Tampilkan postingan dengan label Dakwah dan Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dakwah dan Ilmu. Tampilkan semua postingan

01 September, 2025

 

Mendidik Diri Sebelum Mendidik Orang Lain: Dasar Dakwah dan Keteladanan

Dr. Abdul Munir, M.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam /KUA Sape)

 

Islam sangat menekankan pentingnya pendidikan dan pembinaan karakter, baik secara individu maupun sosial. Dalam proses dakwah dan tarbiyah (pendidikan), Islam mengajarkan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Mendidik diri sebelum mendidik orang lain bukan sekadar prinsip etika, tetapi juga bentuk kejujuran dalam menyampaikan kebenaran. Tanpa perbaikan diri, nasihat dan dakwah seseorang akan kehilangan wibawa dan keikhlasan.

 

Allah dan Rasul-Nya mengajarkan bahwa kepribadian seorang pendidik atau da’i harus mencerminkan nilai-nilai yang dia serukan. Karena itu, pembinaan diri menjadi syarat utama bagi siapa saja yang ingin memberi pengaruh dan membentuk karakter orang lain.

 

1. Kewajiban Memperbaiki Diri Sendiri

Allah berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ، كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shaff: 2–3)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan sangat dibenci oleh Allah. Orang yang menyeru kepada kebaikan, namun tidak melaksanakannya, termasuk dalam golongan yang dimurkai.

 

2. Bahaya Berdakwah Tanpa Memperbaiki Diri

Rasulullah bersabda:

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ، فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ فِي الرَّحَى، فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا لَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ، وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَآتِيهِ
"Akan didatangkan seseorang pada hari kiamat lalu dilemparkan ke neraka. Maka ususnya keluar dan ia berputar-putar seperti keledai memutar penggiling. Penduduk neraka pun berkumpul kepadanya dan berkata: 'Wahai Fulan, bukankah dahulu engkau memerintahkan kami berbuat baik dan melarang dari kemungkaran?' Ia menjawab: 'Benar, aku memerintahkan kalian kepada kebaikan, tetapi aku tidak melakukannya. Aku melarang kalian dari kemungkaran, tetapi aku justru melakukannya.'"
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa dakwah tanpa praktik pribadi bukan hanya tidak efektif, tapi juga berpotensi menjerumuskan pelakunya ke dalam murka Allah.

 

3. Keteladanan Nabi dan Ulama Salaf

Rasulullah adalah teladan utama dalam hal menyelaraskan ucapan dan perbuatan. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu."
(QS. Al-Ahzab: 21)

 

Begitu pula para ulama salaf. Mereka lebih banyak berdakwah dengan perbuatan daripada perkataan. Hasan Al-Bashri berkata:

“Jika engkau memberi nasihat kepada orang lain, maka lakukanlah pada dirimu sendiri terlebih dahulu. Jika tidak, engkau akan seperti orang yang memanah tanpa busur.”

 

4. Cara Mendidik Diri Sebelum Mendidik Orang Lain

 

a. Muhasabah (introspeksi diri)
Evaluasi diri atas perbuatan yang belum sesuai dengan ajaran Islam.

 

b. Ilmu sebelum amal dan dakwah
Mempelajari Islam dengan benar agar tidak menyampaikan kebodohan.

 

c. Konsistensi amal
Berusaha menerapkan ajaran Islam secara terus-menerus dalam kehidupan pribadi.

 

d. Doa memohon keikhlasan
Meminta kepada Allah agar dimudahkan memperbaiki diri dan niat dalam berdakwah.

 

Mendidik diri sendiri adalah pondasi utama sebelum mendidik orang lain. Seorang pendidik, da’i, atau penyeru kebaikan harus menjadi cerminan nyata dari apa yang dia serukan. Islam sangat menekankan konsistensi antara ilmu, ucapan, dan perbuatan. Tanpa keteladanan, dakwah akan kehilangan ruh dan keberkahan. Maka, marilah kita memulai perubahan dari diri sendiri sebelum menyeru kepada orang lain.

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an al-Karim

2.      Shahih Bukhari

3.      Shahih Muslim

4.      Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin

5.      Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin

6.      Syaikh Bakr Abu Zaid, Hilyah Thalib al-‘Ilm

7.      Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Dakwah

8.      Ibnu Jama’ah, Tazkirah al-Sami’ wal-Mutakallim

 


23 Agustus, 2025

 

Menjaga Niat dalam Berdakwah: Kunci Keikhlasan Menuju Ridha Allah

Dr. Abdul Munir, M.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam /KUA Sape)

 

Dakwah adalah kewajiban mulia dalam Islam, yakni menyeru kepada kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar, serta mengajak manusia kepada jalan Allah. Namun semulia-mulianya aktivitas, ia bisa kehilangan nilainya jika tidak dilandasi niat yang benar dan ikhlas karena Allah . Oleh karena itu, menjaga niat adalah aspek paling fundamental dalam berdakwah, agar amal tidak menjadi sia-sia di hadapan Allah.

 

Dalam dunia modern saat ini, berbagai sarana dakwah terbuka luas, termasuk media sosial dan platform digital. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan besar bagi para dai dan pendakwah: apakah dakwah itu dilakukan untuk mengharap ridha Allah, atau sekadar popularitas, pengikut, atau materi duniawi?

 

1. Makna dan Pentingnya Niat dalam Islam

 

Niat (niyyah) adalah landasan utama dari setiap amal. Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ayat Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya keikhlasan:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
"Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya."
(QS. Al-Bayyinah: 5)

 

Dari sini, kita memahami bahwa dakwah pun harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk sanjungan, pengikut, atau tujuan duniawi lainnya.

 

2. Bahaya Tidak Menjaga Niat dalam Berdakwah

 

Dalam sebuah hadis yang sangat menggugah, Rasulullah bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ... رَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Orang pertama yang akan diadili di Hari Kiamat adalah seseorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Ia akan didatangkan dan dikenalkan nikmat Allah, lalu ditanya: ‘Apa yang kau lakukan?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kau dusta. Tapi kau menuntut ilmu agar dikatakan: dia alim, dan kau membaca Al-Qur’an agar dikatakan: dia qari’. Dan itu telah dikatakan.’ Lalu diperintahkan agar ia diseret ke neraka.”
(HR. Muslim, no. 1905)

 

Hadis ini sangat jelas menunjukkan betapa berbahayanya berdakwah tanpa keikhlasan. Amal bisa terlihat besar di mata manusia, namun tidak bernilai di sisi Allah jika niatnya menyimpang.

 

3. Tanda dan Ciri Niat yang Lurus dalam Dakwah

ـ           Tidak berharap pujian atau pengikut

ـ           Tidak merasa tinggi atau lebih baik dari orang lain

ـ           Fokus pada hasil akhir (keridhaan Allah), bukan popularitas

ـ           Tidak berubah semangat berdakwah meski tidak disukai atau tidak viral

ـ           Berani menyampaikan kebenaran meskipun pahit

 

4. Cara Menjaga Niat Tetap Ikhlas

 

a. Muhasabah Diri
Senantiasa mengevaluasi niat di awal, tengah, dan akhir amal.

 

b. Menyembunyikan amal jika memungkinkan
Seperti tidak memamerkan jumlah jamaah, likes, atau view.

 

c. Memperbanyak doa memohon keikhlasan
Rasulullah
mengajarkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan atas apa yang tidak aku ketahui."
(HR. Ahmad dan Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

 

d. Menyadari bahwa hanya Allah yang menilai amal
Jangan mudah puas dengan penilaian manusia, karena nilai hakiki hanyalah dari Allah.

 

Menjaga niat adalah inti dari keberhasilan dakwah di sisi Allah. Seorang dai sejati tidak hanya menguasai ilmu dan menyampaikannya, tetapi juga menjaga hati agar tetap lurus dan tulus. Sebab, amal dakwah yang besar bisa menjadi kosong jika tidak disertai niat ikhlas. Oleh karena itu, setiap Muslim, terutama yang berada di jalan dakwah, harus senantiasa memurnikan niatnya agar seluruh amal mendapat ridha Allah .

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an al-Karim

2.      Shahih Bukhari

3.      Shahih Muslim

4.      Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin

5.      Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin

6.      Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin

7.      Abu Hamid Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah

8.      Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Dakwah

 


13 Agustus, 2025

 

DAKWAH DIGITAL: Peluang dan Tantangan di Era Modern

Dr. Abdul Munir, M.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam / KUA Sape)

 

Dakwah adalah kewajiban setiap Muslim dalam menyampaikan ajaran Islam kepada sesama. Dalam sejarah Islam, dakwah telah berkembang seiring perkembangan zaman—dari lisan ke tulisan, dari mimbar ke media cetak, hingga kini memasuki era digital. Dakwah digital adalah bentuk dakwah yang memanfaatkan teknologi informasi, seperti media sosial, website, podcast, dan video online.

 

Fenomena ini menghadirkan peluang besar untuk menjangkau audiens yang lebih luas dengan cara yang lebih cepat dan kreatif. Namun di sisi lain, dakwah digital juga menghadirkan tantangan serius, seperti informasi yang tidak terverifikasi, munculnya pendakwah instan, dan konten yang viral namun dangkal. Maka, diperlukan pemahaman dan kesiapan dari para da'i dan umat Islam dalam mengelola dakwah digital dengan bijak.

 

1. Landasan Dakwah dalam Islam

Allah berfirman:

ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik."
(QS. An-Nahl: 125)

Rasulullah bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
"Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat."
(HR. Bukhari, no. 3461)


Ayat dan hadis ini menjadi dasar bahwa dakwah adalah tanggung jawab bersama, dan dapat dilakukan dengan berbagai sarana yang sesuai dengan zaman, termasuk sarana digital.

 

2. Peluang Dakwah Digital


a. Jangkauan Global
Media digital memungkinkan dakwah menjangkau jutaan orang di berbagai penjuru dunia secara instan, bahkan lintas bahasa dan budaya.


b. Kecepatan dan Efisiensi
Konten dakwah bisa disebarkan dalam hitungan detik melalui media sosial, website, YouTube, dan aplikasi dakwah.


c. Kreativitas Dakwah
Dakwah digital dapat dikemas dalam bentuk video, animasi, infografis, podcast, meme Islami, dan lainnya, sehingga lebih mudah diterima oleh generasi muda.


d. Aksesibilitas Ilmu Agama
Dengan teknologi digital, siapa pun bisa mengakses kajian, tafsir, dan fatwa dari ulama terpercaya kapan saja dan di mana saja.


e. Peran Da’i Milenial dan Influencer Muslim
Munculnya da’i muda dan konten kreator Muslim memberikan semangat baru dalam menyampaikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

 

3. Tantangan Dakwah Digital


a. Penyebaran Konten Sesat dan Hoaks Agama
Kemudahan akses juga membuka ruang bagi informasi yang tidak sahih, seperti hadis palsu, tafsir menyimpang, dan pemahaman ekstrem.


b. Fenomena "Ustadz Instan"
Banyak pendakwah tidak memiliki latar belakang ilmu syar’i yang cukup, namun tampil seolah-olah ahli agama karena popularitas semata.


c. Dakwah yang Dangkal dan Viral Semata
Konten dakwah lebih mengejar likes, share, dan viral daripada kedalaman ilmu, menyebabkan pemahaman agama menjadi superfisial.


d. Kurangnya Etika Digital
Cacian, debat kusir, hingga cyber bullying dalam ruang dakwah digital justru mencoreng citra Islam yang damai dan beradab.


e. Ketergantungan dan Distraksi
Alih-alih menjadi alat dakwah, media digital juga bisa menjadi tempat maksiat dan hiburan yang melalaikan, termasuk bagi para da’i.

 

4. Strategi Mengoptimalkan Dakwah Digital

ـ           Memastikan kredibilitas konten: Mengutip dari sumber terpercaya (ulama, kitab, fatwa resmi).

ـ           Mengedepankan akhlak dan adab: Tidak memprovokasi, menghina, atau menyesatkan.

ـ           Berjejaring dalam komunitas dakwah digital: Agar lebih terarah dan saling menguatkan.

ـ           Pelatihan media digital untuk para da’i: Membekali mereka dengan kemampuan teknis dan komunikasi.

ـ           Menanamkan niat dan tujuan yang benar: Dakwah digital bukan untuk ketenaran, tapi untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah.

 

Dakwah digital adalah keniscayaan dalam era teknologi informasi. Ia merupakan sarana besar dan berpotensi luas untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat global. Namun, sebagaimana besarnya peluang, tantangan yang dihadapi juga tak kalah berat. Oleh karena itu, dakwah digital harus dikelola dengan ilmu, adab, dan strategi yang tepat agar dapat menjadi jalan menyebarkan rahmat Islam, bukan justru menjadi sebab fitnah.

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an al-Karim

2.      Shahih al-Bukhari

3.      Shahih Muslim

4.      Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Dakwah

5.      Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al-Dakwah

6.      Abu Amr Ahmad, Strategi Dakwah Era Digital

7.      Bakr Abu Zaid, Hilyah Thalib al-‘Ilm

8.      Shalih al-Munajjid, Dakwah dan Media Sosial – IslamQA

9.      Komisi Fatwa MUI, Panduan Dakwah di Media Sosial

 


03 Agustus, 2025

 

Menghidupkan Majelis Ilmu: Jalan Menuju Kebangkitan Umat

Dr. Abdul Munir, M.Pd.I

(Penyuluh Agama Islam / KUA Sape)

 

Majelis ilmu memiliki tempat yang sangat istimewa dalam Islam. Ia bukan hanya sebagai tempat bertukar pengetahuan, tetapi juga sebagai taman surga di dunia. Di sanalah cahaya kebenaran disebarkan, keimanan diperkuat, dan hati yang keras dilunakkan oleh ilmu dan zikir. Menghidupkan majelis ilmu berarti menghidupkan hati dan akal umat agar keluar dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemaksiatan.

 

Dalam realitas kehidupan umat Islam, kemunduran seringkali dimulai dari jauhnya masyarakat dari ilmu agama. Oleh karena itu, upaya untuk menghidupkan kembali budaya majelis ilmu menjadi keharusan kolektif. Artikel ini akan membahas pentingnya menghidupkan majelis ilmu dalam Islam beserta dalil-dalil yang menguatkannya.

 

1. Keutamaan Ilmu dan Majelis Ilmu dalam Al-Qur’an dan Hadis

Allah sangat memuliakan orang-orang yang berilmu:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
(QS. Al-Mujadilah: 11)

Rasulullah menggambarkan keistimewaan majelis ilmu sebagai tempat yang penuh rahmat dan dijaga oleh para malaikat:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِندَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan ketenangan akan turun kepada mereka, rahmat akan meliputi mereka, para malaikat akan menaungi mereka, dan Allah akan menyebut mereka di hadapan (malaikat) yang ada di sisi-Nya.”
(HR. Muslim, no. 2699)

 

2. Fungsi dan Manfaat Majelis Ilmu

Majelis ilmu bukan sekadar forum akademik. Ia punya fungsi besar dalam kehidupan umat:

ـ           Meningkatkan keimanan dan pemahaman agama
Ilmu yang disampaikan dalam majelis akan menguatkan tauhid, ibadah, dan akhlak.

ـ           Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah
Dengan berkumpul dalam majelis ilmu, hati-hati kaum Muslimin disatukan dalam ikatan iman.

ـ           Menjadi sarana dakwah dan perbaikan masyarakat
Penyampaian ilmu akan membentuk masyarakat yang sadar hukum syariat dan berakhlak.

ـ           Menjadi benteng dari pemikiran sesat dan hoaks
Ilmu yang benar menjadi filter dari paham-paham ekstrem dan kebodohan yang menyesatkan.

 

3. Tanggung Jawab Menghidupkan Majelis Ilmu

Menghidupkan majelis ilmu bukan hanya tanggung jawab para ulama atau ustadz, tetapi juga:

ـ           Tanggung jawab lembaga pendidikan dan masjid
Masjid harus kembali menjadi pusat ilmu sebagaimana zaman Rasulullah
.

ـ           Tanggung jawab keluarga
Orang tua harus membiasakan anak-anak menghadiri pengajian dan mencintai ilmu.

ـ           Tanggung jawab pribadi Muslim
Setiap Muslim wajib menghadiri majelis ilmu sesuai dengan kemampuannya sebagai bagian dari pencarian ilmu yang diwajibkan.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
"Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim."
(HR. Ibnu Majah, no. 224)

 

4. Cara Menghidupkan Majelis Ilmu di Era Kini

ـ           Memanfaatkan teknologi: Kajian online, podcast, dan video dakwah menjadi sarana majelis ilmu modern.

ـ           Menjadikan majelis ilmu sebagai budaya rutin: Seperti pengajian mingguan di masjid, kelompok belajar keluarga, atau halaqah di sekolah.

ـ           Menghadirkan ustadz/ulama yang kompeten dan bijak: Agar majelis ilmu menarik dan tidak membosankan.

ـ           Menyesuaikan materi dengan kebutuhan masyarakat: Misalnya ilmu parenting Islami, fiqh muamalah, atau kajian akhlak.

 

Menghidupkan majelis ilmu adalah bagian dari menghidupkan hati, iman, dan peradaban Islam. Keutamaan dan keberkahan majelis ilmu sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Umat Islam harus kembali menjadikan majelis ilmu sebagai bagian dari gaya hidup, sebagaimana para sahabat dan generasi salafush-shalih dahulu. Majelis ilmu adalah taman surga di dunia; barang siapa yang singgah di dalamnya, akan merasakan ketenangan, ilmu, dan kedekatan dengan Allah.

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an al-Karim

2.      Shahih Muslim

3.      Sunan Ibnu Majah

4.      Imam an-Nawawi, Riyadhus Shalihin

5.      Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din

6.      Yusuf al-Qaradawi, Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim

7.      Syekh Bakr Abu Zaid, Hilyah Thalib al-‘Ilm

8.      Shalih Al-Munajjid, Fadhl al-Majalis al-‘Ilm – IslamQA

 


Popular

Popular Posts

Blog Archive