Published Oktober 10, 2007 by with 0 comment

DINASTI BUWAIHI (Pembentukan, Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran)

Dinasti Buwaihi muncul dalam panggung kekuasaan Islam pada permulaan abad ke-10 M, atau tepatnya pada tahun 945-1055 M, di bagian Barat Laut Iran. Dinasti ini dibangun melalui usaha-usaha bersama tiga bersaudara yaitu, Ali bin Buwaihi (yang tertua), Hasan bin Buwaihi, dan Ahmad bin Buwaihi (yang termuda). Putra seorang pencari ikan (nelayan) miskin yang bernama Abu Syuja’ Buwaih. Mereka berasal dari negeri Dailam, wilayah yang terletak di barat daya laut Kaspia. Negeri ini telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa khalifah Umar bin Khattab.
Agar dapat keluar dari tekanan kemiskinan, ketiga bersaudara itu memasuki dinas militer yang dipandang banyak mendatangkan rezki pada masa itu. Awalnya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang Dailam. Namun setelah mereka mengalami kekalahan, mereka bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy. Akan tetapi sebelum mengambil tindakan tersebut mereka terlebih dahulu meminta izan kepada Makan ibn Kali dengan alasan untuk meringankan beban Makan dan berjanji akan menyokongnya kembali apabila kelak kekuatannya telah pulih. Mengawali kariernya di wilayah Iran, mereka giat menyebarkan Syi’ah di kalangan penduduk setempat dan mendapat dukungan dari Iran. Atas prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali sebagai gubernur di Karaj, sedangkan Ahmad dan Hasan diberi kedudukan penting pula, semenjak itulah kekuatan Buwaihi tampak.
Ketika kekuatan mereka bertambah besar, Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Selanjutnya ketika Mardawij meninggal, mereka berhasil pula menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Raj, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapatkan legalisasi dari khalifah Abbasiyah al-Radi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Setelah berhasil mendapatkannya, ia melanjutkan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Saat itu Baghdad tengah dilanda kekisruhan politik akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara Wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan Ahmad yang berkedudukan di Ahwaz, maka pada tanggal 11 Jumadil Awal tahun 334 H Bani Buwaihi tiba di Baghdad dan disambut oleh penduduk dengan gembira yang berharap segera akan dilepaskan dari tekanan-tekan Turki dan budak-budak yang menguasai istana. Bahkan tak ketinggalan khalifah ikut pula menyambut secara kehormatan. Diadakanlah perjanjian untuk mengakui keturunan Buwaihi sebagai Sultan dan sebaliknya Bani Buwaihi mengakui pula kedudukan khalfah. segera memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke Baghdad. Sejak saat itu, para khalifah Abbasiyah tunduk kepada Bani Buwaihiyyah, seperti ketundukan mereka kepada militer Turki. Mu’izz al-Daulah (Ahmad) semakin besar pengaruhnya dan dengan jabatan Sultan di Baghdad. Nama mereka disebutkan bersama-sama dengan nama khalifah dalam khutbah jum’at, dan tertulis dalam mata uang Baghdad.
Secara sepintas, Bini Buwaihi memang telah membangun kekuasaan di luar Baghdad sejak 320 H (932 M). Namun secara formal baru dapat mengendalikan kekuasaan politik, ekonomi, dan militer dinasti Abbasiyah pada tahun 334 H (945 M). Pada tahun inilah boleh dikatakan sebagai awal berkuasanya dinasti Buwaihi. Adapun para penguasanya secara berurutan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Mu’izzu al-Daulah (334-356 H)
2. Izzu al-Daulah (356-367 H)
3. Idhadu al-Daulah(367-372 H)
4. Shamsan al-Daulah (372-375 H)
5. Syaraf al-Daulah (375-379 H)
6. Baha’u al-Daulah (379-403 H)
7. Sulthan al-Daulah (403-411 H)
8. Musrif al-Daulah (411-416 H)
9. Jalal al-Daulah (416-435 H)
10. Imadu al-Daulah (435-440 H)
11. Abu Nasirah Malik al-Rahim (440-447 H)

Catatan:
Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 07, 2007 by with 0 comment

BANI ABBAS (Kemajuan, Kemunduran dan Kehancuran)

Berdirinya kekuasaan dinasti Bani Abbas menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah yang telah berkuasa kurang lebih 90 tahun. Babak baru sejarah peradaban Islam diawali dengan hadirnya kekuasaan dinasti Abbas yang didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdillah ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang relatif panjang dari tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
Proses peralihan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah mempunyai arti yang lebih tinggi daripada sekedar perubahan dinasti semata. Bahkan realitas sejarah ini merupakan revolusi sejarah dalam Islam, sebuah titik balik yang sama pentingnya dengan revolusi Prancis atau Rusia dalam sejarah Barat. Revolusi ini menunjukkan bukan hanya sekedar penggulingan kekuasaan, melainkan pula bahwa makna yang terkandung pada kudeta yang terinspirasi atau terilhami oleh penyimpangan kekuasaan, yang mencerminkan dan mengungkapkan ketidakpuasaan terhadap pemerintahan sebelumnya.

Pemerintahan daulah Abbasiyah menurut Ahmad Syalabi dibagi menjadi tiga periode : periode pertama tahun 132-232 H (750-847 M); periode kedua tahun 232- 590 H (847-1194 M); periode ketiga tahun 590-656 H (1194-1258 M). Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada masa kekuasaan. Pada periode pertama kekuasaan para khalifah Abbasiyah berkuasa penuh, yaitu pengaruh Persia. Periode kedua kekuasaan berada pada pihak orang lain, yaitu adanya pengaruh Turki (dinasti Bani Seljuk). Pada periode ketiga kekuasaan kembali ke Abbasiyah tetapi hanya sekitar Bagdad saja.
Pada pemerintahan Harun ar-Rasyid tahun 170-193 H (786-809 M), dan pada masa pemerintahan Abu Ja’far Abdullah al-Makmun tahun 198-218 H (813-833 M). Bani Abbasiyah mengalami kemajuan dan mencapai masa keemasannya. Secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan ilmu agama, filsafat, pendidikan dan sains dalam Islam.
Dalam perkembangan daulah Bani Abbasiyah yang cukup panjang, akhirnya pada pemerintahan khalifah Abu Ahmad Abdullah al-Musta’shim (218-227 H/833-842 M) mengalami kemunduran dan kehancuran sehingga berakhir pulalah pemerintahan Bani Abbasiyah.

Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 04, 2007 by with 0 comment

DINASTI AYYUBIYAH

Dinasti Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berasal dari keturunan Kurdi yang tinggal di utara Iraq. Didirikan oleh Shalah al-Din, dan dinisbatkan kepada nama bapaknya Ayyub bin Syazi. Popularitas keluarga ini berawal ketika dua orang bersaudara, Ayyub dan Syirkuh, masuk mengabdi kepada Atabek masing-masing di Syria dan Iraq. Pada saat pengepungan kota Damaskus oleh tentara Salib pada tahun 1146, Ayyub dipromosikan untuk menduduki jabatan gubernur di Damaskus oleh Nur al-Din, yang telah menggantikan ayahnya, Zanki, sebagai Atabek di Syria.
Pada tahun 1160, Nur al-Din mengutus Syirkuh untuk memimpin pasukan ke Mesir, yang mana pada saat itu diperintah oleh khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, al-Adid (1160-1171). Karena perseteruan yang terjadi antara Khalifah Fatimiyah dan perdana menterinya, Syamar, maka khalifah meminta Syirkuh untuk menjadi panglima pasukan Mesir dan untuk memadamkan pemberontakan Syamar. Syamar kemudian meminta dan mendapat bantuan dari pasukan Salib yang dipimpin oleh Amalric I, membuat Syirkuh harus berperang melawan pasukan Kristiani yang melancarkan serangan terhadap Mesir. Syirkuh, secara meyakinkan, dapat mengalahkan serbuan tentara Eropa, dan memaksa mereka untuk meninggalkan Mesir pada tahun 1169. Setelah itu, Khalifah al-Adid melantik Syirkuh sebagai perdana menterinya, dan memintanya untuk mengamankan kembali kerajaan yang memeranginya. Namun dua bulan kemudian, Syirkuh meninggal dunia, dan digantikan oleh kemenakannya, Shalah al-Din, putra Ayyub, menjabat sebagai perdana menteri Khalifah al-Adid sampai kemudian khalifah wafat pada tahun 1171. Sebagai seorang pengikut Atabek Nur al-Din dari Syria, Shalah al-Din menolak untuk mengizinkan khalifah Fatimiyah yang lain untuk menggantikan al-Adid, dan dia mengangkat dirinya sebagai penguasa penuh terhadap bekas rezim Fatimiyah tersebut dan meletakkan batu pertama pendirian Disnasti Ayyubiyah, yang selanjutnya dinasti ini berkuasa di Mesir dan Syria sampai pada tahun 1260.
Dengan demikian, dinasti ini merupakan kelanjutan dari Dinasti Atabek di Syria dan al-Jazirah (Yaman), serta pengganti Dinasti Fatimiyah di Mesir.

Catatan:
Download makalah lengkapnya...
Read More
Published Oktober 02, 2007 by with 0 comment

Pembentukan dinasti bani umayyah serta Perkembangan politik, sastra, dan ilmu pengetahuan

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Ali ibn Abi Thalib dilematis dlam mengambil sikap untuk mengatasi kemelut yang terjadi di dalam negerinya. Antara lain adalah tuntutan yang diajukan oleh tokoh-tokoh senior dari sahabat semisal Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Umm al-Mukminin Aisyah ra. dan Muawiah ibn Abi Sufyan. Mereka semua meminta agar kaum pemberontak diseret ke meja hijau.
Tuntutan ini semakin gencar mendesak khalifah Ali ibn Abi Thalib untuk segera menjatuhkan hukuman qishas kepada mereka yang terlibat dalam pembunuhan mantan khalifah Usman ibn Affan. Namun Ali ibn Abi Thalib sulit menerima tuntutan tersebut untuk dilaksanakan seketika karena ibarat orang yang menutup lubang dengan membuka lubang baru yang lebih lebar dan lebih berbahaya terhadap stabilitas keamanan. Akan tetapi beliau tetap berjanji untuk memenuhi tuntutan tersebut yang dipelopori oleh Muawiah ibn Abi Sufyan jika stabilitas keamanan sudah kondusif.
Janji khalifah tersebut tidak mampu membendung tuntutan Muawiah yang menghendaki sesegera mungkin. Hingga konflik tersebut berakhir dengan perang saudara dari kedua belah kubu yang berseteru. Perang ini dalam sejarah Islam dikenal dengan “Perang Shiffin”.
Pada perang Shiffin ini, kemenangan sudah di hadapan kubu Ali ibn Abi Thalib, namun secara tiba-tiba seruan perdamaian itu terlihat ketika ada di antara kubu Muawiah yang mengayunkan mushaf Alquran, sehingga pasukan Ali mendesak kepada khalifah Ali ibn Abi Thalib agar beliau menerima seruan tersebut. Pada mulanya beliau enggan menerimanya sebab beliau tahu jika yang mereka lakukan itu semata-mata adalah bentuk kelicikan. Akan tetapi dari pasukannya sendiri tidak bisa lagi diimbangi sehingga beliau pro terhadap kehendak mereka. Peristiwa tersebut dikenal dengan tahkim (arbitrase) yang mengutus dua orang diplomat dari dua kubu untuk berdiplomasi. Ternyata hasil arbitrase kembali ditempuh lagi dengan cara yang licik di hadapan jumhur muslimin oleh diplomat Muawiah dan merugikan pihak Ali ibn Abi Thalib.
Berangkat dari perjalanan historis tersebut, dapat dipahami bahwa pasca arbitrase merupakan awal keruntuhan khilafah rezim Ali ibn Abi Thalib sekaligus merupakan cikal bakal terbentuknya dinasti Bani Umayyah.

B. Biografi Singkat Muawiah ibn Abi Sufyan Selaku Pendiri Dinasti Bani Umayyah.
Muawiah adalah pendiri sekaligus khalifah pertama pada dinasti Bani Umayyah (661-680 M). Nama lengkapnya adalah Muawiah ibn Abi Sufyan bin Harb ibn Umayyah al-Akbar. Beliau terlahir dari pasangan suami-isteri Abu Sufyan ibn Harb ibn Umayyah al-Akbar ibn Abd Syams dengan Hindun binti Utbah. Mengenai usia hidup beliau terdapat perselisihan pendapat para ulama tarikh, yakni ada yang menyebutkan 73, 75, 78, 80, atau 85 tahun. Ayahnya adalah tokoh termasyhur di kalangan Quraisy dan seorang pedagang besar yang berpengaruh sejak masa sebelum datangnya Islam. Sebenarnya beliau termasuk penentang Islam, akan tetapi setelah Fathu Makkah beliau masuk Islam pada tahun 630 M.
Muawiah diakui kecerdasannya oleh Nabi Muhammad Saw. sehingga beliau pernah diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang penulis ayat-ayat Alquran. Pada masa ekspansi Islam ke Syiria, Muawiah turut mengambil bahagian lalu belaiu diangkat oleh Umar ra. (khalifah kedua) sebagai gubernur di sana dan sempat menjabat selama kurang lebih 20 tahun. Jabatan gubernur beliau terakhir pada masa rezim Ali ibn Abi Thalib yang melengserkan beberapa petinggi-petinggi khalifah yang tercium berbau nepotisme pada rezim Usman ibn Affan ra.
Muawiah adalah salah satu di antara putra Abu Sufyan yang pernah memimpin orang-orang Makkah untuk menentang Islam. Namun setelah beliau masuk Islam, beliau menampakkan potensi besarnya dalam memperjuangkan Islam bersama para sahabat yang lain sehingga beliau tercatat sebagai khalifah keenam dari Nabi Saw. yang memimpin khilafah kaum muslimin pada masa dinasti Bani Umayyah. Belaiu mengangkat putranya yaitu Yazid sebagai putra mahkota serta pewaris tahta kekhalifahannya. Ahli sejarawan umumnya melihat negatif terhadap Muawiah dengan melihat latar belakang kekhalifahannya. Beliau berhasil meraih legalitas khalifah pada peristiwa perang Shiffin melalui kesepakatan Tahkim yang licik dan menghasilkan keputusan yang curang. Bahkan beliau dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, sebab beliaulah yang pertama kali merubah corak pemerintahan kaum muslimin yang demokratis menjadi monarkis.
Akan tetapi, jiak kita melirik kepada perkembangan dinasti Bani Umayyah dan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh beliau serta gebrakan baru yang dirintisnya dan diteruskan oleh khalifah sesudahnya, ternyata beliau adalah pemimpin besar yang berbakat dan memiliki pribadi yang paripurna. Beliau seorang politikus, administrator, serta terkumpul dalam dirinya sifat-sifat seorang penguasa yang berkarir. Muawiah akhirnya wafat pada tahun 60 Hijriyah di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya yang bernama Yazid ibn Muawiah yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai putra mahkota.

catatan:
Download makalah lengkapnya...
Read More