yang waktu itu masih hidup dalam ingatan orang tua-tua, Muhammad Abduh menjadi mengertia dan tertanam di dalam hati minat melayani keperluan rakyat banyak. Hal inilah yang dapat mengangkat derajat (martabat) seluruh bangsanya.

Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Perhatian mereka terhadap pendidikan anaknya nampak besar. Seperti terlihat dalam usahanya mendatangkan guru ke rumahnya untuk mengajar Abduh menulis dan membaca. Suatu bekal bagi Abduh di kelas pada masa-masa selanjutnya, baik di Tanta maupun di al-Azhar. Mereka menginginkan supaya anaknya kelak banyak mempunyai pengetahuan, sehingga dapat berguna bagi bangsanya. Keinginan ini pulalah yang menjadi suatu keistimewaan keluarga Muhammad Abduh, suatu hal yang belum lazim di waktu ini, bagi orang-orang di desanya.

Oleh karena itu secara singkat dapat digambarkan bahwa sosok pribadi Muhammad Abduh waktu kecil itu adalah sebagai seorang yang mempunyai kecerdasan dan sikap percaya diri, serta sifat-sifat utama yang diterimanya dari kedua orang tuanya.

2. Pendidikan dan Perjuangannya
Berbicara mengenai pendidikannya, tidak terlepas dari pada perjuangan Abduh dan merupakan rangkaian peristiwa yang mengukir sejarah hidupnya. Dimulai dari pendidikan yang diterimanya di rumah dari guru privatnya, segera ayahnya mengirim Abduh kepada seorang hafiz Alquran untuk belajar Alquran dengan hafalan, waktu itu tahun 1861 M. berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu 2 tahun, ia telah hafal kitab suci Alquran secara keseluruhan. Pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun. Kemudian, ia meneruskan pelajaran pada perguruan agama di Mesjid “Ahmadi” yang terletak di desa Tanta. Mesjid ini kedudukannya dianggap nomor 2 setelah Universitas al-Azhar, dari segi tempat belajar Alquran dan menghafalnya. Pengalaman pertamanya dengan membaca di luar kepala, menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum, yang tidak memberinya sarana untuk memahami, ikut membentuk komitmennya di kemudian hari kepada pembaruan menyeluruh atas sistem pendidikan di Mesir.

Muhammad Abduh merasa bosan di Tanta, dan lari bersembunyi di rumah salah seorang paman ayahnya, yang membujuknya untuk belajar kembali. Syekh Darwis Khadr, paman dari ayah Abduh yang ahli tasawuf, sehingga ia membimbingnya belajar agama dengan sabar, akhirnya Abduh mau belajar lagi di Tanta dan setelah tamat di sana ia meneruskan perjalanannya ke al-Azhar di Kairo, di sanalah ia bertemu dengan al-Afghani yang sedang banyak dikunjungi oleh para mahasiswa. Semenjak pertemuan itu Muhammad Abduh merasa tertarik kepada al-Afghani dan pertemuan itu telah meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh.

Pertemuan tersebut terulang kembali, pada saat Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir untuk menetap di sana. Maka pada waktu itulah Muhammad Abduh dan kawan-kawannya kembali belajar kepada Jamaluddin al-Afghani. Pada al-Afghanilah ia belajar tentang pengetahuan-pengetahuan modern seperti filsafat, sejarah, hukum ketatanegaraan dan lain-lain. Dan dia juga telah terjun ke lapangan pers atau media massa.

Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877 M, atas usaha perdana menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas “Darul Ulum” dan menjadi dosen pula di al-Azhar. Tetapi sayangnya, setelah kurang lebih 2 tahun ia melaksanakan tugasnya sebagai dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat penuh, maka pada tahun 1879 M, pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner, yaitu turunnya Khedive Ismail dari singgasana, digantikan oleh putranya Taufik Pasya. Pemerintahan yang baru ini segera memecat Abduh dari jabatannya dan mengusir Jamaluddin al-Afghani dari Mesir.

Akan tetapi pada tahun selanjutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh pemerintah menjadi pemimpin majalah “al-Waka’l al-Mishriyah” dan sebagai pembantunya diangkat Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah inilah, sehingga Abduh mendapat kesempatan untuk mengkritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir. Kemudian pada tahun 1882 terjadi pemberontakan “Urabi Pasya”.

Tiga setengah tahun lamanya Muhammad Abduh berdiam di Beirut, dan kemudian Abduh diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir dan tidak lama setelah pulang ke Kairo, dia diangkat menjadi hakim pada Tribunanx Indigine (pengadilan untuk pribumi), dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasehat pada Cour d' Appel (Mahkamah Banding). Pada tahun 1899 M kepadanya dipercayakan menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. Abduh diangkat sebagai Mufti Negara.
Kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada Islam yang sebenarnya, mendorongnya untuk mengkaji kembali masalah-masalah keagamaan dan menuliskannya, sehingga karenanya terangkatlah namanya sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam.

3. Karya-karyanya
Suatu hal yang penting dalam membicarakan riwayat hidup Muhammad Abduh, ialah tentang buah karyanya semasa hidupnya, bahkan ada juga usahanya yang masih terbengkalai dan dilanjutkan oleh salah seorang murid dan pengikut setianya, Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Adapun karya-karya Muhammad Abduh, baik berupa bahan ceramah, bahan kuliah yaitu :
  • Al-Waridat, yang menerangkan ilmu tauhid menurut pola tasawuf yang dijiwai oleh pokok pikiran Jamaluddin al-Afghani.
  • Wahdat al-Wujud, menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang kesatuan antara Tuhan dan makhluk, yakni bahwa alam ini adalah pengejawantahan Tuhan
  • Syarh Nahj al-Balaghah, menurut kesusasteraan bahasa Arab yang berisi tauhid dan kebesaran agama Islam
  • Falsafat al-Ijtima’l wa al-Tarikh, yang menguraikan filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat
  • Syarh Basair al-Nazariyah, uraian ringkas tentang ilmu mantiq (logika) yang telah dikuliahkan di al-Azhar dan diakui sebagai kitab terbaik dalam ilmu ini.
  • Risalat al-Tauhid, uraian tentang tauhid yang mendapat sambutan terbaik dari kalangan ulama muslim dan dari kalangan agama lain
  • Al-Islam wa al-Nasaraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah
  • Tafsir Surat al-‘Asr, tafsir yang mula-mula dikuliahkan di al-Azhar kemudian diceramahkan kepada kaum muslimin dan mahasiswa di al-Jazair.
  • Tafsir Juz ‘Amma, tafsir Alquran juz 30 ini diajarkan oleh ‘Abduh di Madrasah al-Khairiyah, isinya antara lain menghilangkan segala macam tahayul dan syirik yang mungkin menghinggapi kaum muslimin
  • Tafsir Muhammad Abduh, tafsir ini disusun oleh Muhammad Rasyid Ridha dari kuliah yang diberikan ‘Abduh di al-Azhar dan baru sampai juz ke 10. Setelah ‘Abduh wafat, Rasyid Ridhalah yang meneruskan penafsiran tersebut hingga juz ke-12, yang dimuat dalam majalah al-Manar.
  • Al-Takrir fi al-Islah al-Muhakkimin al-Syar’iyah, buku ini ditulis sewaktu ia menjabat Ketua Mahkamah Tinggi di Kairo, ia memberikan sugesti terhadap perubahan-perubahan penting dalam undang-undang syariat.

B. Ide-Ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh
1. Anti Jumud
Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan dan hanya berpegang teguh pada tradisi. Hal inilah yang membawa umat Islam kepada kemunduran.
Muhammad ‘Abduh, mengungkapkan bahwa Alquran mengajarkan dinamika bukan kejumudan. Ia juga sangat menentang sikap taklid umat kepada ulama masa lampau. Alquran menurutnya sangat mencela taklid umat masa-masa lampau kepada peninggalan nenek moyang mereka. Dan ia juga secara tegas mengatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan untuk kemajuan umat Islam zaman modern perlu diadakan ijtihad terhadap naskah Alquran. Kalau nash mengenai ibadah bersifat tegas, maka nash mengenai muamalah dan hidup kemasyarakatan mengandung hanya prinsip-prinsip umum. Lagi pula nash itu jumlahnya sedikit. Interpretasi prinsip-prinsip umum ini melalui ijtihad dapat disesuaikan dengan perkembangan modern. Jadi dapat dipahami bahwa yang boleh dikenakan ijtihad adalah mengenai masalah muamalah, bukan masalah ibadah yang sudah tegas dan terperinci dari Nabi saw. Sedangkan masalah muamalah masih umum sifatnya hanya merupakan dasar-dasar saja sehingga perlu ijtihad.

Sebab lain kemunduran umat Islam, menurut Muhammad Abduh, karena umat Islam tidak kenal ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kepada kemajuan. Mereka berlebihan dalam memuja syekh dan wali, kepatuhan buta kepada ulama, dan taklid kepada ulama terdahulu, serta tawakkal secara bulat tanpa adanya usaha pada qada’ dan qadar, dan juga menganut faham fatalisme (Jabariah).
Dengan sendirinya taklid kepada ulama lama tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tak dapat maju. Dalam bukunya tersebut di atas, Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, kata Muhammad Abduh membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka berkarat. Taklid ini menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, Syari’at, sistem pendidikan dan sebagainya. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang Muhammad Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Alquran dan Hadis, katanya melarang umat Islam bersifat taklid.

Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasar atas kepercayaannya pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Alquran berbicara, bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukkan perintah-perintah dan laranganNya kepada akal. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat :
Dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Dalam Islamlah, katanya, agama dan akal buat pertama kali mengikat tali persaudaraan. Bagi Muhammad Abduh akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal.

Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban sesuatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar pada hukum alam (natural laws = سنة الله) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam atau سنةاللهadalah ciptaan Tuhan dan wahyu juga berasal dari Tuhan. Karena keduanya berasal dari Tuhan, maka ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang berdasar pada wahyu, tak bisa dan tak mungkin bertentangan. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern.

2. Pemikiran Rasional
Pembukaan ijtihad diakui atau tidak, tentu saja memerlukan akal pikiran. Karena akal harus dibangun dari tidur lelapnya. Mengingat Allah menciptakan manusia dengan fasilitas akalnya untuk digunakan menerima petunjuk ilmu pengetahuan dan bukti-bukti dari peristiwa yang terjadi.
Muhammad Abduh menekankan tingkat kekuatan akal dalam Alquran. Ia menegaskan bahwa dalam Alquranlah wahyu untuk pertama kali berbicara kepada akal manusia. Makanya ia tidak tertarik kepada teologi Asy’ariyah yang memberi kedudukan rendah kepada akal. Ia lebih tertarik kepada teologi rasional Mu’tazilah. Makanya dalam karangan-karangannya ia banyak mengeluarkan pendapat yang sejalan dengan faham-faham Mu’tazilah. Oleh karena itu metode berfikir yang dibawanya adalah pemikiran rasional Mu’tazilah.

Baginya, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan kuat. Islam menurutnya hendaknya berada dalam timbangan akal manusia yang telah diberikan Tuhan karena akal merupakan penolak terhadap penyimpangan dari kebenaran dan mampu memperkecil kebingungan dan kepicikan. Bahkan Islam baginya menetapkan bahwa manusia sanggup sampai kepada pengenalan kepada Allah (ma’rifah Allah) dengan akal dan inilah akar pertama dari keyakinan dalam Islam. Jadi, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu saja tetapi juga akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu, turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat diketahui akalnya.

Jalan untuk memperoleh pengetahuan menurut Muhammad Abduh memang dua, akal dan wahyu. Wahyu ia artikan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh seseorang dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu berasal dari Allah, baik dengan perantara maupun tidak. Sehingga apabila terjadi pertentangan antara akal atau nalar dan wahyu, maka beliau lebih memilih apa yang ditunjuk dan masuk dalam akal manusia, sehingga tidak segan-segan meninggalkan harfiah ayat-ayat Alquran. Jadi Muhammad Abduh sebenarnya tidak meninggalkan ayat-ayat yang merupakan wahyu dan kebenaran Ilahi. Menurutnya, kalau terjadi pertentangan hasil rumusan akal dengan zhahir ayat (arti harfiah ayat), maka Abduh tidak segan-segan melakukan ta’wil, yakni sebuah upaya mengalihkan pengertian ayat kepada pengertian yang jauh sehingga dapat diterima akal sehat. Baginya, wahyu tidak dapat bertentangan dengan akal manusia. Kalau saja Abduh amat mengedepankan akal dalam masalah akidah, maka sudah pasti ia mengedepankan akal dalam arti ijtihad untuk tajdid dalam urusan mu’amalah. Jadi dapat dipahami bahwa sebenarnya Muhammad Abduh tidak lagi memberi peluang pembaharuan dalam hal ibadah, khususnya yang sudah jelas dan tegas dalam Alquran tetapi memberi peluang dalam hal prinsip-prinsip umum yaitu dalam hal muamalah dan hidup kemasyarakatan.

Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Kepercayaan pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah). Bahwa ia mempunyai faham ini dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan manusia dalam Risalah al-Tauhid. Disitu ia sebut bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi.

Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek yaitu :
1. Aspek kebebasan berpikir
2. Aspek kemasyarakatan seperti pendapatnya mengenai poligami dan monogamy
3. Aspek keagamaan seperti; tidak menghendaki taqlid dan membuka pintu ijtihad
4. Aspek pendidikan antara lain al-Azhar mendapat perhatian dan perbaikan metode dan kurikulum dan lembaga-lembaga pendidikan yang lain.

Corak pemikiran rasional Muhammad Abduh sangat nampak pada persoalan teologi bahkan lebih rasional dari Mu’tazilah sebagaimana 8 ajarannya yang popular :
1. Konsep iman
2. Sifat-sifat Tuhan
3. Perbuatan Tuhan
4. Keadilan Tuhan
5. Kekuasaan Tuhan dan kehendaknya
6. Perbuatan manusia
7. Kekuatan akal
8. Fungsi wahyu.

Bagi Muhammad Abduh, agama hampir saja bertindak sebagai pelengkap dan pembantu akal. Akal menduduki posisi yang menentukan. Di atas segala-galanya, Islam adalah agama akal dan seluruh doktrin-doktrinnya dapat dibuktikan secara logis dan rasional.

3. Bidang Pendidikan
Seperti halnya dengan al-Afghani, Muhammad Abduh melihat bahwa salah satu sebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan itu adalah hilangnya tradisi intelektual, yang intinya adalah kebebasan berfikir. Tapi berbeda dengan gurunya, Abduh melihat bidang pendidikan dan keilmuan lebih menentukan dari pada bidang politik. Keterlibatan Muhammad Abduh pada pemberontakan Urabi Pasya yang gagal itu disebabkan karena ia ingin mereformis intelektual dan pendidikan.
Yang pertama-tama yang harus ia usahakan adalah merombak dan mereformasi almamaternya sendiri. Hal yang terpenting ia lakukan adalah memperjuangkan agar para mahasiswa al-Azhar juga diajarkan mata kuliah Filsafat, demi menghidupkan kembali dan mengembangkan intelektualisme Islam yang padam itu. Usahanya ini mengalami kegagalan karena ditolak oleh dewan guru besar al-Azhar. Tetapi meskipun demikian “liberalisme Islam” telah ditanamkan dan terus berkembang sehingga mempengaruhi jalan pikiran generasi-generasi muslim yang terpelajar. Baginya, pendidikan itu penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Karena itu perhatiannya adalah mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sendiri di sekolah agama Mesir, yang tercermin dengan baik sekali dalam pendidikannya di al-Azhar.

Adapun program yang diajukan Muhammad Abduh sebagai salah satu pondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing, dan juga mengkritik sekolah modern yang didirikan pemerintah, disebabkan karena di sekolah misionaris, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajarkan agama sama sekali. Inilah yang menjadi pemikiran Muhammad Abduh dalam memperbaharui pendidikan, dengan melihat adanya dualisme ini. Dalam sistem pendidikan yaitu dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.

Kemudian mengenai isi dan lama pendidikan, menurutnya haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan lain sebagainya, haruslah mendapat pendidikan minimum. Kurikulum sekolah ini haruslah meliputi buku-buku ikhtisar doktrin Islam dengan memaparkan secara garis besar pondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan yang benar dan salah dan tentang sejarah hidup Nabi dan para sahabat serta tentang kejayaan Islam.
Pada sekolah menengah, siswa harus mempelajari syarat, militer, kedokteran atau ingin bekerja pada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran, dan protocol berdebat. Kemudian pada pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup tafsir Alquran, ilmu bahasa, studi moralitas, prinsip-prinsip fikih, historiografi, seni bicara dan meyakinkan teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kurikulum yang dikenakan oleh Muhammad Abduh mengharapkan lahirnya tiga kelompok masyarakat yaitu masyarakat awam, golongan pejabat sipil dan militer serta golongan pendidik dan ilmuan.
Dalam metode pengajaran, sistem menghafal di luar kepala perlu diganti karena metode tersebut dapat merusak daya nalar dan diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari dengan menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam.
Namun dari beberapa pemikiran Muhammad Abduh dibidang Teologi Muhammad Said (pemakalah) tidak sependapat Muhammad Abduh membagi iman pada dua bagian yaitu iman orang khawash yang disebut iman hakiki dan iman orang awam yang disebut iman taklidi yakni yang cukup dengan tasdiqi. dan iman orang khawash bukan sekedar tasdiqi, tapi dibarengi dengan amaliyah. Menurut Muhammad Said iman tak dapat di bagi, tetapi kualitas iman dapat diukur tinggi rendahnya iman seseorang melalui amal perbuatannya.
Muhammad Said juga tidak sependapat Muhammad Abduh tentang sifat-sifat Tuhan di mana Muhammad Abduh lebih cenderung kepada peniadaan sifat Tuhan walaupun dia mengkritik Hasan al-Asy’ari yang menganut faham bahwa sifat Allah berdiri sendiri di luar esensi Allah itu sendiri dan juga Muhammad Abduh tidak menganut faham bahwa sifat Allah adalah esensi Allah sedangkan Muhammad Said menganut faham bahwa sifat Allah esensi Allah.

Dan faham Muhammad Abduh tentang keadilan Tuhan tidak sependapat dengan Muhammad Said, karena Muhammad Abduh memahami keadilan Tuhan itu adalah memasukkan Surga bagi orang yang melakukan kebaikan dan memasukkan neraka bagi orang yang melakukan dosa. Sedangkan menurut Muhammad Said bahwa keadilan Tuhan tergantung kepada sifatnya. Jadi apapun yang dilakukan oleh Tuhan maka itulah keadilan-Nya. Sebagaimana Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak dalam berbuat. Lebih lanjut Muhammad Said menjelaskan bahwa jika konsep keadilan menurut manusia yaitu menghukum yang bersalah dan membebaskan yang tidak salah maka sangatlah rendah Allah ketika Muhammad Abduh menginginkan konsep keadilannya yang dipakai oleh Allah dalam menghukum manusia.

-------------
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pembaru Islam di Mesir yang muncul pada abad ke-19 yang lahir pada tahun 1849 M/1265 H, pada saat situasi rumit yang menghimpit kehidupan masyarakat Mesir, ketika itu sehingga orang tuanya hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengingat perhatian orang tuanya sangat besar dalam hal pendidikan anaknya, sehingga Muhammad Abduh dapat berguna bagi bangsanya.
  2. Konsep pembaruan Muhammad Abduh adalah dalam hal anti jumud ; ia mengungkapkan bahwa salah satu faktor kemunduran umat Islam adalah tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan dan hanya berpegang pada tradisi, sehingga menurutnya pintu ijtihad harus tetap dibuka. Kemudian dalam hal pemikiran rasional, menurutnya bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan kuat. Jadi menurutnya untuk mengetahui Tuhan bukan hanya wahyu saja tetapi juga dengan akal. Wahyu turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tidak dapat diketahui akalnya. Kemudian tentang pembaruan pendidikan, ia melihat adanya dualisme sistem pendidikan sehingga menurutnya sekolah-sekolah umum haruslah diajarkan tentang agama, begitu pula sebaliknya sekolah agama haruslah diajarkan pengetahuan modern.



-----------------
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syekh Muhammad. Risalatut Tauhid diterjemahkan oleh Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid. Cet. VII; Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Amin, Husayn Ahmad. Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam diterjemahkan Bahruddin Fannani dalam Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.
Asmuni, H.M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Cet. II; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. III; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Donohue John J. dan John L. Esposito, Islam in Transition : Muslim Perspective diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-masalah. Cet. II; Jakarta: 1989.
Jameelah, Maryam. Islam and Modernism diterjemahkan oleh A. Jainuri dan Syafiq A Mughal dalam Islam dan Modernisme : Kritik terhadap Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia Islam. Surabaya : Usaha Nasional, t.t.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet. XI; Bandung : Mizan, 1998.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta : Logos, 1977.
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
_______., Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. VIII; Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
_______., Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Cet. I; Jakarta : UI-Press, 1987.
Rahman, Jalaluddin. Metodologi Pembaruan Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam Studi Beberapa Orang Tokoh Pembaru. Makassar : Berkah Utami, 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Edisi 5. Jakarta : UI-Press, 1993.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.


Read More
Published Februari 09, 2012 by with 0 comment

ALI ABD AL-RAZIQ (Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)

ALI ABD AL-RAZIQ 
(Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam pada hakikatnya adalah agama yang tidak memusuhi dunia, bahkan ia datang untuk memperbaiki dunia. Islam bukanlah hanya sejumlah aturan ritual-ritual keagamaan ataukah sekadar persoalan spiritual yang kompleks. Tapi Islam merupakan sistem yang komprehensif, yang mengatur segala segi spiritual dan praktikal, dan membuat jembatan antar keduanya. Islam mengatur segala urusan manusia dalam kehidupan dunia dan akhiratnya, berdasarkan pada aturan-aturan dan norma-norma akhlak yang mesti dipatuhi. Pengaturan tersebut mencakup individu maupun kelompok atau masyarakat. Dengan demikian, Islam mendirikan negara bersama agama. Negara Islam inilah yang akan mewujudkan sasaran-sasaran yang ingin dicapai agama Islam. Rasulullah saw. telah mendirikan negara Islam, dan negara yang beliau dirikan tersebut memiliki semua karakteristik sebuah negara. Kemudian, setelah wafatnya, negara tersebut terus berlanjut dengan nama “khilafah” (kekhalifahan), dimana para sahabat bersepakat (ijma’) tentang wajibnya kelangsungan negara dan agama secara bersama-sama tak terpisahkan.

Hal tersebut telah menjadi anutan dan keyakinan bagi mayoritas kaum muslimin yang telah menggejala secara alami. Namun kemudian muncul di antara tokoh-tokoh pemikir pembaharu yang berusaha menggugat keyakinan tersebut, dengan membuat wacana baru bahwa Islam tidak datang untuk mengurusi masalah keduniaan, akan tetapi hanya semata-mata mengurusi masalah keakhiratan, dan Rasul saw. hanyalah diutus sebagai pemimpin agama bukan sebagai pemimpin negara, dan kepemimpinannya tersebut telah berakhir dengan berakhirnya masa kerasulan, dan tidak ada orang yang berhak menggantikan beliau dalam kepemimpinannya tersebut, sebagaimana tidak ada orang yang berhak menggantikan kerasulannya.
Wacana ini dilontarkan oleh seorang pemikir Mesir, Ali Abd al-Raziq, dalam bukunya al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm. Buku ini telah mengundang polemik besar di kalangan para ulama pada masanya, bahkan akan terus menjadi bahan kajian bagi para peneliti selanjutnya.

Tidak diketahui adanya buku lain yang ditulis oleh Ali Abd al-Raziq selain buku tersebut. Oleh karena itu, untuk mengkaji tentang pemikiran Ali Abd al-Raziq hanyalah bisa dilakukan terhadap pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut.

B. Batasan Masalah
Berdasarkan dari sekilas pemahaman di atas, makalah ini menyodorkan bahan diskusi bagi kita untuk menemukan suatu kebenaran yang mencoba mempermasalahkan;
1. bagaimana konsep pemerintahan dalam Islam menurut Ali Abd al-Raziq,
2. apakah pemikiran Ali kontroversial atau bertentangan dan menyimpang dari ajaran Islam?
Kedua masalah inilah yang akan diangkat melalui pendekatan historis dan relevansinya dengan ajaran Islam.

--------------
BAB II
PEMBAHSAN

A. BIOGRAFI ALI ABD AL-RAZIQ
Ali Abd al-Raziq, lahir di Menya, Mesir, pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966. Dia adalah seorang tokoh fiqhi siyasiy (politik) dari Mesir, khususnya politik hukum dan pemerintahan dalam Islam.
Ayahnya bernama Hasan al-Raziq, seorang pasha (keturunan bangsawan) yang mempunyai pengaruh yang cukup besar di daerahnya. Ia seorang aktivis politik serta menjabat wakil ketua Hizbul Ummah (Partai Kebangsaan) pada tahun 1907, dan berhubungan erat dengan pemerintah kolonial Inggris. Ayahnya ini adalah teman dekat Muhammad Abduh. Meski Ali Abd al-Raziq adalah putra dari seorang sahabat Muhammad Abduh, tetapi karena masih kecil sehingga ia tidak sempat berguru padanya.

Dalam usia yang masih muda, lebih kurang 10 tahun, Ali Abd al-Raziq memulai pendidikannya di al-Azhar. Ia menekuni pelajaran pada Syekh Ahmad Abu Khalwat, sahabat Muhammad Abduh. Ahmad Abu Khalwat seperti juga Muhammad Abduh adalah murid Jamaluddin al-Afgani. Di samping belajar agama di al-Azhar, Ali Abd al-Raziq selama beberapa tahun juga mengikuti kuliah di Universitas Mesir (sekarang Universitas Cairo). Di antara gurunya di sana ada Prof. Santillana yang memberikan kuliah Sejarah Filsafat. Setelah memperoleh ijazah ²lamiyah (Licence) dari al-Azhar tahun 1911, Ali Abd al-Raziq mulai bertugas memberikan kuliah di universitas tersebut pada tahun 1912. Pada pertengahan tahun itu juga ia berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford. Di Universitas ini ia mempelajari ilmu ekonomi dan politik. Pada tahun 1915 ia kembali ke Mesir, dan kemudian diangkat sebagai hakim Mahkamah Syar`iyah (Pengadilan Agama). Dalam kedudukannya sebagai hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya ia bukukan dalam sebuah karya tulis terkenal, berjudul al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm; Ba¥£ f³ al-Khil±fah wa al-¦uk­mat f³ al-Isl±m (Islam dan Prinsip-prinsip pemerintahan: Suatu Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam), diterbitkan April 1925.

B. KONSEP KHIL²FAH DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Islam sebagai agama, wahyu menjadi kerangka acuan paripurna untuk seluruh kehidupan setiap muslim. Kalau kita meninjau pengertian khil±fah secara historis dalam Islam, bahwa istilah khalifah merupakan suatu sebutan khusus yang identik dengan kepala negara dalam Islam. Ketika gelar “khal³fah” pertama kali dipilih, ini mungkin dipakai dalam arti “pengganti”, karena Abu Bakar mengganti Nabi Muhammad saw., dalam masalah-masalah duniawi, meskipun bukan dalam masalah-masalah spiritual.
Namun dinasti Umaiyah mencoba meninggikan jabatan khilafah dengan mengaitkannya dengan sebuah ayat dalam al-Qur’an (Q.S. 2:30). Dalam ayat ini, khalifah bagi para pendengar (malaikat) mungkin berarti tidak lebih daripada penetap di bumi yang memiliki kekuasaan. Selanjutnya, bani Umaiyah berkeras bahwa perkataan itu berarti “wakil” – kemungkinan lain bagi makna kata khalifah – dan menambah gelar menjadi “khalifatullah”, wakil Allah.

Dalam suatu riwayat, ketika jabatan khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan “khalifah Allah”. Tetapi Abu Bakar menolak dengan mengatakan, “Bukanlah aku khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Demikianlah maksud khalifah bagi Abu Bakar, bukanlah khalifah selain yang bermaksud demikian.

Karena itu, pada zaman Ali Abd al-Raziq, soal yang hangat dibicarakan adalah persoalan khilafah yang telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal di tahun 1924. Tindakan pimpinan Turki ini menimbulkan kehebohan di dunia Islam, karena sistem khilafah dianggap merupakan ajaran dasar, dan oleh karena itu penghapusannya bertentangan dengan Islam.

Selanjutnya dari segi pemerintahan, tidak setiap bentuk pemerintahan ditoleransi oleh syariah. Bahkan menurut Ali Abd al-Raziq, pemerintahan dalam Islam boleh mengambil bentuk apa saja. Beliau menganggap bahwa Rasulullah saw. hanya bertugas mendakwahkan agama, dan tidak ada kaitan apapun dengan urusan kenegaraan. Karena itu menurutnya, Islam dapat saja menerima otokrasi, demokrasi, monarkhi, atau republik, kediktatoran ataupun pemerintahan konstitusional.

Ali Abd al-Raziq di dalam buku “al-Isl±m wa U¡­l al-¦ukm”, menurutnya, al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah saw. tidak menyinggung sistem pemerintahan. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad, menurutnya hanya mengembang tugas dan misi sebagai Rasul, dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.

Sehubungan dengan pandangan di atas, di dalam buku Cakrawala Islam, dinyatakan bahwa argumen al-Raziq di atas dianggap sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syariah Islamiyah) mempunyai tujuan ganda yang tipikal. Tujuan ini, pertama dicapai lewat prinsip-prinsip legislatif yang meletakkan aturan-aturan universal yang dapat mencakup pelbagai kasus secara luas.

Syekh Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam Aqidah wa Syariah, sebagai yang dikutip oleh Amien Rais, mengingatkan bahwa hukum-hukum yang tidak dapat diubah justeru diterangkan secara mendetail, sedangkan yang dimungkinkan ada perubahannya dipaparkan secara ringkas. Di dalam kaidah-kaidah Ushul Fiqhi, dapat diketahui bahwa keluwesan dan kekuasaan hukum Islam –termasuk yang menyangkut pengelolaan negara dan pemerintahan– tidak perlu diragukan lagi. Tujuan kedua dapat dicapai melalui apa yang dinamakan al-siy±sah al-syar`iyah.
Di dalam mencari setiap pemecahan (solusi) yang diambil, dari manapun datangnya, selama tidak menabrak batas-batas konseptual Islam, dengan sendirinya diperbolehkan oleh syariat. Dalam pandangan Islam, komitmen suatu pemerintahan untuk mencapai tujuan ganda seperti dikemukakan di atas, akan menentukan apakah pemerintahan itu memiliki legitimasi atau tidak. Selama suatu pemerintahan tetap setia pada tujuan gandanya, yaitu pemantapan keyakinan dan pemenuhan kepentingan rakyat, maka pemerintahan itu secara hukum Islam memenuhi “syarat permulaan”, dan “syarat pelestarian”. Sebaliknya. Sebaliknya bila suatu pemerintahan tidak lagi setia pada tujuannya, dan melanggar syarat-syarat itu, maka secara hukum pemerintahan itu dengan sendirinya berakhir, kehilangan legitimasi, dan rakyat tidak lagi wajib mendukungnya.

Maka secara historis, perlu kita pahami bahwa sistem pemerintahan yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw., tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti Kepala Negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Seperti diketahui, bahwa khalifah pertama yaitu Abu Bakar, beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi. Khalifah kedua Umar ibn al-Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar. Demikian seterusnya sampai kepada khalifah keempat. Jadi mereka hanya sebagai sahabat Nabi yang merupakan hubungan persaudaraan.
Dari latar belakang sejarah di atas, dapat dianalisis bahwa di dalam ajaran Islam, dalam hal pemilihan seorang pemimpin, Allah tidak melaksanakan kekuasaan-Nya secara langsung dalam masalah-masalah politik pemerintahan, tetapi mewakilkannya kepada umat manusia. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kekuasaan duniawi harus dilaksanakan dengan perilaku yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perilaku universal, seperti persamaan manusia, kemanusiaan dan sejumlah sifat lain yang terdapat dalam al-Qur’an.

C. PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ DAN TANGGAPAN PARA ULAMA
Sebagaimana telah diketahui menurut sejarah, bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam bukanlah persoalan tentang keyakinan, malahan persoalan politik.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, asas dan dasar yang dipakai dalam al-Qur’an adalah untuk mewujudkan masyarakat beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dan keadilan. Adapun prinsip yang sebaiknya dipakai dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yang terpenting adalah pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah) karena keadilan dan musyawarah sangat ditekankan dalam al-Qur’an (Q.S. 5:42, Q.S. 4:105, Q.S. 42:38, dan Q.S. 42:150).

Pemikiran Ali Abd al-Raziq mengenai politik (siyasah) yang dituangkan di dalam buku al-Islam wa Usul al-Hukm terangkum sebagai berikut:
1. Tentang kedudukan Rasulullah saw.
Menurut Ali Abd al-Raziq, umat Islam (setelah Rasul Hijrah ke Madinah) beranggapan bahwa Rasulullah saw. berhasil mendirikan negara baru di Madinah. Dalam hal ini, Rasulullah saw. adalah segalanya bagi umat Islam. Di samping pemimpin agama juga pemimpin negara. Tetapi menurutnya, sulit mengambil kesimpulan mengenai cara penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi saw. Menurutnya lagi, Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang utusan Allah untuk menyampaikan agama kepada umatnya, tanpa bermaksud mendirikan sebuah negara, dan tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara atau pemerintahan. Tetapi tugasnya tidak terlepas dari kerasulannya sebagai penyampai dakwah Islam kepada umatnya. Juga beliau tidak mendirikan pemerintahan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Ia hanya seorang Rasul seperti rasul-rasul sebelumnya yang tidak pernah mengajak umatnya mendirikan sebuah negara atau pemerintahan.
Selain itu menurut Ali Abd al-Raziq, Nabi saw. tidak pernah memberi petunjuk kepada umatnya tentang sistem pemerintahan dan kaidah-kaidah syura (musyawarah). Argumentasi yang dikemukakan oleh beliau tentang tidak adanya keharusan bagi Nabi saw. membentuk sebuah negara antara lain: Q.S. 17:54, Q.S. 25:56, Q.S. 42:48, dan Q.S. 88:21-22. Sementara itu, ia juga mengguna-kan hadis Rasulullah saw. riwayat Muslim. Dari ayat-ayat dan hadis ini, ia memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa saja dan bagaimana ia mengatur dunianya.

2. Tentang Khilafah
Khilafah menurut Ali Abd al-Raziq, adalah suatu pola pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dan mutlak pada seorang kepala negara/pemerintahan yang bergelar khalifah. Ia berfungsi sebagai pengganti Nabi saw., dan berwenang mengatur kehidupan dan urusan umat, baik mengenai keagamaan maupun mengenai keduniaan. Karena itu umat wajib mentaatinya. Tetapi tidak sependapat dengan ulama, khususnya ulama al-Azhar; seperti Muhammad Rasyid Ridha, yang mengatakan bahwa mendirikan lembaga khilafah adalah wajib hukumnya bagi umat Islam. Sementara itu, Ali sama sekali tidak dapat menemukan dasar kuat yang mendukung bahwa lembaga khilafah adalah wajib, baik dalam al-Qur’an, sunnah, maupun ijma’.
Kalau Rasyid Ridha mendasarkan kewajiban umat Islam untuk mendirikan lembaga khilafah pada Q.S. 4:59, yang mewajibkan ketaatan kepada ulil amri setelah ketaatan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Hal ini tidak dapat diterima oleh Ali Abd al-Raziq. Menurutnya, ulil amri adalah para tokoh umat Islam, yakni para khalifah, hakim, komandan pasukan perang, dan para pemuka agama. Menurutnya lagi, ayat yang mewajibkan taat kepada ulil amri ini tidak dapat dijadikan alasan kewajiban mendirikan lembaga khilafah.
Selanjutnya, hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa “al-a’immat min Quraisy” (Pemimpin umat itu berasal dari golongan Quraisy), dan yang telah membaiat (sumpah setia) kepadanya wajib mematuhinya kecuali dalam soal kemaksiatan (H.R. al-Bukhari dan Muslim), menurut Ali juga tidak sesuai dijadikan alasan kewajiban mendirikan lembaga khilafah. Persoalan ijma’ (konsensus ulama) tetap diakui oleh Ali Abd al-Raziq sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pengangkatan pada khalifah setelah Nabi saw. sampai zaman ketika ia masih hidup tidak pernah dilandasi dengan konsensus ulama.
Adapun pandangan para ulama, terutama di kalangan ulama al-Azhar-Mesir, menilai pemikiran Ali kontroversial dan menyimpang dari ajaran Islam. Karena secara umum ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. tidak menyinggung sistem pemerintahan, melainkan Nabi saw. hanya mengembang tugas dan misi sebagai rasul. Pemikiran itu dianggap oleh kalangan ulama Islam (pada waktu itu) sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.

Karenanya, Muhammad Rasyid Ridha bersama tokoh dan ulama lain dari al-Azhar berusaha menghidupkan kembali sistem khilafah yang telah dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk. Tetapi usaha ini tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Pada saat inilah Ali Abd al-Raziq memunculkan pemikirannya yang dinilai oleh ulama al-Azhar sebagai dukungan terhadap gagasan Attaturk tersebut. Seiring dengan itu, muncullah berbagai kutukan, protes keras dari Rasyid Ridha dan ulama al-Azhar kepada Ali Abd al-Raziq. Akhirnya ia dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar.

Dari tantangan dan protes keras yang terjadi itu, seorang ahli hukum Mesir (Muhammad Imarah) memberikan komentar dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq, bahwa pemikiran Ali Abd al-Raziq paling banyak mendapat sorotan dan kritikan dari ulama Mesir. Karena pemikirannya tersebut, ia dituduh oleh ulama Mesir sebagai orang kafir dan zindiq.
Dari pemikiran dan pendapat Ali Abd al-Raziq inilah, sehingga hasil rapat Majelis Ulama al-Azhar memutuskan pemecatannya sebagai hakim agama dan larangan untuk menduduki berbagai jabatan pemerintahan.

--------------
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian pemikiran Ali Abd al-Raziq tersebut, dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
  1. Ali Abd al-Raziq menilai bahwa tidak ada keharusan mendirikan pemerintahan dalam Islam, baik dengan pola khilafah ataupun selainnya. Menurutnya, baik dari segi agama maupun rasio, pemerintahan bukanlah bagian dari urusan agama.
  2. Pemerintahan dan Islam adalah dua hal yang tidak ada sangkut pautnya. Nabi saw. tugasnya hanya mengemban misi agama, bukan misi pemerintahan. Pemerintahan adalah urusan duniawi, sedang agama adalah khusus mengurus masalah ukhrawi.
  3. Sebab utama tantangan yang dihadapi Ali Abd al-Raziq dari para ulama, utamanya ulama al-Azhar, karena Ali menganggap bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. hanya mengemban tugas dan misinya sebagai rasul, bukan misi sebagai pemimpin negara.


------------------
DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Raziq, Ali. Al-Isl±m wa U¡­l al-Hukm. Kairo: al-Hai’ah al-Mi¡riyyah al-‘²mmah li al-Kit±b, 1993.
Amien Rais. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1991.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al [ed.]. Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid I. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Barbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI Press, 1985.
______________. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.
______________. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Al-Rayis, M. Dhiya’uddin. al-Na§ariyy±t al-Siy±siyyah al-Isl±miyah. Cet. VII; Kairo: D±r al-Tur±£, t.th.
Watt, W. Montgomery. The Majesty That Was Islam. Diterjemahkan oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Cet I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Read More
Published Februari 08, 2012 by with 0 comment

Thaha Husein (Islam dan Sekularisasi)

Thaha Husein
(Islam dan Sekularisasi)

I. Pendahuluan
Ketika umat Islam bersentuhan dengan Eropa pada abad pertengahan, mereka mulai sadar bahwa mereka telah jauh ketinggalan dari dunia Barat. Olehnya itu kelompok Islam memiliki visi sekularistik dengan kekaguman dan ketertarikannya kepada Barat menghimbau kepada umat Islam untuk belajar ke Barat (John L. Esposito, 1986 (terj.) : 101).
Ide sekularisasi di dunia Islam pertama kali diisukan kepermukaan oleh bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Attaturk, kemudian diikuti oleh negara-negara Islam lainnya, seperti Mesir (Nurkholis Majid, 1994 : 78). Para pembaharu sekuler mengemukakan prinsip-prinsip sekuler dan menerima secara total peradaban Barat dengan mengadopsi ilmu dan teknologinya.
Pandangan paham sekuler secara terang-terangan terungkap dalam gagasan Thaha Husein “Mari kita ambil peradaban Barat ini dalam totalitasnya bersama seluruh aspeknya” (Syahrin Harahap, 1994 : 64). Berdasar inilah, maka penulis dalam tulisan ini mencoba mengkaji gagasan sekularisasi yang dilontarkan oleh Thaha Husein.


II. Biografi Thaha Husein
Thaha Husein, seorang sastrawan, pemikir dan pembaharu di Mesir. Lahir di Magagah, Mesir Selatan pada tanggal 14 November 1889. Ketika berumur 6 tahun ia diserang penyakit opthalmiah yang menyebabkan kebutaan selamanya, namun penyakit tersebut tidaklah menghalanginya untuk menuntut ilmu (Harun Nasution, 1984 : 85).
Pada usia 13 tahun ia melanjutkan di al-Azhar. Disanalah ia menimbah pemikiran moderen dari Muhammad Abduh dan Lutpih Sayyid. Pada tahun 1912 ia melanjutkan studinya di Universitas Cairo dan pada tahun 1914 ia memperoleh gelar Doktor dari Universitas ini dengan Disertasi yang berjudul Zikra Abi al –A’la (mengenang Abu al-A’la).
Pada tahun 1915 Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Sorbone Perancis, disana ia belajar dibawah bimbingan guru besar senior seperti Glatza, Block, Dicke dan Seignobos dalam bidang sejarah, Lanson dalam bidang sastra Perancis dan Durkhein dalam bidang filsafat. Selain itu ia menerima pengwetahuan tentang Al-Qur’an dari Cassanova di salah satu college (Ensiklopedi Islam, 1993 : 138).
Sekembalinya dari Perancis ia giat dalam berbagai usaha untuk membangaun Mesir dan mengejar ketinggalannya dari dunia Eropa. Jabatan yang pernah digelutinya di Mesir antara lain sebagai Rektor Universitas Faruq dan beliau mencapai puncak karirnya ketika ia menduduki jabatan Menteri Pendidikan sampai 1953 (Syahrin Harahap, 1994 : 32-33).



III. Pembahasan

A. Pengertian Sekularisas
Kata sekularisasi berasal dari kata seculum, yang berarti abad (age, century, cewu, steal). Sekuler berarti seabad (Harun Nasution, 1996 : 188). Kemudian sekuler mengandung arti bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Adapun kata sekularisasi adalah hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995 : 894). Sekularisasi diartikan pula proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama (Harun Nasution, 1996 : 188).

Sekularisasi dalam gagasan Thaha Husein adalah sekularisasi yang berbeda dengan sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari titik tolaknya maupun hasilnya. Sekularisasi dalam gagasan Thaha Husein bertitik tolak dari proses melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi termasuk ajaran agama yang merupakan pemahaman para pendahulu terhadap nas-nas yang zanniy. Dan berakhir kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan sekularisasi yang terjadi di Barat bertitik tolak dari pemisahan dunia termasuk politik dari agama dan sebagai akhir sekularisasi di Barat itu terlepasnya ilmu dari gereja (Syahrin Harahap, 1994 : 22).
Karena adanya perbedaan titik tolak tentang konsep sekularisasi yang digagaskan Thaha Husein tersebut sehingga dalam pemaparan tentang gagasan-gagasannya bukanlah bermaksud untuk memisahkannya dengan agama itu sendiri melainkan untuk merobah pemahaman terhadap konsep-konsep ajaran agama kearah yang lebih maju sesuai tuntutan dan kondisi zaman kontemporer.


B. Gagasan Sekularisasi Thaha Husein
Pemikiran Thaha Husein tentang gagasan sekularisasi banyak dipengaruhi oleh kondisi intelektual di Mesir pada saat itu, seperti pemikiran pembaharuan oleh Muhammad Abduh, Qasim Amir, dan Luthfi al-Sayyid. Demikian pula ketika ia kuliah di Mesir ia dipengaruhi pula oleh Sayyid al-Marsafi dan orientalis Carlo Hallin dari Universitas Cairo.
Selain dari faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pemikiran Thaha Husein, ada faktor yang juga tidak kalah pentingnya yaitu faktor internal, yaitu hal-hal yang menyangkut riwayat hidup, pendidikan, pengaruh yang diterimanya dari berbagai macam pengaruh yang melatar belakangi pemikirannya. Adapun gagasan sekularisasi Thaha Husein yang sangat berpengaruh pada Mesir khususnya pada dunia Islam umumnya adalah sebagai berikut :
1. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Kebudayaan
Jika umat islam ingin maju, manurut Thaha, mereka harus mengambil peradaban Eropa, bahkan mereka harus menjadi orang Eropa dalam segala hal. Begitu pentingnya peradaban Barat untuk diadopsi demi kemajuan Islam (Syahrin Harahap, 1994 : 64).

Begitu besar pengaruh Barat (Eropa) terhadap pemikiran Thaha Husain, sehingga ia dengan tegas menyatakan bahwa, kita orang Mesir harus menerima apa yang datang dari Barat baik atau jeleknya. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa tak satupun kekuatan di dunia ini yang mampu menghalangi bangsa Mesir menerima cara hidup bangsa Eropa. Menurut beliau, untuk menjadi parner yang sejajar dengan bangsa Eropa, maka secara langsung dan terus terang harus meniru peradaban Barat dalam segala aspeknya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Pengingkaran terhadap hal ini dianggap oleh beliau sebagai penipuan terhadap diri sendiri (Maryam Jameelah & Margaret Marcus, 1981 (terj.) 195).
Hal yang paling mendasar dari pemikiran Thaha Husein adalah homogenitas dan intelektual antara bangsa Mesir dan Eropa. Oleh karenanya, Mesir bukanlah bagian dari Timur dalam limit tertentu dan harus berhenti berkiblat ke Timur (John J. Donohue & John L. Esposito, 1994 (trj.): 121). Menurutnya di dunia ini ada dua peradaban , peradaban Barat dan peradaban Timur. Yang dimaksud dengan peradaban Timur dan Barat adalah dalam artian kultural, bukan geografik (Albert Houraini, 1993 : 330).

Agar bangsa Mesir lebih maju, maka manifestasinya harus berorientasi ke, masa Mesir kuno dan pengadopsian bangsa Eropa. Eropa maju karena didependemsikan dari agama Kristen, bahkan tercerai dari belenggu dognatisme gereja Kristen (Harun Nasution, 1992 : 87). Dengan sterilnya sains Eropa dari dogma gereja, maka mentransfernya dan mengislamkannya lebih muda bagi orang Islam.

2. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Pendidikan
Munculnya gagasan Thaha Husein di bidang pendidikan ini dilatar belekangi oleh rasa prihatin atas hasil-hasil yang dicapai Mesir khususnya bidang pendidikan. Hasil-hasil pendidikan pada masa itu belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat dilihat pada kondisi dan kenyataan bahwa tingkat kebutahurufan pada saat itu sangat tinggi.

Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, Ia nampaknya menaruh harapan pada universitas. Menurut beliau universitas harus mencerminkan intelektualitas, keilmiahan dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurut Thaha Husein hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan teknologi (Syahrin Harahap, 1994 : 99). Kemerdekaan ilmu harus melirik dan mencontoh kepada negara-negara maju.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual maka beliau menggagaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke perguruan tinggi, demikian juga metode penelitiannya (Syahrin Harahap, 1994 : 293). Bahkan dalam tulisan G. H. Jansen disebutian bahwa Thaha Husein menasehatkan agar Mesir menggabungkan dri dengan Barat (G. H. Jansen, 1993 (terj.): 16)
.
Untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi pula, ia menyarankan bahwa perguruan tinggi tidak harus dikontrol oleh pemerintah, ia harus memiliki kebebasan mutlak, baik dari segi kebijakan finansial maupun dari segi metodologi kurikulum (Albert Hourani, 1993 : 337).

3. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Politik
Menurut Thaha Husein, politik dan agama adalah dua hal yang terpisah. Politik adalah sesuatu dan politik juga adalah sesuatu yang lain. Hal ini ditegaskan oleh beliau bahwa peraturan tentang kepemerintahan dan pembentukan negara harus ditegakkan menurut konsepaksiologi ilmu pengetahuan dan kepentingan praktis tanpa menghiraukan pada konsep lain (Muhammad al-Bahiy, 1986 (terj.): 110).
Thaha Husein berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mengatur sistem pemerintahan secara umum maupun secara khusus. Dengan demikian pemerintahan Nabi di Madinah maupun khalipahnya bukan didasarkan pada wahyu, melainkan insani, dalam arti dibangun sesuai dengan kepentingan temporer sehingga tidak pantas jika dipandang sakral.

Menurut Thaha Husein antara dan politik terdapat pemisahan yang tegas dan sejarah telah membuktikannya bahwa ummat Islam tidak pernah membentuk negara berdasarkan Islam, melainkan dibentuk dengan kepentingan praktis. Thaha Husein mengambil gagasan politik dengan mengambil sistem demokrasi. Demokrasi menurutnya adalah kata yang menunjukkan arti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Syahrin Harahap, 1994 : 133)
Sistem demokrasi menurutnya lagi mampu untuk mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung ummat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela dan durhaka.

4. Gagasan Sekularisasi Dalam Bidang Agama
a. Kritik terhadap Sya’ir Jahiliyah
Setelah melalui penelitian kritis, ia menemukan bahwa sya’ir-sya’ir yang dianggap sebagai sya’ir Jahiliyah itu tidak merefleksikan perbedaan linguistik yang terdapat di Jazirah Arabiyah sebelum Islam menyatukannya atau seperti yang digambarkan al-Qur’an (Syahrin Harahap, 1994 : 133). Dengan demikian dapat dipahami dalam sya’ir-sya’ir itu konsistensi terhadap bahasa, gaya dan ide dengan kondisi jazirah Arabiyah yang pada masa itu belum bersatu dan hanya sedikit yang dapat disebut sebagai sya’ir Jahiliyah yang otentik.
Dalam hal ini secara filosofis beliau menggagaskan agar umat Islam tidak menganggap sakral bahasa dan sastra Arab terutama sya’ir jahiliyah dan juga tidak menganggap sakral penafsiran ulama-ulama dalam berbagai kajian-kajian keIslaman termasuk kehidupan pra-Islam, tetapi beliau mengajak agar umat Islam kembali mengingatkan diri pada ajaran dasar Islam selanjutnya melakukan ijtihad.


b. Kritik terhadap kisah dalam al-Qur’an
Taurat telah mengisahkan kita tentang Ibrahim dan Isma’il dalam taurat, demikian pula dalam al-Qur’an tidaklah menjamin keberadaan eksistensi keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya didalam sejarah ini suatu fiksi untuk menetapkan perhubungan antara orang Yahudi dan orang Arab disatu pihak serta agama Islam dan agama Yahudi, al-Qur’an dan Taurat di pihak lain (Syahrin Harahap, 1994 : 164).
Beliau seorang Muslim tidak mengingkari keberadaan Ibrahim dan Isma’il dengan segala sesuatu yang terkandung di dalam al-Qur’an tentang keduanya. Akan tetapi, sebagai seorang ilmuwan, ia sangat ketat sehubungan dengan metode penelitian, ia tidak membenarkan keberadaan historisnya tanpa didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Hal ini disebabkan karena menurut beliau bahwa peristiwa-peristiwa harus bisa ditangkap dengan mudah dari segi waktu dan tempat.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Bahiy, Muhammad. Al-Fikr al-Islam al-Hadits wa Siratuh bi al-Isti’mar al-Garbiyy, diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Pemikiran Islam Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam.Cet.III; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Donohue, John J. & John L. Esposito. Islam in Transition, Moslem Perspektives, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-masalah, edisi I. Cet. V; Jakarta:PT. Raja Grafindo Perkasa.

Esposito, John L. (ed). Islam and Development: Religion and Socio-Political Change, diterjemahkan oleh A. Rahmani Zainuddin dengan judul Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Harahap, Syahrin, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Hourani Albert, Arabic Though in Liberal Age (1798-1939).Cambridge University Press, 1993.

Jameelah, Maryam & Margareth Marcus. Islam dan Modernism, diterjemahkan oleh A.Jainuri dengan judul Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional, t.th.

Jansen, G.H. Militant Islam, diterjemahkan oleh Ahamadi Sadali dengan judul Islam Militan. Bandung: Pustaka, 1994.

Majid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.



Read More
Published Februari 05, 2012 by with 0 comment

TANZIMAT (Piagam Gulhane dan Humayun)

 TANZIMAT  
(Piagam Gulhane dan Humayun)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada permulaan tahun 1800 M dan seterusnya, dalam sejarah Islam disebut periode modern diberbagai wilayah dunia Islam, seperti di Mesir, India, Pakistan, Turki dan juga Indonesia mucul gerakan-gerakan pembaharuan. Karena itu, dikalangan para ahli ada yang mengatakan bahwa periode modern ini merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Pada periode ini dikerajaan Turki Usmani telah muncul gerakan-gerakan pembaruan yang masing-masing memiliki riwayat tersendiri. Salah satu diantaranya gerakan-gerakan yang dimaksud adalah gerakan Tanzimat, gerakan ini adalah suatu generasi pelanjut dari ide-ide Sultan Mahmud II.

Gerakan Tanzimat ini sangat menarik untuk dibahas menyangkut eksistensinya sebagai suatu gerakan pembaharuan.

B. Batasan Masalah 
Sehubungan dengan hal di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian Tanzimat dan latar belakang timbulnya?
2. Siapa-siapa yang termasuk tokoh Tanzimat dan bagaimana ide pembaharuan mereka?
3. Bagaimana isi piagam Gulhan dan piagam Humayun?
4. Bagaimana pembaruan di zaman Tanzimat dan bagaimana kritik yang timbul terhadapnya?

----------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tanzimat
Kata Tanzimat adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu yang bentuk masdar dari kata nazzama yang mengandung arti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Dalam bahasa Inggris adalah regulation yang berarti peraturan.
Dalam bahasa Turki, kata Tanzimat dikenal dengan nama Tanzimat-I Khairiye, dipahami sebagai gerakan pembaruan di Turki yang diperkenalkan ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani. Kata tersebut mengandung arti mengatur, menyusun dan memperbaiki. Pada periode ini banyak diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan. Jadi Tanzimat adalah mengatur, menyusun, memperbaiki atau pengagaan peraturan.

B. Latar Belakang Timbulnya Tanzimat.
Timbulnya Tanzimat sebagai suatu gerakan pembaharuan dilatarbelakangi oleh timbulnya antara lain:
  1. Desakan Eropa kepada kerajaan Usmani untuk mengayomi warga Eropa yang ada dibawah kekuasaan Turki Usmani.
  2. Diberlakukannya hukum fikih yang menetapkan hukuman mati bagi orang Eropa yang berada di dalam kekuasaan Turki Usmani yang murtad.
  3. Para tokoh Tanzimat ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut karena mereka telah dipengaruhi oleh Revolusi Prancis ketika belajar di Barat. 

Selain ketiga faktor tersebut di atas yang merupakan faktor timbulnya Tanzimat adalah diadakannya pembaruan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II yang menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaruan selanjutnya di kerajaan Turki Usmani pada abad ke-19 (ke sembilan belas) dan abad ke-20 (ke dua puluh). Dengan demikian, Tanzimat dapat dipahami sebagai lanjutan dari usaha-usaha pembaharuan yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II.

C. Tokoh-tokoh Tanzimat dan Pemikiran Mereka
Tokoh-tokoh yang penting dan terkenal dengan ide-ide pembaruan, adalah; Mustafa Rasyid Pasya, Mahmud Sadik Rifat Pasya, Mustafa Sami, Ali Pasya dan Fuad Pasya. Untuk lebih jelasnya bagaimana pemikiran, riwayat singkat setiap tokoh tersebut akan dibicarakan di bawah ini.

1. Mustafa Rasyid Pasya
Mustafa Rasyid Pasya lahir di Istambul tahun 1800 adalah pemuka utama pembaruan di zaman Tanzimat. Dalam banyak hal, ia sering disebut sebagai arsitek pembaruan abad ke-19 (ke sembilan belas) di Turki, pokok-pokok pikirannya yang dilontarkan adalah bahwa kemajuan Eropa sebenarnya disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dijunjung tingginya toleransi umat beragama, terlepasnya sekat-sekat agama dalam prikehidupan, menjunjung tinggi pendidikan yang universal antara pria dan wanita.

2. Mustafa Sani
Mustafa Sani meskipun tidak diketahui secara jelas tentang riwayat hidupnya, namun menurut Harun Nasution, bahwa Mustafa Sani sama halnya dengan Mustafa Rasyid Pasya, ia juga pernah berkunjung ke Eropa dan mempunyai pengaruh pada pembaruan di zaman Tanzimat. Nampaknya ia mempunyai pemikiran yang sama dengan Mustafa Rasyid Pasya. Menurutnya Eropa bisa maju disebabkan perhatiannya yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai toleransi beragama, tidak terputusnya kebudayaan baru dengan kebudayaan lama, Eropa sangat menjunjung tinggi pendidikan dalam semua lapisan masyarakat luas. Oleh karena itu, Mustafa Sani sangat yakin bahwa apabila Turki ingin maju, maka ia harus meniru sebagaimana apa yang terjadi di Eropa.

3. Mahmud Sadik Rifai Pasya (1807-1856 M)
Mahmud Sadik Rifai Pasya setelah selesai dari pendidikan Madrasah, ia melanjutkan pelajaran di sekolah sastra yang khusus diadakan untuk calon-calon pegawai Istana. Pada tahun 1834 ia diangkat menjadi pembantu Menteri Luar Negeri. Tiga tahun berikutnya ia diangkat menjadi Duta Besar di Wina. Kemudian ketika ia mendirikan Dewan Tanzimat ia sendiri terpilih menjadi ketuanya. Ide-ide pembaharuannya adalah: Turki hanya dapat mencapai peradaban modern Barat bila dapat menciptakan suasana damai dan menjalani hubungan baik dengan negara-negara barat, kemudian menciptakan keamanan dan ketertiban dalam negeri dan membatasi kekuasaan absolut Sultan agar ia tidak berbuat sekehendak hatinya.

4. Ali Pasya (1815-1817 M) dan Fuad Pasya (1815-1869).
Ali Pasya dan Fuad Pasya, keduanya adalah murid dari Mustafa Rasyid Pasya. Mereka dikenal sebagai tokoh pembaruan di zaman Tanzimat pasca Piagam Humayun. Sebelum diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pada tahun 1852, Fuad Pasya selalu dikirim ke Eropa untuk bekerja pada perwakilan kerajaan Turki Usmani. Ia bersama temannya Ali Pasya dalam upaya pembaruan yang dilakukannya terutama proses hukum-hukum baru diseluruh wilayah Turki. Penyempurnaan hukum pidana, pertamalah dan sebagai langkah untuk menegakkan kemajuan-kemajuan seperti negara Eropa. Selain itu mereka melakukan pembaruan dibidang pendidikan dengan mendirikan sekolah Galatasay pada tahun 1868 yang mengajarkan pengetahuan umum bahasa asing dan bahasa Perancis.

D. Piagam Gulhane dan Piagam Humayun
1. Piagam Gulhane
Ide pembaruan yang dilontarkan oleh tokoh Tanzimat mendapat tanggapan positif dari penguasa. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya sebuah Dekrit yang dikenal dengan nama Hatta-i Syarif Gulhane atau piagam Gulhane oleh Sultan Abd. al-Majid. Disebut piagam Gulhane, karena dihubungkan dengan nama sebuah penelitian khusus dalam sebuah istana yang terletak di atas laut Marmara di pinggir kota Istambul, karena di tempat inilah dekrit tersebut diumumkan oleh Sultan Abd. al-Majid pada tanggal 3 Nopember 1839 M. bertepatan dengan 26 Sya’ban 1255 H.

Piagam ini menjelaskan bahwa pada masa permulaan kerajaan Usmani syari’at dan undang-undang negara dipatuhi dan oleh karena itu kerajaan menjadi besar serta kuat dan rakyat hidup dalam kemakmuran. Tetapi pada masa seratus lima puluh tahun terakhir syari’at dan undang-undang tidak diperhatikan lain, akibatnya kemakmuran rakyat hilang digantikan oleh kemiskinan dan kebesaran negara lenyap dan ditukar oleh kelemahan.
Ada tiga hal yang merupakan dasar untuk perubahan tersebut antara lain:
1) Terjaminnya ketentraman hidup harta dan kehormatan warga negara
2) Peraturan mengenai pengaturan pajak dan juga termasuk peraturan menyangkut kewajiban dan lamanya Dinas Militer.
Disamping itu, ada sejumlah ketentuan yang dipahami sebagai isi dari piagam Gulhane adalah:
a) Orang tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum ada putusan pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun atau jalan lain tidak dibolehkan.
b) Pelanggaran terhadap kehormatan seseotang tidak diperkenankan dan hak milik terhadap harta dijamin, serta setiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya.
c) Ahli waris dari yang kena hukum pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi dan demikian pula harta yang kena hukum pidana tidak boleh disita.
d) Semua pegawai kerajaan akan menerima gaji sepadam dengan tugasnya dan oleh karena itu dikeluarkan undang-undang keras terhadap korupsi.
e) Seluruh pungutan di luar pajak akan segera dihapus, sistem rekruitmen dalam tubuh angkatan bersenjata diperbarui.
f) Seluruh uamt beragama, baik muslim maupun non muslim akan berada dalam kedudukan yang sama dihadapan hukum.
g) Keanggotaan Majlis Ahkam-i Adliye yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum akan bertambah.

Atas dasar piagam ini terjadi pembaharuan-pembaharuan pada berbagai institusi kemasyarakatan kerajaan Usmani yaitu dibidang hukum, kodifikasi hukum dimulai dan sebagai sumber hukum disamping syariat dipakai pula sumber-sumber di luar agama di antaranya hukum Barat, yaitu hukum pidana baru dan hukum dagang baru, didirikan mahkamah-mahkamah baru untuk urusan pidana dan sipil di bidang pemerintahan dengan mengajak rakyat memberikan pendapat tentang soal-soal negara dan administrasi, wakil-wakil rakyat dari daerah-daerah diundang ke Istambul.

Di bidang keuangan yaitu dengan mendirikan Bank Usmani pada tahun 1840, mata uang lama ditarik dari peredaran untuk diganti dengan mata uang baru dengan memakai sistem desimal.
Dibidang pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan kaum ulama dan diserahkan kepada kementrian pendidikan yang dibentuk tahun 1847.

2. Piagam Humayun
Piagam ini diumumkan pada tanggal 18 Februari 1856 M. yang lebih banyak mengandung pembaruan terhadap kedudukan orang Eropa yang berada di bawah kekuasaan, kerajaan Turki Usmani. Tampaknya piagam ini diadakan atas desakan negara-negara Eropa pada kerajaan Turki Usmani yang menginginkan ada persamaan hak antara orang Islam dan non Islam di Turki Usmani pada saat itu. Tujuannya adalah untuk memperkuat jaminan-jaminan yang telah tercantum dalam piagam Gulhane, isi piagam tersebut adalah:
  • Masyarakat Kristen dan non Islam lainnya dibolehkan mengadakan pembaruan yang mereka perlukan misalnya mendirikan rumah peribadatan masing-masing, sekolah-sekolah, rumah sakit dan memiliki tanah-tanah pemakaman.
  • Semua perbedaan yang timbul karena berlainan agama, bahasa dan bangsa harus dihapuskan dan seluruh rakyat dapat menjadi pegawai kerajaan Turki Usmani, tanpa diskriminasi.
  • Kebebasan beragama dijamin dan paksaan untuk mengubah agama dilarang.
  • Perkara yang timbul antara rakyat yang berbeda agama akan diselesaikan oleh Mahkamah campuran dan Undang-undang yang akan dipakai dalam mahkamah ini segera akan disusun.
  • Rakyat yang beragama Kristen dan non Islam lainnya diperbolehkan masuk Dinas Militer.
  • Orang asing diberi hak untuk memiliki tanah dalam wilayah kerajaan Turki Usmani.
  • Perbedaan besarnya pajak yang dipungut dari rakyat dihapuskan karena itu pajak bagi rakyat Islam dan bukan Islam akan sama besarnya.
  • Bagi kerajaan Turki Usmani akan diadakan anggaran belanja tahunan, pembukaan bank-bank asing, pengagaan undang-undang perdagangan.
  • Penghapusan hukum mati bagi orang murtad.
  • Pemasukan anggota-anggota bukan Islam ke dalam dewan hukum. 

E. Pembaharuan di Zaman Tanzimat dan Kritikan yang timbul
1. Pembaruan di zaman Tanzimat
Zaman Tanzimat berlangsung dari tahun 1839 M. sampai dengan tahun 1876 M, berarti selama 37 tahun itu dalam kerajaan Turki Usmani telah terjadi sejumlah perubahan yang dapat dipandang sebagai realitas pembaruan, yang ditimbulkan oleh gerakan Tanzimat dengan meliputi, bidang hukum, pemerintahan, keuangan, pendidikan, administrasi dari perdagangan.

2. Kritik terhadap pembaruan Tanzimat.
Pembaharuan di zaman Tanzimat mendapat kritikan dari kaum intelegensia kerajaan Turki Usmani. Hal-hal yang dikritik kaum intelegensia adalah sekitar kedua piagam yang menjadi dasar pemburuan Tanzimat dan sikap pro Barat yang dianut pemuka-pemuka Tanzimat, dan sikap otoriter dan menteri-menterinya dalam melaksanakan pembaruan Tanzimat.

--------------
BAB III
Kesimpulan

  1. Tanzimat mengandung pengertian mengatur, menyusun dan memperbaiki serta pengadaan peraturan Tanzimat adalah suatu gerakan pembaruan di kerajaan Turki yang berlangsung selama 37 tahun.
  2. Tokoh-tokoh Tanzimat pada umumnya adalah pejabat tinggi kerajaan Turki Usmani dan menyaksikan secara langsung kemajuan di Barat. Karena itu ide-ide dan usaha-usaha pembaruan yang dilaksanakannya banyak meniru barat.
  3. Piagam Gulhane dan Humayun pada dasarnya memuat toleransi dan ajaran persamaan serta jaminan warga Turki, baik muslim maupun non muslim dan sekaligus dasar pembaruan Tanzimat dan kaum intelegensi melakukan kritik terhadap kedua piagam tersebut.
  4. Pembaruan di zaman Tanzimat meliputi: bidang hukum, bidang pemerintahan, bidang keuangan, bidang pendidikan, bidang administrasi dan bidang perdagangan.

------------------------
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 5. Cet. 3; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Mughni, Syafiq A. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Cet.I; Jakarta: Logos, 1999.

Nasution, Harun . Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Sani, Abd. Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Islam. Cet. I; Jakarta: Grafindo Persada, 1998.

al-Syantanawiy, Ahmad. dkk. Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah, Jilid V. t.Cet; Al-Maniah al-Injilisiyah wa al-Faransiyah, t.t.

Wojowasito dan WJS. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. t. cet; Jakarta: Hasta, 1992.


Read More
Published Februari 04, 2012 by with 1 comment

USMANI MUDA (Konstitusi 1876)

.USMANI MUDA (Konstitusi 1876)

BAB I
 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sejarah jika dilihat sepintas lalu, ia tidak akan lebih hanya rekaman peristiwa masa lampau. Tinjauan semacam ini tidak akan dapat memberikan sebuah kritisasi. Oleh karena itu menurut Ibnu Khaldun (1333-1406) sejarah harus dilihat dari sisi dalamnya yakni:
“Sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk memberi kebenaran suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi”.

Gerakan Usmani Muda yang terjadi di kerajaan Turki Usmani yang telah menghiasi lembar-lembar sejarah peradaban Islam, patutlah mendapat penyimakan kritis, sejuta makna dari peristiwa-peristiwa tersebut jika terkuak, pastilah memberikan gagasan-gagasan dan ide-ide cemerlang untuk menciptakan perjalanan peristiwa masa depan.

Usmani muda adalah sebuah kelompok cendekiawan yang berusaha untuk merubah tradisi-tradisi lama yang terdapat di kerajaan Turki Usmani. Dan salah satu usahanya adalah menuangkan ide-ide pemikiran dalam institusi kerajaan. Ada beberapa ide Usmani Muda yang sempat di institusikan dalam beberapa pasal, namun pada akhirnya Sultan tidak menghiraukan beberapa pasal tersebut yang dianggapnya sebagai sebuah pengkerdilan kekuasaan.

B. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut dapatlah penulis mengambil beberapa permasalahan tentang:
a. Latar belakang Usmani Muda
b. Tokoh-tokoh Usmani Muda dan Gagasan-gagasan serta Corak pemikirannya
c. Hambatan-hambatan yang dialami oleh Usmani Muda.

---------------
BAB II
II. PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Usmani Muda
Pada masa Usmani muda terjadi periode reorganisasi (Tanzimat) yang berlangsung dari tahun 1876. Masa Tanzimat ini telah mengantarkan Turki Usmani kepentas kemajuan yang sangat pesat. Namun pada akhir Jenissari, melemahnya posisi ulama dan dengan penerapan program reformasi, kekuatan politik di dalam masyarakat Usmani berpindah ke kalangan birokrat dan elit yang baru tersebut di dominasi oleh unsur-unsur barat. Kelompok ini dikepalai oleh Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858).

Bahkan pada dekade 1860-an Tanzimat juga melahirkan oposisinya sendiri. Meskipun “kelas” baru menduduki sejumlah jabatan pemerintahan. Namun alumni sekolah menengah dan sekolah profesional, kalangan birokrat dari kalangan menengah dan putra-putra keluarga miskin yang menyadari karir mereka terhalang oleh keserakahan generasi yang lebih tua, mengalihkan energi mereka ke bidang kepustakaan, dengan menjadi pujangga penulis, jurnalis dan editor dalam persurat kabaran pihak oposisi.

Dan yang paling disesalkan lagi adalah pemerintahan kekuasaan Sultan yang sangat absolut dan otoriter, mengakibatkan terciptanya dinamika kehidupan yang eksklusif atau timbullah gerakan-gerakan Usmani Muda. Usmani muda adalah sebuah perkumpulan golongan cendekiawan kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan absolut Sultan. Pada awalnya ia merupakan sebuah gerakan bawah tanah yang didirikan pada tahun 1865, bertujuan mengubah pemerintahan absolut kerajaan Usmani menjadi pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Setelah gerakan ini tercium dan diketahui aktifitasnya oleh pemerintah, sebagian dari pemukanya berusaha melarikan diri dari Turki menuju Eropa. Di sanalah gerakan ini mendapat gelar Usmani Muda. Sementara Niyazi Berkez, salah seorang penulis yang pernah menjadi guru besar di Islamic Studies, McGill University (Canada), menyatakan bahwa gerakan ini mempunyai beberapa nama antara lain : Pembela syariat (Muhafa-I Seriat) dan pejuang (Fedais).


B. Tokoh-Tokoh Usmani Muda dan Gagasan-Gagasan serta Corak Pemikirannya.
Tokoh-Tokoh Usmani Muda
1. Ziya Pasya
Salah satu pemikir Usmani Muda adalah Ziya Pasya (1825-1880). Anak seorang pegawai kantor cukai Istambul. Setelah menyelesaikan pada sekolah Suley Maniye yang di dirikan Sultan Mahmud II untuk diangkat menjadi pegawai pemerintah selagi berusia muda atas usaha Mustafa Rasyid Pasya. Ia pada tahun 1854 diterima menjadi sekretaris Sultan. Untuk keperluan tugas baru ini ia mulai mempelajari bahasa Perancis, sehingga Ia dapat menguasainya dan dapat menterjemahkan buku-buku Perancis kedalam bahasa Turki. Permusuhan dengan Ali Pasya membuat ia terpaksa pergi ke Eropa di tahun 1867 dan tinggal di sana selama 5 tahun.

Agar dapat digolongkan dalam kumpulan negara yang maju, kerajaan Usmani, demikian pendapatnya Ziya Pasya harus memakai sistem pemerintahan konstitusional. Negara Eropa maju karena disana tidak terdapat lagi pemerintahan absolut kecuali di Rusia, bahkan Rusia pun telah mulai mengarah kepada pemerintahan konstitusional. Karena kerajaan Usmani dipandang masuk dalam keluarga negara-negara Eropa, tidaklah pada tempatnya kalau kerajaan Usmani mempunyai sistem pemerintahan yang berlainan dengan seluruh Eropa.
Barat dalam segala-galanya. Sebagai orang yang kuat berjiwa Islam , ia menentang pendapat yang telah mulai banyak tersiar diwaktu itu, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Islam merupakan penghalang bagi kemajuan.

2. Namik Kemal.
Namik Kemal lahir di Rhodosto pada tanggal 21 Desember 1840 bertepatan dengan 26 Syawal 1256 dan wafat 2 Desember 1888 di Mytilene. Namik Kemal adalah seorang penyair utama Turki, tokoh utama Turki modern dan pencipta bahasa modern, dalam sejarah sastra Turki. Karyanya dibidang sastra banyak dipengaruhi oleh Shinasi dengan tokoh utama Ibrahim Shinasi Efendi, sebuah kelompok penyair Turki modern. Pergaulannya dengan Ibrahim Shinasi akhirnya merubah pola-pola penyairannya dari imitasi tradisional menjadi bernafaskan barat. Selain itu, dikemudian hari ia menjadi editor surat kabar berbahasa Turki Taswir Efkar (gambaran pemikiran) setelah Ibrahim pergi ke Paris tahun 1864. Taswir bertujuan untuk melakukan pencerahan dibidang politik, Kesusastraan dan ilmu pengetahuan berbahasa Turki, yang kemudian hari menjadi tempat menyuarakan aspirasi politik Usmani Muda.

Keterlibatannya dalam gerakan politik berawal dari ketika ia bergabung komite Usmani Muda yang didirikan oleh pihak pemerintah, ia bersama Ziya Pasya, Nuri, Rifa’at dan Ali Su’awi meninggalkan Turki dan pergi ke London guna meneruskan perjuangan. Di London ia menerbitkan surat kabar Mukhbir yang kemudian diganti dengan nama Hurriyet ketika basis perjuangan mereka berpindah ke Paris. Edisi pertama Mukhbir diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 1867. Setelah perdana menteri Ali Pasya wafat, ia kembali ke Istambul dan menerbitkan surat kabar Ibret yang menjadi corong perjuangan kelompok Usmani muda.

3. Madhat Pasya
Madhat Pasya (1822-1884 M), termasuk pembaharu politik daulah Usmaniyah. Dialah yang berjasa menggulingkan Sultan Abdul Aziz. Setelah diangkat menjadi perdana menteri pada masa Sultan Abdul Hamid, dia mengumumkan undang-undang yang baru diberlakukan. Undang-undang itu mengikut sertakan semua warga negara dalam urusan pemerintahan tanpa membedakan antar unsur atau agama apapun. Dialah yang berusaha memasukkan berbagai perbaikan yang memungkinkan negara menghirup nafas segar kembali dan menyingkirkan segala bentuk kerusakan yang melanda seluruh negeri. Sayangnya, dia menganggap enteng serangan balik dan orang-orang yang hendak menghalang-halangi pembaharuan yang sedang dilakukannya. Akhirnya dia dikucilkan, dihukum, dibuang dan dibunuh ditempat pembuangannya.

Menurutnya perbaikan apapun di Daulah Usmaniyah harus berdasarkan azas hukum demokrasi seperti yang berlaku di Inggris atau Perancis. Mau tidak mau harus dibuatkan undang-undang dan dibentuk MPR yang mewakili semua unsur yang ada dalam negara itu atau seluruh wilayah yang ada. Dengan demikian, umat dapat menegakkan hukumnya sendiri, bukan Sultan yang menegakkannya dengan kemauannya sendiri atau hanya orang-orang yang dekat kepada Sultan yang dapat diperhatikan kepentingannya. Dengan undang-undang semua penguasa disetiap wilayah bertanggungjawab didepan parlemen atau didepan umat, sehingga mereka terpaksa melakukan keadilan dan melaksanakan perbaikan dimana-mana. Jika tidak, mereka akan diadili dan diberi sanksi. Hampir semua negara Eropa menjalankan bentuk pemerintahan seperti itu, seperti yang dilakukan Daulah Usmaniyah. Negara tidak dapat diselamatkan kecuali dengan menerapkan azas demokrasi dan prinsip kebebasan yang diberikan sepenuhnya kepada umat. Selain itu, negara mesti menghidupkan jiwa mereka, mengembalikan hak-hak individu, menghormati kepribadian mereka, dan melaksanakan keadilan. Tanpa kebebasan, rakyat akan dicengkram perasaan takut. Mereka akan kehilangan kejantanan, bermental budak, yang hina dan lemah, sehingga yang mereka pikirkan hanya makanan dan pakaian, serta hal-hal yang nafsu mereka dengan jalan yang hina.

Menurutnya apa yang sedang terjadi di Daulah Usmaniyah tidak jauh berbeda dengan Islam. Islam menganjurkan dibentuknya wadah musyawarah (syura) yang disebut oleh Barat sebagai parlemen. Islam menganjurkan Amar Ma’ruf Dan Nahi Munkar, pada saat yang sama Barat menempatkan disetiap kota yang maju bentuk kebebasan pers yang diperbolehkan mengkritik, kebebasan individu untuk menulis dan kebebasan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya. Dalam hal ini tidak seorang pun yang bisa bebas dari kritik, tidak juga pemerintah, Sultan, ataupun Gubernur. Semua orang akan dinilai dan didudukkan sesuai dengan pandangan rakyat secara umum dan kebebasan mereka dalam memberikan kritik. Inilah yang dinamakan oleh al-Qur’an Saling memberikan nasihat dalam kebenaran”.
Sayangnya, Madhat gagal menumpahkan pemikiran yang memenuhi otaknya karena Sultan melihat bahwa perbaikan dalam bidang politik akan menghalangi kehendaknya. Begitu pula para tokoh agama memandang bahwa penerapan pembaharuan untuk menuju kemodernan dianggap bertentangan dengan agama Islam. Padahal rakyat asing melihat bahwa persamaan hak akan mengakhiri zaman kejayaan mereka. Negara-negara asing memandang bahwa penungkatan ekonomi merupakan bahaya yang mengancam kewibawaan mereka. Akan tetapi orang-orang terutama para tokoh negara yang biasa meraih kekayaan yang melalui kezaliman, beranggapan bahwa akan menjadi miskin karena diterapkannya keadilan. Mereka mengabaikan Madhat, membiarkan undang-undangnya dan mengembalikan suasana dalam negeri seperti keadaannya semula.

Kekejaman yang dilakukan orang kepadanya ketika dia ditangkap, meninggalkan bekas yang sangat dalam dihati para pendukung perbaikan kondisi negara. Hal itu telah mencegah bibit revolusi, revolusi yang menilainya dapat menggulingkan Sultan Abdul Hamid, memorak-porandakan sistem kesultanan dan kekhalifahan yang pada gilirannya dapat menyatukan orang-orang pemerintah dengan agamawan yang diperjuangkan oleh Madhat.

Gagasan-Gagasan dan Corak Pemikiran Usmani Muda
Adapun gagasan-gagasan pemikiran yang sangat dominan dalam perjuangan Usmani Muda yang menjadi polemik dan menciptakan problematika besar dalam pemerintah adalah konstitusi yang ditandatangani oleh Sultan Abdul Hamid pada tanggal 23 Desember 1876.
Konstitusi 1876 dapat dilihat dari hak-hak serta kekuasaan Sultan. Menurut pasal 3, kedaulatan terletak pada tangan Sultan, jadi bukan ditangan rakyat sebagaimana yang terdapat dalam paham kenegaraan Barat. Paham kedaulatan terletak pada diri Sultan adalah sesuai dengan paham yang terdapat dalam Islam, bahwa segala kedaulatan berada pada Tuhan sebagai pencipta dan pemilik alam semesta. Kedaulatan alam prakteknya di dunia dipegang oleh Khalifah yang mengganti Nabi Muhammad saw., dalam mengepalai umat Islam. Sultan Turki, selain mempunyai kedudukan Sultan juga mempunyai kedudukan Khalifah. Sedangkan menurut pasal 4 menyebutkan bahwa Sultan juga menpunyai sifat suci dan tidak bertanggungjawab tentang perbuatannya. Hal-hal yang menurut pasal 7 antara lain yaitu:
  • Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri,
  • Mengadakan perjanjian Internasional,
  • Mengumumkan perang,
  • Mengadakan damai dengan negara-negara lain,
  • Membubarkan parlemen.
Kemudian menurut pasal 54 rencana undang-undang baru dapat menjadi undang-undang kalau sudah disetujui oleh Sultan. Pasal 113 lebih lanjut memberi kekuasaan untuk mengumumkan keadaan darurat jika hal demikian dipandang perlu. Menurur pasal 113 ia juga mempunyai kekuasaan untuk menangkap dan mengasingkan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi keamanan negara.

Dari penjelasan diatas nyatalah bahwa Sultan masih mempunyai kekuasaan besar, pembatasan kekuasaan absolut seperti yang dikehendaki Usmani Muda tidak banyak berhasil. Pasal-pasal yang tercantum dalam undang-undang 1876 disamping itu, tidak semuanya mengandung pengertian tegas. Pasal 7 umpamanya, menyebut hak-hak Sultan tetapi tidak ada penegasan bahwa hanya itulah hak-hak yang dimilki Sultan. Pasal 54 menyebut bahwa rencana undang-undang perlu mendapat persetujuan Sultan, tetapi tidak dijelaskan bagaimana keadaannya kalau undang-undang tertentu ditolak Sultan, dan sebagai gantinya ia keluarkan keputusannya sebagaimana hal-hal dimasa lampau, tidak ada penegasan bahwa keputusan demikian tidak dapat menjadi undang-undang.

Pasal 113 betul-betul merupakan pukulan berat bagi Usmani Muda, karena dengan memakai pasal inilah Sultan Abdul Hamid beberapa tahun kemudian mengangkat Madhat Pasya beberapa temannya untuk kemudian dikirim ketempat pengasingan. Pemuka-pemuka Usmani Muda menentang pemasukan pasal 113 ini kedalam undang-undang dasar, tetapi Sultan Abdul Hamid memasukkannya sebagai syarat untuk dapatnya konstitusi itu diterima dan diumumkan.
Pembentukan sistem kabinet yang tidak lagi bertanggungjawab kepada Sultan, tetapi kepada parlemen sebagai yang diinginkan Usmani Muda juga tidak berhasil. Pasal 27 hanya menyebutkan bahwa perdana menteri dan Syaikh al-Islam akan dilantik oleh Sultan. Dengan demikian sistem sebenarnya tidak ada, dan perdana menteri hanya mempunyai Primus Inter pares. Menteri-menteri akan tetap memegang posnya masing-masing, selama masih mendapat kepercayaan Sultan. Parlemen dapat memanggil menteri, dapat mengirim wakil sebagai ganti atau dapat menunda kehadirannya didepan parlemen untuk masa yang tidak tertentu.

Alasan yang dipakai untuk menangkap Madhat Pasya dan untuk membubarkan parlemen adalah negara dalam keadaan bahaya karena pecahnya perang dengan Rusia. Semenjak itu sampai revolusi 1908 dibawah pimpinan Turki Muda, Sultan Hamid memerintah sebagai seorang otokrat, tetapi otokrat yang mempunyai dasar konstitusi.

C. Hambatan-Hambatan Yang dialami Oleh Usmani Muda
Diantara hambatan-hambatan yang dialami oleh Tokoh-tokoh Usmani Muda yang sangat berarti dalam memperjuangkan konsep pembaharuan yang mereka tawarkan adalah:
  • Dukungan dari kaum terpelajar Barat dan kalangan yang ekonomi tinggi relatif belum mapan.
  • Ide pembaharuan yang mereka canangkan masih terlalu tinggi dan belum dapat terjangkau dan dipahami masyarakat Turki.
  • Ide pembaharuan yang mereka canangkan belum tersosialisasi keseluruh lapisan masyarakat bawah.
  • Ide konstitusi merupakan desakan kaum intelejensia semata, bukan desakan masyarakat.
  • Para tokoh-tokoh Usmani Muda berhasil diamankan oleh pihak pemerintah dengan dalil negara dalam kondisi darurat.
  • Setelah tokoh-tokoh tersebut diamankan, kalangan masyarakat tidak memunculkan suatu reaksi atau tindakan sebagai tuntunan kepada penentang agar tokoh-tokoh Usmani Muda ini segera dibebaskan, melainkan mereka hanya bersifat fasif.
  • Deklarasai Gulkhane dan deklarasi Humayyun yang keduanya merupakan inspirasi program Tanzimat, mengisyaratkan bahwa Sultan masih memiliki kekuasaan besar, sehingga konstitusi 1876 dapat dianggap sebagai anugerah Sultan.

-----------------
BAB III
III. PENUTUP

Adapun yang menjadi kesimpulan dari pembahasan Usmani Muda ini adalah sebagai berikut:
  1. Timbulnya Usmani Muda dan gerakannya, karena dilatar belakangi oleh ketidakadilan dan keabsolutan kekuasaan.
  2. Tokoh-tokoh Usmani Muda adalah Ziya Pasya, Namik Kemal dan Madhat Pasya yang corak pemikirannya dapat terlihat pada gagasan mereka untk menciptakan Turki Usmani menjadi Negara yang maju dan demokratis.
  3. Hambatan-hambatan yang merintangi perjuangan Usmani Muda dapat disimpulkan dengan kurangnya dukungan masyarakat baik dari kalangan elit maupun masyarakat kelas papan bawah.
------------------------------


DAFTAR PUSTAKA

A..Mugni, Syafiq, Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki, Cet. I; Jakarta: Logos, 1997.
Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Amin, Ahmad Husayn, Al-Mi’ah al-A’zham Fi Tarikh al-Islam diterjemahkan oleh Bahruddin Fanni dengan judul Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Cet. I; bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V, Cet. III; Jakarta: PT. Interinasa, 1994.
Muhaimin et.al. Dimensi-Dimensi Studi Islam, Cet. I; Surabaya: Karya Aditama, 1994.
M. Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi, dengan judul Sejarah Sosial Ummat Islam, Cet. I; jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.

Read More
Published Februari 01, 2012 by with 0 comment

Pulau Ular


Setelah lama bercerita banyak hal, mulai dari saling tanya-tanya asal, kerja dimana, kerja apa, sudah berkeluarga apa belum, berapa anak dan lain-lain, akhirnya keluar pertanyaan dari seoarang rekan kuliah yang lain "apa kamu tau, dimana pulau ular di Bima? iya, jawabku, kurang lebih 20 km dari rumah saya. tepatnya di Kecamatan Wera Desa Pai. Desa yang berbatasan dengan Desa pada Kecamatan Sape, Sape tempat saya tinggal. Kemudian teman ini semakin penasaran dan meluncurkan pertanyaan lebih banyak lagi, tentu saja saya pun menjawab sesuai dengan apa yang pernah saya lihat dan saksikan.
Namun maaf, tidak saya ceritakan pada posting ini, sebab telah digambarkan cukup detail oleh seorang blogger bima - Gaelby, pada blognya Kabupaten Bima Timur, Pesona pulau ular di Kabupaten Bima Timur
Read More
Published Januari 30, 2012 by with 0 comment

MUSTAFA KEMAL ATTATURK ( Negara Republik Sekuler )

 MUSTAFA KEMAL ATTATURK 
( Negara Republik Sekuler )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran aliran modern dalam Islam mulai dikenal sekitar abad ke-19. Aliran-aliran ini diperkenalkan di belahan dunia Islam sehingga banyak di antara kaum muslimin terperangkap diantara dua persfektif, pertama adalah kepercayaan dikalangan tradisional bahwa agama seharusnya yang menentukan karakter organisasi politik dan hukum islam yang menyediakan standar dan petunjuk yang dipelukan masyarakat. Kedua, preferensi kalangan sekuler muslim terhadap konsep dan lembaga politik barat.
Perkembangan modernisasi di Turki yang semakin melaju ke depan dengan membawa beraneka ragam visi sesuai dengan kepentingan yang melatarbelakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal dengan adanya kebangkitan Usmani Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak terhadap kaum terpelajar di Turki. Pada gambaran berikut ini, warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Pase ini terbagi atas tiga pase, yaitu: pertama, gerakan yang masih berorientasi dan masih berpegang secara ketat terhadap prinsip islam yang disebut islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan barat. Kelompok ini disebut westernisme. Ketiga, gerakan yang menitik beratkan ke dalam aspek keaslian Turkinisme atau lebih secara kenegaraan, mereka sering mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Kelompok ini disebut nasinalisme.

Mekipun ketiga gerakan di atas, msing-masing memiliki ciri khas tersendiri namun gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kemal, dapat tampil ke gelanggang arena perpolitikan di Turki.
Tampilnya gerakan nasionalisme di Turki, sebenarnya bukan murni hasil dari pemikiran dari Mustafa Kemal sendiri, tetapi ide tersebut merupakan inspirasi dari tokoh sebelumnya yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan oleh Sultan Mahmud II.

Kehadiran Mustafa Kemal ke gelanggang perjalanan sejarah Turki, telah membawa perubahan besar. Ide-idenya untuk membawa Turki untuk menjadi negara maju, seperti negara eropa lainnya. Sehingga dapat mengubah tatanan lama yang sudah mentradisi dalam kerajaan Turki Usmani, dan membentuknya ke dalam wajah baru dengan corak pemikiran sekuler.

Dengan demikian, yang menjadi pokok pembahasan pada makalah ini adalah “Mustafa Kemal dan Sekularisme” dalam membangun repoblik Turki.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi mustafa Kemal Attaturk ?
2. bagaimana ide-ide sekuler (pembaharuan) Mustafa Kemal di Turki ?

---------------
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Mustafa Kemal
Mustafa Kemal dilahirkan pada tanggal 12 maret 1881 di Salonika (sekarang Greece), yang menjadi kota pelabuhan Masedonia di Turki, ia dilahirkan dari keluarga terhormat dan meninggal dunia pada tahun 1938 di Istambul. Ayahnya bernama Ali Rosa, seorang pegawai pemerintah. Ibunya bernama Zubaeda khahir, seorang yang wanita yang halus persaannya dan tekun beribadah. Perasaan keagamaanya yang mendalam mendorongnya untuk memasukkan Mustafa Kemal ke sebuah sekolah madrasah, tetapi karena ia tidak senang blajar di madrasah itu, akhirnya ia pindah kesekolah meliter menengah di Salonika. Pada tahun 1899, ia melanjutkan pendidikannya ke Akademi Militer di Stambul Turki, dan selesai pada tahun 1905 dengan pangkat kapten.

Ketika di Istambul, Mustafa Kemal dan teman-temannya membentuk perkumpulan rahasia yang menerbitkan surat kabar, tulisan-tulisan yang mendukung kritik terhadap pemerintah Sultan. Sejak itulah Mustafa Kemal mulai terlibat dalam politik praktis. Karena garakan dan perkumpulan rahasia itu yang selalu mengeritik pemerintah Sultan, akhirnya dan teman-temannya ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara selama beberapa bulan. Setelah dibebaskan ia diasingkan bersama salah seorang temannya yang bernama Ali Fuad ke Suria.

Mustafa Kemal memulai karirnya di bidang militer dan politik, setelah mendapat tugas untuk bergabung dengan pasukan Damaskus untuk menumpas para pemberontak Druz pada tahun 1906. pada tahun itu juga Mustafa Kemal membentuk perkumpulan Vatan (tanah air). Perkumpulan ini cepat berkembang setelah dibukanya cabang di Yoffa, Baerut dan Yerissalem. Mustafa melihat bahwa, revolusi Turki tidak akan bisa muncul di daerah itu, karena letaknya yang kurang strategis, sedangkan tempat yang sagat strtegis ialah Salonika. Ia membentuk cabang di Salonika.

Setahun setelah membentuk cabang baru, ia pun dipindahkan ke Salonika sebagai staf umum. Kemudian ia merubah perkumpulan itu menjadi Vatan Ve Hurryet (tanah air dan kemerdekaan) . dalam komfrensi yang dilaksanakan di Salonika, Mustafa Kemal mengeluarkan pendapatnya tentang partai dan tentara, yang keduanya telah bergabung menjadi satu dalam perkumpulan tersebut. Mustafa mengatakan agar nagara konstitusi dapat dipertahankan, dan diperlukan tentara yang kuat di satu pihak dan partai di sisi lain, tetapi tidak boleh digabungkan. Seharusnya perwira sisuruh memelih tinggal dalam partai atau tinggal dalam atau keluar dari tentarra atau tinggal dalam tentara dan keluar dari partai.
Karena Mustafa Kemal semakin gencar mengkritik pemerintah, ia diasingkan ke Sofia bersama Ali Fethi. Ali Fethi sebagai duta dan Mustafa sebagai atase meliter. Disinilah Mustafa Kemal berkenalan langsung dengan peradaban barat, yang menarik perhatiannya adalah pemerintahan perlementer. Tidak lama setelah Mustafa Kemal di buang kesofia terjadi perang dunia I. Dan iapun dipanggil untuk menjadi panglima Devisi di Gallipoli, untuk menahan serangan Inggris terthadap Turki pada tahun 1915. di dalam medan pertempuran itulah, ia menunjukkkan keberaniannya dan kecakapannya dalam memimpin pertempuran. Dan karena sukses yang dicapainya dalam menyelamatkan stambul dari invasi musuh. Ia menjadi terkenal dan disanjung sebagai pahlawan nasional. Dan sebagai penghargaan kepadanya, pangkatnya pun dinaikkan dari kolonel menjadi jenderal ditambah gelar pasya.

Setelah perang dunia I, kemal mempunyai kewajiban membebaskan daerah-daerah lain dari kekuasaan asing. Dan untuk menyokong tugasnya dari rakyat Turki. Ia pun membentuk gerakan-gerakan tanah air, dan bekerja sama dengan pemberontak membentuk kader-kader militer yang tangguh untuk suatu kesatuan tentara nasinal. Sejak saat itulah, mereka mencanangkan membentuk suatu negara nasional Turki yang merdeka.

Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari kaum pemberontak, kemudian mengeluarkan maklumat dengan pernyataan sebagi berikut:
  1. Kemerdekaan tanah air dalam keadaan berbahaya
  2. Pemerintahan di Ibu kota di bawah kekuasaan sekutu dan oleh karena itu tidak dapat menjalankan tugas
  3. Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing.
  4. Gerakan-gerakan pembebasan tanah air yang telah ada harus dikoordinasikan oleh satu panitia nasional pusat.
  5. Untuk itu perlu diadakan kongres.
Setelah maklumat tersebut ke luar dan sampai ke Ibu kota, Mustafa Kemal dipanggil namun Kemal menolak, iapun secara resmi dipecat dari dinas militer. Mustafa Kemal keluar dari dinas itu dan diangkat oleh perkumpulan pembela rakyat cabang Erzurna sebagai ketua. Akhirnya perkumpulan tersebut, juga menjadi alat perjuangan politik masa depan Mustafa Kemal.

Pada tahun 1920, ia mendirikan nasional assembly (dewan nasional) di Angkara. Pada saat pendiriannya ia mengatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar dalam praktek kenegaraan adalah kecendrungan profesinalisme, yaitu pemerintah rakyat. Dikatakan yang menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.

Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari golongan dari nasionalis bergerak terus dan berlahan-lahan dapat menguasai situasi sehingga akhirnya mereka diakui sebagai penguasa defakto and dejure di Turki pada tahun 1923.

B. Ide-ide Pembaharuan (sekuler) Mustafa Kemal
1. Politik
Hal yang paling menonjol pada revolusi Musatafa Kemal adalah bagaimana bentuk negara yang diinginkan. Bagi Kemal, kedaulatan harus berada ditangan rakyat. Hal ini tidak sejalan dengan fatwa politik kaum tradisional Turki yang memandang bahwa kedaulatan itu terletak di tangan Tuhan yang dijalankan Sultan atau khalifah. Ide Mustafa Kemal tersebut diterima oleh Majelis Agung Nasinal pada tahun 1920. satu tahun kemudian, ide tersebut diundangkan.

Selanjutnya dengan alasan fakta sejarah umat Islam, Mustafa Kemal mengusulkan agar dua fungsi yang dipegang Sultan Turki, yaitu fungsi spritual dan fungsi temporal dipisahkan.
Pada zaman Abbasyiah misalnya, menurut Mustafa Kemal, Khalifah memerintah di Bagdad sementara Sultan memerintah di daerah-daerah. Kemudian Mustafa Kemal mengusulkan agar jabatan Sultan dengan kekuasaan temporal yang ada padanya di hapuskan saja, untuk menghindari dualisme kekuasaan eksekutif. Yang dipertahankan adalah jabatan khalifah dengan memegang kekuasaan spritual.
Ini berarti Mustafa Kemal menghendaki agar kekuasaan Sultan Turki, dalam hal ini, khalifah benar-benar berkaitan dengan keagamaan saja, dan tidak perlu mencampuri urusan-urusan ketatanegaraan. Sudah barang tentu bentuk kekuasaan seperti ini sangat jauh lebih terbatas dari pada kekuasan yang dimiliki oleh sultan-sultan Turki sebelumnya. Bahkan kekuasaannya lebih kecil dan lebih terbatas dari pada kekuasaan biro syekh al-islam pada masa jayanya.

Pembaruan dalam bentuk negara seperti ini, ditentang oleh mayoritas Islam dengan mempertahankan bentuk khilafah, sedangkan golongan nasionalis menghendaki republik. Dalam konstitusi 1921 ditegaskan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat, jadi bentuk negara harus republik. Dan pada tahun 1923, Majelis Nasional Agung (MNA) mengambil keputusan bahwa Turki adalah negara republik dan Mustafa Kemal adalah presiden pertama yang terpilih, sedangkan jabatan khalifah dipegang oleh Abd Majid.
Pembaruan berikutnya adalah penghapusan jabatan khalifah, dengan demikian, bahwa gambaran republik Turki ada dualime yang terhapus, tetapi sungguh demikian ‘kedaulatan rakyat” belum punya gambaran yang jelas karena dalam konstitusi adalah agama, sedangkan agama yang dimaksud adalah agama Islam. Itu berarti kedaulatan bukan ditangan rakyat tetapi ada pada syari’at.

Usaha Mustafa Kemal selanjutnya memasukkan prinsip sekularisme dalam konstitusi pada tahun 1928. Negara tidak lagi berhubungan dengan agama. Pada tahun 1937, barulah republik Turki resmi menjadi negara sekuler. Namun sebelum resmi menjadi negara sekuler, Kemal telah menghilangkan konstitusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan.

2. Pendidikan dan Kebudayaan
Bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan bidang yang cukup esensial dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya-upaya pembaharuan yang dilancarkan oleh para pembaharu, tidak terkecuali Mustafa Kemal dan para pendukungnya tidak melepaskan bidang pendidikan dalam pembaharuannya.

Pada tahun 1923 Mustafa Kemal atas nama pemerintah, memerintahkan untuk mendirikan suatu lembaga suatu studi Islam yang diberi tugas khusus mengkaji filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat barat, kondisi praktis, ritual ekonomi, dan penduduk muslim. Tujuan lain dari lembaga tersebut adalah mendidik dan mencetak serta membentuk mujtahid modern yang mampu menafsirkan al-Qur’an agar umat Islam Tuki memperluas wawasannya lewat pemahaman agama secara agak lebih terbuka dan lebih rasional
Pembaruan selanjutnya, adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan agama ke dalam kementerian pendidikan pada tahun 1924. hal ini sesuai dengan undang-undang pendidikan dan konstitusinya di bawah kontrol kementerian pendidikan.

Bersamaan dengan dihapusnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi agama, pada tahun 1924, Mustafa Kemal membuka fakultas agama pada Universitas Istambul. Pada saat yang sama membuka sekolah-sekolah yang membina dan mempersiapkan tenaga-tenaga khatib dan imam. Jadi pendidikan yang dinginkan Mustafa Kemal dan para pendukungnya adalah pendidikan yang bebas dari pengaruh-pengaruh tradisional.
Sekularisasi yang dilaksanakan Mustafa Kemal bukan hanya dalam bidang institusi saja, tetapi juga dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat. Pakaian keagamaan hanya dibolehkan bagi mereka yang menjalankan tugas keagamaan. Dan seluruh pegawai negeri diwajibkan memakai topi dan pakaian model barat. Di tahun 1923 di keluarkan undang-undang tentang mewajibkan warga negara Turki agar hari libur resmi jum’at diganti hari minggu.

Republik Turki adalah negara sekuler, akan tetapi walaupun demikian, apa yang diciptakan Mustafa Kemal belum menjadi negara yang betul-betul sekuler. Betul syariat Islam telah dihapus pemakainnya dan pendidikan agama di keluarkan dari kurikulum sekolah. Namun republik Turki masih mengurus agama melalui Departemen Urusan Agama.

3. Kehidupan Kemasyarakatan
Para penulis sejarah tidak bisa menyangkal bahwa islam punya pengaruh besar dalam sejarah, dalam hal ini pengaruh syaria’at Islam pada segala segi kehidupan masyarakat Turki. Ini dibuktikan bahwa Turki Usmani sepanjang sejarahnya merupakan lembaga bagi kekuasaan Islam dunia dan agama Islam sebagai agama negara sampai dihapuskannya oleh Mustafa Kemal, pemakaian huruf Arab diganti menjadi huruf latin.
Di mata para pembaharu, Islam adalah agama yang rasional, agama yang tidak bertentangan dengan kemajuan. Yang menjadi penyebab mundurnya Turki terutama karena terlalu kuatnya masyarakat Turki yang berpegang pada syari’at Islam, padahal syari’at yang dipeganginya, tidak lebih dari syari’at yang sudah ternoda oleh budaya Arab yang telah usang yang tidak cocok dengan masyarakat Turki dan zaman yang sudah cukup maju.

Mustaga Kemal cukup responsip terhadap hal tersebut, karena dasar keyakinannya bahwa islam itu agama rasional, cocok untuk kemajuan, ia pun berusaha agar masyarakat Turki memperluas wawasannya dengan cara mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya yang asli. Oleh sebab itu, pada tahun 1924 ia membentuk departemen untuk urusan keagamaan dengan tegas mengurus administrasi keagamaan dan mempersiapkan buku teks pelajaran agama.

Kemuddian Mustafa Kemal memerintahkan agar bahasa Turki dipakai pada mimbar-mimbar masjid, khotbah jum’at, pada azan untuk shalat dan al-Qur’an diterjemahkan dalam bahasa Turki.
Dari beberapa gerakan di atas membuktikan keseriusannya dan pemdukungnya untuk mencerdaskan bangasa, termasuk membuat masyarakat mengerti dan memahami ajaran dasar-dasar agamanya yaitu Islam. Yang disayangkan karena hal seperti itu, merupakan hal yang baru terjadi dikalangan masyarakat Turki, sehingga mereka sulit menerimanya.

Selamjutnya Mustafa Kemal berusaha menghilangkan semua simbol-simbol dan upacara-upacara adat dan keagamaan yang mencerminkan ketradisionalan. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan kepada dunia barat bahwa Turki adalah negara yang beradab dan berbudaya tinggi sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Seperti dikeluarkannya peraturan larangan topi (torbus), para kaum tarekat, praktek jampi-jampi dan teknik pengobatan tradisional terhadap suatu penyakit.

Mustafa Kemal juga melihat bahwa ulama-ulama selama ini hanya menggiring masyarakat kepada masyarakat ritual dan ketaatan pada sistem ibadah dan etika yang mereka ciptakan sendiri tanpa boleh digugat sedikut pun. Mereka tidak merasa perlu menggambarkan umatnya kepada kegairahan hidup di dunia dalam artian kegairahan hidup berprofesi di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, kesenian dan kemasyarakatan. Akibatnya di bidang kehidupan dunia, umat Islam Turki Miskin, terkebelakang bahkan di bidang spritual mereka juga miskin karena mengamalkan sesuatu yang pada hakekatnya kurang benar.
Adanya kemajuan-kamajuan tersebut di atas, jelas bahwa perubahan dalam kehidupan kemasyarakatan akan nampak dengan jelas bagi masyarakat yang menggunakan kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut. Hal ini dipahami sebagai mobilisasi pada masyarakat yang baru mulai berkembang. Masyarakat yang memperoleh kesempatan dalam pembaruan Mustafa Kemal kemudian memanfaatkannya dengan baik, maka akan mendapat kemajuan yang sangat berarti, baik dari segi sosial, budaya maupun spritual. Danbagi mereka yang tidak menggunakan dan memanfaatkan kesempatan tersebut, maka akan tetap pada keadaan yang semula.



--------------------
BAB III
P E N U T U P

Kesimpulan
Mustafa Kemal adalah pendiri dan presiden pertama republik Turki yang dikenal sebagai salah satu pembaharu Islam yang sekuler yang berusaha memajukan peradaban Eropa di negerinya. Dalam hal ini ia sering melontarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang politik (kenegaraan) bidang pendidikan dan kebudayaan, dan kemasyarakat (ekonomi dan hukuim).
Selain itu, Mustafa Kemal berdama teman-temanya juga berhasil mendirikan Grand Nasional Assembly (GNA) yang digunakan untuk menyatukan ide-ide pembaharuannya. Mustafa Kemal dalam melontarkan ide pembaharuannya, sebenarnya tidak bermaksud menghilangkan ajaran Islam dari republik Turki tetapi bertujuan menolak intervensi agama dalam bidang politik, dan pemerintahan dan berusaha meletakkan agama pada proporsi yang sebenarnya.
Dengan demikian, apa yang telah diupayakan oleh Mustafa Kemal adalah sebuah pembaharuan dan pembuktian terhadap internasional bahwa pemerintahan dalam islam adalah pemerintahan yang mampu memenuhi tuntutan zaman. Hal ini dilakukannya demi kemajuan peraban Islam di segala aspek kehidupan umat di masa akan datang.


Read More